kesultanan ternate

NAMA : BADRUN
KELAS : XII-3 PERTANIAN
KESULTANAN TERNATE
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di
Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate
memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan
rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang
mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan
kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan
warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing
dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan
hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah.
Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu
dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman
yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona
diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat
seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di
kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga
oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang
menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate,
sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di
bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah
kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh
dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Struktur Kerajaan
Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk
kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan
abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam
diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan
gelar sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala
raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan yang
menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu,
masing–masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan


Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila seorang
sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada
jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau,
Salahakan, Sangaji, dll.
Moloku Kie Raha

Lukisan pemandangan Pulau Ternate dengan Gunung Gamalama-nya (sekitar tahun 18831889).
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki pengaruh
yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Kerajaan–kerajaan ini
merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan
rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk
memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini
menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku yang
memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang.
Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau
disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Maluku yang lain
untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian
dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain
terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh
karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai

persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam

Sigi Lamo, masjid peninggalan Kesultanan Ternate.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat
Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di

Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam
namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan.
Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan
abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum
adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal
Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan
sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian
diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan
madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam

dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa
(Sultan Cengkih).
Perlawanan Rakyat Maluku dan Kejatuhan Ternate

Pengawal Sultan Ternate pada tahun 1910-an.

Ngara Lamo, gerbang Istana Kesultanan Ternate pada tahun 1910-an.
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda
dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap
Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan
semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan
bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.


Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang
merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkeh
dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang
menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja
muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu dan


Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan
Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya
pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita
Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.


Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan
Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675)
yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para
bangsawan berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang
utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah
seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah
raja muda Ambon sementara Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah.
Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku Tengah sementara Pangeran
Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka
bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat
Sultan Manilha (1650–1655), namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah
kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan.
Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran Majira dan
Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.




Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori
(1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia
kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao,
namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah
strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan
Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan
terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa
menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan
dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.

Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang
mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena
selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam.
Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah
pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil

menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena
keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan
tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan
Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya
berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47,
Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita,
dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama
14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat
muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun

niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu
pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di
Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
Warisan Ternate

Istana Kesultanan Ternate di kaki Gunung Gamalama, Kota Ternate.

Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan
abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih
terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam
kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan
Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat-istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang besar dalam
upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan
bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang
diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua
kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.
Keberhasilan rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada tahun
1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya
Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat
atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan
sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen
seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa
Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya.
Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa
Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak

terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46%
kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari Bahasa Ternate. Bahasa Melayu Ternate ini
kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi
Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda–beda.[9]
Dua naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27
April dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah
Melayu Tanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di
Museum Lisabon, Portugal

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Latar belakang dibuatnya makalah ini adalah untuk melengkapi tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam. Proses pendidikan tidak hanya terpusat pada buku LKS yang
kurang lengkap karena itu lah kami nyusun makalah untuk melengkapi materi tentang
Kerajaan Ternate serta Tidore yang bersumber dari Internet.
B.
1.
2.
3.


Tujuan
Memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
Menambah pengetahuan
Mengetahui sejarah kerajaan – kerajaan islam

BAB II
PEMBAHSAN

Kerajaan Ternate danTidore
A. Letak Kerajaan
Secara geografis Kerajaan Ternate dan Tidore memiliki letak yang sangat penting
dalam dunia perdagangan pada masa itu. Kedua kerajaan ini terletak di daerah Kepulauan
Maluku.
Pada masa itu, Kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar, sehingga
dijuluki sebagai "the Spice Island". Rempah-rempah menjadi komoditi utama dalam dunia
pelayaran perdagangan saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang
datang ke daerah Timur bertujuan untuk menemukan sumber rempah-rempah. Oleh karena
itu/ muncullah hasrat untuk menguasai rempah-rempah tersebut.Keadaan seperti ini, telah
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi,

sosial, dan budaya.

