this PDF file Tantangan dan Kesempatan | Hanafi | Jurnal Teknik Industri 1 PB

Jurnal Teknik Industri, Vol. 17, No. 2, Desember 2015,123-132
ISSN 1411-2485 print / ISSN 2087-7439 online

DOI: 10.9744/jti.17.2.123–132

Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia:
Tantangan dan Kesempatan
Jessica Hanafi1*
Abstract: Global competitivenes have stimulated Indonesia to improve its economy. Therefore,
the Indonesian government aims to improve industry competitiveness through sustainable
development and increasing added value. This is stated in the Masterplan for Acceleration and
Expansion of Indonesia's Economic Development. One of the method to answer the globalisation
challenge is by implementing sustainable manufacturing. Sustainable manufacturing begins
with lean manufacturing, cleaner production and life cycle assessment by considering health and
safety of employee, customer, and the society. There are challenges in implementing sustainable
manufacturing. There are also varied indicators for organisation’s sustainability. However, all of
them are based on the triple bottom line, which are economy, social and environmental. This
paper will discuss how sustainable manufacturing is viewed from three perspectives, based on
industry, government and academics, especially in Indonesia.
Keywords: Sustainable manufacturing, life cycle assessment, sustainability indicator, MP3EI.


Pendahuluan
Perkembangan dunia saat ini diikuti oleh peningkatan populasi, peningkatan konsumsi, industrialisasi, semakin terkikisnya sumber daya alam serta
polusi dan perubahan iklim. Keadaan ini perlu
diingat bahwa pembangunan dan perkembangan
yang terjadi jangan hanya menciptakan kekayaan
dan kesuksesan namun juga harus dapat diturunkan ke anak cucu kita. Inilah yang menjadi motivasi
munculnya pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mencetuskan manajemen
berkelanjutan di segala aspek, salah satunya adalah
manufaktur berkelanjutan.
Pada tahun 2010 pemerintah Indonesia menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang lebih dikenal
dengan sebutan MP3EI. Di dalam MP3EI dirumuskan rencana jangka panjang pemerintah untuk
meningkatkan produk domestik bruto, dari US$ 700
miliar pada tahun 2010 menjadi US$ 4 – 4.5 triliun
pada tahun 2025 dan US$ 15- 17,5 triliun pada
tahun 2045. Tujuan dari MP3EI adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan memperluas rantai
nilai proses produksi serta jaringan distribusi, selain
itu juga untuk mendorong efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. MP3EI juga berupaya untuk men1 Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan Teknik Industri, Universitas Pelita Harapan, Jl. M.H Thamrin Boulevard, Lippo Karawaci,
Tangerang, Banten 15811. Indonesia.
Email: jessica.hanafi@uph.edu


* Penulis korespondensi

123

dorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi
produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan menuju innovation-driven-economy. Daya saing global
yang berkelanjutan dan visi dalam MPE3EI inilah
yang menjadi salah satu pendorong upaya menuju
manufaktur berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan Indonesia dapat turut serta bersaing secara
global namun tetap dapat menjaga keberlangsungan dari sumber daya dan produksinya.
Menurut US Environmental Protection Agency (US
EPA), manufaktur berkelanjutan atau sustainable
manufacturing adalah penciptaan produk manufaktur melalui proses ekonomis yang mengurangi
dampak lingkungan negatif sambil turut menjaga
kelestarian energi dan sumber daya alam. Manufaktur berkelanjutan juga menjaga keselamatan
karyawan, masyarakat dan konsumen. US EPA [1]
juga menyebut manufaktur berkelanjutan sebagai
desain berkelanjutan atau desain hijau. Konsep
manufaktur berkelanjutan di dunia sudah dimulai
sejak sekitar tahun 2000 (O’ Brien [2], Westkämper

[3], Rashid [4], Bocken et al. [5]). Landasan dari
manufaktur berkelanjutan ini adalah konsep daur
hidup, dimana suatu produk atau proses tidak lagi
hanya dilihat dari proses manufakturnya saja
namun juga dari keseluruhan daur hidupnya, mulai
dari pengadaan bahan mental, produk jadi, sampai
tahap penggunaan (usage stage), dan akhir hidup
dari produk (end-of-life).
Pada makalah ini akan dibahas isu manufaktur berkelanjutan dilihat dari ketiga perspektif, yaitu sisi
industri, pemerintah dan akademia, khususnya di
Indonesia. Bagaimana keterlibatan ketiga pemangku
kepentingan mempengaruhi manufaktur berkelan-

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

jutan dan tantangan serta kesempatan yang ada.
Pertama-tama akan dibahas mengenai apa yang
dimaksud dengan manufaktur berkelanjutan dan
prinsipnya. Indikator apa yang digunakan untuk
mengukur keberlanjutan di industri. Selanjutnya

akan dilihat perspektif pemerintah dan akademia
mengenai manufaktur berkelanjutan. Terakhir,
kesimpulan mengenai tantangan dan kesempatan
akan dipaparkan.

