Konsep Dasar Budaya Perubahan Sosial dan

Konsep Dasar Budaya, Perubahan Sosial, dan
Masyarakat Desa

Oleh: Paskalius Taboen

Pendahuluan
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti
mengalami perubahan-perubahan, yang dapat
berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti
kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan

yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta
ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali,
tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat.
Perubahan-perubahan hanya akan dapat ditemukan
oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan
kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan
membandingkannya dengan susunan dan kehidupan
masyarakat pada waktu yang lampau. Seseorang
yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan
masyarakat desa di Indonesia misalnya akan

berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak
maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian
didasarkan pada pandangan sepintas yang tentu saja
kurang mendalam dan kurang teliti karena tidak ada
suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik
tertentu sepanjang masa. Orang-orang desa sudah
mengenal perdagangan, alat transportasi modern,
bahkan dapat mengikuti berita-berita mengenai
daerah lain melalui radio, televisi, dan sebagainya
yang kesemuanya belum dikenal sebelumnya.
Masyarakat dan kebudayaan manusia di
manapun selalu berada dalam keadaan berubah.

Pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan
primitif, yang hidup terisolasi jauh dari berbagai jalur
hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain di
luar dunianya sendiri, perubahan yang terjadi dalam
keadaan lambat. Perubahan yang terjadi dalam
masyarakat berkebudayaan primitif tersebut,
biasanya telah terjadi karena adanya sebab-sebab

yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan
itu sendiri, yaitu karena perubahan dalam hal jumlah
dan komposisi penduduknya dan karena perubahan
lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.
Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang
hidupnya tidak terisolasi dari atau yang berada
dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakatmasyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk
berubah secara cepat dibandingkan dengan
perubahan yang terjadi dalam masyarakat
berkebudayaan primitif seperti tersebut di atas.
Perubahan yang terjadi secara lebih cepat tersebut,
disamping karena faktor-faktor perubahan jumlah
dan komposisi penduduk serta perubahan lingkungan
hidup juga telah disebabkan oleh adanya difusi atau
adanya penyebaran kebudayaan lain ke dalam
masyarakat yang bersangkutan, penemuanpenemuan baru khususnya penemuan-penemuan
teknologi dan inovasi.
Para sosiologi pernah mengadakan klasifikasi
antara masyarakat-masyarakat statis dan
dinamis. Masyarakat yang statis adalah masyarakat

yang sedikit sekali mengalami perubahan dan
berjalan lambat. Masyarakat yang dinamis

adalah masyarakat yang mengalami berbagai
perubahan dengan cepat.Jadi setiap masyarakat,
pada suatu masa dapat dianggap sebagai
masyarakat yang statis. Sedangkan pada masyarakat
yang lainya, dianggap sebagai masyarakat yang
dinamis.
Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata
berarti suatu kemajuan (progress) namun dapat pula
berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan
tertentu. Perubahan-perubahan masyarakat dapat
mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, polapola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain
sebagainya.
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang
gejala-gejala dan kejadian sosial budaya di
masyarakat sebagai proses-proses yang sedang

berjalan atau bergeser kita memerlukan beberapa
konsep. konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk
menganalisa proses pergeseran masyarakat dan
kebudayaan serta dalam sebuah penelitian
antropologi dan sosiologi yang disebut socio-cultural

change.
1. Konsep Kebudayaan
Secara estimologis, kata “kebudayaan” berasal
dari bahasa Sansekerta Buddhayaha yang
merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang
berarti akal atau budi, sedangkan daya mengandung
makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Dengan
demikian, kebudayaan secara gamblang dapat di

artikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan
kesanggupan atau kekuatan budi dan akal yang
dimiliki manusia untuk menghadapi segala kesulitan
berkenaan dengan tata cara tertentu dalam
kehidupan.

Koentjaraningrat (2004) menjelaskan,
kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya,
dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada
nalurinya, dan kebudayaan merupakan
kebiasaan/cara-cara yang di lakukan oleh manusia
secara terus-menerus dan atau di ulang dengan
pola yang teratur, sehingga membentuk cara
berperilaku maupun bertindak. Kebudayaan haruslah
memuat unsur-unsur yang memang mencakup dan
menunjukan isi utama dari kebudayaan yakni:
memuat sistem religi dan upacara keagamaan,
sistem organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian, terakhir sistem teknologi dan peralatan.
Diantara unsur-unsur kebudayaan yang telah
disebutkan terdapat pembagian antara unsur yang
paling mudah dipengaruhi kebudayaan lain hingga
unsur yang paling sukar untuk berubah dan diganti
dengan unsur-unsur serupa dari kebudayaankebudayaan lain. Keadaan ini sebenanrnya
menunjukan bahwa seiring perkembangan ilmu

pengetahuan, tehknologi, dan kebudayaan luar,
individu maupun kelompok berhadapan langsung
dengan tantangan dan pengaruh besar yang
memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk

nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku antar
kelompok dalam masyarakat. Ketujuh unsur
kebudayaan universal telah mewakili seluruh
kebudayaan mahkluk manusia di manapun juga baik
di perkotaan atau pedesaan, yang memuat ruang
lingkup serta isi dari kebudayaan itu.
Koentjaraningrat (2004) menjelaskan, terdapat
pranata dalam kebudayaan masyarakat manusia.
Pranata merupakan sistem norma dan tata kelakuan
berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Lebih
lanjut, Koenjtaraningrat (2004) menjelaskan, unsurunsur pranata merujuk pada unsur-unsur pada
kebudayaan yang saling berkaitan satu sama lain,
sehingga unsur-unsur tersebut menjelaskan kelakuan
berpola yang diperlihatkan masyarakat. Dengan

demikian, pranata berfungsi sebagai prinsip-prinsip
dominan yang diterapkan masyarakat dalam hal
berhubungan dengan sesama berangkat dari nilaibudaya, norma, aturan-aturan yang berkembang.
Terdapat delapan pranata yang ada dalam
masyarakat yakni: domestic institution (mengenai
sistem kebutuhan kehidupan kekerabatan), economic

institution (mengenai sistem kebutuhan hidup untuk
memproduksi, mendistribusi, dan konsumsi),

educational institution (mengenai sistem kebutuhan
penerangan dan pendidikan manusia), scientific

institution (mengenai sistem kebutuhan ilmiah
manusia untuk menyelami alam semesta dan
sekelilingnya), aesthetic and recreational institution
(mengenai sistem kebutuhan manusia menyatakan
rasa keindahannya dan untuk rekreasi), religious

institution (mengenai sistem kebutuhan manusia

untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam
gaib), political institution (mengenai sistem untuk
mengatur kehidupan berkelompok/bernegara),

