KAJIAN VIKTIMOLOGI TERKAIT PENEGAKAN HUK

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERKAIT PENEGAKAN HUKUM PIDANA
LINGKUNGAN TERHADAP KORBAN PENCEMARAN UDARA AKIBAT
ASAP PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Wafia Silvi Dhesinta R
Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Email: silviwafia@rocketmail.com

Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang dalam melaksanakan
pembangunan guna mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam
Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
alenia ke-empat tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan lingkungan,
baik itu pencemaran limbah air, sampah, pengalihan fungsi hutan dan juga
pencemaran udara. Pembangunan telah membawa kemajuan besar dengan
tujuannya yaitu meningkatkan kualitas fisik dan non fisik manusia serta
meningkatkan kualitas lingkungan alam. Akan tetapi, pembangunan juga
menghasilkan produk sampingan seperti limbah sampah dan buangan baik
berwujud padat, cair maupun gas yang lambat laun akan merusak
kelestaraian alam karena menuruannya fungsi lingkungan hidup.
Kejahatan di bidang lingkungan hidup khususnya pencemaran kabut

asap yang disebabkan oleh pembakaran hutan oleh perusahaan atau
korporasi adalah bentuk kejahatan yang bisa menimbulkan kerusakan dan
kerugian yang diderita sangat besar serta mempunyai dampak yang luas.
Kejahatan ini biasa dilakukan oleh sekelompok orang dalam hal ini adalah
pengusahan dengan status sosial yang tinggi. Kejahatan yang dilakukan oleh
orang terhormat di atas akan semakin berkembang di Indonesia karena
beberapa hal. Menurut Muladi, seiring dengan meningkatnya mobilitas baik

1

vertikal maupun horisontal, semakin kompleksanya sikap materialisme yang
semakin berkembang dan kemajuan teknologi.1
Masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang
mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB VII Tahun
1985 di kota Milan dikemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat
sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victim
right should justice system). Demikian besar perhatian dunia internasional
terhadap masalah korban, sehingga Kongres ke-7 PBB tersebut mengajukan
rancangan resolusi tentang perindungan korban ke Majelis Umum PBB.
Rancangan resolusi ini kemudian menjadi resolusi MU PBB No.40/34

tertanggal 29 November 1985 tentang Decalrationa of Basic of Justice for
Victim of Crime and Abuse of Power
Kebijakan perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian
yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan
yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.2 Oleh karena itu,
menurut Sahetapy, keterlibatan negara dan mayarakat umum dalam
menanggulangi beban penderitaan korban bukan karena hanya negaralah
yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai
dengan dasar pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk memelihara
keselamaan dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Terjadinya korban
kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan
yang baik kepada warganya. Jika diakitkan dengan masalah penemaran asap
akibat kebakaran hutan, diperlukn upaya penegakan hukum lingkungan
yang terpadu dari semua pihak baik aparat penegak hukum maupun
masyarakat. 3

1 Muladi, 1993, Kejahatan Orang-Orang Terhormat dan Permasalahannya Ditinjau
dari Sudut Penegakan Hukum Pidana, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi,
Semarang 12-13 Januari 1993 dalam Henry Liyus, Penegakan Hukum Lingkungan dalam
rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan

dan Lahan di Propinsi Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, Tesis tidak
diterbitkan
2 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 37
3J.E. Sahetapy, 1983, Viktimologi sebagai Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 37

