Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem

Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
dalam Pemodelan Erosi dan Lahan Kritis di Negara Filipina
John Marles
Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Jalan WR Supratman, Kandang
Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-22105

ABSTRAK
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem yang memiliki kemampuan menganalisis masalah spasial maupun non
spasial beserta kombinasinya (queries) dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan keruangan. Dalam rangka dukungan
terhadap pertanian berkelanjutan berupa pelestarian sumber daya air, sumber daya lahan, dan sumber daya tanaman dengan cara yang
dapat diterima dan cocok secara ekonomi, sosial, dan lingkungan diperlukan suatu analisis yang berkaitan dengan keruangan (spasial).
Erosi dan lahan kritis merupakan tantangan pemanfaataan sumberdaya alam untuk saat ini. Salah satu metode yang bisa digunakan
untuk memodelkan erosi dan lahan kritis adalah dengan memanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografi. Tujuan dari
artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dalam pemodelan erosi dan
lahan kritis.
Kata Kunci : penginderaan jauh, SIG, Erosi, lahan kritis

Pendahuluan
Erosi tanah merupakan masalah lingkungan yang
terjadi di berbagai belahan dunia yang berdampak negatif
baik pada produksi pertanian, infrastruktur, kualitas air

maupun biodiversitas (Arsyad, 2010; Hardjowigeno, 2007,
Sulistyo, 2015). Erosi adalah proses penguraian dan proses
pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga
geomorfolgi, seperti air dan angin (Arsyad, 2000). Pada
peristiwa erosi (yang dipercepat) volume penghanyutan
tanah adalah lebih besar dibandingkan dengan
pembentukan tanah, sehingga penipisan lapisan tanah akan
berlangsung terus yang pada akhirnya dapat melenyapkan
atau terangkut habisnya lapisan tersebut (Mulyani dan
Kartasapoetra, 1991). Faktor–faktor utama yang
mempengaruhi erosi tanah adalah iklim, tanah, vegetasi
dan topografi (Suripin, 2001).
Lahan kritis terjadi akibat erosi oleh air hujan.
Erosi sendiri diakibatkan oleh faktor-faktor iklim,
topografi, vegetasi, kondisi tanah dan ulah manusia. Jawa
Barat memiliki curah hujan tinggi, lahan berlereng. Ketika
kayu-kayu tumbuh diatas lahan ditebangi maka curah hujan
yang tinggi memukul langsung permukaan tanah yang
gundul. Butiran tanah terlepas dari agregatnya dan dibawa
hanyut oleh aliran permukaan ( run off ) kelereng bawah

sampai akhirnya diindapkan di muara-muara sungai. Tanah
yang terhanyut mengandung zat-zat hara penting untuk
tanaman. Dengan demikian yang tertinggal adalah lapisan
bawah tanah ( sub soil ) atau bahan induk yang tidak subur
dan bukan media tumbuh yang baik untuk pertanian. Para
ahli mengatakan bahwa untuk pembentukan lapisan olah
(top oil ) setebal 2,5 cm diperlukan waktu 30 –300 tahun.
Prakiraan atau prediksi erosi dan lahan kritis dari
tiap satuan lahan menjadi penting mengingat pengelolaan
lahan dan topografi yang beragam menciptakan kondisi
berbeda pula dalam mempengaruhi besarnya erosi
permukaan.
Teknologi penginderaan jauh mampu mendeteksi pola
penggunaan lahan di muka bumi. Informasi yang diperoleh
dari citra satelit dapat digabungkan dengan data-data lain

yang mendukung ke dalam suatu sistem informasi
geografis (SIG). Hambatan dalam pemantauan penutupan
lahan dapat dikurangi dengan adanya teknologi
penginderaan jauh (Nugraha, 2008). Memperoleh data erosi

sesungguhnya memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang
tidak sedikit, oleh sebab itu biasanya erosi diprediksi dari
suatu model. Universal Soil Loss Equation (USLE)
merupakan salah satu model prediksi erosi yang banyak
digunakan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Data
yang digunakan dalam analisis erosi USLE adalah data
vektor,
sehingga
hasilnya
mempunyai
tingkat
ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi (Sulistyo, 2015).
Hasil penelitian Sulistyo (2015) menunjukkan bahwa
pemodelan faktor K berbasis raster di DAS Merawu
mempunyai ketelitian melebihi nilai ambang yang
ditetapkan, yaitu sebesar 89,068%, yang menunjukkan
bahwa peta hasil pemodelan menggunakan analisis Kriging
dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut dalam
menghitung erosi.
Hasil dan Pembahasan