somatic institution (mengenai sistem kebutuhan
jasmaniah dari manusia). Koentjaraningrat (2004)
kembali menjelaskan, meskipun penggolongan
tersebut tidak memuaskan karena tidak mencakup
segala pranata yang ada dalam masyarakat, namun
antar-satu aspek atau lebih bisa saling berkaitan dan
menjelaskan suatu aktivitas manusia/masyarakat.
Misalnya: pertambangan adalah suatu sistem
hubungan antara pemilik modal, pemilik tanah, dan
penggarap tanah, yang pada dasarnya sebagai
aktivitas produksi dianggap economic institution,
tetapi juga sebagai hubungan antara penguasa dan
rakyat sebagai political institution.
Kebudayaan sangat erat hubungan nya dengan
masyarakat. Herskovits dan Bronislaw (dalam
Sulasman dan Gumilar, 2013), mereka

mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu (Cultural-Determinism).
Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sesuatu
yang di wariskan turun-temurun dari satu generasi
kepada generasi lain, yang kemudian disebut sebagai

superorganic. Terlepas dari semua itu, kebudayaan
dapat diartikan sebagai fenomena sosial yang tidak
dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan manusia
yang menghayatinya dalam setiap aktivitas

kehidupan, karena kebudayaan menyatu dan
mendarah daging dalam diri manusia.
Berbicara tentang kebudayaan juga tidak bisa
terlepas dari peradaban (civilazation) karena
kebudayaan merupakan prasayarat bagi
pengembangan peradaban -jika peradaban di maknai
sebagai budaya tinggi (high culture)- yang meliputi
tata cara yang memungkinkan berlangsungnya

pergaulan sosial masyarakat sebagai yang lancar dan
sesuai dengan norma kesopanan yang berlaku dalam
masyarakat. Koentjaraningrat (2004) menyatakan,
bahwa istilah peradaban dipakai untuk menjelaskan
keberadaan perkembangan kebudayaan suatu
masyarakat yang mempunyai sistem teknologi, seni
bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu
pengetahuan yang maju dan kompleks.
Sulasman dan Gumilar (2013) menyatakankan,
suatu kebudayaan tidak dapat eksis tanpa
masyarakat, begitu juga sebaliknya, sehingga
konsep kebudayaan tersebut telah melahirkan suatu
kenyataan bahwa kebudayaan dapat dilihat dari dua
sisi: (1) konsep kebudayaan yang bersifat
materialistis, yangmendefenisikan kebudayaan
sebagai sistem hasil adaptasi di lingkungan alam
atau sistem untuk mempertahankan kehidupan
masyarakat; dan, (2) konsep kebudayaan bersifat
idealistis, yang memandang semua fenomena
eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal.

Menurut J.J Hoenigman (dalam Sulasman dan
Gumilar, 2013), wujud kebudayaan dibedakan
menjadi tiga yakni: gagasan,aktivitas, dan artefak.
a. Gagasan (wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan
yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya
abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud
kebudayaan ini terletak dalam kepalaatau alam
pikiran warga masyarakat. Jika masyarakat
tersebut menyatakan gagasannya dalam bentuk
tulisan, lokasi dari kebudayaan ideal itu berada
dalam karangan dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut.
Wujud ideal dapat pula disebut sebagai
ideologi. Istilah ideologi mengacu pada kawasan
ideasional dalam suatu budaya. Dengan demikian,
istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan
kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis,
pengetahuan atau waswasan tentang dunia, etos,
dan semacamnya.
b. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Sebagai perwujudan gagasan dalam
kebudayaan,aktivitas (perilaku) dibagi menjadi
perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal
(artefak dan alam). Wujud perilaku sering
berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri
atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan
manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sifat konkret,
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat
diamati dan didokumentasikan. Sistem sosial

terkait pula dengan struktur sosial. Struktur sosial
merupakan konfigurasi (penggabungan)
kelompok-kelompok yang unggul/dominan yang
merupakan seperangkat norma atau aturan.
c. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang
berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat, berupa benda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya palingkonkret di
antara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, antara wujud
kebudayaan yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal
mengatur dan memberi arah pada tindakan
(aktivitas) dan karya (artefak). Sebagai perwujudan
gagasan dalam kebudayaan, perilaku dibagi menjadi
perilaku verbal dan nonverbal. Keduanya membentuk
kebudayaan material. Materi yang dimaksud adalah
meliputi benda tak bergerakyang disebut artefak.
Eliot (dalam Jenks, 2013) mengungkapkan,
pandangannya mengenai kebudayaan yang memiliki
stratifikasi, sehingga kebudayaan dalam masyarakat
yang satu dengan yang lainnya tidak atau agak
bersifat kurang egaliter. Ada tiga strata kebudayaan
yang dirumuskan, yaitu individu, kelompok, dan
keseluruhan masyarakat. Kita tidak bisa
menggunakan standar-standar yang ada dalam salah
satu strata tersebut untuk diberlakukan pada kedua
strata yang lain, demikian juga seterusnya karena
budaya individu, kelompok, dan masyarakat relatif

berbeda dan justru bertolak belakang. Dengan
demikian, tiap orang hanya dapat mencapai standar
budaya pada levelnya sendiri. Jadi, sama sekali tidak
tepat jika kita mencoba mendidik kelompok
mayoritas untuk memahami kebudayaan kelompok
minoritas.
2. Teori Kebudayaan
a. Kebudayaan Sebagai Sistem dengan
Pendekatan Struktur Fungsional
Salah satu pendekatan yang digunakan
dalam menganalisis masyarakat dan kebudayaan
umat manusia adalah pendekatan fungsionalisme
dan struktural fungsionalisme. Ritzer (2010)
menyatakan, penganut teori fungsional memang
memandang segala pranata sosial yang ada
dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional
dalam artian positif dan negatif. Sulasman dan
Gumilar (2013) mengatakan, Pendekatan ini
muncul di dasari oleh pemikiran bahwa manusia
sepanjang hayatnya dipengaruhi oleh pemikiran
dan tindakan orang sekitarnya, sehingga manusia
tidak pernah mampu sepenuhnya menentukan
pilihan tindakan, sikap, atau perilaku tanpa
mempertimbangkan orang lain.
Menurut Ritzer (2010), perspektif struktural
fungsional memandang bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan
saling berintegrasi dalam suatu keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada suatu unsur dari
sistem sosial akan berdampak pada unsur yang