2

Instrumen hukum utama yang dimiliki oleh Indonesia dalam menangani
permasalahan terkait dengan lingkungan hidup adalah Undng-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
yang mana undang-undang ini merupakan perbaikan dari undang-undang
sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang ternyata
tidak mampu mengakomodir permasalahan lingkungan hidup yang ada di
Indonesia. Terdapat beberapa kemajuan dengan dicantumkannya beberapa
ketentuan baru dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 seperti misalnya hak
masyarakat untuk melaporkan permasalahan lingungan hidup,
diterapkannya prinsip tanggungjawab seketika (strict liability) terhadap
pelaku pencemaran, penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Hukum

lingkungan memang berbeda dengan jenis hukum lainnya karena kajian
hukum ini berada pada tiga lingkup hukum yakni administrasi, perdata dan
pidana. Luasnya pilihan ini di satu pihak menimbulkan keleluasaan tetapi
juga mengakibatkan kesulitan bagi penegakan hukum maupun para pencari
keadilan (justiabellen). Kesulitan yang dapat terjadi adalah pada setiap
kasus harus diadakan pilihan aspek mana dari aspek administratif baik
secara pidana, perdata maupun administrasi yang merupakan sarana paling
efektif untuk menegakkan hukum lingkungan.4
Di Indonesia, masalah korban kejahatan kurang mendapat perhatian
baik dalam perundang-undangan pidana materiil maupun formil. Dalam
KUHP hanya terdapat satu pasal yang menentukan adanya ganti rugi kepada
korban kejahatan dengan persyaratan khusus yaitu pada Pasal 14C ayat (1)
KUHP tentang pidana bersyarat, sedangkan dalam KUHAP, meskipun
terdapat banyak pasal yang mengatur tentang ganti kerugian, tetapi lebih
banyak ganti kerugian diberikan kepada pihak-pihak yang mengalami
kerugian karena adanya kesalahan proses peradilan pidana baik karena
kekeliruan dalam penangkapan dan penahanan atau tindakan-tindakan
hukum lainnya.
Kedua pengaturan perundang-undangan di atas jelas kurang efektif
dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan. Pemberian

4 Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, GadjahmadaUniversity Press,
Yogyakarta, 1986 hlm. 24

3

ganti rugi dengan syarat-syarat khusus yang terdapat dalam pidana bersyarat
hanya dapat diberikan apabila terdakwa dikenakan dalam pidana bersyarat
sehingga di luar pidana tersebut tidak memungkinakan adanya pemberian
ganti rugi kepada korban kejahatan. Senada dengan pengaturan dalam
KUHAP yang hanya memberikan hak kepada korban kejahatan untuk
mengajukan gugatan ganti kerugian melalui penggabungan perkara.
Mekanisme seperti demikian kurang memberikan perlindungan kepada
korban kejahatan karena korban harus berupaya sendiri untuk mendapatkan
hak-haknya sebagai korban kejahatan. Berarti bahwa, tanpa adanya
pengajuan gugatan, maka sudah tentu korban tidak akan memperoleh ganti
rugi atas penderitaan yang dialaminya.
Kasus yang kemudian tidak pernah absen dari masalah lingkungan
hidup di Indonesia adalah mengenai kebakaran hutan yang kerap terjadi di
Pulau Sumatra (khususnya Riau dan Jambi) dan juga Kalimantan.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Riau disebabkan oleh

unsur kesengajaan karena lebih dari 90% hutan dan lahan senagaj dibakar.
Pembakaran hutan dan lahan merupakan cara yang murah dan ,udah untuk
mempersiapkan lahan yang siap ditanami kembali.5 Kebakaran hutan dan
lahan tahun 2014 merupakan bencana asap yang sangat parah. Hal tersebut
dapat dilihat dari salah satu indikator kualitas udara yang diukur melalui
Indeks Standart Pencemaran Udara (ISPU) selama Maret 2014.6 Wilayahwilayah yang terpantau alat pengukur kualitas udaranya, seperti Siak,
Kandis dan Perawang di Riau berada pada kondisi berbahaya. Tidak hanya
berdampak pada kualitas kesehatan tetapi juga sektor perekonomian dan
akitivitas keseharian masyarakat yang terganggu.7 Dikutip dari webiste
Kementerian Kesehatan, pada Februari 2014 akibat pembakaran hutan
menyebabkan asap kabut yang menyebabkan banyak masyarakat terkena
penyakit terkait dengan kabut asap. Korban meninggal dunia di Provinsi
Riau sebanyak 2 orang di Kota Dumai karena menderita asma. Jumlah
pasien rawat jalan mencapai 59.423 orang dengan lima penyakit terbaanyak
5 Majalah Gema BNPB, Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana, Edisi Mei
2014 Volume 5 Nomor 1 hlm. 3
6 Data diolah oleh BNP dalam Ibid, hlm. 8
7 Ibid, hlm. 8-9