Erosi
Salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan
lingkungan adalah erosi. Erosi merupakan masalah yang
perlu ditangani secara serius agar tidak bertambah parah.
Secara garis besar kerusakan yang timbul akibat erosi
dijelaskan sebagai berikut ini: 1) Erosi menurunkan tingkat
kesuburan tanah. Saat terjadinya erosi, maka tanah bagian
atas lah yang akan terkikis terlebih dahulu dimana tanah
lapisan atas ini subur karena banyak mengandung bahan
organik. Dengan terangkutnya bagian atas, maka tinggallah
tanah bagian bawah yang tidak subur dan tidak
menghasilkan produk yang baik jika ditanami. 2) Erosi
menimbulkan pendangkalan. Seperti yang diketahui, erosi
adalah proses terkikisnya butir – butir tanah, kemudian
dengan adanya aliran air, butir – butir tanah terangkut
setelah aliran air tidak mampu lagi mengangkut butir –
butir tanah, maka tanah tersebut akan diendapkan dan

pengendapan ini akan terjadi pada daerah yang lebiih
rendah (Wudianto, 1988).

Proses erosi terjadi melalui penghancuran,
pengangkutan, dan pengendapan (Meyer et al. 1991;
Utomo 1987; dan Foth (1978, dalam Banuwa, 2008). Di
alam terdapat dua penyebab utama yang aktif dalam proses
ini yakni angin dan air. Pada daerah iklim tropik basah
seperti Indonesia, air merupakan penyebab utama
terjadinya erosi, sedangkan angin tidak mempunyai
pengaruh berarti (Arsyad 2010). Beasley (1972, dalam
Banuwa, 2008) dan Hudson (1976, dalam Banuwa, 2008)
berpendapat, bahwa erosi adalah proses kerja fisik yang
keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini
digunakan untuk menghancurkan
agregat
tanah
(detachment), memercikkan partikel tanah (splash),
menyebabkan gejolak (turbulence) pada limpasan
permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah.
Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu
erosi geologi atau erosi normal dan erosi yang dipercepat.
Erosi geologi (erosi normal) juga disebut erosi alami

merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi
di bawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi pada
keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah
yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi
secara normal. Proses geologi meliputi terjadinya
pembentukan tanah di permukaan bumi secara alami.
Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju
pembentukan tanah. Erosi dipercepat adalah pengangkutan
tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat
perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara
proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh sebab
itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi perhatian
konservasi tanah. Dalam pembahasan selanjutnya, istilah
erosi yang dipergunakan menggambarkan erosi dipercepat
yang disebabkan oleh air (Rahim, 2003; Arsyad, 2006).
Lahan Kritis
Lahan kritis merupakan lahan yang telah
mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya
penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya
membahayakan

fungsi
hidrologi
dan
daerah
lingkungannya. Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah tutupan vegetasi,
lereng, erosi, dan kedalaman solum tanah. Tutupan
vegetasi, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis.
Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki
kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga
memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil
koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan
penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum
tebal. Disamping itu kondisi tutupan vegetasi yang baik
juga memberikan serasah yang cukup banyak, sehingga
bisa mempertahankan kesuburan tanah (Notohadiprawiro,
2006).
Kekritisan lahan juga dapat dinilai secara
kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kuantitatif menetapkan
kekritisan berdasarkan luas lahan atau proporsi anasir lahan

yang terdegradasi atau hilang. Misalnya, berkurangnya atau
hilangnya sumber air karena menyusutnya imbuhan
(recharge) atau karena laju penyedotan lebih besar dari

pada laju imbuhan, menunjukan kekritisan kuantitatif
lahan. Ukuran kualitatif menetapkan kekritisan menurut
tingkat penurunan mutu lahan atau anasir lahan. Akan
tetapi ukuran kuantitatif dan kualitatif sering berkaitan.
Misalnya, penipisan tubuh tanah (gejala kuantitatif) karena
erosi membawa serta penurunan produktivitas tanah (gejala
kualitatif) karena lapisan tanah atasan biasanya lebih
produktif dari pada lapisan tanah bawahan. Kebakaran
hutan pada awalnya menimbulkan kekritisan kuantitatif
(penyusutan luas lahan). Kemudian dapat muncul
kekritisan kualitatif karena regenerasi hutan menumbuhkan
flora yang lebih miskin jenis dari pada hutan semula
sebelum terbakar atau degradasi keanekeragaman hayati
(Notohadiprawiro, 2006).
Lahan kritis adalah lahan atau tanah yang saat ini
tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan tanah

