Intervensi VOC dalam konflik suksesi di kesultanan Banten 1680-1684
(2)
(3)
(4)
(5)
i ABSTRAK
INTERVENSI VOC DALAM KONFLIK SUKSESI DI KESULTANAN BANTEN (1680-1684)
Kesultanan Banten adalah kerajaan dagang maritim bebas, yang terbesar dan terakhir di Jawa selama abad ke-17. Kesultanan Banten menjadi saingan berat VOC dalam upaya merkantilisme di dunia dan di Nusantara.
Ketika VOC mencengkeram tanah Jayakarta pada 1619, telah berusaha untuk menghancurkan Kesultanan Banten dengan segala cara, termasuk dengan intervensi dan kekuatan militer. Terjadinya konflik intern Kesultanan Banten pada tahun 1680, membuat VOC merasa perlu untuk turun tangan menanganinya, agar pihak yang dibantu dapat dikuasai secara politis untuk keuntungan VOC sendiri.
Masalah suksesi di Kesultanan Banten yang terjadi di tahun 1680 hingga 1684, mengundang Intervesi VOC. Terjadi perang terbuka antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Pangeran Haji yang dibantu oleh VOC, yang mengakibatkan runtuhnya kedaulatan Kesulatan Banten. Ketika perang telah usai di tahun 1684, Kesultanan Banten malah berada di bawah bayang-bayang VOC dan menjadi kerajaan bawahannya dan Kesultanan Banten telah kehilangan kedaulatannya di beberapa bidang yang sangat penting, terutama peradagangan dan kekuasaan teritorial.
Kata Kunci:Banten kehilangan kedaulatan dan harga diri,Pergantian Kekuasaan (Suksesi),
(6)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puja dan puji dan syukur bagi Allah SWT. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia melalui risalah agung yang dibawanya, yakni agama Islam yang akan menyelamatkan serta mengantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Skripsi yang berjudul “Intervensi VOC Dalam Konflik Suksesi Di Kesultanan Banten 1680-1684”, ditulis dalam rangka menyelesaikan studi Strata satu (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, banyak mengandung kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik untuk perbaikan kedepannya.
Demikianlah, semoga skripsi ini bisa memberikan tambahan kekayaan khazanah literature Sejarah dan Kebudayaan Islam.
(7)
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Karya ilmiah ini dapat diselesaikan atas bantuan banyak pihak baik moral maupun material. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang setingi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Sukron Kamil M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Nurhasan M.A, selaku ketua jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Shalikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Seketaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Saidun Deirani, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan ikhlas membimbing serta mengarahkan penulis sehingga karya tulisan ini dapat diselesaikan. Semoga ilmu yang diwariskan bermanfaat dan bisa penulis amalkan.
5. Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum dan Dr Parlindungan Siregar, M.A, selaku penguji skripsi yang telah memberikan masukan demi layaknya skripsi penulis .
6. Seluruh dosen Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.
7. Orang tua tercinta; ayahanda Romlih dan ibunda Rohani. Terima kasih yang tulus, rasa
ta’dzim dan hormat penulis haturkan atas kesabaran, nasihat dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini wujud ‘bangga’ untuk ayahanda dan ibunda dari Kanda, semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amien.
(8)
iv
8. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih pada teman-teman SKI Angkatan 2008: Dede Maulana Asep Dewantara, Muhammad Hasan syahru R, Imam Mukorobin, Imam Agung Firdaus, Taufan prasetyo, Tri Aprianto Amir, Baihaqi Nabilunnuha, Ahmad Supandi, Muhammad Sukri, patimah, Nurdiana, Sifa Fauziah, Safitri, Fauziah Fitriani, Laili Sahlah, Siti Nurhasanah.
9. Ucapkan terima kasih penulis ucapkan kepada mas Reihan Biadilah. S.Hum yang dengan iklas membantu dan menemani dalam pencarian sumber, sehingga skripsi dapat diselesaikan.
Semoga semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Sebagai akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Tangerang, 19 Oktober 2015
(9)
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK…..………i
LEMBAR PENGESAHAN.………..ii
LEMBAR PERNYATAAN..……….iv
KATA PENGANTAR...………...v
DAFTAR ISI………..………viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..………...1
B. Kerangka Tujuan..………..5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.………..6
D. Tinjauan Pustaka………...6
E. Pendekatan dan Landasan Teori………8
F. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian………..11
G. Sistematika Pembahasan………..14
BAB II GAMBARAN UMUM A. Geografis.………..16
1. Kondisi Wilayah..………16
2. Jaringan Transportasi..……….18
B. Politik Kesultanan Banten Sebelum Intervensi VOC.………..19
(10)
vi
2. Hubungan Diplomatik………22
a. Hubungan Diplomatik Sultan Ageng Tirtayasa………22
b. Hubungan Diplomatik Sultan Haji………...24
C. Ekonomi………...25
1. Aktifitas Perdagangan………....25
2. Aktifitas Longistik………...26
D. Agama………...27
1. Perkembangan Islam………...27
BAB III PROSES KONFLIK SUKSESI KEKUASAAN DAN MASUKNYA INTERVENSI VOC A. Perebutan Kekuasaan ………...30
1. Konsep Kekuasaan……….30
2. Potensi Konflik Intern Antar Bangsawan Kesultanan Banten………...32
B. Jalannya Konflik..………...34
1. Intrik Politik Dalam Istana Kesultanan Banten..………...34
2. Perang Terbuka Antar Bangsawan Kesultanan Banten..………...36
C. Intervensi VOC Dalam Masalah Suksesi di Kesultanan Banten .………...40
1. Maksud dan Tujuan ..………40
a. Monopoli Perdagangan..……….40
b. Penetrasi Politik..………43
2. Operasi Militer VOC……….45
(11)
vii
b. Ekspedisi Militer Penaklukan Banten………..47
BAB IV DAMPAK INTERVENSI VOC TERHADAP KESULTANAN BANTEN A. Runtuhnya Kedaulatan Kesultanan Banten………..49
1. Munculnya Supermasi Politik VOC Terhadap Kekuasaan Banten…………49
2. Hilangnya Hegemoni Kesultanan Banten Terhadap Ekonomi………...51
a. Perdagangan………..51
b. Kontrol Wilayah………....54
B. Perubahan Geopolitik di Pulai Jawa..………...55
1. VOC Sebagai Penguasa Tunggal di Pulau Jawa ...……….55
2. Terbentuknya Persekutuan Politik Terhadap Tahta Banten ..………....57
a. Konsesi…..………...57
b. Kopensasi..………...59
BAB V KESIMPULAN A. Hasil-hasil yang didapat……….61
B. Saran-saran………62
DAFTAR PUSTAKA
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahBerdasarkan letak geografis Banten terletak di ujung Barat pesisir Utara Jawa, yang pernah menjadi sebuah Negara yang secara politik tak terlalu kuat tetapi secara ekonomi sangatlah kaya.1 Kesultanan Banten pada awalnya merupakan sebuah wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Cirebon, pasca runtuhnya tahta Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggana.2 Setelah tahun 1570, Banten di bawah Sultan Hasanuddin, memisahkan diri dari Cirebon. Wilayah kekuasaan Kesultanan Banten sejak tahun 1570 hingga 1670 meliputi daerah Jayakarta (lepas ke tangan VOC sejak 1619), Banten (seluruh daerah propinsi Banten sekarang) dan sebagian besar daerah Lampung. Batas daerah kekuasaan Banten di barat hingga ke perbatasan dengan Kesultanan Palembang, di sebelah timur berbatasan dengan kota benteng Batavia dan punggung timur gunung Halimun yang menjadi kekuasaan Mataram sejak Sultan Agung.3
Sultan adalah gelar yang diperoleh penguasa Banten dari Turki Utsmani melalui Syarif Makkah pada tahun 1638. Raja Kesultanan Banten yang dianggap terbesar, adalah Sultan Ageng Tirtayasa, dia adalah Sultan terlama yang menduduki tahta Banten sejak tahun 1651 hingga 1682. Akhir kekuasaannya ditandai dengan perebutan kekuasaan dan intrik-intrik intern mulai merebak di Kesultanan Banten, dengan dampak politik yang berkepanjangan di antara keluarga raja, serta masuknya intervensi VOC.
1
Claude Guillot, Banten : Sejarah dan Peradaban Abad V-XVII (Jakarta: Kepustakaan populer Gramedia, 2011). Hal. 201.
2
Darmawijaya,Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm.69. 3
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: KANISIUS, 1994),hlm.30.
(13)
Vereenidge de Oost Indische Compagnie (VOC) sejatinya adalah sebuah persekutuan dagang Hindia Timur yang berdiri pada tahun 1602. Salah satu tujuan utamanya adalah merebut hegemoni perdagangan dari para raja atau pedagang pribumi.4 Embrio VOC sejatinya sudah mulai berdagang di Banten pada tahun 1596 dibawah perusahaan dagang berbernama Compagnie Van Verre, yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman5. Namun etika orang Belanda pada pelayaran pertama saat itu sangat buruk, sehingga mereka diusir dari Banten.VOC kemudian didirikan dan berpusat di Ambon hingga tahun 1619.
Padadasarnya VOC hanya membatasi diri pada kegiatan perniagaan di Batavia, namun dalam perkembangan selanjutnya VOC berdiri di antara dua sisi, VOC mulai merambah ke dalam perpolitikan Kesultanan Banten, sebab yang paling dibutuhkan VOC adalah monopoli perdagangan terutama di Selat Sunda. Masalah suksesi di Kesultanan Banten menimbulkan dampak,yaitu datangnya intervensi kekuasaan asing (VOC-Belanda).6
Ketika terjadi perebutan kekuasaan di Kesultanan Banten antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Pangeran Haji, bantuan VOC terhadap Pangeran Haji dalam memerangi ayahnya, tentu harus diberengi oleh konsesi dan kompensasi.Hal ini jelas telah menyimpang dari garis politik, yang secara gigih diperjuangkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang anti VOC. Terjadinya konflik suksesi serta semboyan devide et impera oleh VOC, membuat tahta Kesultanan Banten menjadi semakin tergantung dari pihak
4
J. Bruijn dan FS. Gaastra,Dutch Asiatic Shipping in The 17thand 18 Centuries, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1987), hlm.1-22.
5
Nina Herlina Lubis,Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), hlm. 44
6
Daliman,Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 177.