Metode Penelitian
Makalah ini berisi paparan kajian mengenai isu
manufaktur berkelanjutan di Indonesia. Kajian ini
berdasarkan gabungan hasil kajian literatur, laporan industri dan studi kasus pada industri. Terdapat
31 literatur yang dikaji secara menyeluruh pada
penelitian ini. Laporan industri yang dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengetahui perilaku keberlanjutan perusahaan adalah laporan keberlanjutan
(sustainability report). Tiga puluh lima laporan
keberlanjutan berasal dari berbagai sektor yang
dilaporkan pada kurun waktu 2010-2014 dianalisa.
Perusahaan-perusahaan yang mempunyai laporan
keberlanjutan umumnya merupakan perusahaan
terbuka yang terdaftar pada pasar modal. Sementara itu untuk mengetahui keadaan keberlanjutan
industri kecil dan menengah dilakukan studi kasus
pada 15 industri manufaktur yang berlokasi di sekitar Jabodetabek. Peraturan perundang-undangan
dan peran serta pemerintah juga dipaparkan yang

informasinya dikumpulkan dari laman-laman kementerian terkait. Hasil analisa dibahas pada bagian berikut berdasarkan ketiga pemangku kepentingan, yaitu dari sisi industri, pemerintah dan
akademik.

Hasil dan Pembahasan
Manufaktur Berkelanjutan
Pada tahun 1992 dilaksanakan seminar oleh PBB,
United Nation Conference on Environment and
Development, di Rio de Janeiro yang dikenal dengan
nama Rio Declaration. Pada konferensi ini ditekankan kewajiban produsen, konsumen dan pemerintah
dalam mensukseskan manufaktur berkelanjutan.
Beberapa strateginya adalah penggunaaan atau
pemilihan proses produksi yang lebih efisien secara
energi dan sumber daya alam, strategi pencegahan
(preventive strategies), teknologi produksi bersih
untuk seluruh daur hidup produk, serta minimisasi
dan pencegahan limbah (O’ Brien [2]).
Penerapan manufaktur berkelanjutan dalam industri manapun, termasuk industri di Indonesia, tidak
hanya memerlukan perencanaan sistem produksi
yang berlandaskan ketiga pilar berkelanjutan
124


Gambar 1. Manufaktur berkelanjutan (Dornfeld et al.
[15])

(ekonomi, sosial, lingkungan), melainkan juga sebuah metode penerapan yang holistik untuk mendukung penerapan konsep perbaikan berkesinambungan (continuous improvement). Konsep perbaikan berkesinambungan menjadi penting untuk dimasukkan dalam kerangka penerapan manufaktur
berkelanjutan karena perusahaan akan dapat meningkatkan standarnya secara terus menerus.
Perubahan untuk dapat menuju industri manufaktur yang berkelanjutan tidak dapat dilakukan
secara sekejap. Perubahan sedikit demi sedikit yang
dilakukan secara terus menerus akan lebih mudah
diterapkan.
Pengukuran kinerja keberlanjutan selalu berdasarkan pada the triple bottom line, yang fokus pada
lingkungan, ekonomi, dan sosial (Gambar 1). Sebuah perusahaan akan dikatakan memiliki sistem
manufaktur yang berkelanjutan jika perusahaan
tersebut sudah dapat mencapai taraf keberlanjutan
di ketiga aspek tersebut. Namun perusahaan tidak
dapat memisahkan peningkatan keberlanjutan di
masing-masing aspek karena aspek-aspek tersebut
akan terus berkaitan. Dalam mendorong keberlanjutan di bidang ekonomi dan lingkungan, perusahaan perlu untuk menerapkan sistem manufaktur
yang ramping (lean manufacturing). Dalam mendorong keberlanjutan di bidang ekonomi dan sosial,
yang perlu diterapkan perusahaan adalah manufaktur massal (mass manufacturing). Untuk meningkatkan keberlanjutan di bidang lingkungan dan sosial,

perusahaan membutuhkan penerapan manufaktur
hijau (green manufacturing). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa dalam mencapai sebuah sistem
manufaktur yang berkelanjutan, perusahaan harus
menerapkan sistem manufaktur yang ramping,
massal dan hijau (Reich-Weiser et al.[6])
Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai keberlanjutan ini. Strategi manufaktur seperti lean
manufacturing dan cleaner production juga berperan

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

Gambar 2 Konsep daur hidup produk (Hanafi et al. [22])

dalam mengurangi dampak negatif lingkungan dari
proses produksi (Huang et al.[7], Büyükbay et al. [8],
Almeida et al. [9], van Hoof dan Lyon [10], Niinimäki
dan Hassi [11], Khalili et al. [12], Grutter dan Egler
[13], Narayanaswamy dan Stone [14]). Huang et al.
[7] mengidentifikasi adanya peningkatan konservasi
energi, pengurangan konsumsi bahan mentah dan

air, peningkatan utilisasi secara keseluruhan dan
pengurangan emisi polutan. Huang et al. juga menegaskan bahwa untuk mencapai keberlanjutan
produksi bersih merupakan proses yang terus
menerus yang harus dilakukan. Namun seperti van
Hoof dan Lyon [10], Huang et al. [7] juga menekankan bahwa walaupun produksi bersih banyak
berhasil dilakukan di perusahaan besar, penerapan
di usaha kecil dan menengah ditemukan banyak
hambatan.