lainnya. Pendapat Sulasman dan Gumilar (2013)
menguatkan asumsi dasar dariperspektif ini,
bahwa setiap bagian atau struktur pada sistem
sosial bersifat fungsional terhadap bagian dan
struktur lainnya.
Comte (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013)
mengemukakankonsep statik sosial, bahwa dalam
bentuk kehidupan sosial terdapat hubungan yang
saling berkaitan dan saling bergantung satu sama
lain. Masyarakat diibaratkan sebagai suatu
organisme yang terdiri atas strruktur dan fungsi.
Masyarakat terdiri atas bagian-bagian yang saling
berinteraksi dan mempunyai fungsi-fungsi
tersendiri dalam menciptakan keseimbangan.
Statik sosial akan menentukan tata tertib sosial
dalam organisme masyarakat.
Spencer (dalam Martono, 2012) mengemukakan,
bahwa masyarakat dibentuk dari organisme hidup.
Spencer mengatakan bahwa antara masyarakat
(sistem sosial) dan organisme hidup (sistem
biologi) terdapat perbedaan dan kesamaan.
Spancer (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013)
mengatakan bahwa masyarakat ataupun
organisme akan meengalami pertumbuhan.
Keduanya juga akan mengalami pertambahan dari
segi ukurannya sehingga struktur tubuh-sosial
(social body) ataupun tubuh organisme (living

body) juga mengalami pertambahan. Oleh karena
itu, semakin besar suatu struktur sosial, semakin
banyak bagian yang ada didalamnya. Perubahan
yang terjadi dalam suatu sistem organisme

ataupun sistem sosial akan mengakibatkan
perubahan pada bagian-bagian lainnya yang pada
akhirnya terjadi dalam sebuah sistem secara
keseluruhan.
Dari uraian di atas, tampak bahwa
masyarakat merupakan sistem yang dibentuk oleh
bagian-bagian menyatu menjadi suatu
keseluruhan. Sistem sosial hanya dapat dipahami
dari sisi kelangsungan struktur khusus
yangmemiliki fungsi memapankan keseluruhan
sistem dan sistem tersebut dihadapkan pada
persyaratan tertentu apabila ingin tetap
berlangsung artinya fungsi struktur harus harus
ditentukan dengan kebutuhannya.
Kebudayaan tidak dapat lagi diartikan
sebagai warisan perilaku simbolik yang
menjadikan manusia sebagai manusia, atau
warisan yang diberikan kepada individu-individu
dalam masyarakat tertentu. Di Jerman abad ke
19 telah tercipta suatu hubungan harmonis
antara kebudayaan sebagai suatu ide intelektual
dan kebudayaan sebagai ciri fundamental suatu
masyarakat atau disebut juga sebagai suatu
etos. Konsepsi tentang hukum, tujuan agama,
filsafat, tema-tema sastra, corak seni telah
dipelajari untuk melihat ciri fundamental suatu
masyarakat. Ketika penekanan pada bidang
intelektual, seni dan moral berjalan, ide
kebudayaan diterapkan dalam masyarakat
secara keseluruhan. Pada saat itu penggunaan
istilah kebudayaan dan peradaban dipergunakan

secara bergantian, penggunaan istilah itu
mencirikan masyarakat telah berkembang dari
tingkat yang lebih rendah ketingkat yang lebih
tinggi. Kebudayaan menunjukan prestasi
manusia mengembangkan kapasitas berpikir
dan kemampuan menggunakan alat sebagai
kepanjangan tangan. Dalam perkembangan
selanjutnya penggunaan istilah peradaban dan
kebudayaan telah dipisahkan. Peradaban
mengandung makna evaluasi, dan kebudayaan
menunjukan kepada perbedaan cara hidup
masyarakat apapun bentuknya.
b. Teori Kebudayaan
1) Teori evolusioner dan ekologis mengenai
kebudayaan
Perspektif teori evolusioner dan
ekologis beranggapan, bahwa kebudayaan
merupakan sistem adaptasi. Pengembangan
pemikiran ini berasal dari kalangan ilmuan
di Michigan dan Columbia. Pemikiran yang
dipelopori oleh Leslie White dan kemudian
dikembangkan oleh para ilmuwan
antropologi dan sosiologi, seperti Sahlins,
Rappaport, Vayda, Harris, Carneiro serta
Binford, Longacre, Sanders, Price dari Maggers.
Menurut aliran ini kebudayaan
dipandang sebagai sistem pola perilaku yang
disalurkan secara sosial guna
menghubungkan masyarakat dengan
lingkungan ekologisnya. Menurut pendapat
Marvin Harris, kebudayaan adalah pola perilaku

yang berhubungan dengan kelompok, adat
kebiasaan atau cara hidup suatu bangsa.
Sedangkan menurut Meggers,

kebudayaan

adalah proses penyesuaian manusia dengan
lingkungan melalui dengan dibimbing oleh
ketentuan seleksi alamiah sebagaimana
dalam mengatur adaptasi biologis, yang
selalu berubah menuju equilibrium.
Apabila terjadi gangguan pada
equilibrium oleh berbagai perubah perubahan
seperti perubahan lingkungan yang bersifat
fisik, demografis, teknologi atau sistem
lainnya, maka kebudayaan terpengaruh
mengikurti perubahan. Misalnya teknologi,
ekonomi dan unsur-unsur organisasi sosial lain
yang langsung terikat dengan perubahan
tersebut. Disinilah kebudayaan bersifat adaptif.
Nilai suatu kebudayaan adalah
keyakinan yang dipegang secara luas oleh
masyarakat. Dari nilai ini lahirlah peradaban
(civilization). Karena itu dapat dikatakan
bahwa kebudayaan ditandai oleh nilai yang
mendukungnya, dengan dilengkapi oleh
norma sosial yang merupakan pengen dali
langsung dalam berperilaku adaptif.
Perkembangan paling terbaru dari
pandangan ini adalah analisis Rappaport yang
mengungkapkan, bahwa siklus ibadah suku
Tsembaga Maring sebagai komponenkomponen dari sistem penyesuaian. Sistem
ibadah dan pengetahuan kebudayaan

tentang kesucian memainkan fungsi penting
dalam adaptasi kebudayaan.
2) Teori idealisme mengenai kebudayaan
Pada sisi lain sejumlah antropolog
memandang kebudayaan sebagai sistem
idealisme. Ada tiga pendekatan teori ini
yaitu: (1) kebudayaan sebagai sistem kognisi,
(2) kebudayaan sebagai sistem struktural;
(3) dan kebudayaan sebagai sistem simbolik.
a) Kebudayaan sebagai sistem kognisi
Dalam kajian antropolog terdapat aliran
antropologi kognitif seperti dikenal
(ethnoscience, semantic ethnography).
Pandangan, bahwa kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan terlihat dari pernyataan
Goodenough, yang menyatakan: Kebudayaan
suatu masyarakat terdiri dari apapun yang ia
untuk dapat diketahui dan dipercaya dalam
melangsungkan pekerjaan yang tertentu
dengan cara yang dapat diterima para
anggotanya.
Kebudayaan bukanlah suatu gejala
materi; ia terdiri dari benda-benda, orang
perilaku atau emosi, tetapi lebih merupakan
suatu organisasi. Kebudayaan merupakan
bentuk hal-hal yang ada di dalam ingatan
orang-orang. Contohnya: mereka
mengamati, menghubungkan dari
menginterpretasinya.
Kebudayaan terdiri dari standar untuk
memutuskan apa untuk memutuskan apa
yang mungkin untuk memutuskan apa