4


adalah ISPA sebanyak 51.918 kasus, Pnemonia 945 kasus, Asma 1.1984
kasus, Mata 1.928 kasus dan kulit 2.648 kasus. 8
Mengingat dampak yang diakibatkan oleh kabut asap akibat
pembakaran hutan yang mengancam kesehatan dan stabilitas ekonomi
masyarakat serta citra bangsa dan pemerintah Indonesia di mata
internasional, maka dalam hal ini pemerintah seharusnya mampu untuk
mengambil tindakan tegas atas pelanggaran yang dibuat oleh pengusaha,
bukan hanya berupa sanksi administratif seperti pencabtan izin usaha, tetapi
juga para pengusaha (korporasi) harus diselesaikan ke pengadilan karena
kegiatan korporasi yang melakukan pebakaran hutan tersebut tergolong
dalam kejahatan lingkungan.Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di
atas, maka menarik bagi penulis untuk mengangkat judul “Penegakan
Hukum Pidana dalam Kejahatan Lingkungan Terhadap Korban
Pencemaran Udara Akibat Asap Pembakaran Hutan”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.


Bagaimana penegakan hukumpidana dalam kejahatan lingkungan
terhadap pencemaran asap akibat pembakaran hutan dilihat dari
perspektif korban?

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis penegakan
hukum pidana dalam kasus kejahatan lingkungan uutamanya dalam kasus
pembakaran hutan dilihat dari perspektif korban (kajian viktimologi)

Hasil dan Pembahasan
Definisi Pencemaran Udara
8 http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/penanggulangan-krisis-kesehatanakibat-kabut-asap-di-provinsi-riau (online) 22 Desember 2014

5

Pencemaran udara adalah keadaan dimana ke dalam udara atmosfir oleh
suatu sumber baik melalui aktivitas manusia maupun alamiah dibebaskan
satu atau beberapa bahan atau zat-zat dalam kuantitas maupun batas waktu
tertentu yang secara karakteristik dapat atau memiliki kecenderungan dapat
menimbulkan ketimpangan susunan udara atmosfir secata ekologis sehingga

mampu menimbulkan gangguan-gangguan bagi kehidupan satu atau
kelompok organisme maupun benda-benda.9
Pencemar udara menurut wujud fisik dapat dibedakan menjadi dua sub
kelompok utama yaitu gas/uap dan partikel. Pembakaran hutan yang kerap
terjadi di Indonesia adalah tergolong pada sub bab kelompok partikel karena
berhubungan dengan sifat dan pengaruh yang nanti ditimbulkan. Partikel
adalah benda-benda padat/cair yang ukuran demikian kecilnya untuk
memungkinkan melayang di udara.10 Bentuk-bentuk khusus dari partikel
dalam hubungannya dengan pencemaran udar salahs atunya adalah aerosol.
Aerosol ini dapat berupa mist (kabut), fog (kabut yang tebal), dan smoke.11
Masing-masing dpat dibedakan sebagai berikut:
1. Mist (kabut) adalah partikel cair yang berada dalam suspensi udara
yang terjadi karena kondensasi uap atau otomatisasi cairan ke
tingkat dispersi. Besarnya partikel ini masih cukup besar sehingga
tidak dapat dilihat dengan mata biasa
2. Fog (kabut yang padat/tebal) adalah hampir sama dengan mit
tetapi masih bisa dilihat dengan mata meskpiun tanpa alat bantu
penglihatan
3. Smoke (asap) adalah partikel karbon yang padat yang terjadi dari
pembakaran yang tidak lengkap pada sumber-sumber pembajaran

yang menggunakan bahan bakar hidro-karbon dengan ukuran
partikel kurang dari 5 mikron.12
Partikel-partikel tersebut di atas jika dibiarkan atau melampaui batas
ambang normal /ambang batas normal (ABN) dalam kadar suatu oksigen
dalam udara akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat.
Meskipun sebenarnya, jenis pollutan memiliki efek yang berbeda terhadap
9 Slamet Riyadi, Pencemaran Udara, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.
12-13
10 Ibid, hlm. 50
11 Ibid
12 Ibid, hlm. 51-52