Krajnc dan Glavič [21]: (1) Produk dan kemasan
didesain supaya aman selama siklus hidup produk
tersebut. (2) Pelayanan diatur supaya dapat memuaskan kebutuhan manusia dan menjunjung keadilan. (3) Limbah dan sampah produksi dikurangi,
dihilangkan, atau didaur ulang. (4) Bahan kimia
dan bahan lain yang berbahaya untuk kesehatan
dihilangkan. (5) Energi dan material dilestarikan,
dan energi dan material yang digunakan adalah
yang paling tepat. (6) Tempat kerja dan teknologi
didesain untuk meminimalisir atau menghilangkan
bahaya kimia, bahaya ergonomi, dan bahaya fisik.
(7) Pekerjaan diatur untuk mempertahankan dan

meningkatkan efisiensi dan kreatifitas pekerja. (8)
Keamanan dan keberlangsungan semua pekerja
adalah prioritas, seperti juga perkembangan terusmenerus dari bakat dan kapasitas pekerja. (9)
Masyarakat sekitar tempat kerja dihormati dan
diuntungkan secara ekonomi, sosial, budaya, dan
fisik. (10) Keberlangsungan ekonomi jangka panjang
perusahaan ditingkatkan.

Seperti disebutkan sebelumnya, dalam manufaktur
berkelanjutan terdapat tiga aspek utama yang
harus diperhatikan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan serta sambil memperhatikan keselamatan
karyawan, konsumen dan masyarakat, maka suatu
produk dan proses tidak hanya bisa dilihat sampai
produk tersebut selesai diproduksi, namun harus
melihat secara keseluruhan daur hidup dari produk
tersebut (life cycle approach) (Gambar 2). Life Cycle
Assessment (LCA) adalah metode yang dapat
digunakan untuk mengetahui dampak terhadap
lingkungan, kesehatan manusia dan sumber daya
alam. Melalui LCA, setiap proses dalam setiap

tahapan hidup suatu produk diukur, diinventarisasi
dan diinterpretasi sehingga dapat diketahui dampaknya (Guinée [16], ISO[17]). Konsep daur hidup
ini kemudian berevolusi menjadi life cycle costing
dan social life cycle assessment untuk mengevaluasi
dampak suatu proses dan produk terhadap ekonomi
dan dampak sosial, secara berurutan, yang dikembangkan oleh United Nation Environmental
Program (UNEP) dalam Life Cycle Initiatives [18],
UNEP-SETAC [19].

Di Indonesia isu keberlanjutan sudah mulai berkembang namun banyak kendala yang dihadapi
oleh industri, yang juga teridentifikasi di negaranegara lain khususnya di negara berkembang atau
di industri berukuran kecil dan menegah (Small
Medium Enterprise /SME). Secara umum, hambatan yang dihadapi dalam penerapan manufaktur
berkelanjutan adalah hambatan ekonomi, hambatan teknologi, dan hambatan managerial (Dornfeld et
al. [15]). Secara ekonomis, tuntutan pengurangan
dampak negatif lingkungan dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan. Walaupun kegiatan pencegahan polusi, product stewardship, dan pengontrolan
emisi dapat mengurangi biaya pengelolaan limbah
dan konsumsi material, namun investasi yang tinggi
dan payback period yang panjang menyebabkan

keragu-raguan industri untuk melaksanakan manufaktur berkelanjutan (Khalili et al. [12]). Keterbatasan teknologi dalam pengukuran energi, emisi dan
dampak lingkungan secara sistematis juga menjadi
hambatan (van Hoof dan Lyon [10]).

Berdasarkan konsep daur hidup tersebut, dapat
dijabarkan prinsip dari manufaktur berkelanjutan
Lowell Centre for Sustainable Production [20] dan

Kendala lainnya terkait dengan masalah keterbatasan sumber daya manusia (van Hoof dan Lyon
[10], Khalili et al. [12]). van Hoof dan Lyon [10]

125

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

menemukan pada SME hambatan berasal dari kurangnya SDM, kurangnya pengetahuan dan adanya
persepsi bahwa mereka tidak menyebabkan dampak
lingkungan. Selain itu, pada SME perusahaan seringkali mempunyai sistem dan kemampuan manajerial profesional yang terbatas. Proses pengambilan
keputusan yang terpusat pada pemilik, pekerja
dengan kemampuan yang terbatas, karyawan tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan, lemahnya pendataan dalam perusahaan, tidak adanya
sistem monitoring dalam perusahaan dan keadaan
keuangan yang tidak stabil merupakan hambatanhambatan dalam pelaksanaan keberlanjutan (Khalili
et al. [12]). Dalam setiap aspek keberlanjutan, komitmen manajemen (top management) merupakan hal
yang terpenting (Schneider dan Wallenburg [23]).
Indikator Manufaktur Berkelanjutan dan Perspektif Industri
Agar manufaktur berkelanjutan dapat dilakukan
oleh perusahaan manufaktur berskala besar maupun kecil, diperlukan adanya suatu indikator.
Terdapat berbagai jenis indikator yang digunakan
untuk mengukur keberlanjutan suatu organisasi.
Tabel 1 menjabarkan beberapa indikator yang
banyak digunakan. National Institute of Standards
and Technology (NIST) mengumpulkan indikator
manufaktur berkelanjutan dari berbagai sumber
yang telah ada dan membaginya ke dalam 5 kategori, yaitu 3 kategori utama dan 2 kategori tambahan. Ketiga kategori utamanya adalah lingkungan,
ekonomi dan sosial, sementara kedua kategori tambahannya adalah teknologi dan manajemen kinerja
(N. US Department of Commerce [24]).
Indikator yang paling banyak digunakan secara
global adalah indikator dalam laporan keberlanjutan global reporting initiative. Lebih dari 18.000
laporan keberlanjutan telah diterbitkan sejak tahun
1999 sampai dengan tahun 2014. Kegiatan pelaporan kegiatan keberlanjutan atau sustainability
reporting sudah mulai dilakukan di Indonesia sejak
tahun 2005 namun baru mulai terlihat signifikan
pada tahun 2012, terutama untuk di wilayah Asia
Tenggara. Hal ini berkenaan dengan diharuskannya
negara-negara untuk menerbitkan laporan berkelanjutan oleh bursa efek (tahun 2007 untuk
Malaysia, tahun 2013 untuk Thailand, tahun 2009
untuk Tiongkok). Laporan berkelanjutan difokuskan
untuk perusahan-perusahaan yang terdaftar di
dalam bursa efek, perusahaan-perusahaan ini
masuk dalam kategori perusahaan besar.
Gambar 3 menunjukkan jumlah laporan keberlanjutan yang diterbitkan di negara-negara Asia Tenggara dibandingkan dengan Jerman, Australia dan
Amerika Serikat per tahun sejak 1999 sampai 2014.
Amerika Serikat merupakan negara dengan jumlah
laporan terbanyak di dunia (2066 laporan), diikuti
oleh Spanyol (1339 laporan) dan Afrika Selatan
126