yang kita rasakan mengenai hal ini untuk
memutuskan apa yang akan dilakukan
mengenai hal ini, dan untuk memutuskan
bagaimana akan melakukannya. Kebudayaan
secara epistemologis berada di dalam
bidang yang sama dengan bahasa, yang
dalam aliran humanis holistik bahasa
merupakan salah satu dari tujuh unsur
budaya universal. Di dalam konseptualisasi
ini, bahasa adalah suatu subsistem
kebudayaan. Para peneliti antropologi
kognitif berharap dan beranggapan, bahwa
metode linguistik berikut model-modelnya
tetap menjadi bidang kajian kebudayaan.
b) Kebudayaan sebagai sistem struktural
Pendekatan strukturalis telah
dilakukan oleh para ilmuwan sosial yang
terlatih dalam tradisi Anglo-Amerika, salah
seorang tokohnya adalah Talcot Parsons.
Kebadayaan dianggap sebagi pola-pola
perilaku yang berperan sebagai struktur
sosial, yang menyajikan norma-norma
yang harus dilaksanakan dalam proses
sosial.
Proses sosial yang dilaksanakan oleh
setiap individu berdasarkan kepada peranperan dalam posisi atau status yang di
embanya secara struktural. Posisi atau
kedudukan berkhirarki semakin tinggi
semakin sedikit, namun semakin besar
tanggung jawabnya. Sedangkan derivasinya

semakin kebawah semakin banya dan
semakin spesifik, karena itu sangsi dan
tanggung jawabnya semakin kecil.
c) Kebudayaan sebagai sistem simbolik
Dalam karyanya Levy-Strauss,
memandang kebudayaan sebagai sistem
simbol yang disalurkan dan merupakan
kreasi akal kumulatif. Ia berusaha
menemukannya dalam mitos, seni,
hubungan kekeluargaan, bahasa.
Lingkungan fisik manusia telah meyediakan
bahan mentah untuk dikembangkan melalui
penalaran dalam pola yang berbeda, namun
secara formal sama.
Akal menentukan tatanan yang dipola
secara kultural. Levy-Strauss lebih peduli
terhadap kebudayaan daripada suatu
kebudayaan. Ia memandang mitologi Indian
Amerika sebagai pola yang tumpang tindih
dan saling berkaitan. Hal ini lebih penting
dari organisasi kognitif pendukung
kebudayaan, bahkan lebih penting dari
batas-batas bahasa dan adat kebiasaan yang
membedakan masyarakat yang satu dengan
yang lain. Pendekatan ini berhubungan,
tetapi berbeda dari pendekatan kognitif.
Geert (1971) memandang pandangan
kognitif Goodenough dan para teoretisi
etnografi baru bersifat reduksionistik dan
formalistik.
Makna tidak berada dalam kepala
manusia. Simbol dan makna disalurkan

diantara, bukan di dalam, mereka. Ia
memandang kebudayaan sebagai semiotik.
Mempelajari kebudayaan berarti mempelajari
makna. Masalah antropologi adalah
masalah interpretasi, bukan ―penguraian,
dalam hal ini― deskripsi yang tertanam
kuat dalam kekayaan kehidupan sosial
kontekstual. Geertz tidak memiliki
optimisme ethnoscience. Ia tidak berniat
memformalkan kebudayaan sebagai
bahasa. Ia tidak sefasih Levy-Strauss dalam
melakukan decoding, yaitu
menginterpretasikan kebudayaan secara
lambat dan sulit. Dalam hubungan ini,
Geertz, menggambarkan masalah analisis
kebudayaan adalah persoalan kebebasan
yang ditentukan seperti antar hubungan,
teluk maupun jembatan.
Citra yang benar, bila kita harus
memiliki citra mengenai organisasi
kebudayaan, bukanlah jaring laba-laba
ataupun tumpukan pasir, melainkan ia lebih
cenderung sebagai ikan gurita yang alat
perabanya sebagian besar diintegrasikan
secara terpisah, secara syaraf kurang
berhubungan yang satu dengan yang lain,
dan dengan apa yang ada pada ikan gurita.
Menurut Shneider, kebudayaan
menggunakan sistem lambang (simbol) dan
makna.

Analisis kebudayaan sebagai sistem
simbol dapat dilakukan secara bermanfaat
terlepas dari kognisi sebenarnya yang dapat
dilihat sebagai peristiwa dan perilaku.
Hubungan simbol dan peristiwa
menurutnya sangat penting, karena
dengan hubungan itu dapat menemukan
bagaimana susunan kebudayaan dihasilkan,
aturan yang mengatur perubahan mereka
dan bagaimana mereka berhubungan
secara sitematis dengan kondisi dan situasi
kehidupan yang sesungguhnya.
Pembedaan antara tingkat normatif dan
tingkat kebudayaan yang dilakukan
Schneider penting secara konseptual. Oleh
karena itu, perkataanya perlu dikutip
secara panjang lebar. Schneider,
mengemukakan bahwa sistem normatif
dipusatkan kepada ego dan sangat tepat
bagi pembuatan keputusan atau model
interaksi dari analisis kebudayaan.
Analisis kebudayaan dipusatkan
kepada sistem kebudayaan dengan
mengambil posisi manusia berhadapan
dengan dunianya. Analisis kebudayaan
dapat menelusuri hubungan antara simbol,
dasar pemikiran dan asas suatu sistem
kebudayaan dengan baik, sehingga
interpretasi kebudayaan berbeda dari
interpretasi lembaga-lembaga lainnya.

Analisis kebudayaan yang murni tidak
terkontaminasi oleh sistem sosialnya. Setelah
tugas ini logis, maka dilakukan penelusuran
antara hubungan bidang kebudayaan,
sosial dan psikologi.