B. Kehidupan Politik
Di Kepulauan Maluku banyak terdapat kerajaan kecil, di antaranya Kerajaan Ternate
sebagai pemimpin Uli Lima, yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya
mencakup pulau-pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram, dan Ambon. Sementera itu, Kerajaan
Tidore memimpin Uli Siwa, yang berarti persekutuan sembilan bersaudara dengan
wilayahnya mencakup pulau-pulau Makayan, Jahilolo atau Halmahera, dan pulau-pulau di
antara daerah itu sampai dengan Irian Barat.
Ketika bangsa Portugis masuk ke Maluku, Portugis langsung memihak dan membantu
Ternate pada tahun 1521. Hal ini dikarenakan Portugis mengira Ternate lebih kuat. Begitu
pula bangsa Spanyol yang ketika datang di Maluku langsung membantu Tidore. Terjadilah
perselisihan antara kedua bangsa kulit putih tersebut di daerah Maluku. Untuk menyelesaian
perselisihan kedua bangsa itu, Paus turun tangan dan menen-tukan garis batas wilayah timur
melalui Perjanjian Saragosa. Dalam Perjanjian Saragosa dinyatakan bahwa bangsa Spanyol
harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis tetap menguasai
daerah-daerah di Maluku. Sultan Hairun Untuk dapat memperkuat kedudukannya di Maluku,
Portugis mendirikan benteng yang diberi nama Benteng Santo Paulo. Namun semakin lama
tindakan Portugis semakin dibenci oleh rakyat dan bahkan oleh para pejabat Kerajaan
Temate. Sultan Hairun, penguasa Ternate, semakin bertambah bend (anti) melihat tindakantindakan dan gerak-gerik bangsa Portugis. Oleh karena itu. Sultan Hairun secara terangterangan menentang politik monopoli dari bangsa Portugis.
Sultan Baabullah Dengan kematian Sultan Hairun, rakyat Maluku di bawah pimpinan
Sultan Baabullah (putra Sultan Hairun), bangkit menentang Portugis. Tahun 1575 M, Portugis
dapat

dikalahkan

dan

diberi

kesempatan

untuk

meninggalkan

benteng.

Pada tahun 1578 M, bangsa Portugis juga ingin mendirikan benteng di Ambon, tetapi tidak
lama kemudian bangsa Portugis pindah ke daerah Timor Timur dan berkuasa di sana sampai
tahun 1976. Sesudah tahun 1976 wilayah Timor Timur berintegrasi ke dalam wilayah
Republik Indonesia hingga tahun 1999. Akan tetapi, setelah melalui jejak pendapat 1999,
rakyat Timor-Timur memilih merdeka.
C. Kehidupan Ekonomi

Tanah di Kepulauan maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan
hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke
12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang
penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar dari maluku mengakibatkan
terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung
perekonomian masyarakat.
Pada abad ke-14 M di kawasan Maluku Utara telah berdiri empat kerajaan terkenal,
yaitu Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan. Masing-masing kerajaan dikepalai oleh seorang
kolano. Menurut cerita rakyat Maluku, keempat kerajaan tersebut berasal dari satu keturunan,
yaitu Jafar Sadik. Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Ternate peranannya lebih
menonjol karena penduduknya bertambah banyak dan berhasil mengembangkan perdagangan
rempah-rempah. Rempah-rempah adalah tanaman yang memiliki zat yang dapat digunakan
untuk member bau atau rasa khusus kepada makanan (menjadi bumbu masak) dan
dimanfaatkan untuk pengobatan serta dapat juga menghangatkan tubuh. Contoh rempahrempah, yaitu cengkih dan lada. Pada saat itu, rempah-rempah umumnya diperlukan bangsabangsa Eropa sehingga harganya cukup tinggi dan telah membuat makmur rakyat di Maluku.
Kemajuan Kesultanan Ternate ternyata membuat cemburu kerajaan-kerajaan lain di
Maluku. Beberapa kali Ternate dan Tidore, Bacan, dan Jailolo terlibat dalam peperangan
memperebutkan hegemoni rempah-rempah. Akan tetapi, mereka mampu mengakhirinya di
dalam perundingan di Pulau Motir. Dalam Persetujuan Motir ditetapkan Ternate menjadi
kerajaan pertama, Jailolo kedua, Tidore ketiga, dan Bacan yang keempat.
Pada pertengahan abad ke-15 M kegiatan perdagangan rempah-rempah di Maluku
semakin bertambah ramai. Banyak sekali pedagang Jawa, Melayu, Arab, Cina dan India yang
dating ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Sebaliknya, mereka membawa beras,
tenunan, gading, perak, manic-manik, dan piring mangkuk berwarna biru buatan Cina.
Bangsa-bangsa di Maluku amat membutuhkan barang tersebut, terutama beras karena areal
Maluku lebih banyak digunakan untuk penanaman rempah-rempah daripada penanaman
beras. Kerajaan-kerajaan di Maluku sangat akrab dalam menjalin hubungan ekonomi dengan
para pedagang dari Jawa semenjak zaman Kerajaan Majapahit. Bandar-bandar seperti
Surabaya, Gresik, dan Tuban sering sekali dikunjungi para pedagang Maluku. Sebaliknya,
pedagang-pedagang dari Jawa datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Hubungan