(1282 laporan). Untuk wilayah Asia Tenggara,
Thailand masih yang terbanyak, diikuti oleh
Singapura dan Indonesia. Hal ini karena kesadaran
lingkungan dan penelitian di bidang keberlanjutan
di Thailand yang sudah lebih berkembang (Gambar
4). Gambar 4 menunjukkan jumlah artikel jurnal
dalam bidang Life Cycle Assessment yang diterbitkan di negara-negara ASEAN berdasarkan
hasil penelusuran pada web of sciences dan
Thomson Reuters yang dilakukan oleh Indonesian
Life Cycle Assessment Network (ILCAN) sampai
dengan tahun 2015 (WolCARI2015 [25]). Seperti
telah disebutkan sebelumnya, keberlanjutan suatu
proses harus dilakukan untuk seluruh daur
hidupnya. Oleh karena itu, Life Cycle Assessment
menjadi salah satu tolok ukur untuk keberlanjutan.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa penelitian di
Thailand jauh melebihi Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Hal ini menjelaskan keterkaitannya
dengan jumlah laporan keberlanjutan yang dihasilkan (Gambar 3).
Tabel 1. Indikator keberlanjutan
No
Set indikator
1 Global Report Initiative (GRI)
2 Dow Jones Sustainability Index
(DJSI)
3 2005 Enviromental Sustainability
Indicators
4 2006 Environment Performance
Indicators
5 United Nations Committee on
Sustainable Development Indicators
6 OECD Core Indicators
7 Indicator Database
8 For Product Sustainability Index
9 GM Metrics for Sustainable
Manufacturing
10 ISO 14031 enviromental performance
evaluation
11 Wal-mart Sustainability Product
Index
12 Enviromental Indicators for
European Union
13 Eco-Indicators 1999
14 Science and Technology Indicators

Komponen
70 indikator
12 kriteria
76 blok
19 indikator
50 indikator
46 indikator
409 indikator
8 indikator
46 metrik
155 contoh
indikator
15 pertanyaan
60 indikator
3 faktor utama
13 indikator

Gambar 3. Jumlah laporan keberlanjutan pada Negara
negara di Asia Tenggara dibandingkan dengan USA,
Australia dan Jerman.

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

Gambar 4 Jumlah artikel jurnal di bidang Life Cycle
Asssement yang diterbitkan dalam bidang berdasarkan
negara afiliasi dan asal penulis sampai dengan Februari
2015 (WoLCARI2015 [25]).

Gambar 5. Sektor industri yang menerbitkan laporan
keberlanjutan di Indonesia.

Sektor industri yang paling banyak menerbitkan
laporan keberlanjutannya adalah sektor pertambangan (mining), konstruksi, energi, agrikultur,
konglomerasi, bisnis keuangan dan bahan konstruksi (Gambar 4). Jika dilihat dari mayoritas sektor
yang melaporkan kegiatan keberlanjutannya, sektorsektor ini memang yang paling banyak dituntut
untuk melaporkan dampak lingkungan dari kegiatannya. Selain itu, pemangku kepentingan yang
beragam pada sektor-sektor ini juga menyebabkan
tingginya jumlah laporan keberlanjutan pada
sektor-sektor tersebut. Pemangku kepentingan ini
misalnya adalah pembeli dari manca negara yang
menuntut keberlanjutan dari produk yang dibelinya
dan juga lembaga swadaya masyarakat yang memperhatikan keadaan lingkungan dan sosial. Adapun
industri manufaktur yang di luar dari konglomerasi
belum terlihat aktivitasnya untuk penerbitan laporan berkelanjutan. Pada tahun 2013 berdasarkan
laporan dari seluruh dunia, Global Reporting
Initiatives melaporkan industri manufaktur yang
masuk dalam 10 sektor utama antara lain industri
tekstil, telekomunikasi, makanan minuman, dan
peralatan. Namun tidak ada perusahaan Indonesia
yang bergerak dalam sektor-sektor tersebut yang
menerbitkan laporan keberlanjutannya (Global
Reporting [26]).
127