3. Konsep Perubahan Sosial Budaya
Menurut Herper (dalam Martono, 2012),
perubahan sosial didefenisikan sebagai pergantian
(perubahan) yang signifikan mengenai sturktur sosial
dalam kurun waktu tertentu. Perubahan di dalam
struktur ini mengandung beberapa tipe perubahan
struktur sosial, yaitu: pertama, perubahan dalam
personal (individu) yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan peran dan individu-individu
baru dalamsejarah kehidupan manusia yang
berkaitan dengan keberadaan struktur. Perubahan
dalam tipe ini bersifat gradual (bertahap) dan tidak
terlalu banyak unsur-unsur baru maupun unsur-unsur
yang hilang; kedua, perubahan dalam bagian-bagian
struktur sosial masyarakat. Perubahan ini misalnya
terjadidalam perubahan alur kerja lembaga atau
pranata masyarakat; ketiga, perubahan dalam fungsifungsi struktur, berkaitan dengan apa yang dilakukan
masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut
melakukannya; keempat, perubahan dalam bentuk
struktur yang berbeda. Contohya dalam kebudayaan
telah terjadi penyebaran (difusi) nilai-nilai
kepercayaan (sistem keyakinan) baru yang
memengaruhi secara langsung maupun tidak sistem

adat-istiadat; kelima, kemunculan struktur baru,
yangmerupakan peristiwa munculnya struktur baru
untukmenggantikan struktur sebelumnya. Contoh:
akulturasi budaya.
Menurut Martono (2012) perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan hanya dapat dibedakan
dengan membedakan secara tegas pengertian antara
masyarakat dan kebudayaan sehingga, terdapat
perbedaan mendasar antara perubahan sosial dan
perubahan budaya; perubahan sosial merupakan
bagian dari perubahan budaya. Perubahan sosial
meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat
kelahiran, dan penurunan rasa kekeluargaan antar
anggota masyarakat sebagai akibat terjadinya arus
urbanisasi dan modernisasi. Sedangkan perubahan
budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan
sosial bermasyarakat seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup
berorganisasi, mata pencaharian, kepercayaan,
bahkan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.
Menurut Soemardjan dan Soemardi (dalam
Arkanudin, 2011) menjelaskan, perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat sedikit banyak
mempengaruhi struktur masyarakat itu sendiri
sehingga, perubahan sosial pada hakekatnya adalah
perubahan masyarakat itu sendiri. Perubahan pada
masyarakatakan memberi dampak langsung kepada
sistem kelembagaan yang ada. Perubahan sosial
sebagai bagian dari cultural masyarakat akan
mengarahkannya kepada keadaan yang baikatau
bahkan buruk.

Perubahan sebagai sebuah proses di
masyarakat, akan mengalami kondisi dimana ada
sebuah penyesuaian oleh masyarakat terhadap
unsur-unsur baru yang mempengaruhi unsur-unsur
lama. Penyesuaian (akomodasi) yang terjadi dapat
cenderung membentuk pertahankan budaya lama,
menciptakan budaya baru hasil dari akulturasi, atau
justru terjadi suatu peleburan budaya baru yang lebih
dominan pada masyarakat. Perubahan perlu
beberapa dorongan untuk menuju perubahan yang
diharapkan. Untuk mendukung hadirnya perubahan
tersebut, diperluan dua faktor, yakni faktor internal
dan faktor eksternal. Berikut ini ulasan lengkapnya.
a. Faktor internal
Faktor internal lebih cenderung dipengaruhi
oleh dorongan dari masyarakat itu sendiri untuk
bersedia melakukan perubahan. Perubahan pada
proses masyarakat dan budaya perlu adanya
beberapa inovasi, pertentangan masyarakat,
pertambahan dan pengurangan penduduk, serta
adanya gerakan sosial.
1) Inovasi
Pebemuan-penemuan baru yang berupa
teknologi dapat mengubah cara individu
berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan
teknologi juga dapat mengurangi jumlah
kebutuhan tenaga kerja di sektor bindustri
karena tenaga manusia telah digantikan oleh
yang menyebabkan proses produksi semakin
efektif dan efisien.
2) Bertambah dan berkurangnya masyarakat

Pertambahan jumlah penduduk akan
menyebabkan perubahan jumlah dan
persebaran wilayah permukiman. Wilayah
permukiman yang semula terpusat pada satu
wilayah kekerabatan (misalnya desa) akan
berubah atau terpancar karena faktor
pekerjaan. Berkurangnya penduduk juga akan
menyebabkan perubahan sosial budaya.
3) Gerakan sosial
Gerakan sosial muncul karena ada
pertentangan yang terjadi antar kelompok
masyarakat yang saling berbeda. Ciri khas dari
gerakan sosial munculnya “pemberontakan”
atau revolusi. Terjadinya “pemberontakan”
tentu saja akan melahirkan berbagi perubahan;
kelompok yang tergabung dalam gerakan sosial
akan memaksakan tuntutannya, berjuang
dengan cara-cara relatifradikal, dan sebagainya
hingga menyebabkan suatu perubahan.
4) Adanya pertentangan di masyarakat
Proses perubahan sosial dapat terjadi
sebagai akibat adanya pertentangan dalam
masyarakat. Pertentangan atau konflik sosial
dapat terjadi manakala ada perbedaan
kepentingan atau terjadi ketimpangan sosial.
Sebagaimana kita ketahui, ketimpangan sosial
akan dapat kita temukan dalam setiap
masyarakat, hal ini lebih disebabkan setiap
individu memiliki kemampuan yang tidak sama
dalam meraih sumber daya yang ada, serta
perbedaan kepentingan akan menyebabkan
munculnya berbagai konflik sosial.

b. Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan dorongan atau
“tekanan” dari luar kelompok masyarakat atau
individu. Faktor luar biasanya masuk tanpa
disadari, direncanakan (ada unsur kesengajaan
pihak adalam untuk memasukkan faktir dari luar).
Perubahan yang terjadi akibat pengaruh luar bisa
di sebabkan oleh lingkungan fisik, transformasi
nilai kebudayaan lain, dan terjadinya peperangan.
1) Lingkungan fisik
Bencana alam atau kondisi fisik terkadang
memaksa masyarakat suatu daerah untuk
mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya.
Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat
tinggal yang baru, maka mereka harus
menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan
lingkungan yang baru tersebut. Hal ini
kemungkinan besar juga dapat memengaruhi
perubahan pada struktur dan pola
kelembagaannya.
Di sisi lain, pembangunan sarana dan
prasarana fisik juga sangat memengaruhi
perubahan aktivitas masyarakat. Salah satunya
adalah terbukanya kesempatan bagi
masyarakat yang tinggal di daerah terisolir
untuk “membuka diri” dan menikmati beberapa
fasilitas yang berada di luar daerahnya.
2) Kebudayaan lain
Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat
lain, membuat interaksi antara dua
kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan
perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan

dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut

demonstration effect. Jika pengaruh suatu
kebudayaan saling menolak, maka disebut