(14)
VOC, yang mensuplai senjata dan personel militer bagi calon raja yang meminta bantuan kepada VOC.7
VOC yang berpusat di Batavia menjadi sangat besar perannya, sebagai pelindung dan penjaga raja dari pihak-pihak yang ingin menggoyang kekuasaannya, hanya raja yang mendapat bantuan dan jaminan dari VOC akan tetap bertahan, terbukti hanya putra mahkota yang mendapat dukungan VOC akan dapat naik tahta.8VOC setelah menunggu hampir 50 tahun, setelah para Sultan Banten melancarkan ekspedisi militer dan gangguan terus-menerus ke Batavia sejak tahun 1630, akhirnya mendapat kesempatan pada tahun 1680 dan VOC setelah itu berhasil menjadikan raja Banten
sebagai “Raja Kompeni”, yang bertindak dan berhaluan ala Kompeni.9
Kekacauan politik di pulau Jawa melawan VOC, dengan banyaknya pemberontakan, mulai dari pemberontakan Trunojoyo dan Surapati (sejak 1677 hingga 1710) yang disokong oleh Sunan Mataram Amangkurat III, hampir saja menggoyang VOC di Kartasura,10 namun dia dan Surapati akhirnya dikalahkan di Pasuruan oleh pasukan gabungan Mataram-VOC pada 1710.11Banten yang merupakan satu-satunya kekuatan tandingan yang masih independen, membuat VOC bersemangat untuk menguasai seluruhnya, terutama daerah pantainya. Banten hingga tahun 1680, adalah satu-satunya daerah di Jawa yang belum dikuasai VOC dan menjadi bandar dagang.12
7
Ibid.,hlm. 285. 8
Moedjanto,Konsep Kekuasaan Jawa, hlm. 110. 9
Pengantar buku oleh Asvi Marwan Adam, dalam Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis Jilid II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, 1450-1680, terj. R. Z. Leirissa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm.xi.
10
H.J. De Graaf,Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII,terj.Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 105.Lihat juga,Babad Trunojoyo-Suropati,terj. Balai Pustaka, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 53.
11
Robert W. Hefner, Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A Wisnuhardana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 15.
12
Halwany Michrob,Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten: Suatu Tinjauan Arsitektural Kota Lama Banten Menjelang Abad XVI Hingga Abad XX, (Serang: Yayasan Baluwerti, 1993), hlm. 18.
(15)
Sejak VOC terusir dari bandar Banten pada tahun 1596. VOC sebenarnya sudah lama memendam keinginan kembali ke Banten. Kesempatan emas baru muncul ketika terjadi konflik internal Kesultanan Banten dan strategis VOC menanamkan kekuasaannya di Banten melalui Sultan Haji (Raja boneka VOC). VOC berpendapat bahwa jika Kerajaan Banten yang independen, dibiarkan ada penguasa yang anti VOC, pasti akan terus-menerus menjadi ancaman VOC, namun jika ada penguasa yang saling bersaing memperebutkan tahta, tentu akan lebih mudah untuk mengontrolnya.13
Kesultanan Banten akhirnya dapat ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1684, melalui dukungan dan intervensinya pada Pangeran Haji (kini bergelar Sultan Haji).14 Dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1677 hingga 1690, merupakan perang penguasaan dan pengamanan bandar dagang untuk monopoli perdagangan di Pesisir Jawa oleh VOC. Peristiwa konflik pada tahun 1680-1684 di Kesultanan Banten adalah konflik yang pertama, hingga konflik-konflik lainnya menyusul kemudian dalam melawan VOC dan Pemerintah Kolonial.15
Penelitian ini menitik beratkan pada campur tangan atau intervensi VOC terhadap suksesi raja-raja yang pernah berkuasa di Kesultanan Banten selama kurun waktu tertentu. Hal ini yang kemudian menjadi sesuatu yang menarik bagi peneliti, untuk menganalisa bagaimana keterlibatan Kompeni VOC sebagai perusak harmoni dan perdamaian di Banten.
Demikian dengan latar belakang pemikiran di atas ada beberapa permasalahan antara lain :
1. Mengapa terjadi konflik suksesi Kesultanan Banten?
13
John Joseph Stockdale, Eksotisme Jawa, Eksotisme Sejarah Pulau Jawa, Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa 1768-1806, terj. Anik, (Yogyakarta: Penerbit Progresif book, 2010), hlm.34-35.
14
Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC Dalam perang dan Damai, 1602-1799, terj. Baksi Siregar, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 34.
15
Atsushi Ota,Change of Regime And Social Dinamic In West Java: Society, State And The Outer World of Banten, 1750-1830(Leiden: Koninklijk Brill NV, 2006), hlm. 5.
(16)
2. Bagaimana proses intervensi VOC terhadap masalah suksesi di Kesultanan Banten?
3. Siapa sajakah yang terlibat dalam konflik suksesi Kesultanan Banten?
4. Bagaimana dampak intervensi VOC terhadap pemerintahan Kesultanan Banten?
B. 1. Kerangka Tujuan
Ada pun tujuan studi ini adalah :
1. Ingin mengetahui awal terjadinya konflik suksesi Kesultanan Banten
2. Ingin menjelaskan proses intervensi VOC terhadap masalah suksesi di Kesultanan Banten
3. Ingin mengungkap Siapa yang terlibat dalam konflik suksesi Kesultanan Banten 4. Inginn menjelaskan dampak intervensi VOC terhadap pemerintahan Kesultanan
Banten?
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan dan merekonstruksi sejarah politik Kesultanan Banten. Penelitian ini harus dibatasi dan dirumuskan, untuk menjadi sebuah penelitian yang terarah dan sitematis. Batasan spasial penelitian ini difokuskan pada wilayah Kesultanan Banten. Batasan temporalnya dimulai dari 1680 hingga tahun 1684. Tahun 1680 diambil sebagai tahun awal penelitian karena tahun tersebut adalah, tahun terjadinya konflik intern dalam suksesi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Pangeran Haji. Sedangkan tahun 1684 adalah tahun selesainya seluruh proses konflik, yang ditandai dengan berakhirnya Perang Banten oleh tentara Pangeran Haji yang bekerjasama dengan VOC.
(17)
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini disesuaikan dengan rumusan masalah di atas, yang terbagi dalam beberapa poin, yaitu:
1. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan dan mendeskripsikan secara sistematik dan terstruktur, dalam sebuah peristiwa suksesi Kesultanan Banten yang mendapatkan pengaruh VOC, serta dampaknya bagi kelangsungan Kesultanan Banten, khususnya dari tahun 1680 hingga 1684.
2. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan-kebijakan dari seorang penguasa yang dipengaruhi oleh kekuatan asing yaitu VOC, dalam membangun dan mempertahankan tahta sebuah kerajaan, yaitu Banten, dalam kurun waktu tertentu.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Diharapkan hasil penelitian sejarah ini, berguna sebagai tinjauan pemikiran dalam menentukan kegiatan politik negara.
2. Sumber acuan bagi penelitian selanjutnya, maupun untuk penulisan lain di bidang yang sama.
3. Memacu para sejarawan muslim lain, yang akan meneliti sejarah Islam, terutama di bidang politik dan turunannya, khususnya dalam singgungan dengan kekuatan asing.
D. Tinjauan Pustaka
Berbagai karya tulisyang mendeskripsikan tentang Kesultanan Banten sudah banyak ditemui, baik karya tulis akademik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis dan disertasi, maupun tulisan populer dalam bentuk artikel dan tulisan bebas, namun karya-karya yang ada (baik penulis dari dalam dan luar negeri) lebih banyak membicarakan tentang eksistensi kerajaan dalam bentuk silsilah.
Diakui atau tidak, di sisi lain memang telah banyak tulisan tentang intervensi VOC di dalam masalah suksesi kerajaan dan masalah monopoli perdagangan. Sejauh ini
(18)
banyak tulisan yang ada berada dalam tahap deskripsi naratif saja, belum banyak karya tulis yang menyentuh masalah intervensi kekuatan asing dalam sebuah peristiwa suksesi, khususnya dalam hal ini adalah penelitian berbentuk skripsi. Peneliti menganggap perlu untuk diadakan kajian lebih komprehensif, karena merupakan salah satu celah untuk mengkaji Kesultanan Banten dari sisi politik, terutama masalah suksesinya.
Adapun salah satu tulisan dalam bentuk pustaka berupa buku, di antaranya: buku tulisan Uka Tjandrasasmita,Sultan Ageng Tirtayasa, dapat dikatan sebagai rujukan utama bagi penelitian tentang seorang sultan Banten di abad ke-17. Buku ini lebih menitikberatkan pada masalah hubungan Banten dengan VOC selama masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Faktor utama pembeda dengan penelitian ini adalah masalah sistematika tulisan, karena, dalam tulisan karya Uka Tjandrasasmita belum terlihat pembagian bahasan yang jelas, dalam menjelaskan sebuah peristiwa di tahun 1680-1684.
Karya tulis selanjutnya berjudul;Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, karya Nina Herlina Lubis. Buku tersebut menjelaskan bagaimana Banten, sebagai sebuah tempat berkumpulnya golongan-golongan yang mempengaruhi jalannya kehidupan di daerah Banten, namun hanya sedikit saja membicarakan masalah perubahan politik akibat dari intervensi VOC, batasan temporal juga menjadi faktor pembeda yang utama dari tulisan yang akan dibuat.
Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, yang ditulis oleh Heriyanti O. Untoro.Fokus tema yang dikaji dalam buku ini merupakan pembeda utama. Kajian dalam buku ini ditulis dengan pendekatan ekologis dan arkeologis, memang dapat diambil sebagai rujukuan, terutama untuk bukti eksistensi Kesultanan Banten di masa lalu, namun buku ini juga mencakup masa kini. Penelitian ini hanya terbatas pada peristiwa di tahun 1680 hingga 1684.
(19)
Karya lain yang dapat dijadikan tinjauan pustaka adalah karya penulis Barat, yaitu: C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799, yang didalamnya mengulas bagaimana perjalanan sejarah VOC di Nusantara, meskipun bahasan tentang hubungan dan intervensi VOC ke Banten kurang komperhensif, namun cara pandang VOC sebagai golongan pedagang yang berusaha meraup keuntungan sebanyak mungkin, patut dijadikan acuan pemikiran. Faktor spasial dan batasan temporal kiranya menjadi pembeda yang paling utama dari penelitian yang akan dilakukan. Karya lain adalah tulisan Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, 1450-1680, adalah karya yang mejelaskan bagaimana runtuhnya perdagangan orang-orang Asia Tenggara, termasuk Banten, yang runtuh akibat adanya penetrasi para pedagang Eropa, yang berusaha menguasai perdagangan dan jalur-jalurnya dengan sistem monopoli.
Karya-karya di atas mewakili sebagian dari beragam karya tulis, baik dari para sejarawan maupun pengkaji ilmu lain di ranah Kesultanan Banten, yang dijadikan acuan berfikir untuk membedah masalah suksesi dan konflik beserta dampaknya, terutama celah kajian yang terfokus pada intervensi asing yaitu VOC.
E. Pendekatan dan Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan politik. Pendekatan politik digunakan untuk memahami struktur kekuasaan, konsep-konsepnya, cara-cara memperoleh, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan.16 Pendekatan politik pada umumnya membuat pandangan yang negatif, terutama dengan perspektif dan paradigma yang ada dalam tulisan sejarah, yang berujung pada konflik dan pertarungan fisik. Salah satu bentuk dari perubahan struktur dalam pemerintahan adalah suksesi.
16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 43.