Kegiatan yang dilaporkan oleh industri di Indonesia
dalam Sustainability Reporting atau laporan keberlanjutan kebanyakan dalam aspek ekonomi dalam
upaya meningkatkan pendapatan, dan dalam aspek
sosial dalam rangka menjaga kesehatan karyawan,
meningkatkan kesejahteraan pegawai, memiliki keadilan terhadap pegawai, menjunjung tinggi HAM,
meningkatkan upaya pengembangan karyawan dan
meningkatkan upaya pengembangan masyarakat.
Untuk perusahaan besar, konsistensi pendapatan
dan peningkatan pendapatan merupakan hal yang
menjadi target utama. Selain itu, karena mereka
juga mempunyai tanggung jawab untuk melaporkan
keadaan keuangannya kepada para pemegang
saham, aspek ekonomi ini menjadi hal yang paling
banyak dilaporkan untuk menunjukkan kesehatan
dan kelangsungan perusahaan.
Secara terpisah, indikator-indikator tersebut dihadapkan kepada SME di sekitar Jabodetabek.
Hambatan terbesar dalam pengukuran adalah keterbatasan data. Sebagai contoh, pada aspek
lingkungan untuk mengurangi limbah cair yang
dihasilkan digunakan indikator jumlah limbah cair
yang dihasilkan. Data tersebut tidak tersedia pada
perusahaan-perusahaan SME yang dijadikan sebagai studi kasus dalam penelitian ini. Untuk itu
dibentuklah suatu pengukuran yang sederhana
berdasarkan klasifikasi NIST untuk mengetahui
seberapa siapnya industri di Indonesia untuk menghadapi manufaktur berkelanjutan yang disebut
sebagai Indikator Manufaktur Berkelanjutan yang
disederhanakan (Simplified Sustainable Manufacturing Indicator).
Penyederhanaan indikator dilakukan dengan menggabungkan beberapa indikator. Misalnya pada
aspek lingkungan sub-aspek emisi, indikator
“jumlah limbah cair yang dihasilkan”, “proporsi
limbah cair yang berbahaya” dan “total limbah yang
dihasilkan” digabungkan menjadi “pengurangan
limbah yang dihasilkan”. Selain itu, pengukurannya
juga diubah dari nilai kuantitatif dalam NIST
menjadi derajat kesulitan implementasi, keberadaan data dan tingkat penerapan dalam Indikator
Manufaktur Berkelanjutan yang Disederhanakan
(IMBYD).
Lima belas industri manufaktur berukuran kecil
dan menengah di sekitar Jabodetabek dipilih secara
acak (non-purpossive sampling) untuk dijadikan
sebagai studi kasus. Dilakukan wawancara terstruktur terhadap perwakilan dari industri. Perwakilan yang diwawancara merupakan pemilik
atau bagian dari manajemen atas (top management)
Berdasarkan studi kasus, hanya sekitar 30% dari
sampel industri yang mengerti tentang konsep
keberlanjutan dalam perusahaannya. Berdasarkan

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

survey pada sampel, aspek yang paling sulit dilakukan adalah penerapan aspek ekonomi (100%),
diikuti oleh lingkungan dan sosial. Hal ini dikarenakan industri SME masih mempunyai keterbatasan
sumber daya, pendapatan yang tidak stabil, dan
kesulitan dalam investasi. Hambatan aspek
ekonomi ini juga berdampak pada aspek lingkungan
dan sosial, dimana perusahaan tidak mempunyai
modal untuk membeli mesin yang ramah lingkungan atau dana untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Aspek lingkungan juga memerlukan pendataan yang baik, namun kegiatan penghematan sumber daya dan energi bisa
dimulai dari kegiatan-kegiatan sederhana. Aspek
sosial dianggap sebagai aspek yang paling mudah
diterapkan karena dapat dimulai dengan kesejahteraan pegawai. Tata kelola perusahaan dapat menjadi kendala jika komitmen yang diberikan oleh manajemen belum terfokus pada keberlanjutan. Teridentifikasi subaspek yang paling sulit dalam aspek
sosial adalah yang berkenaan dengan konsumen.
Jadi jika kita bandingkan antara perusahaan besar
dengan perusahaan kecil dan menengah dapat disimpulkan bahwa untuk perusahaan besar yang
sudah mapan, fokus pelaporan keberlanjutan akan
tertuju pada sisi ekonomi untuk menunjukkan keadaan perekonomian mereka kepada para investor
dan pemangku kepentingan. Sementara untuk industri kecil dan menengah, keadaan ekonomi yang
belum mapan bukanlah penghalang untuk menjadi
industri yang berkelanjutan. Strategi-strategi penghematan sumber daya alam dan energi, yang dimulai dengan pendataan penggunaan sumber daya
dan energi, dapat digunakan untuk meningkatkan
efisiensi proses, yang selanjutnya akan menhasilkan
keuntungan ekonomis. Hambatan dari pengembangan aspek lingkungan adalah keterbatasan data.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil studi kasus,
aspek sosial merupakan aspek yang paling mudah
untuk diterapkan karena adanya data yang lebih
tersedia pada industri kecil dan menengah.
Peran Pemerintah dalam Manufaktur Keberlanjutan
Perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia
pada isu keberlanjutan dapat dilihat dari usahausaha yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga
kenegaraan yang terkait dengan isu ini. Lembagalembaga kenegaraan yang memiliki keterkaitan
dengan manufaktur berkelanjutan antara lain adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, dan Komite Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia.
128