kedua belah pihak ini sangat berpengaruh terhadap proses penyebaran agama Islam ke
Maluku.
Di dalam kitab Sejarah Ternate diterangkan bahwa Raja Ternate yang pertama kali
menganut agama Islam adalah Zainal Abidin (1465-1486 M). Sultan Zainal Abidin semasa
belum masuk Islam bernama Gapi Buta dan setelah meninggal beliau disebut Sultan
Marhum. Raja Tidore yang pertama kali masuk Islam adalah Cirililiyah yang kemudian
berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin.
Ketika Ternate di bawah kekuasaan Sultan Ben Acorala dan Tidore di bawah Sultan
Almancor, keduanya berhasil mengangkat kerajaan menjadi negeri yang sangat makmur dan
sangat kuat. Kedua bangsa ini memiliki ratusan perahu kora-kora yang digunakan untuk
berperang ataupun mengawasi lautan yang menjadi wilayah dagangnya. Di ibukota Ternate,
yaitu Sampalu banyak didirikan rumah-rumah di atas tiang yang tinggi-tinggi dan keratin
yang dikelilingi pagar-pagar. Begitu juga kota di Tidore yang dikelilingi pagar tembok, parit,
benteng, dan lubang perangkap sehingga sukar untuk ditembus musuh. Ternyata, kemajuan
kedua kesultanan tersebut menjurus kepada perebutan pengaruh dan kekuasaan terhadap
daerah di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam abad ke-17 M muncullah dua buah persekutuan
yang terkenal dengan sebutan Uli Lima danUli Siwa. Persekutuan Uli Lima dipimpin oleh
Ternate dengan anggota Ambon, Bacan, Obi, dan Seram. Persekutuan Uli Siwa dipimpin oleh
Tidore dengan anggota yang mencakup Makean, Halmahera, Kai, dan pulau-pulau lain
hingga ke Papua bagian barat.
Kesultanan Ternate mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan Baabullah,
sedangkan Kesultanan Tidore di bawah pimpinan Sultan Nuku. Persaingan di antara kedua
kesultanan tersebut dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa asing dari Eropa terutama Spanyol dan
Portugis dengan cara mengadudombakannya. Tujuannya tidak lain adalah ingin memonopoli
daerah rempah-rempah tersebut.
D. KehidupanSosial
Kedatangan bangsa portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan
dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama
katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera,
Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius.Seperti sudah diketahui, bahwa
sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam.

Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis
untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah
terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang
Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa.
Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama
Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah
sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat.
Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni
Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan
tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku pada zaman
kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul gerakan menentang Kompeni
Belanda.
E. KehidupanBudaya
Rakyat Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian tampaknya tidak begitu
banyak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan karya-karya dalam bentuk kebudayaan.
Jenis-jenis kebudayaan rakyat Maluku tidak begitu banyak kita ketahui sejak dari zaman
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore.
1. Kerajaan Ternate
Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate
terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri
kerajaan lain, seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku,
Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang, baik
dari Nusantara maupun pedagang asing.
Kemunduran Kerajaan Ternate
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore
yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli
daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar
bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan
tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai

perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan
tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
2. KerajaanTidore
Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan
Tidore, Raja Ternate pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M.
Baru pada tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah,
Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat
dakwah Syekh Mansur dari Arab.
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805
M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan
Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara
itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang
cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh
Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean
Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya,
Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate
yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli
daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar
bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan
tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan
tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerajaan Ternate danTidore
Kerajaan Ternate dan Tidore memiliki letak yang sangat penting dalam dunia
perdagangan pada masa itu. Kedua kerajaan ini terletak di daerah Kepulauan Maluku.
Pada masa itu, Kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar, sehingga
dijuluki sebagai "the Spice Island".
B. Saran
Kita perlu mempelajari sejarah kerajaan – kerajaan islam. Dan kita perlu
Mengembangkan wawasan kita tentang sejarah. Karena itu termasuk hal penting