(20)
Usaha untuk mewujudkan kekuasaan adalah proses untuk memperlihatkan kekuasaan dan kekuatan seseorang atau kelompok tertentu, dengan segala atribut dan wewenang yang melekat padanya, dengan maksud untuk mengatur sebuah sistem tertentu, yang telah disepakati bersama antar berbagai golongan atau kelompok dalam satu ruang. Suksesi sendiri adalah salah satu proses yang mengisyaratkan terjadinya pergantian kekuasaan.
Kekuasaan sendiri mempunyai makna yaitu; kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain, untuk membuat orang lain melakukan tindakan seperti yang dikehendaki oleh pemegang kekuasaan itu. Makna pokok kekuasaan itu terjadi oleh karena kekuasaan itu tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat.17Tujuan itulah yang menjadi dasar pergantian kekuasaan yang merupakan bentuk suksesi.
Sebagaimana yang terjadi pada Kekuasaan Banten, pada kenyataannya konsep kekuasaan yang seharusnya diterapkan oleh salah seorang pemegang kekuasaan Banten, baru terlaksana setelah adanya intervensi asing (VOC), dengan mendukung salah satu pihak.
Makna dasar dari kata intervensi adalah suatu campur tangan individu maupun kelompok dalam urusan yang sebenarnya bukan haknya.18Huala Adolf memberikan bentuk teori intervensi, berupa definisi intervensi sebagai“campur tangan secara diktaktor oleh suatu negara (kelompok tertentu) terhadap urusan dalam negeri negara lain dengan maksud, baik untuk memelihara atau mengubah kondisi, situasi atau
17
Selo Soemardjan dan Soeleman Sumardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964), hlm. 12.
18
Taufik Abdullah, “Sipil–Militer di Dunia Ketiga: Sebuah Taksonomi Pengantar” dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,1995), hlm.35.
(21)
hasil komoditas berupa barang di negara tersebut”.19Teori tersebut digunakan oleh peneliti sebagai acuan berfikir bagi penelitian.
Kondisi politik memainkan peranan yang signifikan terhadap munculnya intervensi.20 Pada bagian lain Huntington telah menyatakan bahwa, yang menyebabkan intervensi, di antaranya adalah struktur kelembagaan intern yang karut marut dan juga ketidakstabilan politik yang terjadi dalam masyarakat.
Ketidak stabilan politik pada suatu pemerintahan tidak hanya akan mengurangi efektivitas pemerintahan, namun juga dapat mengundang intervensi, hal ini disebabkan intervensi muncul karena suatu dorongan dari situasi dan kondisi politik yang sedang terjadi. Ibn Khaldun di abad ke14-15, juga telah menyoroti masalah ini, yaitu bagaimana para penguasa Islam di Asia Barat, Afrika Utara dan Spanyol, menyandarkan diri pada kekuatan militer dan politik tertentu dalam menegakkan tahta,21 contohnya adalah dinasti Umayyah pada keluarga Marwan dan dinasti Abbasiyah pada kekuatan Seljuk.
Masalah intervensi VOC dalam konflik suksesi di Kesultanan Banten adalah masalah yang unik, berbeda dengan masalah konflik suksesi di Kerajaan Mataram yang menjadi saingan Banten.Tahta dan profil penguasa Banten tidaklah selemah penguasa Mataram dalam menghadapi gejolak lokal, yaitu pemberontakan. Pada Kesultanan Banten, penguasanya kuat dan menolak segala bentuk campur tangan asing, VOC di sini kesulitan menaklukkan posisi Banten yang independen (walaupun berbagai upaya blokade laut dilakukan oleh VOC), ketika ada celah untuk menaklukkan Banten sekaligus, digunakanlah taktik devide et impera untuk melemahkan semua pihak,
19
Huala Adolf,Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, terj. -, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.31.
20
Huntington, Tertib Politik di Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah, terj. Sahat Simamora (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.302.
21
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm 161-164.
(22)
walaupun VOC memperlihatkan bahwa dia mendukung tahta salah satu pihak, yaitu Pangeran Haji. Hingga pada akhirnya Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Haji, kedaulatan dan independensi Kesultanan Banten telah runtuh, sejak Pangeran Haji meminta bantuan VOC.
Terdapat dua hal dalam melihat intervensi VOC dalam konflik suksesi di Kesultanan Banten, yaitu ada tarikan dan dorongan dalam masalah ini, dengan satu tujuan, yaitu keuntungan dalam proses monopoli perdagangan. Tarikan yang dimaksud di sini, yaitu masalah upaya penstabilan politik, karena kestabilan politik adalah sebuah jaminan kepada penguasa lokal untuk tunduk pada kekuatan VOC. Sedangkan yang disebut dorongan, adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dalam menguasai sumber-sumber finansial, termasuk penguasaan wilayah. Semua itu diwujudkan dalam berbagai klausul-klausul perjanjian di akhir proses konflik suksesi.
F. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Menurut Sartono Kartodirdjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya22. Mengingat penjelasan Sartono Kartodirdjo tersebut, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan Pendekatan Politik dalam Studi ini.
Pendekatan politik adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui bermacam-macam kegiatan dalam sebuah sistem negara maupun politik. Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan politik adalah suatu pendekatan yang mengarah pada struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan
22
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.4.
(23)
politik adalah pendekatan dan lain sebagainya. Pendekatan ini digunakan untuk membahasmasalah konflik suksesi di Kesultanan Banten dengan intervensi VOC.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan tata cara untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukannya secara sistematis hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan23. Tujuan dari penelitian historis adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi serta mensistensiskan metode pemecahan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat24 Yaitu untuk menyelidiki sebab terjadinya intervensi VOC dalam Konflik Suksesi Di kesultanan Banten. Maka dari itu, langkah langkah penelitian sejarah mencakup seperti:
1. Heuristik
Heuristikatau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber primer dan sekunder.25 Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan dan melakukan penelitian (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini.
Adapun sumber primer berupa Naskah dan sejenisnya, daghregister(catatan registrasi perdagangan VOC) dan beberapa salinan perjanjian semasanya serta benda fisik berupa artefak dan situs. Sedangkan sumber sekunder berupa buku-buku, catatan-catatan, maupun artikel-artikel yang telah ditulis. Penulis juga menggunakan data arkeologis seperti artefak dan kunjungan lapangan di sekitar daerah situs bekas istana Surosowan Banten dan Museum Fatahillah Jakarta. Penggunaan data artefak dapat
23
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah. (Yogyakarta; Ar Ruzz Media), hlm.43-44
24
TaufikAbdullah,Sejarah Lokal di Indonesia,(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1979),hlm.20
25
(24)
digolongkan menjadi sumber primer, sumber tersebut digunakan sebagai data utama dengan berbagai makna arkeologisnya. Data artefak dan kunjungan ke situs kota Banten Lama (bekas istana Surosowan, Masjid Agung Banten dan benteng Speelwijk) dan Museum Fatahilla Jakarta. Data tersebut hanya digunakan sebagai data utama untuk membuktikan benda yang berasal dari peristiwa yang sedang dibahas, yaitu masalah konflik suksesi di Kesultanan Banten dengan intervensi VOC.
Sumber-sumber sekunder didapat peneliti pada perpustakaan-perpustakaan dan lembaga resmi milik pemerintah, baik di Perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta selatan, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI Depok. Sumber-sumber sekunder juga didapatkan dari media cetak dan elektronik, yang memuat ulasan tentang Kesultanan Banten di masa yang sezaman.
Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar adalah sumber sekunder, penggunaan sumber primer yang tertulis hanya sedikit jumlahnya, hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari peneliti, yang akan menjadi bagian penghambat jika sumber primer tertulis itu digunakan secara utuh, terutama soal waktu.
2. Verifikasi
Verifikasiatau kritik sumber, dimana semua sumber telah terkumpul dengan baik berupa buku, maupun Arsip, penulis melakukan kritik dan uji terhadapnya. Dimaksudkan untuk mengidentifikasi keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang di telusuri melalui kritik intern.
(25)
3. Interpretasi
Interpretasi atau pengolahan data dengan analisis dan sintesis terhadap masalah yang didapat dari data. Interpretasi yang dilakukan oleh peneliti dengan cara, mengambil inti dari balik maksud tulisan tersebut, seperti contoh yaitu masalah konsep kekuasaan di Kesultanan Banten. Tulisan-tulisan yang ada tidak secara eksplisit menyatakan bahwa terdapat dua penguasa dengan kewenangannya masing-masing di Kesultanan Banten, setelah peneliti melakukan interpretasi data, maka didapatlah fakta tersebut.
4. Historiografi
Sebagai langkah terakhir dalam penelitian ini adalah historiografi, yakni penyusunan data menjadi fakta dalam bentuk tulisan, sesuai dengan metode penulisan yang berlaku saat ini. Langkah yang dilakukan peneliti, yaitu dengan cara memenuhi kriteria format dalam penulisan hasil penelitian.
G. Sistematika Pembahasan.
Setiap bagian dalam pembahasan peristiwa sejarah, terbagi menjadi beberapa bahasan berupa bab dan sub-bab yang tidak mengikat dalam kuantitas, dengan begitu sistematika pembahasannya akan terlihat.26 Pada bagian pendahuluan biasanya tertuang dalam proposal penelitian. Pada bagian ini uraiannya berupa latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.Bagian ini merupakan landasan pemikiran serta tata-cara dalam proses penelitian sejarah.
Bab II menjelaskan tentang gambaran umum Kesultanan, meliputi kondisi geografis, politik, ekonomi, agama dan kebudayaannya. Penjelasan ini penting untuk
26
Dudung Abdurrahman,Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 69.
(26)
melihat kondisi Banten dari beberapa aspeknya, karena hal tersebut akan menjadi pengantar terhadap masalah yang dibahas secara lebih detil dan komprehensif.
Selanjutnya, Bab III menjelaskan tentang bagaimana masalah suksesi kekuasaan raja-raja Banten. Bab ini terutama menjelaskan bagaimana proses suksesi raja, konflik yang terjadi serta asal mula masuknya intervensi asing. Penjelasan tersebut berupa proses alih kekuasaan atau suksesi, yang disertai dengan masalah intervensi dari pihak asing, yaitu VOC. Bab ini memberipengantar ke bab selanjutnya, yaitu tentang bagaimana masalah konflik tersebut terjadi dan dampaknya bagi Kesultanan Banten, dituangkan dalam bab IV.
Bab IV merupakan suatu penjelasantentang dampak atau hasil-hasil campur tangan dari masuknya kekuatan asing terhadap konflik suksesi Kesultanan Banten. Penjelasan ini berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai akibat yang ditimbulkan dalam bentuk intervensi. Bagian ini juga menjelaskan hasilnya dari peristiwa tersebut.Bagian di bab ini menjadi klimaks dari penelitian, setelah itu kesimpulan akan menjadi muara,berupa hasil-hasil yang dicapai serta bagaimana fakta yang didapatkannya.
Bab V merupakan kesimpulan dari pokok permasalahan dari penelitian,yang merupakan akhir dari proses penelitian, dan di dalamnya juga terdapat saran untuk penelitian selanjutnya di bidang yang sama dengan tinjauan yang berbeda.