Beberapa upaya yang dilakukan oleh Kementerian
Perindustrian RI antara lain adalah pemberian
penghargaan pada kawasan industri dengan kinerja
terbaik dalam pengelolaan lingkungan, menjajaki
kerjasama dengan pemerintah dan investor asing
dalam melakukan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, menerbitkan modul e-learning
mengenai pengelolaan limbah industri pangan,
merilis jurnal-jurnal yang berisi tentang penelitianpenelitian yang membahas mengenai reduksi
cemaran industri, teknologi untuk pemanfaatan
bahan baku, dan inovasi kemasan produk. Pentingnya proses manufaktur berkelanjutan juga diresmikan dengan adanya UU no. 3 tahun 2013 pasal 77
hingga 83 mengenai industri hijau.
Industri hijau sendiri didefinisikan sebagai industri
yang dalam proses produksinya mengutamakan
upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber
daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat. Dalam mewujudkan
industri hijau, pemerintah melakukan perumusan
kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, standardisasi, dan pemberian fasilitas. Penguatan kapasitas kelembagaan sendiri dilakukan dengan penelitian dan pengembangan, pengujian, sertifikasi dan
juga promosi. Kementerian Perindustrian Republik
Indonesia (Kemenperin) juga sudah mulai melakukan inventarisasi Gas Rumah Kaca pada sektor
industri sebagai bagian dari kesadaran manufaktur
berkelanjutan (Kementrian Perindustrian Republik
Indonesia [27]).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menyebutkan visinya untuk berperan
dalam pelaksanaan pembangungan berkelanjutan
dengan menekankan pada konsep ekonomi hijau.
Dalam hubungan langsung dengan manufaktur,
KLHK telah menetapkan tanggal 1 Januari 2015
sebagai tanggal jatuh tempo manufaktur dan atau
perakitan refrigerasi dan air conditioner (AC) untuk
mengalihkan penggunaan hydrochlorofluorocarbon
(HCFC) ke teknologi non-HCFC dimana penggunaan HCFC dapat merusak lapisan ozon di atmosfer
bumi.
Selain itu KLHK juga mempromosikan produksi
hijau di kalangan perusahaan dengan melangsungkan Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan (PROPER). Dalam program ini dilakukan penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam
pengelolaan lingkungan. Materi yang diperhitungkan dalam PROPER sendiri cukup banyak, diantaranya sistem manajemen lingkungan, efisiensi
energi, efisiensi air, penurunan emisi, keanekaragaman hayati, penurunan dan pemanfaatan lim-

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

bah bahan berbahaya dan beracun (B3), recyclereuse-reduce (3R) limbah padat non-B3, pemberdayaan masyarakat, dan dokumen ringkasan kinerja
pengelolaan lingkungan (DRKPL) (Sekretariat
PROPER [28])
Peranan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia (ESDM) ditandai
dengan dibentuknya sebuah badan bernama “Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi
Energi” (P3TKEBTKE). Program-program seperti
Clean Stove Initiative (CSI) juga diluncurkan dalam
upaya mengurangi polutan yang dihasilkan rumah
tangga dimana program ini merupakan sebuah
program yang bertujuan untuk meningkatkan akses
masyarakat pada tungku sehat dan hemat energi
(Kementrian ESDM Republik Indonesia [29]).
Peran Akademia dalam Manufaktur Berkelanjutan
Dalam mendukung terjadinya manufaktur berkelanjutan di Indonesia peran akademia sudah
tidak dipertanyakan lagi. Akademia menjadi ujung
tombak penelitian tentang manufaktur berkelanjutan dan edukasi mengenai hal ini kepada
masyarakat dan mahasiswa. Tantangan yang
dihadapi saat ini adalah bagaimana menerapkan
konsep keberlanjutan bukan hanya sebagai topik
spesifik namun terintegrasi di seluruh bidang studi.
Dengan menghangatnya isu keberlanjutan di industri dan pemerintah, lulusan perguruan tinggi
diharapkan untuk dapat siap dari sisi pengetahuan,
kemampuan dan juga sikap.
UNESCO telah menetapkan suatu agensi untuk
Education for Sustainable Development (ESD). Dalam programnya, ESD mengintegrasikan isu-isu
pengembangan berkelanjutan dalam pengajaran
dan pembelajaran. Topik-topik kuncinya antara lain
perubahan iklim, pengurangan resiko bencana,
biodiversiti, pengurangan kemiskinan, dan konsumsi berkelanjutan. Program ini juga bertujuan untuk
memotivasi dan memberdayakan anak didik untuk
mengubah perilaku menuju pembangunan berkelanjutan. Kompetensi yang ditekankan antara lain
cara berpikir kritis, membayangkan keadaan di
masa depan dan membuat keputusan secara kolaboratif (UNESCO [30, 31]).
Khalili et al. [12] melakukan survey mengenai integrasi konsep keberlanjutan dalam pendidikan
tinggi. Survey dilakukan di Amerika Serikat dan
Tiongkok. Hasil survey menyarankan jenis program
yang dapat dilakukan pada pendidikan tinggi.
Urutan pengembangannya adalah: (1) Memberikan
paparan pengetahuan umum mengenai pem129