6

rangsangan kesehatan terhadap tubuh manusia karena masing-masing
memiliki pengaruh fisiologis yang khas bagi kesehatan. Namun umumnya,
kelompok pencemar-pencemar yang iritan adalah korosif, maksudnya
adalah rangsangan berupa suatu proses keradangan terhadap permukaan
mucosa system alat-alat pernapasan.13 Jenis-jenis pencemar (pollutan)
seperti asam kromik, hydrogen chloride, sulfur dioksida, nitrogen dioksida,

sulfur chlorhine dan ozon, apabila dalam keadaan “over-toxic” dapat
memberikan gangguan kesehatan pernapasan seperti bronchitis kronis,
influensa, sakit tenggorokan, asthma, bahkan kematian.14
Kasus yang terjadi di Indonesia khususnya di kepulauan Meranti, Riau
menimpa Rahmi Caroline sebagai salah satu dari banyaknya korban akibat
asap pembakaran hutan dan lahan. Rahmi menyebutkan bahwa udara di
daerah tempat tinggalnya memasuki level berbahaya untuk dihirup. Sekolah,
kampus, perkantoran dan lainnya diliburkan. Pesawat, kapal, mobil, motor
dan kendaraan lainnya tak bisa dioperasikan. Pekanbaru dan hampir seluruh
Riau lumpuh total. Dinas Kesehatan perintahkan tidak ada yang keluar
rumah. Seluruh masyarakat harus menggunakan masker jika hendak keluar
rumah sedangkan Rahmi harus menggunakan masker di dalam maupun di
luar rumah, bahkan saat ia tertidur. Parahnya lagi, Rahmi sudah terbiasa
hidup dari sejak kecil dengan menghirup asap. Selama kurang lebih ia
menghirup udara yang bercampur dengan polutan yang berakibat padaa
kesehatan saluran pernapasannya. Rahmi didga mengidap TBC dan sering
mengalami sesak napas ketika musim asap datang, bahkan jika sampai sulit
bernapas, dirinya perlu untuk dipsang selang oksigen.15
Rahmi hanyalah satu dari sekian penderita dan korban yang lahir akibat
kejahatan korporasi dalam bbidang lingkungan yang terjadi di Indonesia.
Dalam hal ini, peran negara sebagai pelindung dan pengayom hak-hak
masyarakat khususnya dalam mendapatkan penghidupan yang layak sesuai
dengan konstitusi yang dalam hal ini adalah hak masyarakat untuk

13 Ibid, hlm. 55
14 Ibid
15 Rahmi Carolina, Kamipun Berhak Menghirup Udara Sehat, ditulis pada 29 November
2014, dimuat dalam http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/kami-pun-berhakmenghirup-udara-sehat/blog/51520/ (online), 22 Desember 2014

7

menghirup udara sehat yang bebas dari polusi dan asap perlu mendapatkan
perhatian yang lebih lagi di mata pemerintah.
Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Pembakaran Hutan terhadap
Korban Asap Pembakaran Hutan
Terdapat dua ken dala struktural yang paling utama yangmengakibatkan
tidak berfungsinya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu: 16
1.) Masih dominanya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan
yang emmpertentangkan antara pembangunan dan lingkungan
2.) Belum sepenuhnya tercipta good governance yang memustahilkan
penegakan hukum lingkungan yang efektif
Harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma
pembangunan berkelanjutan yang tercermin dalam dokumen-dokumen
internasional, kenegaraan, dan pemerintah seperti deklarasi Rio, GBHN,
Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambil
keputusan baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.17
Pemikiran yang bertentangan dengan pembangunan dan lingkungan sngat
berpengaruh terhadap pola tindak pemerintah yang berfungsi mengatur serta
mengawasi seluruh kegiatas pembangunan yang berdampak terhadap
lingkungan hidup.
Secara konsptual, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan antara nilai-nilai yang terjabar di dalam kaedahkaedah untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan pergaulan
hidup.18 Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum
adalah keseluruhan kegiatan daripada pelaksanaa penegak hukum ke arah
tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan UUD