(27)
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Geografis
1. Kondisi Wilayah.
Menurut Geertz yang dikutip oleh Hiroyoshi Kano, wilayah di pulau Jawa terbagi dalam empat bagian dengan bentangan alam serta aktifitas etnik: (1). Pesisir, (2). Sunda, (3). Kejawen dan (4). Ujung Timur.27Wilayah Pesisir adalah wilayah yang secara umum dikenal dengan wilayah di pantai utara pulau Jawa yang dapat dilayari dan dilabuhi oleh kapal, sebagai tempat aktivitas utama perdagangan maritim yang berorientasi ke luar. Wilayah Sunda diidentifikasikan sebagai wilayah khusus penduduk yang berbahasa dan berbudaya Sunda, letaknya di bagian barat pulau Jawa.
Di zaman pra-Islam batas aktifitas etnik dan bahasa Jawa dan Sunda, terbentang antara bagian barat dan timur sungai Cipamali di bagian utara dan sungai Citanduy di bagian selatan. Pada bagian timur dari bentang alam tersebut, terdapat etnik dan bahasa Jawa, sedangkan di bagian baratnya adalah etnik Sunda. Ciri-ciri geografis bagian wilayah Sunda, adalah deretan perbukitan dan gunung yang terbentang dari wilayah bagian barat Banyumas hingga ke wilayah perbatasan bagian selatan Banten. Wilayah Jawa adalah wilayah yang secara umum dikenal dengan mayoritas etnis dan berbahasa Jawa, terbentang dari Banyumas di Jawa Tengah hingga bagian timur gunung Semeru di Jawa Timur. Ujung Timur adalah daerah yang terletak dari bagian barat gunung Argopuro hingga selat Bali di timur.
27
Hiroyoshi Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran Kembali”, dalam Akira Nagazumi (peny.), Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 14-15
(28)
Daerah kekuasaan Banten di Jawa, secara geografis berada di dua tempat yang sama sekaligus, yaitu daerah Sunda dan Pesisir. Dikatakan daerah Sunda karena secara geografis dan aktifitas etniknya, dominan lebih dekat kepada suku Sunda, namun Banten juga dapat dikatakan adalah wilayah Pesisir (maksud daerah Pesisir seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya) yang berbahasa campuran Jawa, yang secara geografis terletak di daerah pantai dengan semangat pedagang yang egaliter.
Wilayah Kesultanan Banten meliputi seluruh Propinsi Banten dan sebagian besar wilayah Lampung saat ini, kecuali wilayah Mataram yang dibatasi oleh bentang alam berupa gunung Halimun di bagian timur dan Batavia VOC, yaitu di sedikit bagian pesisir Jayakarta di muara sungai Ciliwung. Pada sebagian besar wilayah di pulau Jawa yang telah dikuasai oleh Kerajaan Mataram, aktifitas agraris Kesultanan Banten terbatas pada wilayah pedalaman yang memang secara geografis cukup subur dibandingkan daerah pantai. Tanaman pangan sangat sedikit mendominasi kehidupan ekonomis rakyat Banten, yang menjadi tumpuan adalah tanaman komersial berupa lada, pala dan rempah-rempah.. Aktifitas ekonomi Banten memang lebih banyak berada di daerah pesisir, yang menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar rakyat Banten.
Ibu kota Kesultanan Banten selama masa konflik berada di daerah Karangantu. Daerah yang berada di pantai Utara Jawa dengan perlindungan dari ganasnya ombak dan badai di musim angin barat, dengan muara sungai Cibanten sebagai jalan ke luar dan masuk ke pusat kota Banten Lama. Tanah di sekitarnya terdiri dari batuan kapur dan tanah liat, yang terbentuk jutaan tahun yang lalu. Vegetasi tanaman pantainya berupa bakau dan tanaman pelindung lainnya, namun dapat tumbuh dengan tanah yang tidak subur pada kondisi tersebut. Di daerah selatan kekuasaan Banten,
(29)
terdapat hutan lebat di gunung-gunung maupun pantainya yang sepi, namun tanahnya sangat subur.28Di pantai bagian selatan terbentang pantai, yang berbatu karang yang sulit untuk dilabuhi hingga saat ini, kecuali di beberapa wilayah tertentu.29
Sejak terjadi perjanjian oleh Sultan Haji pada tahun 1684, wilayah Tangerang di timur Sungai Cisadane, menjadi bagian dari VOC. Kebanyakan para abdi dan rakyat selalu lari dan kemudian bermukim di tempat-tempat yang jauh dari pusat konflik, terutama, karena mereka lebih senang menyingkir ke gunung-gunung di sebelah selatan yang sulit dijangkau oleh musuh.30
2. Jaringan Transportasi.
Jaringan jalan masuk menuju ke pusat ibukota Banten Lama, terbentang dari timur dan barat. Jaringan jalan dari timur dapat dimasuki dari Merak, sedangkan dari barat terbentang jalan menuju Batavia di daerah pantai utara lewat Balaraja dan Tangerang. Jaringan jalan tetap ada dan masih digunakan hingga pada masa Daendels31, yang ada dalam jaringan Jalan Raya Pos.
Hingga tahun 1552 ibukota Banten berada di daerah Banten Girang, kemudian ibukota dipindahkan pada tahun 1568 ke daerah Karangantu, tepat dimana sekarang bekas istana Surosowan berdiri. Untuk mencapai ibukota Kesultanan Banten dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu jalan air dan jalan darat.
Perjalanan dari ibukota dan ke pedalaman Banten, dapat menggunakan cikar
yang ditarik dengan kerbau, memakan waktu sekitar dua sampai tiga hari dari Karangantu 28
Heriyanti O. Untoro,Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Kota Kita, 2006), hlm. 47-48.
29
Tonny Whitten, Roehayat Emon Soeriaatmadja dan Suraya A. Afiff,The Ecology of Indonesian Series Volume II: The Ecology of Java and Bali(Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd., 2000), hlm.1 41-142.
30
Hefner,Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, hlm. 10. 31
Daendels adalah nama jalan yang dibuat oleh gebenur Jenderal H. W. Daendels pada tahun 1809-1810. Lihat Nina Herlina Lubis,Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 94
(30)
hingga ke daerah pegunungan di daerah selatan, yaitu Lebak. Sedangkan dari Batavia dapat ditempuh selama dua hari dengan menggunakan kuda.32
Jaringan transportasi sungai, secara alami telah digunakan sejak zaman purba, terutama di bagian timur, yang dapat dimasuki hingga pedalaman, yaitu sungai Cisadane dan sungai Ciliwung, sedangkan di bagian barat umumnya tidak ada yang dapat dimasuki hingga wilayah pedalaman, kecuali sungai Cibanten, yang dapat dilayari hingga ke dalam pusat ibukota. Sungai-sungai besar di pulau Jawa umumnya dapat dilalui dari hulu ke hilir dan sebaliknya dalam jarak tertentu, oleh kapal-kapal berbobot sedang saat musim hujan.33
B. Politik Kesultanan Banten Sebelum Intervensi VOC 1. Daerah Kekuasaan Politik.
Perluasan daerah Kesultanan Banten telah dimulai sejak masa Sultan Hasanuddin, namun hanya terbatas pada ekspedisi kecil, untuk mengamankan daerah yang telah dikuasai. Perluasan daerah ke Lampung dari Sultan Hasanuddin, kemudian diteruskan oleh anaknya, yaitu Sultan Maulana Yusuf dengan menaklukkan kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, yaitu Pakuan Pejajaran (Bogor sekarang) pada 1579 yang di bantu oleh Cirebon.
Setelah Sultan Maulana Yusuf wafat, dia digantikan oleh anaknya, yaitu Sultan Maulana Muhammad, yang mencoba menaklukkan Palembang pada tahun 1596. Pada pertempuran merebut Palembang, dia wafat dan digantikan anaknya, yairu Sultan Panembahan Ratu (bergelar Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud Abdul Qadir). Selama
32
Dennys Lombard,Nusa Jawa, Silang Budaya Jilid III,Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 153.
33
Darsiti Suratman,Dunia Keraton Surakarta, 1830-1939, (Yogyakarta: UGM Press, 1989), hlm. 4-5.
(31)
masa Panembahan Ratu, praktis tidak ada usaha penaklukkan lagi, apalagi di bagian timur, Kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung, mulai merangsek masuk hingga ke daerah Pakuan dan gerbang Batavia.34 Meskipun tidak ada penaklukkan wilayah lagi, namun Panembahan Ratu juga berupaya pula untuk menaklukkan Batavia, terutama dia melakukan ekspedisi-ekspedisi militer berupa gangguan keamanan di luar dinding Batavia.35
Setelah dia wafat kepemimpinan Kesultanan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa, pada masanya puncak dari perkembangan Kesultanan Banten terjadi, terutama dari segi wilayah dan militer. VOC sebenarnya telah ada dan bertempat di Jayakarta yang menjadi bawahan Kesultanan Banten (berganti nama menjadi Batavia sejak 1619), namun sejak masa Sultan Abul Mufakhir atau Panembahan Ratu, Kesultanan Banten tidak mampu mengusir VOC di Jayakarta.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten menjadi penyeimbang geopolitik di pulau Jawa. Ketika Mataram telah menaklukkan beberapa kota penting di Jawa seperti Surabaya (1624), Giri dan Blambangan (1635-1638)36 serta melakukan ekspedisi militer ke Batavia pada tahun 1627 dan 1629,37melalui Sumedang dan wilayah Ukur,38Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Kesultanan Banten selalu melakukan politik bebas aktif dengan dunia luar.39
34
H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 105.
35
Leonard Blusse,Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, terj.-, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 136.
36
I Made Sudjana,Negeri Tawon Madu, (Semarang: Larasan-Sejarah, 2010), hlm. 10. 37
Blusse, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, hlm. 131.
38
A Sobana Hardjasaputra, dkk., Bupati Di Priangan: Dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda,Vol 3 Seri Sundalana, (Bandung: Pusat Studi Sunda, 2004), hlm. 13.
39
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 51.
(32)
Pemberontakan terjadi di Kerajaan Mataram terhadap raja yang tiran, yaitu melawan Susuhunan Amangkurat I, oleh pasukan pemberontak yang dipimpin Pangeran Trunojoyo, dengan dukungan Karaeng Galesong yang merupakan veteran dari Perang Makassar (jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo dalam Perjajian Bungaya 1669). Tahta Kerajaan Mataram yang bebas intervensi akhirnya runtuh, sejak itu tahta Mataram selalu didukung oleh VOC, ditegakkan melalui melalui garnisun VOC di Semarang serta persetujuan dewan pimpinan VOC di Batavia.40 Kesultanan Banten beberapa tahun kemudian juga bersiap untuk menghadapi konflik suksesi, yang mengundang intervensi VOC.