bangunan berkelanjutan. (2) Mengintegrasikan
konsep dasar pengembangan berkelanjutan pada
setiap mata kuliah. (3) Memajukan penelitian di
area pengembangan berkelanjutan. (4) Mengembangkan konsentrasi/minor dalam bidang pengembangan berkelanjutan. (5) Merancang program
pasca sarjana dalan bidang keberlanjutan.
Tantangan yang dihadapi saat ini di Indonesia
adalah bagaimana menerapkan konsep keberlanjutan bukan hanya sebagai topik spesifik namun
terintegrasi di seluruh bidang studi. Hal ini bisa
dimulai dari berbagai level pendidikan mulai dari
kesadaran lingkungan di tingkat dasar dan menengah, mengintegrasikan konsep dasar dengan
konsep pengembangan berkelanjutan di seluruh
tingkatan dan bidang studi, pengembangan penelitian ke arah pengembangan berkelanjutan, serta
pengembangan program studi khusus di bidang ini.
Contohnya dalam bidang perancangan produk, produk yang dirancang harusnya sudah mempertimbangkan dampak lingkungan, ekonomi dan sosial
dari keseluruhan daur hidup produk, mulai dari
pemilihan material, proses, metode perakitan, distribusi, penggunaan oleh konsumen, dan juga akhir
hidup produk. Semakin menghangatnya isu keberlanjutan di industri dan pemerintah, lulusan
perguruan tinggi diharapkan untuk dapat siap dari
sisi pengetahuan, kemampuan dan juga sikap

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan studi kasus yang
dilakukan, tantangan terbesar dalam pelaksanaan
manufaktur berkelanjutan atau manajemen keberlanjutan adalah kurangnya kesadaran akan adanya
isu keberlanjutan. Dalam suatu organisasi atau
perusahaan, kesadaran ini penting karena keterlibatan manajemen dalam implementasi manufaktur berkelanjutan sangatlah penting. Kendala
utama dalam penerapannya adalah kurang atau
tidak adanya komitmen dari manajemen utama dan
keterbatasan data. Pencatatan data belum menjadi
kebiasaan dalam perusahaan. Untuk sebagian besar
SME, aspek ekonomi menjadi masalah utama
karena keterbatasan sumber daya dan pendapatan
yang belum stabil.
Peran pemerintah dalam mendorong terjadinya
manufaktur berkelanjutan sudah mulai terlihat,
walaupun kebanyakan dari program-program tersebut masih bersifat sukarela. Diharapkan turut campur pemerintah untuk lebih mendorong terjadinya
keberlanjutan melalui inventarisasi proses dan data
dan tindakan yang tegas bagi pelanggar lingkungan
dan sosial, misalnya melalui sosialisasi standardisasi lingkungan, pelaksanaan Life Cycle Assessment, pelaporan emisi gas rumah kaca, data

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

kegiatan peningkatan kesejateraan karyawan dan
lain-lain. Adanya isu keberlanjutan dan pentingnya
isu ini bagi kemajuan bangsa menjadi kesempatan
bagi akademia untuk mempersiapkan anak
didiknya dengan pengetahuan, kemampuan dan
perilaku yang mendukung terjadinya manufaktur
berkelanjutan.
Penelitian selanjutnya diperlukan eksplorasi yang
lebih mendalam mengenai komitmen industri dalam
manufaktur berkelanjutan dan hambatan dan tantangan yang mereka alami sehingga dapat diidentifikasi hambatan dan tantangan tersebut berdasarkan jenis industrinya.

Ucapan Terima Kasih
Kami berterimakasih atas dukungan dari Penelitian
Hibah Bersaing dengan surat penugasan dari
Universitas Pelita Harapan nomor: 029/LPPMUPH/III/2015 dan penugasan Kopertis 3 No.
:108/K3/KM/2015

Daftar Pustaka
1. US EPA, US Environmental Protection Agency,
Sustainable Manufacturing, Sustainable Manufacturing, 2015. Available: http:// www.epa.gov/
sustainablemanufacturing/. Accessed: 17-Aug2015.
2. O’Brien, C., Sustainable Production: A New
Paradigm for a New Millennium, International
Journal of Production Economic, 60, 1999, pp. 1–
7.
3. Westkämper, E., Alting, and Arndt, Life Cycle
Management and Assessment: Approaches and
Visions towards Sustainable Manufacturing
(keynote paper), CIRP Annual-Manufacture.
Technology, 49(2), 2000, pp. 501–526.
4. Rashid, A. S. H., Evans, S. and Longhurst, P., A
Comparison of Four Sustainable Manufacturing
Strategies, International Journal of Sustainable
Engineering, 1(3), 2008, pp. 214–229.
5. Bocken, N. M. P., Short, S. W., Rana, P., and
Evans, S., A Literature and Practice Review to
Develop Sustainable Business Model Archetypes,
Journal of Cleaner Production, 65(2), 2014, pp.
42–56.
6. Reich-Weiser, C., Simon, R., Fleschutz, T., Yuan,
C., Vijayaraghavan, A., and Onsrud, H., Metrics
for Green Manufacturing, in Green Manufacturing, Dornfeld, D. A., Ed. Springer US, 2013,
pp. 49–81
7. Huang, Y., Luo, J., and Xia, B., Application of
Cleaner Production as an Important Sustainable
Strategy in the Ceramic Tile Plant: A Case Study
in Guangzhou, China, Journal of Cleaner
Production, 43, 2013, pp. 113–121.
130