cultural animosity. Jika suatu kebudayaan
mempunyai taraf yang lebih tinggi dari
kebudayaan lain, maka akan muncul proses
imitasi yang lambat laun unsur-unsur
kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti
oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.
3) Terjadinya peperangan
Peristiwa peperangan, perang saudara
maupun perang antar negara dapat
menyebabkan perubahan, karena pihak yang
menang biasanya akan dapat memaksakan
ideologi dan kebudayaannya kepada pihak
yang kalah. Tentu saja dampak besar dari
peperangan akan merubah tatanan kehidupan
sosial masyarakat yang mencoba membangun
kembali puing-puing kehidupan yang relatif
hancur.
4. Teori Perubahan Sosio-Kultur
Secara individu dan komunal, manusia
dihadapkan pada proses perubahan, langsung
maupun tidak langsung. Begitu pula yang terjadi di
masyarakat, Masyarakat senantiasa dihadapkan pada
pola yang berbeda antara generasi satu terhadap
generasi lain. Laksana sebuah peristiwa yang sulit
untuk dibendung keberadaannya, perubahan
merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan, individual maupun kolektif. Perubahan
masyarakat terkait erat dengan kebudayaannya,

serta saling memengaruhi. Dapat dikatakan bahwa
perubahan merupakan karakteristik umum dari
semua kebudayaan dan masyarakat.
Dinamika perubahan yang terjadi pada
masyarakat senantiasa melahirkan sesuatu yangbaru
dalam kehidupannya. Akan tetapi, tingkat perubahan
tersebut akan mengalami perbedaan satu sama lain.
Sulasman dan Gumilar (2013) menyatakan, hal ini
disebabkan oleh sosiokultur yang ada di masyarakat
berbeda satu dengan yang lainnya. Perubahan dapat
menentukan keberadaan suatu masyarakat, apakah
akan muncul mengikuti arus perubahan ataupun
mengalami penurunan yang diakibatkan
ketidakpastian sumber daya manusia, karakter
sosiokultur yang tidakmendukung, dan faktor-faktor
lainnya.
Lauer (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013)
menyatakan, bahwa perubahan perubahan sosial
merupakan prasayarat untuk memahami struktur
masyarakat sebagai setiap yang berada dalam
keseimbangan dan mencoba menganalisis aspek
sosial dari sistem itu dan mengakui bahwa
keseimbangan itu hanya dapat dipertahankan melalui
perubahan tertentu. Proses perubahan bisa dilakukan
dengan beberapa cara, seperti akulturasi, asimilasi,
dan difusi. Perubahan kebudayaan terjadi melalui
mekanisme yang berbeda-beda. Salah satu faktor
yang memengaruhi perubahan kebudayaan yang
banyak menjadi perhatian para ahli adalah adanya
penemuan dan gejala persebaran unsur-unsur
kebudayaan baru. Sulasman dan Gumilar (2013)

menyatakan, untuk mengenali karakterisitik unsur
kebudayaan dan perubahan kebudayaan terdapat
beberapa teori diantaranya adalah teori evolusi dan
difusi.
a. Teori Evolusi
Perubahan sosio-kultur pada suatu
masyarakat merupakan keniscayaan dan tidak
dapat dielakan, disebabkan oleh adanuya
perubahan pada masyarakat. Perubahan ini dapat
dikatakan sebagai salah satu cara dari suatu
masyarakat untuk bertahan (survive) atau
mempertahankan diri. Oleh karena itu,
masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis
berubah dari suatu keadaan ke keadaan lainnya
yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan
ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan
manusia terhadap tantangan lingkungannya.
Menurut Tylor (dalam Sulasman dan Gumilar ,
2013) kebudayaan manusia dalam sejarah
evolusinya berjalan melalui tiga tahap
perkembangan dan masing-masing tahapan
dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan
teknologi yang mereka gunakan, ketiga tahapan
perkembangan kebudayaan manusia tersebut
adalah savagery, barbarian, dan civilization. Pada
tahappertamaa (savagery), manusia hanya
bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu
dengan menggunakan peralatan yang mereka
ciptakan dari benda-benda yang ada disekitar
mereka. Berkembang kemudian menuju tahap
kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya

manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai
memahami cara menanam, mereka berpikir untuk
menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara
dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai
hidup menetap. Tahap kedua ini juga ditandai
dengan perkembangan peralatan mereka dariyang
semula dengan kayu atau tulangdan batu menjadi
terbuat dari logam. Selanjutnya, berkembang
menjaditahap ketiga (civilization) atau peradaban
yang ditandai dengan pengenalan manusia
dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan
kemampuan mereka membangun bangunanbangunan besar yangsebelumnya belum pernah
ada. Di tahap ketiga ini pun akan terjadi lagi suatu
proses evolusi dalam masyarakat dan memiliki
kompleksitas.
Evolusi budaya merupakan proses perubahan
budaya dari waktu kewaktu dan dari satu wilayah
kewilayah yang lain beserta interaksi dan saling
keterpengaruhan satu sama lainnya. Fakta
tentang evolusi budaya tersebut dapat diamati
dalam banyak hal, seperti perubahan norma,
bahasa, teknologi, gaya hidup hingga ke dinamika
dalam sistem ekonomi.
Harus disadari bahwa sistem sosial tersusun
atas banyak individu yang secara aktif
berinteraksi dan saling memengaruhi satu sama
lain, saling bertukar informasi dan kemudian
menstransmisikannya satu sama lain, baik intra
maupun inter-generasi. Dalam keadaan
sesungguhnya sistem sosial relatif terbuka, yang

beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan
kemudian berubah secara dinamis dan
beradaptasi dengan perubahan lingkungan
tersebut.
Evolusi kultur harus dilihat sebagai pola
dinamis dengan menyadari bahwa dasarnya kultur
terdiri atas sistem bertingkat yang di dalamnya
mengandung berbagai elemen kultur tertentu
yang senantiasa berubah secara dinamis, dan
perubahan ini terjadi karena adanya proses
asimilasi, akulturasi, komunikasi maupun interaksi
antar individu. Sulasman dan Gumilar
(2013)menjelaskan, Evolusi menggambarkan
bahwa perubahan kebudayaan terjadi secara
perlahan-lahan dan bertahap. Setiap masyarakat
mengalami proses evolusi yang berbeda-beda
sehingga evolusi budaya dapat dijelaskan melalui
dua teori yakni evolusi universal dan evolusi
kebudayaan multilinier.
1) Evolusi universal
Menurut White (dalam Sulasman dan
Gumilar , 2013), kebudayaan yang ada dalam
masyarakat merupakan dampak atau hasil dari
pemakaian atau penggunaan energi dan
teknologi yang mereka gunakan dalam
kehidupan mereka pada fase-fase
perkembangannya. Dengan rumusan yang
disebutnya sebagai “hukum” evolusi
kebudayaan ini, White (dalam Sulasman dan
Gumilar , 2013) sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi

kebudayaan dalam sebuah komunitas
merupakan hasil dari mengemukanya
perubahan dalam sistem yang melakukan
transformasi energi dengan bantuan teknologi
yang ada saat itu.
Menurut White ((dalam Sulasman dan
Gumilar, 2013) teori evolusi bersifat objektif,
menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan
adalah sistem yang melakukan transformasi
energi. White menyebutnya sebagi sebuah
“hukum” evolusi kebudayaan, rumusnya yaitu
C = E x T. Penjelasannya adalah Cmerupakan
kebudayaan (culture), E adalah energi (energy),
dan T adalah teknologi (technology). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori
mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat
beberapa konsep baru “thermodinamika”
(sistem yang melakukan transformasi energi),
energi dan transformasi.
2) Evolusi kebudayaan multilinier
Teori evolusi multilinier digunakan untuk
mengkaji perbedaan dan kesamaan suatu
budaya dengan cara memperbandingkan
antara tuntunan perkembangan kebudayaan
yang sejalan yang terdapat di tempat-tempat
terpisah. Menurut Steward (dalam Sulasman
dan Gumilar , 2013) bahwa tidak berjalannya
perkembangan kebudayaan dalam sebuah
komunitas, disebabkan karena suku /
masyarakat tertentu telah mengalami
penyesuaian atau beradaptasi dengan

lingkungan tempat tinggal dan menetap dalam
keseharian mereka.
Menurut teori multilinier, terjadinya
evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan
kondisi lingkungan, bahwa setiap kebudayaan
memiliki culture core, berupa teknologi dan
organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya
evolusi dalm sebuah kebudayaan ditentukan
oleh adanya interaksi yang terjalin antara
kebudayaan dan lingkungan yang ada di
dalamnya. Pokok pikiran dari teori evolusi
multilinier adalah bahwa kebudayaan yang
memiliki inti kebudayaan yang kurang lebih
sama akan berevolusi mengikuti suatu
rangkaian evolusi yang sama meskipun
berbeda dalam detail spesifiknya.
b. Teori Difusi
Difusi kebudayaan dimaknai sebagai
persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya
migrasi manusia.Perpindahan dari satu tempat ke
tempat lain, akan menularkan budaya tertentu.
Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau
perpindahan manusia itu secara kelompok dan
atau besar-besaran, di kemudian hari akan
menimbulkan difusi budaya yang luar biasa.
Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah
terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih.
Akibat pengaruh kemajuan teknologikomunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya
difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan
kebudayaan semakin kompleks dan bersifat
multikultural. Dengan adanya penelitian difusi,

maka akan terungkap segala bentuk kontak dan
persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecilkecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan
manusia bukan pada aspek historis budaya
tersebut, melainkan pada letak geografi budaya
dalam kewilayahan dunia.
Seperti telah disebutkan pada paparan
mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor
dan Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua
jenis kritikan yang salah satunya menentang keras
pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori
difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali
oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry
(1887-1949), dua orang ahli antropologi asal
Inggris.
Setelah membaca dan mempelajari banyak
catatan sejarah serta benda-benda arkeologis
mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang
pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai
pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori
yang mereka namakan Heliolithic Theory. Menurut
keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan
ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada
di masa lampau merupakan hasil persebaran yang
berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan
kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa
difusi yang sangat besar di masa lampau yang
berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di
Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang

meliputi daerah-daerah terjauh seperti India,
Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika.
Orang-orang Mesir yang disebut dengan ‘putraputra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan
dengan cara menyebar ke berbagai tempat
tersebut dalam usaha mereka untuk mencari
logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak
dan permata.

5. Konsep Masyarakat Desa
Yuliati dan purnomo (2003) menjelaskan, desa
merupakan satuan terkecil daripemerintahan negara
kita sejak zaman kerajaan hingga penjajahan dan
kemerdekaan. Hingga saat ini pun bentuk
pemerintahan desa masih tetapmeski dalam
administrasi dan perkembangannya semakin banyak.
Sebagai kesatuan pemerintahan terkecil, desa
merupakan kesatuan wilayah yang sangat mandiri.
Mengenai bentuk dan jenis dan jenis desa serta
model kepemimpinan Indonesia merupakan negara
yang sangat kaya akan model kepemimpinan
komunitas dan desa merupakan miniaturnya.
Kesatuan hukum adat di desa dapat kita lihat
melalui berbagai kegiatan kolektif dan norma yang
dikembangkan. Norma diatur dan dikembangkan oleh
beberapa elit desa yang biasanya merupakan tokoh
masyarakat dan memegang peranan sebagai opini

leader desa. Golongan ini biasanya adalah keturunan
pendiri desa merupakan kesatuan adat terkecil
dimana pola interaksi masyarakatnya relatif memiliki

hubungan yang erat dalam ekonomi maupun
hubungan sosial.
Kita mengenal desa selalu dipimpin oleh kepala
desa atau lurah yang dipilih oleh masyarakatnya.
Untuk desa tertentu biasanya ibukota kecamatan
kepemimpinan tidak dipilih namun ditunjuk oleh
bupati desa dan disebut kelurahan. Sebuah
masyarakat dapat berkembang menjadi desa
membutuhkan waktu lama dengan berbagai tahap
perkembangan. Menurut Kusnaedi (dalam Yuliati dan
purnomo, 2003) ada empat tahapan pembentukan
desa yakni tahap pembentukan kelompok yang
mempunyai kepentingan sama baik lahir maupun
batin (unity comunity), tahap pembentukan kesatuan
hukum (unity normatif), tahap kesatuan organisasi
atau kepemimpinan (unity leadership) dan tahap
pembentukan kesatuan wilayah (unity geografis).
Dengan tahapan seperti itu,maka kita dapat
membayangkan bahwa desa merupakan sebuah
perjalanan lama dari sebuah masyarakat.
Masyarakat desa menurut Yuliati dan purnomo
(2003), adalah masyarakat yang dinamis
danmerupakan komunitas unik. Kesejukan,
ketenangan, kedamaian, dan jaminan kebahagian
merupakan pandangan umum dari kehidupan desa.
Tentu saja Yuliati dan purnomo (2003)
mengkonfirmasi, bahwa pandangan itu keliru apabila
kita faham atau tahu betul apa sebenarnya yang
melingkupi kehidupan desa saat ini. Beban sosial dan
tuntutan lingkungan untuk dapat berpartisipasi aktif
dalam dinamika kehidupan desa, kerap menjadi