Gambar 1.1
Peta kekuasaan antara kerajaan Banten, Mataram dan VOC (1613-1678) (sumberwww.wikipediaindonesia.co.id, akses 8 Juni 2015, pukul 15.00-15.34 WIB)
40
M. J. A. Van der Chijs (ed.),Daghregister Gehoeden in Casteel Batavia, Vant Passerande Daer Als Over Geheel In Nederland-India, Anno 1677, (Batavia dan s’Hage: Landsdukkerij dan M. Nijhoff, 1904), hlm. 365-371.
(33)
2. Hubungan Diplomatik
a. Hubugan Diplomatik Sultan Ageng Tirtayasa
Hubungan politik dan sosial oleh Kesultanan Banten kepada (kerajaan-kerajaan) negara-negara Nusantara di sekitarnya, telah terjalin dengan baik untuk melawan VOC, maupun takut akan agresi negara lain seperti Mataram, dalam pengaruhnya dalam militer khususnya dan sistem sosial pada umumnya (seperti sistem bahasa dan gelar).41Kerajaan-kerajaan yang mendapat perlindungan Mataram dinyatakan sebagai negara suzerainty atau vassal, dalam arti apabila negara itu diserang, maka Mataram bertindak sebagai pelindung. Adapun kerajaan-kerajaannya yaitu, Palembang, Jambi.42 Sebagai tanda penyataan dukungannya terhadap perlindungan Mataram, maka mereka mengirim duta (wakil-wakil) untuk menghadap raja Mataram tiap beberapa waktu.43 Kerajaan-kerajaan tersebut, praktis menjadi rival Kesultanan Banten selama kurun abad ke-17.
Pengaruh kekuatan dan diplomasi kepada Turki Utsmani dari Banten, tampak setelah Sultan Abu al-Mufakhir meminta gelar Sultannya pada penguasa Mekkah pada tahun 1638. Mekkah dan Madinah memang saat itu berada di bawah kekuasaan Gubernur Jendral Turki Utsmani di Jeddah. Pengaruh militer dan gelar kekhalifahan di dunia Islam memang sangat berpengaruh terhadap perlindungan negeri-negeri Islam.44
Meskipun disibukkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa tidak lupa melakukan konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan
41
Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, terj. Tim KPG, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005), hlm. 23.
42
Nugroho Notosusanto,Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 286-299.
43
M.C Ricklefs,Sejarah Modern Indonesia, 1200-2004, terj.- (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 31.
44
Suraiya Faroqhi, Pilgrims And Sultans, The Hajj Under The Ottomans 1517-1683, (London: I.B.Tauris & Co.Ltd, 1994), hlm. 132.
(34)
hubungan persahabatan antara lain dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan kerajaan Goa, dengan sumber rempah-rempah di Maluku, meskipun menurut perjanjian dengan VOC tidak diperbolehkan namun Sultan Ageng Tirtayas tetap melakukkannya.45
Untuk meningkatkan kegiatan perniagaan Sultan Ageng Tirtayasa juga membina hubungan baik dengan negeri-negeri lain, terutama dengan Negara-negara Islam, seperti Turki, Arab, Persia, India, Aceh, Ternatem dan Tidore. Tidak lupa pula Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan surat persahabatan kepada raja Denmark.46
Untuk memenuhi kebutuhan sejata api dan senjata berat lainnya, sultan mengadakan hubungan dengan Negara Inggris, Portugis, dan Prancis yang bersedia menjual senjata-senjata yang dibutuhkan Banten, yang pada saat itu antara Belanda, Inggris, Portugis dan Prancis sedang terjadi persaingan dagang yang keras. Hubungan Kesultanan Banten dengan kerajaan Islam di Turki juga berjalan dengan baik, sehingga orang-orang Banten yang pergi haji pulangnya dapat membawa senjata-senjata yang di belinya dari Turki
Ketika terjadi Perang Makassar (1663-1669) yang berakhir dengan kekalahan Makassar, banyak mengirimkan tenaga ahlinya untuk mengabdi pada Sultan Banten, salah satunya adalah Syeikh Yusuf al-Maqassari. Kerajaan Minangkabau juga mengadakan hubungan diplomatik di masa sebelum datangnya VOC, hal tersebut dibuktikan dengan adanya keris yang diberikan Sultan Munawwar Syah kepada Sultan Hasanuddin.47
45
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 49
46
Edi Ekajati S dan Sutrisni Kuntoyo, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialism Dan Kolonialisme Di Daerah Jawa Barat.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan NIlai Tradisional, 1983. Hal. 43
47
(35)
b. Hubugan Diplomatik Sultan Hajji
Pada tanggal 16 februari 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra pertamanya Abdul Kahar (Pangeran Haji) menjadi pangeran Anom. Melihat kedekatan Pangeran Haji dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa menjadi khawatir dan mengirim Pangeran Haji untuk menunaikan ibadah haji. Setelah kembalinya Pangeran Haji ke Banten setelah menunaikan ibadah Hajinya yang kedua kalinya pada tahun 1676. Kedatangan Pangeran Haji kembali ke Banten di mafaatkan dengan sebaik-baiknya oleh VOC yang melihat sikap dan perilaku Pangeran Haji yang lebih senang bersahabat dengan VOC. Setelah Sultan Ageng pindah dari Surosowan ke Kraton Tirtayasa, Pangeran Haji memainkan peran penting dalam menjalin hubungan diplomatiknya dengan VOC. Tahun 1680 Pangeran Haji mengirim utusan kepada Gubenur Jenderal VOC di Batavia untuk menawarkan perdamaian yang maksud dan tujuan Pangeran Haji adalah ingin merebut tahtah kekuasaan Banten seutuhnya di tangan Pangeran Haji. Perjanjian kerja sama itu disetujuin oleh pihak VOC dengan syarat yaitu pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC, kedua, monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan Persia, Indiadan Cina, ketiga, Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji dan keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan perdalaman Priangan segera ditarik kembali.48
Dengan diangkatnya Pangeran Haji menjadi Pangeran Anom, oleh karena itu Pangeran Haji mempunyai pembantu-pembantunya sendiri seperti Kiai Ngabeni Naya Wipraya dan Kiai Wijaya Sedana. Guna ingin memperoleh peralatan perang dan dukungan, pada tahun 1682 Pangeran Haji mengutus dua abdi dalamnya yaitu Kiai
48
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 52
(36)
Ngabeni Naya Wipraya dan Kiai Wijaya Sedana ke London untuk melakukan hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik yang dilakukan Paangeran Haji gagal karena London melihat Banten sedang diduduki oleh VOC, dan peralatan perang yang diberikan Charles II di tarik kembali.49
C. Ekonomi.
1. Aktifitas Pedagangan.
Perdagangan erat kaitannya dengan ketersediaan komoditas tertentu yang dibutuhkan dalam proses jaringan perdagangan. Komoditas utama dari dan ke pulau Jawa selama abad-abad awal perkembangan Islam dalam jaringan perdagangan global seperti lada, pala, beras, getah damar dan kayu. Sebelum masa Islam, raja-raja Jawa sedikit sekali memperhatikan masalah perdagangan komoditas sebagai diplomasi politik. Masalah agama selalu lebih diutamakan, terutama pada masa Demak.50 Baru setelah berkuasanya Sultan Hasanuddin, tidak melihat lagi masalah agama sebagai penghalang hubungan dagang, dia bahkan berani mengirimkan kapal-kapal besar ke Jeddah melawan halangan dari Portugis.51
Pada masa Sultan Abu al-Mufakhir, diplomasi perdagangan lada dan pala dari Lampung serta kayu dari daerah pesisir, dimanfaatkan betul demi keuntungan politik, VOC bahkan harus selalu bersitegang bila berhadapan dengan Kesultanan Banten.52
Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Abu al-Mufakhir ke
49
Anthony reid, Asia Tengara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid ;2 Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, hlm. 281
50
Hal itu dapat dilihat dari serangan pasukan Demak ke Sunda Kelapa pada 1527. Sebagian pendapat memang melihat, bahwa Demak ingin mengambil-alih bandar dagang Sunda Kalapa dari Pajajaran, namun lebih banyak pendapat yang melihat bahwa serangan Demak adalah masalah agama, karena aliansi Hindu-Pajajaran dengan Katolik-Portugis, bagitu juga serangan Sultan Trenggono ke Pasuruan.
51
D. J. M. Tate,The Making of Modern South East Asia Vol. I: The European Conquest, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971), hlm. 65.
52
Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis Jilid II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, 1450-1680, hlm. 302.
(37)
pinggiran Batavia, jika dilihat dari sisi ekonomi, maka akan dapat terlihat maksud-maksud di baliknya. Penyerangan ke sekitar daerah Tanah Abang, Ragunan dan Grogol, dimaksudkan untuk merusak logistik pangan dan menimbulkan teror pada penduduk dan personil VOC di Batavia, meskipun serangan-serangan itu seringkali gagal. Pasar-pasar yang ada di seluruh Kesultanan Banten merupakan pusat kegiatan ekonomi, yang kebanyakan berada di daerah pantai.
Orang-orang Tionghoa merupakan perantara antara VOC, Bali dan negeri lainnya yang berdagang di seluruh Kasultanan Banten, telah ada sejak zaman Sultan Hasanuddin, orang-orang Tionghoa menempati posisi penting dalam perdagangan. Orang-orang Tionghoa bahkan telah mempunyai tempat khusus yang disebut Pecinan di dalam kota dengan akses luas pada jaringan ekonomi.53Komoditas yang diperdagangkan di pasar-pasar Jawa pada waktu itu, yaitu: kapas mentah, garam, nila, tembakau, jahe, sutera, porselen dan tikar pandan.
Komoditas tersebut dikuasai oleh pedagang perantara Tionghoa, sekaligus pembuat kapal, pengurus dan pemelihara pasar serta pembuat senjata. Hak-hak tersebut didapatkan setelah perjanjian antara VOC dan Mataram pada 1677 dan Banten di sekitar Tangerang sejak tahun 1684, para Kapten Tionghoa mendapat untung besar dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perantara Tionghoa.54 Komoditas candu juga merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dalam hal penghasilan, terutama bagi VOC.55
2. Aktifitas Logistik.
Aktifitas pertanian di Kasultanan Banten tidaklah terlalu istimewa dan tidak
53
Peter Carey, Orang Cina dan Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, terj.Tim Komunitas Bambu, (Depok: komunitas Bambu, 2008), hlm. 13.
54
Ibid., hlm. 20-22. 55
James R. Rush, Opium To Java, Jawa Dalam Cengkraman Bandar-bandar Opium, Indonesia Kolonial 1860-1910, terj. E. Setyawati Alkhatab, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hlm. 52.