8. Büyükbay, B., Ciliz, N., Goren, G. E., and
Mammadov, A., Cleaner Production Application
as a Sustainable Production Strategy, in a
Turkish Printed Circuit Board Plant, Resources.
Conservation and Recycle, 54(10), 2010, pp. 744–
751.
9. Almeida, C. M. V. B., Bonilla, S. H., Giannetti, B.
F., and Huisingh, D., Cleaner Production Initiatives and Challenges for a Sustainable World: An
Introduction to This Special Volume, Journal of
Cleaner Production, 47(5), 2013, pp. 1–10.
10. van Hoof, B., and Lyon, T. P., Cleaner Production
in Small Firms Taking Part in Mexico’s
Sustainable Supplier Program, Journal of
Cleaner Production, 41, 2013, pp. 270–282.
11. Niinimäki, K., and Hassi, L., Emerging Design
Strategies in Sustainable Production and
Consumption of Textiles and Clothing, Journal of
Cleaner Production, 19(16), 2011, pp. 1876–1883.
12. Khalili, N. R., Duecker, S., Ashton, W., and
Chavez, F., From Cleaner Production to Sustainable Development: The Role of Academia,
Journal of Cleaner Production, 96(6), 2014, 3043
13. Grutter, J. M., and Egler, H.-P., From Cleaner
Production to Sustainable Industrial Production
Modes, Journal of Cleaner Production, 12(3),
2004, pp. 249–256.
14. Narayanaswamy V., and Stone, L., From Cleaner Production to Sustainable Production and
Consumption in Australia and New Zealand:
Achievements, Challenges, and Opportunities,
Journal of Cleaner Production, 15,(8–9), 2007,
pp. 711–715.
15. Dornfeld, D., Yuan, C., Diaz, N., Zhang, T., and
Vijayaraghavan, A., Introduction to Green Manufacturing, in Green Manufacturing, Springer,
2013, pp. 1–23.
16. Guinée, J. B., Handbook on Life Cycle Assessment Operational Guide to the ISO Standards,”
International Journal of Life Cycle Assessment,
7(5), 2002, pp. 311–313.
17. ISO, International Standard Organisation, ISO
14040: Environmental Management - Life Cycle
Assessment - Principles and Framework. 1997.
18. LCI, Life Cycle Initiatives, Social Life Cycle
Assessment (S-LCA) | Life Cycle Initiative,
2015. Available: http://www.lifecycleinitiative.org/
starting-life-cycle-thinking/life-cycle-approaches/
social-lca/. Accessed: 19-Aug-2015.
19. UNEP-SETAC Life Cycle Initiative, Guidelines
for Social Life Cycle Assessment of Products, U. N.
Environ. Programme ISBN, 2009, pp. 978–92.
20. Lowell Centre for Sustainable Production,
Lowell Center for Sustainable Production, 2015.
Available: ttp://www.sustainableproduction.org/.
Accessed: 28-Jun-2015.

Hanafi / Menuju Manufaktur Berkelanjutan di Indonesia/ JTI, Vol. 17, No. 2, Desember 2015, pp. 123-132

21. Krajnc, D., and Glavič, P., Indicators of Sustainable Production, Clean Technology Environment
Policy, 5(3-4), 2003, pp. 279–288.
22. Hanafi, J., Kara, S., and Kaebernick, H.,
Reverse Logistics Strategies for End-of-Life Products, International Journal of Logistic. Management, 19(3), 2008, pp. 367–388.
23. Schneider, L., and Wallenburg, C. M., Implementing Sustainable Sourcing: Does Purchasing
Need to Change? Journal of Purchasing. Supply
Management, 18(4), 2012, pp. 243–257.
24. N. US Department of Commerce, NIST Sustainable Manufacturing Indicators Repository (SMIR),
05-Nov-2010. Available: http://www.mel.nist. gov/
msid/SMIR/index.html. Accessed: 17-Aug-2015.
25. WoLCARI 2015, Indonesian Life Cycle Assessment Network. Available: http://www.ilcan.or.id/
events/wolcari-2015/. Accessed: 14-Nov-2015.
26. Global Reporting, Global Reporting Initiative.
Available: https://www.globalreporting.org/.
Accessed: 14-Nov-2015.
27. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia,
Inventarisasi Gas Rumah Kaca, 2015. Available:
http://grkindustri.kemenperin.go.id/. Accessed:
19-Aug-2015.

131

28. Sekretariat PROPER Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER),
2015. Available: http://proper.menlh.go.id/portal/.
Accessed: 19-Aug-2015.
29. Kementerian ESDM Republik Indonesia, Pemerintah Luncurkan Kompor Tungku Sehat Kementerian ESDM Republik Indonesia,
Agustus 2014. Available: http://ebtke.esdm.go.id/
post/2014/08/14/648/pemerintah.luncurkan.kom
por.tungku.sehat. Accessed: 19-Aug-2015.
30. UNESCO, UNESCO | Teaching and Learning
for a Sustainable Future, 2010. Available:
http://www.unesco.org/education/tlsf/. Accessed:
19-Aug-2015.
31. UNESCO, Education for Sustainable Development | Education | United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2015.
Available:http://www.unesco.org/new/en/
education/themes/leading-the-internationalagenda/education-for-sustainable-development/.
Accessed: 19-Aug-2015.