16 Sukanda Husein, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2009, hlm. 11
17 Ibid, hlm 12
18 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm. 8

8

1945.19 Dilihat dari fase penegakan hukum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya, yakni: 20
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni pihak-pihak yang akan dibatasi pada
undang-undangnya saja;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergulan hidup
Lebih jauh lagi, menurut I.S Susanto, bahwa paling tidak ada empat
dimensi yang dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum yaitu
disamping undang-undangnya, maka penegakan hukum secara konkrit
melibatkan pelanggar hukum, korban (masyarakat) dan aparat penegak
hukum di dalam suatu hubungan yang bersifat saling mempengaruhi dan
berlangsung dalam wadah, struktur, politik, sosial, ekonomi, dan budaya
pada suatu situasi tertentu.21
Dalam masalah pencemaran udara akibat asap pembakaran hutan,
diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya penegakan
hukum pidana yang secara terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak
hukum maupun masyarakat. Penegak hukum haruslah konsisten dalam
menindak para pengusaha yang terbukti melakukan pembakaran hutan yang
mengakibatkan pencemaran udara dan asap hasil pembakaran hutan.
Hal yang prinsip dalam penegakan hukum lingkungan ini adalah harus
adanya persamaan prinsip tentang lingkungan hidup, terutama dalam tindak
pidana mengenai pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.22 Persamaan
persepsi tersebut penting sekali terutama bagi jajaran aparat hukum.
19 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm 7
20 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali, Jakartam 190,
hlm. 5
21 IS. Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Majalah Masalah Hukum
Nomor 09 Undip Semarang, 1992, hlm. 17 dalam Henry Liyus, Penegakan Hukum
Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat
Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997,
Tesis tidak diterbitkan
22 Ibid

9

Essensinya adalah sama-sama berpandangan bahwa penegakan hukum
tersebut untuk menekan membengkaknya lebih banyak pencemaran dan
pengrusakan lingkungan hidup yang akan menghambat jalannya
pembangunan dan kan langsung merugikan masyarakat. Persamaan persepsi
tersebut mengarah pada sistem peradilan pidana terpadu (intergrited
criminal justice system) dan hukum lingkungan yang betujuan untuk
menghindari mekanisme kerja aparat penegak hukum yang seakan-akan
terpisah-pisah yang berorientasi pada sektoral instansinya saja.23 Seperti
misalnya penyidik yang berorientasi pada penyidikannya saja tanpa
memperdulikan bagaimana proses perkara berikutnya. Sinonim dengan
Penuntut Umum tanpa berkeinginan untuk membuktikan perkara yang telah
dilimpahkan ke Pengadilan dan hanya berpandangan sempit pada lingkup
tugasnya saja. Untuk meningkatkan pelaksanaan sistem peradilan pidana
terpadu, diperlukan profesionalisme dan kerjasama yang baik antara
subsistem yakni Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta masyarakat. Kesan
adanya pengkotak-kotakan yang membuat masingmasing instansi penegak
hukum seakan-akan memiliki kapling tugas sendirisendiri harusnya
dihilangkan.
Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa:
“barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melaukan
perbuatan yang mengaibatkan pencemaran dan/atau pengrusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama
sepulih tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah”.
Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa kejahatan lingkungan
tidak menganut sistem delik aduan yang berati bahwa dala perkara pidana
lingkungan, laporan tentang dugaan adanya pencemaran dan perusakan
lingkungan dapat dilakukan oleh penderita atau anggota masyarakat atau
aparat penegak hukum dan laporan tersebut dapa langsung diteruskan ke
Pengadilan Negeri sebagaimana telah ditentukan dan diatur di dalam
KUHAP.
Pengaturan hukum pidana mengenai korban kejahatan secara mendasar
dikenal dua model yaitu:
23 Ibid