(38)
terlalu dijadikan sumber utama perekonomian, dalam strategi politik. Hal utama yang menjadi masalah adalah jumlah penduduk56 yang bekerja di sektor pertanian, serta kondisi tanah yang tidak mendukung untuk ditanami padi secara maksimal, terutama di daerah pesisir. Tanaman komersial seperti tebu, cengkeh, lada dan pala, ditanam di daerah selatan yang cukup subur, kemudian setelah panen dikirim ke ibukota untuk di jual, adapula hasil hutan berupa madu dan tanaman pangan seperti ketimun, kelapa, buncis cabe, gambir dan semangka.57 Ketika blokade laut oleh VOC, Banten berusaha memenuhi kebutuhan logistiknya melalui pencetakan sawah baru, dalam laporan seorang pengunjung Belanda ke Banten pada tahun 1630, dia mengatakan:
“hampir tidak dapat dipercaya mengetahui arus-arus yang sungai mana saja yang telah mereka bending dan betapa suburnya persawahan yang mereka miliki dalam dua tahun terakhir, setelah diberi pupuk untuk tujuan-tujuan ini”.58
Aktifitas pencarian ikan malah menjadi tumpuan hidup orang-orang Banten, dalam catatan-catatan orang Eropa yang hampir sezaman,dinyatakan bahwa di pasar-pasar di Kesultanan Banten, telah dijual kulit kerang, kulit penyu dan bermacam-macam hasil laut lainnya.59 Aktifitas perekonomian juga memunculkan orang-orang dengan keahlian tertentu, misalnya pertukangan, transportasi dan pandai besi.
D. Agama
1. Perkembangan Islam.
Perkembangan Islam selama berlangsungnya kekuasaan Banten cukup signifikan, sejak masa Sultan Hasanuddin berkuasa (1570) Islam berusaha disebarkan
56
Jumlah penduduk Banten pada akhir abad ke-17, sekitar 191.000 jiwa. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 140-1680, Jilid 1: Tanah Di Bawah Angin, terj. Mochtar Pabottinggi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 16. Sumber lain terdapat jumlah penduduk Banten dari waktu ke waktu, tahun 1662: 100.000, 1672: 800.000, 1682: 700.000 dan tahun 1696: 125.000 jiwa. Jumlah penduduk dapat dilihat dalam karya Lubis,Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, hlm. xx.
57
Untoro,Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, hlm. 36 dan 47. 58
Reid,Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 140-1680, Jilid 1: Tanah Di Bawah Angin, hlm. 29. 59
(39)
hingga ke pedalaman daerah Pasundan. Usaha tersebut tidak pernah putus, bahkan hingga terjadinya Pemberontakan Petani Banten.60
Ketika perkembangan Islam di Mataram mengalami kemunduran, di Kesultanan Banten mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Di Mataram, Sunan Amangkurat I, melihat bahwa ulama dan dunia pesantrennya, merupakan ancaman serius terhadap tahtanya, akibatnya dia melakukan pembatasan dengan melucuti kedudukan serta fungsi ulama dan puncaknya adalah pembantaian terhadap 3000-5000 ulama bersama keluargnya di alun-alun Plered pada tahun 1670.61Di Kesultanan Banten ulama merupakan tulang punggung tahta Kesultanan Banten dan diangkat derajatnya ke tingkat paling tinggi secara non-formal, beberapa bahkan menjadi orang kepercayaan Sultan Banten, dengan menjadi hakim di pengadilan yang menggunakan syariat Islam. Kesultanan Banten adalah satu-satunya negara di Jawa, yang menggunakan syariat Islam sebagai dasar untuk memutuskan hukum di pengadilan.62
Kejatuhan tahta Mataram karena resistensinya terhadap para ulama, namun di Kesultanan Banten, usaha dalam dukunganya yang terbaik bagi para ulama, membuat tingkat kekuasaan dan kekuatan Kesultanan Banten tetap terjaga. Haltersebut dapat diketahui dari sosok Syeikh Yusuf al-Makassari, yang didukung dan mendukung Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan Kompeni selama konflik suksesi.63
Selama konflik dan perang yang terjadi pada tahun 1680 hingga 1684, hanya masjid Agung Kesultanan Banten yang tersisa. Masjid dianggap sebagai pusaka yang
60
Lubis,Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, hlm. 108. 61
H.J deGraaf,Runtuhnya Istana Mataram,Diistegrasi Mataram Pada Masa Amangkurat I, terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hlm. 36.
62
Reid,Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 140-1680, Jilid 1: Tanah Di Bawah Angin, hlm. 131. 63
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah-Asia Tenggara Abad XVI-XVIII, (Jakarta: Prenada Media, 2009), hlm. 115.
(40)
utama bagi umat Islam di Jawa, bahkan ketika banyak pusaka Kerajaan Mataram kraton Kartasura, yang dibawa bersama Sunan Amangkurat III ke Sri Langka dalam pembuangannya, Sunan Pakubuwono I menyatakan dalam kutipan bebas bahwa, “selama
masih ada Masjid Demak dan makam Kadilangu, maka pusaka tanah Jawa masih terus
ada”, hal ini menunjukkan bahwa, simbol-simbol Islam masih terus diperhatikan oleh para penguasa di Jawa, meskipun sudah dalam pengaruh VOC.64
Dunia Pesantren di Jawa, baik di Mataram maupun di Banten, terus mengalami perubahan yang signifikan, yang diakibatkan oleh dinamika internal Kesulatanan Banten serta penetrasi kolonial Barat. Pesantren juga merupakan pusat perkembangan masyarakat yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat di bidang keagamaan dan sebagai sarana ritus peralihan dan sosialisasi perkembangan dari dunia luar.65 Menurut Taufik Abdullah, pesantren adalah tempat untuk membina orang baik yang hidup dalam lingkungan yang ketat dan disiplin.66
64
Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Sebagai Nurbuwat di Jawa Pada Masa Kolonial, terj. Revianto Budi S., dan Nancy K. Florida, (Yogyakarta: Bentang, 2002), hlm. 101.
65
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 111.
66
Mohammad Akhyar, “Pesantren, Kyai dan Tarekat: Studi Tentang Peranan Kyai di Pesantren dan Tarekat”, dalam, Abuddin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia(Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 137.
(41)
BAB III
PROSES KONFLIK SUKSESI KEKUASAAN
DAN MASUKNYA INTERVENSI VOC
A. Perebutan di Kesultanan Banten. 1. Konsep Kekuasaan.
Banten menganut sistem kerajaan dalam arti kuno, yaitu raja berdaulat atas rakyatnya, tanpa harus bertanggung jawab pada parlemen atau dewan rakyat, meskipun raja selalu meminta pertimbangan dalam setiap keputusan penting.
Kesultanan Banten mempunyai konsep suksesi penguasa atau raja, dengan indikator atau kualifikasi tertentu terhadap calon raja baru. Konsep kekuasaan dan suksesi seorang calon raja di Kerajaan Banten melalui tiga dasar utama dalam kualifikasi berupa, pertama, dia harus anak laki-laki dari istri permaisuri.Kedua,harus dapat persetujuan ulama dan dewan, walaupun dalam kasus Sultan Haji dia tidak mendapat persetujuan ini. Ketiga, calon raja harus mempunyai arah kebijakan yang kuat sebagaimana para pendahulunya. Waulaupun tidak ada udang-undang dasar untuk mengantur masalah pergantian raja.67
Proses suksesi seperti itulah yang menguatkan Kesultanan Banten, Seorang bangsawan atau pangeran yang diangkat menjadi calon pengganti dari raja sebelumnya Kesultanan Banten melalui bentuk legitimasi kekuasaan raja di Kesultanan Banten diwujudkan ke dalam sosok dan kebijakan raja.68 Didalam
67
Claude Guillot, Banten : Sejarah dan Peradaban Abad V-XVII (Jakarta: Kepustakaan populer Gramedia, 2011). Hal. 214
68
(42)
konsep suksesi di Kesultanan Banten ini tidak memiliki kekuatan hukum, yang membuat pewaris tahta bisa dicopot setiap saat.
Kekuasaan raja adalah utuh, yang berarti hanya ada satu penguasa tunggaldan absolut.69Oleh sebab itulah raja-raja Banten selalu enggan mengadakan perjanjian yang merugikan kekuasaannya. Selama proses pergantian kekuasaan di
abad ke-17, terdapat 2 pucuk pimpinan di Kesultanan Banten, yaitu; Sultan Sepuh
dan Sultan Anom. Sultan Sepuh merupakan pemimpin utama di Kesultanan Banten,
dia memegang keputusan strategis kerajaan berupa; menerima dan mengirim para
duta besar dari Kesultanan Banten ke negara lain dan memutuskan sebuah perjanjian,
sedangkan Sultan Anom hanya bertindak mengurus kegiatan sehari-hari kerajaan,
berupa; pengadilan dan urusan rumah tangga kraton.70
Atas dasar keadaan sistem kekuasaan itulah, maka sumber potensi
konflik mulai muncul, tatkala Pangeran Haji atau Sultan Anom71 secara sepihak
menyatakan telah mengambil alih segala urusan istana, termasuk mengirim utusan
dan mengadakan perjanjian. Hal tersebut terjadi setelah Sultan Ageng Tirtayasa
bermukim di Tirtayasa. Keadaan di istana semakin buruk karena banyaknya
mata-mata dan penghasut Sultan Anom agar mendapatkan dukungan dari VOC.
Sebagai Sultan Anom yang tidak mempunyai hak atas urusan yang
masih menjadi urusan Sultan Sepuh itulah, maka karena ingin mengadakan
perjanjian yang saling menguntungkan dengan VOC, Sultan Anom berani
69
Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, hlm. 100.
70
Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984), hlm.35. Sultan Ageng Tirtayasa bernama asli Sultan Abdul Fattah yang beristrikan Nyi Ayu Gede dan Ratu Nengah. Bertathta sejak tahun 1651-1682.
71
Pangeran Haji atau Sultan Anom, adalah salah satu putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikirim ke Mekkah dua kali selama hidupnya, pada tahun 1669 (kembali pada tahun 1671) dan pada 1676 (kembali pada tahun 1679) oleh karena itu dia dikenal dengan nama Sultan Haji. Sultan Haji atau yang bernama asli Pangeran Abdul Nasir Abdul Kadir, rupanya lebih senang bersahabat dengan VOC ketimbang
(43)
menyatakan diri bahwa Sultan Sepuh telah mundur dari tahta Kesultanan Banten,
karena telah pindah lokasi pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu ke
Tirtayasa. Inilah konsep yang menjadi awal konflik suksesi di istana Kesultana
Banten.
2. Potensi Konflik Intern Antar Bangsawan Kesultanan Banten.
Pandangan VOC terhadap politik (kekuasaan), sebenarnya hanya bersifat
praktis. Legitimasi kekuasaan seorang raja yang berkuasa, hanya tergantung dari
keturunan dari raja sebelumnya. Kekuasaan raja yang dapat menjadi sahabat VOC
itulah yang dapat diterima oleh VOC sebagai bagian dari kekuasaannya.72
Raja di Jawa adalah seorang tokoh politik sentral yang absolut.73Memang
tidak semua Pangeran memenuhi kualifikasi sebagaimana telah dijelaskan pada
konsep yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, maka kekuasaan yang ada pada
Kesultanan Banten menjadi sumber potensi konflik dan menimbulkan faksi. Faksi
yang ada terutama berpangkal antara Sultan Sepuh, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan
Sultan Anom atau Sultan Haji. Timbulnya faksi tersebut menjadi sebuah keuntungan
yang sangat besar bagi VOC.74
Pada konsep politik di dunia kapitalis Eropa menghasilkan, pertama,
kebijakan dan kedua, tanpa bentuk negara. Kebijakan adalah keputusan negara untuk
mengatur hubungan sosial-produksi dan kedua, mengatur faktor-faktor produksi dan
modal. Sedangkan tanpa bentuk negara berarti, kapitalisme tidak mempunyai bentuk
negara, tidak ada batas-batas geografisnya dan beroperasi di antar negara, karena
72
M.C Ricklefs,Sejarah Modern Indonesia, 1200-2004, hlm. 119. 73
Reid,Dari EkspansiHinggaKrisis Jilid II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, 1450-1680, hlm. 228.