tekanan bagi masyarakat apabila tidak dapat
mencapainya.
Sistem religi masyarakat desa dalam
perkembangannya masih kental dengan budaya
animisme, meski saat ini telah terjadi pergeseran
yang cukup besar pada beberapa desa dengan
adanya kemajuan teknologi. Namun pada beberapa
ritual tertentu budaya takluk pada alam ini masih
menyelimuti penduduk desa.
Sistem organisasi kemasyarakatan di desa sangat
beragam, baik yang terkait dengan kegiatan
ekonomi, kegiatan politik maupun kegiatan
kerukunan dan gotong royong. Eratnya hubungan
antar penduduk dan kebiasaan gotong royong yang
besar merupakan ciri utama kehidupan di sana.
Selain sistem organisasi, sistem lain yang
sangat mendominasi perilaku masyarakat
desaadalah sistem pengetahuannya. Perkembangan
sistem pengetahuan desa merupakan hasil kajian
sejarah masyarakat itu sendiri sebagai akibat
perkembangan internalnya dan pengaruh eksternal.
Sistem pengetahuan desa biasanya terkait dengan
kebiasaaan masyarakat dalam melangsungkan
kehidupannya.
Di pedesaan, bahasa merupakan unsur
kebudayaan yang penting bagi kelanjutan
kebudayaannya. Dengan bahasa berbagai ilmu
pengetahuan lokal desa dan berbagai kekayaan
cerita tentang kehidupan dapat diturunkan kepada
penerus kebudayaan. Mitos dan kekayaan imajinasi
masyarakat desa tertuang indah dalam bahasa meski
kadang merupakan sesuatu yang sulit dipahami

bahkan jauh dari sebuah realita, akan tetapi tidak
dapat kita pungkiri bahasa merupakan alat pelestari
kekayaan khasanah nilai luhur masyarakat desa.
Hal menarik dalam memahami masyarakat desa
adalah sistem mata pencahariannya. Pertanian
adalah ciri khas utama meski saat ini banyak desadesa yangtelah mengalami pergeseran. Sifat usahatani yang sarat dengan risiko, kepastian alam yang
sulit dikendalikan serta pasar yang sering tidak
memihak pada petani menyebabkan sistem mata
pencahariannya hampir sulit untuk berkembang.
Mosher (dalam, Yuliati dan purnomo, 2003)
mengungkapkan bahwa kebanyakan keputusan
petani mengenai pertanian masih diambil dalam
kedudukannya sebagai anggota dari sebuah
keluarga, sehubungan dengan hasratnya untuk
melakukan apa yang dapat dilakukannya untuk
anggota keluarganya. Dipihak lain Soentoro(dalam
Yuliati dan purnomo, 2003) mengemukakan bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan
semakin terbuka kesempatan mereka untuk memilih
pekerjaan dari berbagai alternatif pekerrjaan.
Dalam kenyataannya secara umum desa
memang selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Cepat-lambatnya atau besar-kecilnya
perubahan dan perkembangan yang terjadi
tergantung pada banyak faktor, antara lain
tergantung- kepada potensi wilayah yang
bersangkutan.Perubahan itu secara umum cenderung
mengarah ke sifat-sifat perkotaan. Namun, tidak
semua perubahan dan perkembangan yang terjadi di

desa itu dapat disimpulkan sebagai proses
pengkotaan (proses perubahan desa menjadi kota).
Proses perubahan itu seringkali hanya merupakan
proses perubahan biasa saja, yang
hakekatnya secara umum terjadi di semua kelompok
masyarakat. Menurut Roland L. Warren, proses
perubahan yang menunjukkan terjadinya metamorpose dari desa menjadi kota hanya dapat disimak
lewat adanya gejala yang disebut great change.
Indikator dari adanya great change ini adalah:
a. Division of labor, yakni bila pada desa itu
telah menunjukkan tumbuh dan berkembangnya
kelompok-kelompok kerja yang berbeda-beda
tetapi saling ada ketergantungan atau jalinan.
b. Munculnya diferensiasi kepentingan dan asosiasi.
c. Semakin bertambahnya hubungan yang sistemik
dengan masyarakat yang lebih luas.
d. Muncul dan berkembangnya fenomena
birokratisasi dan impersonalisasi dalam kegiatan
usaha;
e. Pengalihan fungsi-fungsi ke lembagaan bidang
usaha yang menguntungkan.
f. Adanya proses penerapan gaya hidup perkotaan.
g. Adanya proses perubahan nilai-nilai (Roland L.
Warren, 1963: 54).
Yang sering diulas dalam berbagai pembahasan
adalah konsepurbanasasi dalam artian pergeseran
penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dalam artian
ini banyak diulas berkaitan dengan kerugian-kerugian
yang dialami desa jika penduduknya bermigrasi ke
kota. Desa akan kehilangan para penduduknya dan
itu menyebabkan desa semakin sulit berkembang.
Disamping itu ada pula gejala urbanisasi yang tidak

permanen. Artinya, para migran tersebut tidak secara
permanen menetap di kota. Jika tidak ada peluang
lagi bekerja di kota, mereka akan kembali ke desa. Di
desapun meski mereka lebih merasakan sebagai
seorang warga desa, namun selalu siap untuk
bergerak ke kota apabila menemukan peluang
pekerjaan di kota.
Perubahan kultural (kebudayaan) adalah
perubahan kebudayaan masyarakat desa dari pola
tradisional menjadi bersifat modern. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah kebudayaan desa yang
awalnya bersifat tradisional mulai dari alat yang
digunakan, ideologi, pendidikan, sedikit demi sedikit
menjadi berkembang ke arah yang lebih modern.
Yang menjadi titik tolak utama pengertian pola
kebudayaan tradisional adalah yang dikemukakan
oleh Paul H. Landis an Everett M. Rogers. Seperti
telah diuraikan dalam bab tersebut, nurut Paul H.
Landis keberadaan pola kebudayaan
tradisional tentukan oleh tiga faktor. Ketiga faktor itu
adalah:
a. Sejauh mana ketergantungan masyarakat
terhadap alam,
b. Bagaimana tingkat teknologi nya.
c. Bagaimana sistem. produksinya.
Pola kebudayaan tradisional akan tetap eksis
apabila masyarakat desa memiliki ketergantungan
yang sangat besar terhadap alam, namun dengan
tingkat teknologi yang tinggi, dan produksi yang
hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Ini berarti bahwa apabila ketergantungan
terhadap alam berkurang atau bahkan hilang, tingkat

teknologinya tinggi, dan produksi ditujukan untuk
mengejar keuntungan (profit orientecl),
maka kebudayaan tradisional menjadi kehilangan
dasar eksistensinya Dan hal tersebut menunjukkan
perubahan cultural pada masyarakat desa yang
sudah terlihat.
Selain hal tersebut meningkatnya teknologi pada
ma