10

1. Procedural rights model
Adalah model perlindungan korban kejahatan yang menekankan
padadimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif di
dalam kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau
membantuk jaksa atau hak untuk dihadirkan atau didengar di seiap
tingkatan sidang pengadilan yang mana kepentingan terkait di
dalamnya termsuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga
permasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada
akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau mengajukan
gugatan secara perdata. Pendekatan semacam ini melihat si korban
sebagai seorang subyek yang harus menuntu mengejar kpentingannya
2. Services model
Adalah model perlindungan korban yang penekanannya
diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi
pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi.
Misalnya dalam pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang
bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum
pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai
sasaran untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para
pemegak hukum yang lain.
Stephen Schfer dalam bukunya The Victim and His Criminal
mengemukakan adanya lima sitem pemberian restitusi kepada korban
kejahatan, yaitu:
1. Ganti rugi yang bersifat keperdataan. Sistem ini memisahkan tuntutan
ganti rugi korban dari proses pidana
2. Kompensasi yang bersifat keperdataan. Diberikan melalui proses
pidana
3. Restitusi yang bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana,
diberikan melalui proses pidana namun tida diragukan sifat pidana
nya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah denda
kompensasi
4. Kompensasi yang bersifat perdata. Diberikan melalui proses pidana
dan disokong oleh sumber-sumber penghasilan negara. Dalam hal ini,
kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun
diberikan dalam proses pidana. Jadi tetap meerupakan lembaga

11

keperdataan murni, tetapi negara yang memenuhi/menanggung
kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan pada pelaku. Hal
ini merupaka pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan
tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya
kejahatan
5. Kompensasi yang bersifat netral. Diberikan melalui prosdur khusus.
Sistem ini diterapkan apabila korban memerlukan ganti rugi
sedangkan pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat emmenuhi
tuntutan korban.24
Adanya kemungkinan ganti rugi menurut Pasal 14C KUHP pada
dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat pengganti untuk
menghidari atau tidak menjalani pidana, jadi, tetap pada pemikiran dasar
seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa latar belakang atau konsep
pemidanaan yang berorientasi pada orang/pelaku tindak pidana, tidak
dilandasi konsep pemidanaan yang berorientasi pada korban.
Terkait dengan restitusi oleh negara sebagaimana disebutkan oleh
Stephen di atas bahwa restitusi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
khususnya dalam hal perlindungan korban, maka perlu dikebangkan sistem
restitusi nomor 4 dan 5 seperti di atas. Hal ini penting karena negara
merupakan penjamin utama hak-hak dasar warga negaranya. Selain itu,
resolusi Majelis Umum PBB 40/34 juga menghimbau agar negara
memberikan restitusi atau kompensasi kepada korban dengan catatan bahwa
apabila para aparat/petugas publik dalam melakukan tugasnya melanggar
hukum pidana positif, maka para korban seharusnya menerima restitusi dari
negara.25 Kemudian dalam butir 12 dinyatakan apabila kompensasi tidak
sepenuhnya diperoleh dari pelaku tindak pidana atau sumber-sumber lain
maka negara harus menetapkan kompensasi kepada korban yang menderita
luka badan selama-lamanya atau rusak/melemah kesehatan fisik dan
24 Stephen Schafer, The Victims and His Criminal, Random House, New York, 1968
dalam Henry Liyus, Penegakan Hukum....Op.Cit, hlm. 166-167
25 Butir 11 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of
Power yang berbunyi: “Where public officials or other agents acting in an official or
quasi-official capacity have violated national criminal laws, the victims should
receiverestitution from the State whose officials or agents were responsible for theharm
inflicted. In cases where the Government under whose authority the victi-mizing act or
omission occurred is no longer in existence, the State orGovernment successor in title
should provide restitution to the victims, https://www.unodc.org/pdf, 22 Desember 2014