74
(44)
melampaui semua batas-batas yang ada.75 Konsep inilah yang dibawa VOC ke Jawa
dalam proses merkantilisnya (perniagaan).
Berawal dari kedekatan Pangeran Anom (Pangeran Haji) kepada VOC.
Dia dikirim ayahnya ke Mekkah pertama kali untuk meneruskan kontak yang telah
terjalin ke Turki Utmani pada tahun 1671, yaitu ketika telah berjalan satu dasawarsa
lebih perjanjian damai antara Kesultanan Banten dengan VOC di tahun 1659.76
Ketika VOC dan Batavia melihat bahwa Kesultanan Banten merupakan musuh utama
yang harus ditaklukkan, VOC berusaha untuk mendekati Pangeran Haji, yang dikenal
bersahabat dengan VOC agar terus menjadi sahabat VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa yang risau akan bahaya VOC, selalu berusaha
untuk menghindari Kesultanan Banten dari pengaruh VOC, terutama pada diri
Pangeran Haji, kemudian mengirim kembali Pangeran haji untuk kedua kalinya ke
Mekkah pada tahun 1674. Ketika Pangeran Haji kembali ke Banten pada tahun 1679,
keadaan di Jawa telah kacau-balau akibat munculnya pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram. Kerajaan Mataram telah jatuh ke dalam pengaruh VOC, dengan
perjanjian yang sangat memberatkan Sunan Amangkurat II. Sultan Ageng Tirtayasa
yang berusaha membantu Pangeran Trunojoyo dalam mengusir VOC, akhirnya
menjadi incaran VOC setelah proses pemberontakan itu berhasil dipadamkan VOC
pada tahun 1679.77
Pangeran Haji yang telah menjadi semakin dekat dengan VOC, akhirnya
dengan mudah dibujuk VOC untuk mengambil alih tahta, apa lagi terdapat isu bahwa
75Emmanuel Wallerstein, “Ekonomi Dunia Kapitalis” dalam, Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown (peny.),Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan, Edisi Keenam, terj. A.R Henry Sitanggang, (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 540-541.
76
M. J. A. Van der Chijs (ed.),Daghregister Gehoeden in Casteel Batavia, Vant Passerande Daer Als Over Geheel In Nederland-India, Anno 1659, (Batavia dan s’Hage: Landsdukkerij dan M. Nijhoff, 1904), hlm. 247-250.
(45)
Pangeran Purbaya, yang merupakan saudara muda Pangeran Haji, akan diserahkan
tugas sebagai Sultan Anom karena Pangeran Haji telah melanggar aturan, yaitu
sebagai Sultan Anom, dia malah menjalin hubungan dengan VOC.78
Alasan tersebut menimbulkan ketidak puasan pada diri Pangeran Haji.
Akhirnya Pangeran Haji mengadakan hubungan dengan VOC dan VOC bersedia
membantuanya, namun dengan konsekuensi bahwa dia harus mau menjadi “Raja
BonekaKompeni”. Meskipun begitu konsesi tersebut dipenuhi oleh Sultan Haji pada
tahun 1682, yaitu ketika dia telah naik tahta yang ditandai dengan menyerahnya
Sultan Ageng Tirtayasa dari arena pertempuran.79 Perang Banten belum berakhir
sebelum Syeikh Yusuf Al-Maqassari dan Pangeran Purbaya benar-benar menyerah
pada VOC di tahun 1684.
B. Jalannya Konflik.
1. Intrik Politik Dalam Istana Kesultanan Banten.
Sepanjang tahun 1677 hingga 1679 ketika keadaan genting di tanah Jawa
masih berlangsung, VOC berusaha membuat intrik di dalam tubuh istana Banten
sendiri, terutama setelah muncul faksi antara pendukung Sultan Ageng Tirtayasa
dengan Pangeran Haji.
Tahun 1679 ketika Pangeran Haji datang kembali ke Banten dari aktifitas
hajinya yang kedua kali, VOC di Batavia melihat peluang tersebut. Melalui anjuran
seorang anggota Dewan Hindia yang kemudian menjadi Gubernur Jendral VOC yang
kedua kalinya, Rickloff van Goens, mengirim surat dan menyatakan pada Heeren
XVII di Amsterdam tertanggal 31 Januari tahun 1679:
78
Lubis,Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, hlm. 52. 79
(46)
“Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita, ialah penghancuran dan penghapusan Banten… Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur-leburkan, atau kalau tidak, maka Kompenilah yang akan lenyap.80
VOC mengirim mata-mata dan penghasut dan terus memperhatikan
potensi dari Pangeran Haji yang dekat dengannya. Ketika Pangeran Haji menyatakan
diri sebagai Sultan Banten di bulan Mei tahun 1680, VOC menyatakan akan
melindunginya. Beralihnya singgasana Sultan Ageng Tirtayasa ke Tirtayasa pada
tahun 1680, membuat Pangeran Haji kian berani memanggil dan terus berhubungan
dengan wakil-wakil VOC, beberapa bangsawan tersisa yang menjadi pendukung
Sultan Ageng Tirtayasa, disingkirkan dari jabatannya.
Demi menjaga perdamaian maka Sultan Ageng Tirtayasa mengadakan
perundingan dengan VOC melalui wakilnya Willem Caeff dan Johannes Couper di
tahun 1680 (terdapat juga upaya VOC melalui kedua utusan tersebut untuk terus
mengadakan kontak dengan Sultan Haji). Memang tidak terjadi dan menghasilkan
apa-apa dari perundingan tersebut, karena pasukan Kompeni belum sempurna, sampai
akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa mengepung istana untuk menurunkan kewenangan
dari Sultan Haji di tahun 1682.
Ketika dirasakan berkurangnya berbagai gejolak pemberontakan yang
terjadi di bagian timur pada akhir tahun 1680, maka VOC dengan segera dapat
memindahkan dan memusatkan pasukannya untuk menghadapi Banten.81 Sebagai
senjata politik VOC untuk melindungi Sultan Haji. Pasukan tersebut telah
ditempatkan di sekitar Banten, baik dari laut maupun dari darat. VOC yang makin
khawatir dengan masalah Trunojoyo dan kemudian Untung Suropati,82seorang budak
80
Kutipan dalam terjemahan. Lihat Tjandrasasmita,Sultan Ageng Tirtayasa, hlm. 36. 81
Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, hlm. 127.
(47)
yang pernah ikut dalam ekspedisi militer pertama VOC ke Banten di tahun 1680,
menginginkan solusi yang cepat.
Siasat Sultan Ageng untuk mengadakan perundingan dengan berbagai
pihak, termasuk VOC, serta pengiriman diam-diam ekspedisi militernya untuk
membantu pemberontak Trunojoyo, dengan melakukan gangguan di sekitar wilayah
Batavia dan Mataram, yaitu di Karawang, Bogor dan Cirebon sepanjang tahun
1678-1680.83 Membuat VOC semakin yakin, bahwa intrik politik yang disebarkan di
kalangan bangsawan istana Banten, berupa hasutan dan mata-mata tidak berguna.
Satu-satunya hal adalah langsung diputuskannya membantu dan mendudukkan Sultan
Haji yang pro-VOC pada tahta Kesultanan Banten, dengan menyingkirkan Sultan
Ageng Tirtayasa, baik dengan jalan perang ataupun dengan jalan damai.
2. Perang Terbuka Antar Bangsawan Kesultanan Banten.
Sejak tahun 1619 hingga dekade 1720-an perekonomian di Batavia
semakin ramai dengan dominasi orang-orang Tionghoa.84 Sementara perekonomian
VOC, selama pertengahan dekade 1650-an hampir mengalami krisis akibat gangguan
orang-orang Banten. Segera VOC menerapkan kebijakan dengan membatasi aktifitas
dagang ke Banten. Banten menjadi musuh utama dalam perdagangan VOC dan
satu-satunya jalan untuk mengalahkannya, adalah dengan politik intervensinya, baik
dengan militer ataupun politik adu domba.85
Setelah melihat potensi-konflik yang telah di jelaskan pada poin
sebelumnya, maka ada sebuah peristiwa yang menjadi pemicu awal terjadinya perang
terbuka antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tanggal 25
83
Tjandrasasmita,Sultan Ageng Tirtayasa, hlm. 40. 84
H. M Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005), hlm. 67.
85
(48)
November 1680, Sultan Haji yang masih menjadi Sultan Anom, mengirimkan utusan
ke Batavia,86 untuk mengucapkan selamat dalam acara pengangkatan Gubernur
Jendral Cornelis Speelman,87 keadaan tersebut menimbulkan kegemparan, karena hal
tersebut menyalahi aturan protokoler di Kesultanan Banten.
Adanya utusan ke Batavia dari Banten dianggap oleh VOC sebagai tanda
hormat dan tunduk dari Banten terhadap VOC. Sultan Haji juga berusaha mengirim
utusan ke London sebanyak 25 orang pada 10 November 1681, untuk meminta
dukungan dan membeli senjata untuk melawan ayahnya. Utusan tersebut dipimpin
oleh Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana.88
Kekecewaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Sultan Haji dan rasa
bencinya terhadap VOC, membuatnya memutuskan untuk mengangkat senjata mengusir VOC dan menurunkan Sultan Haji dari kewenangannya. Pada bulan Februari 1682 Sultan Ageng Tirtayasa sudah hilang kesabarannya terhadap tingkah laku dan kewenangan Sultan Haji. Dia mengepung Kraton Surosowan untuk menurunkan Sultan Haji, namun upaya itu gagal karena dukungan militer VOC.
Sadar akan dukungan intern istana yang sangat kurang, Sultan Haji kemudian meminta bantuan VOC dengan berbagai konsesi yang ditawarkan oleh VOC. Sultan Haji dengan mudah menyetujuinya walaupun itu berarti hilangnya kemerdekaan Banten. Bantuan dan dukungnan VOC membuat tahta Sultan Haji kuat.
Pengepungan istana Surosowan dan penyerangan pasukan Banten terhadap pasukan VOC, yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa terus dilakukan
86
Tjandrasasmita,Sultan Ageng Tirtayasa, hlm. 42. 87
Cornelis Speelman adalah seorang laksamana dan pahlawan dalam armada VOC. Dia adalah penakluk Makassar dan penumpas pemberontakan Trunojoyo di Kerajaan Mataram. Dia juga yang mengusulkan agar VOC intensif melakukan penetrasi poltik dan ekonomi dengan jalan intervensi. Mona Lohanda,Kisah Para Pembesar Pengatur Batavia, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 53.