12

mentalnya serta kepada keluarga terutama orang-orang yang menjadi
tanggungan dari orang yang mati atau cacat fisik/mental sebagai akibat dari
kejahatan berat.26

26 Bunyi butir 12 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and
Abuse of Power : “When compensation is not fully available from the offender or other
sources, States should endeavour to provide financial compensation to:
(a) Victims who have sustained significant bodily injury or impairment of physical or
mental health as a result of serious crimes;
(b) The family, in particular dependants of persons who have died or become physically or
mentally incapacitated as a result of such victimization”

13

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uaraian pada bab sebelumnya, maka penulisan memberikan
kesimpulan diantaranya adalah :
1. Dalam masalah pencemaran udara akibat asap pembakaran hutan,
diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya
penagakan hukum pidana yang seara terpadu dari semua pihak pihak
aparat penegak hukum maupun masyarakat. Penegak hukum
haruslah konsisten dalam menindak para pengusaha yang terbukti
melakukan pembakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran
udara dan asap hasil pembakaran hutan.
2. Pengaturan hukum pidana mengenai korban kejahatan secara
mendasar dikenal dua model yaitu The Procedural Rights Model dan
Services Model. Adanya kemungkinan ganti rugi menurut Pasal 14C
KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat
pengganti untuk menghidari atau tidak menjalani pidana, jadi, tetap
pada pemikiran dasar seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa
latar belakang atau konsep pemidanaan yang berorientasi pada
orang/pelaku tindak pidana, tidak dilandasi konsep pemidanaan yang
berorientasi pada korban.
Saran
1. Harus adan persamaan prinsip tentang lingkungan hidup, terutama
dalam tindak pidana mengenai pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup. Persamaan persepsi tersebut penting sekali
terutama bagi jajaran aparat hukum. Tujuannya adalah mengarah
pada sistem peradilan pidana terpadu (intergrited criminal justice
system)
2. Mengembangkan sistem kompensasi/restitusi dimana negara ikut
serta dalam memberikan restitusi/kompensasi tersesbut kepada
korban asap akibat pembakaran hutan dan lahan sebagai bentuk
tanggungjawab negara dalam melindungi hak-hak asasi warga
negaranya
DAFTAR PUSTAKA

14

Buku
Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, PT
Sinar Grafika, Jakarta
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Henry Liyus, 1997, Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka
Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat
Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi, Universitas Diponegoro,
Semarang, Tesis tidak diterbitkan
J.E. Sahetapy, 1983, Viktimologi sebagai Bunga Rampai, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Koesnadi Hardjosoemantri, 1986, Hukum Tata Lingkungan,
GadjahmadaUniversity Press, Yogyakarta
Muhammad Topan, 2009, Kejahatan Korporasi Bidang Lingkungan Hidup
Perpektif Viktimologi dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia,
Pnerbit Nusa Media, Bandung
Slamet Riyadi, 1982, Pencemaran Udara, Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya
Soerjono Soekanto, 1989, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT Rajawali Press, Jakarta
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali,
Jakarta, 1990
Sukanda Husein, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of
Power
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Internet
https://www.unodc.org/pdf

15

Rahmi Carolina, Kamipun Berhak Menghirup Udara Sehat, ditulis pada 29
November 2014, dimuat dalam
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/kami-pun-berhak-menghirupudara-sehat/blog/51520/ (online), 22 Desember 2014
http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/penanggulangan-krisiskesehatan-akibat-kabut-asap-di-provinsi-riau (online) 22 Desember 2014
Majalah Gema BNPB, Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana,
Edisi Mei 2014 Volume 5 Nomor 1 hlm. 3

16