88
(49)
hingga bulan Desember 1682. Jatuhnya wilayah Angke hingga Sajira di awal Maret 1683, membuat Sultan Ageng Tirtayasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerah, apalagi panglima tentara Banten, Pangeran Kulon telah gugur. Dia dibujuk oleh Sultan Haji untuk datang ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683, namun ternyata ditangkap dan dipenjara di Batavia hingga akhir hidupnya di tahun 1692.89
Perang terbuka masih berlanjut hingga akhir tahun 1683 antara pasukan VOC yang melindungi Sultan Haji, dengan Pasukan Banten yang dipimpin oleh Syeikh al-Maqassari, Pangeran Kidul dan Pangeran Purbaya, dengan kekuatan sekitar 5.000 orang. Mereka bergerak ke arah selatan setelah Tirtayasa dan Sajira jatuh ke tangan pasukan gabungan VOC dan Sultan Haji. Ketiganya bergerilya di sekitar Bogor dan Cianjur, bahkan mereka telah bergerak ke daerah Mataram, di Tasikmalaya dan Banyumas. Pasukan yang dipimpin oleh Syeikh Yusuf al-Maqassari lebih terpusat bergerak ke arah Cirebon. Pada daerah lain yaitu, di Garut pada 25 September 1683, pasukan pangeran Kidul telah menyerah karena pimpinannya telah gugur.
VOC dengan pimpinan yang kesulitan mengejar pasukan yang dipimpin oleh Syeikh Yusuf al-Maqassari, akhirnya mempergunakan taktik kotor, yaitu dengan menangkap dan menawan putrid Syeikh Yusuf al-Maqassari, yaitu yang bernama
Asma’. Oleh Kapten VOC, van Happel yang bergaya Arab, Syeikh Yususf dapat dibujuk untuk menyerah pada tanggal 14 Desember 1683.
Pada tempat lain Pangeran Purbaya bergabung dengan pasukan Untung Suropati di daerah Cianjur. Setelah bertempur selama 1 bulan, akhirnya pasukan Pangeran Purbaya yang berjumlah 800 orang menyerah. Penyerahan Pangeran
(50)
Purbaya ditandai dengan diserahkannya keris miliknya kepada VOC sebagai tanda takluk pada tanggal 6 Februari 1684.
Para pahlawan Perang Banten yaitu Syeikh Yusuf al-Maqassari dan Pangeran Purbaya, akhirnya diadili di Batavia pada tanggal 12 September 1684. Syeikh Yusuf al-Maqassari diputuskan dibuang ke Srilangka dan ke Tanjung Harapan, sedangkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya dipenjara di Kastil Batavia hingga wafatnya. Itulah akhir dari rentetan peristiwa dari konflik fisik Perang Suksesi Banten yang ada intervensi VOC dari tahun 1680-1684.90Pada tanggal 17 April 1684 akhirnya ditanda tangani perjanjian antara VOC dan Kesultanan Banten dengan 10 pasal dan pembaruan tambahan dari perjanjian di tahun 1659.
Pemberontakan terhadap kekuasaan Sultan dan VOC masih belum
berhenti, apalagi saat rakyat mengetahui, bahwa VOC menekan raja untuk
menandatangani. Sementara kondisi ekonomi daerah pesisir semakin memburuk
karena kebijakan VOC sangat membebani rakyat.91Akibatnya banyak rakyat memilih
untuk bergabung dengan pemberontak agar terbebas dari beban tersebut.
C. Intervensi VOC Dalam Masalah Suksesi di Kesultanan Banten. 1. Maksud dan Tujuan
a. Monopoli Perdagangan
Pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda tergabung
dalam satu wadah Perserikatan Maskapai Hindia Timur yang sering disebut VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Fusi atau penggabungan tersebut
90
Ibid., hlm50-55. 91
Rakyat harus membayar pajak tanah dengan menyerahkan seperlima hasil panen, 66 hari dalam setahun untuk melakukan kerja wajib (herendiensten), penyerahan hasil wajib (verlichte leveranties), pungutan jalan (tol), pajak ekspor beras dan arak dari daerah tertentu. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Hingga Imperium Jilid I, (Jakarta: Gramedia Pustaka
(51)
dimaksudkan agar tidak terjadi persaingan antar perusahaan Belanda yang
mengakibatkan semakin kecil keuntungan.92
Para bangsawan pedagang Belanda yang mendirikan VOC, bertujuan
untuk menjalankan politik monopoli rempah-rempah di Nusantara. Hubungan
antara VOC dengan penguasa setempat cukup baik di awal kedatangannya.93
Sistem monopoli perdagangan bertentangan dengan sistem tradisional yang
berlaku, lagipula tindakan-tindakan dengan paksaan dan kekerasan menambah
kuat sikap bermusuhan tersebut.
Markas besar VOC berada di Amsterdam. VOC mempunyai
wewenang untuk merekrut personel atas dasar sumpah setia, melakukan
peperangan, membangun benteng-benteng, dan mengadakan perjanjian-perjanjian
di seluruh Asia.94
Tujuan VOC sebenarnya sederhana dan ambisius, yaitu suatu
monopoli dagang yang absolut, dengan kekuatan angkatan laut. Komoditas
diangkut dengan kapal VOC, yang komoditas tersebut diambil dengan
kesepakatan atau berdasar aturan tertentu. Demi mencegah perdagangan di luar
VOC, aturan yang ketat diberlakukan dan barang yang dikirim ke Belanda, diatur
jumlah dan macamnya.95 Tujuan VOC untuk menguasai perdagangan di
Nusantara, dengan sendirinya membangkitkan perlawanan pedagang pribumi
yang terancam kepentingannya Di kalangan VOC sendiri, banyak yang
menentang penggunaan kekerasan akibat pelaksanaan dukungan politik tersebut.
92
Ricklefs,Sejarah Modern Indonesia, 1200-2004, hlm. 39. 93
Notosusanto,Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 332. 94
Boxer,Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799, hlm.39 95
(52)
Namun banyak kenyataan di lapangan yang mengharuskan VOC melakukan
kekerasan militer.
Sejak awal VOC melihat bahwa, dalam jaringan perdagangan di
Indonesia bagian barat dari Indonesia bagian timur, fungsi suatu tempat
tersimpulnya jalur-jalur perdagangan sangat penting. Bagi VOC suatu penguasaan
perdagangan di kawasan itu, menimbulkan keperluan mendesak untuk
mempunyai kedudukan di tempat bertemunya simpul dalam jaringan
perdagangan.96
Waktu VOC mulai kegiatannya di Nusantara, dihadapinya suatu dunia
perdagangan inernasional dengan sistem terbuka. Peraturan jual beli, proses tawar
menawar, penentuan harga mengikuti pola pergerakan pasar. Perdagangan
rempah-rempah menempati kedudukan yang utama, akan tetapi komoditas lain
seperti perdagangan beras, sagu, kain dan sebagainya, merupakan penunjang
dalam kegiatan perdagangan tersebut.97.
Pada masa kekuasaan Jan Pieterszoon Coen, VOC berusaha mencari
pijakan lain di Jawa setelah Jepara sejak masa Panembahan Senopati. Dia
kemudian memilih daerah Jayakarta, karena tiga hal, pertama, karena alasan
geografis, yaitu adanya muara sungai yang airnya mengalir tidak terlalu deras,
kedua, dekat dengan pusat dagang Banten, ketiga, karena penguasanya
memberikan tempat dan adanya penduduk yang akan membantu VOC.98 Pada
1619, setelah mengalahkan Pangeran Wijayakrama, VOC mambangun benteng
96
Kartodirdjo,Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, hlm. 210. 97
Reid,Dari Ekspansi Hingga Krisis Jilid II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, 1450-1680, hlm. 211.
(1)
Ota, Atsushi.Change of Regime And Social Dinamic In West Java: Society, State And The Outer World of Banten, 1750-1830. (Leiden: Koninklijk Brill NV, 2006).
Parthesius, Robert. Ducth Ships In Tropical Waters, The Development of The Dutch East Indies Company (VOC) Shipping Network In Asia 1595-1660. (Amasterdam: Amsterdam University Press, 2010).
Pradjoko, Didik, dan Friska Indah Kartika. Pelayaran dan Perdagangan Kawasan Laut Sawu Abad Ke-18-Awal Abad Ke-20. (Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2014).
Reid, Anthony.Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, 140-1680, Jilid 1: Tanah Di Bawah Angin. Terj. Mochtar Pabottinggi. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011).
Ricklefs, M.C. Sejarah Modern Indonesia, 1200-2004. Terj.-. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006).
Rush, James R. Opium To Java, Jawa Dalam Cengkraman Bandar-bandar Opium, Indonesia Kolonial 1860-1910. Terj. E. Setyawati Alkhatab. (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000). Soemardjan, Selo dan Soeleman Sumardi. Setangkai Bunga Sosiologi. (Jakarta: Penerbit
Fakultas Ekonomi UI, 1964).
Stockdale, John Joseph.Eksotisme Jawa, Eksotisme Sejarah Pulau Jawa, Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa 1768-1806. Terj. Anik. (Yogyakarta: Penerbit Progresif Book, 2010).
Sudjana, I Made.Negeri Tawon Madu. (Semarang: Larasan-Sejarah, 2010).
Suratman, Darsiti.Dunia Keraton Surakarta, 1830-1939. (Yogyakarta: UGM Press, 1989). Suratminto, Lilie.Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia. (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2008).
Tate, D. J. M. The Making of Modern South East Asia Vol. I: The European Conquest. (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971).
Taylor, Jean Gelman. Kehidupan Sosial di Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur. Terj. Tim Komunitas Bambu. (Depok: Masup Jakarta, 2009).
Tjandrasasmita, Uka. Sultan Ageng Tirtayasa. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984).
(2)
van Klaberen, J.J. The Dutch Colonial System In The East Indies. (The Hague: J.J van Klaveren, 1953).
Vlekke, Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008).
Wallerstein, Emmanuel. “Ekonomi Dunia Kapitalis” dalam, Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown (peny.).Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan, Edisi Keenam. Terj. A.R Henry Sitanggang. (Jakarta: Erlangga, 1992).
Whitten, Tonny, Roehayat Emon Soeriaatmadja dan Suraya A. Afiff. The Ecology of Indonesian Series Volume II: The Ecology of Java and Bali. (Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd., 2000).
Wijayakusuma, H. M Hembing. Pembantaian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke. (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005).
Internet
Sulaimandjaja blogspot.com. Akses paa tanggal 5 Juni 2015, pukul: 14.30-15.00. Jurnal
Novida Abbas. Bekas Benteng-benteng Kolonial di Jawa: Penggunaan dan “Penyalahgunaannya”, dalamBerkala Arkeologi. Edisi No. 1 tahun XXI/ Mei 2002. Museum
Koleksi artefak Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta . Koleksi artefak Museum Bahari di Jakarta Utara.
(3)
(4)
(5)
(6)