yang tidak atau kurang memperhatikan syaratsyarat
konservasi tanah dan air sehingga menimbulkan erosi,
kerusakankerusakan kimia, fisik, tata air dan
lingkungannya. Pengelolaan lahan merupakan suatu upaya
yang dimaksudkan agar lahan dapat berfungsi optimal
sebagai media pengatur tata air dan produksi. Bentuk
pengelolaan lahan yang baik adalah dapat menciptakan
suatu keadaan yang mirip dengan keadaan alamiahnya
(Wirosoedarmo dkk, 2007)
Penginderaan Jauh dan SIG
Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk
memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala,
dengan cara menganalisis data yang diperoleh atau gejala
yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Pengertian Geographic Information System atau
Sistem Informasi Geografis (SIG) sangatlah beragam. Hal
ini terlihat dari banyaknya definisi SIG yang beredar di
berbagai sumber pustaka. Definisi SIG kemungkinan besar
masih berkembang, bertambah, dan sedikit bervariasi,
karena SIG merupakan suatu bidang kajian ilmu dan

teknologi yang digunakan oleh berbagai bidang atau
disiplin ilmu, dan berkembang dengan cepat (Prahasta,
2009).
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Studi
Pemetaan Lahan Kritis
Aplikasi sistem informasi geografis dan pengideraan
jauh telah banyak digunakan diberbagai bidang. Dalam
bidang kehutanan, aplikasi ini digunakan untuk pemetaan
penggunaan lahan, pemetaan perubahan penutupan lahan,
pemetaan daerah rawan longsor dan sebagainya. Salah satu
penelitian yang menggunakan aplikasi ini pernah dilakukan
oleh Nugraha (2008) dalam Pemanfaatan Penginderaan
Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan
Lahan Kritis DAS Ciliwung Hulu Bogor. Pemanfaatan
teknologi ini menggunakan empat parameter, yaitu
penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan
tingkat pengelolaan lahan. Untuk analisis semua parameter
diberi skor. Berdasarkan parameter terbentuknya lahan
kritis tersebut diperoleh lima kelas tingkat kekritisan lahan
yaitu tidak kritis (1265,72 Ha), potensial kritis (5321.90

Ha), agak kritis (1331,02 Ha), kritis (4013,78 Ha), dan
sangat kritis (156,12 Ha).

Selain itu, Ade Candra (2003) juga telah melakukan
penelitian tentang Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis
di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu Kabupaten/Kota
Bogor dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis. Identifikasi dan pemetaan
lahan kritis dilakukan dengan pemberian skor untuk setiap
parameter dan dilakukan proses overlay dari citra hasil
interpretasi dengan peta digital. Dari hasil analisis
diperoleh lima tingkat kekritisan lahan yaitu tidak kritis
(2631,96 Ha atau 17,69%), potensial kritis (3538,37 Ha
atau 23,79%), semi kritis (3453,85 Ha atau 23,33%), kritis
(2438,18 Ha atau 16,39 %) dan sangat kritis (1668,10 Ha
atau 11,21%).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat erosi dan lahan kritis suatu
wilayah dapat dilakukan dengan cara membuat
pemodelan pemanfaatan penginderaan jauh dan Sistem
Informasi Geografis (SIG).
2. Terapan GIS telah banyak digunakan untuk melakukan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang
berbasiskan wilayah geografi.
3. Untuk menunjukkan tingkat kekritisan suatu lahan
dilakukan dengan pemberian skor pada setiap parameter
yang diamati dan dilakukan proses overlay dari citra
hasil interpretasi dengan peta digital sehingga diperoleh
kelas kekritisan lahan yaitu : tidak kritis, potensial
kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis.
4. Pemetaan lahan kritis dapat dilakukan dengan empat
parameter, yaitu penutupan lahan, kemiringan lereng,
tingkat erosi, dan tingkat pengelolaan lahan.
Daftar Pustaka
Candra, A. 2003. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis
di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu
Kabupaten/Kota Bogor dengan menggunakan
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
(Skripsi). Bogor. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Danoedoro, P. 2013. Pemodelan Persentase Tajuk di DAS
Merawu yang Diturunkan Dari Berbagai Indeks
Vegetasi Data Penginderaan Jauh. Forum Geografi,
Vol. 27, No. 1.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra. Dulbahri, Prapto S, Hartono,
Suharyadi, penerjemah. Terjemahan dari: Remote
Sensing and Image Interpretation.Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Lo, C.P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan
dari: Applied Remote Sensing. Jakarta.

Nugraha R. 2008. Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis Dalam Pemetaan Lahan
Kritis DAS Ciliwung Hulu Bogor (Skripsi). Bogor.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Pertiwi, A.I. 2013. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis
dengan Menggunakan Teknologi Sistem Informasi
Geografis dan Penginderaan Jauh (Skripsi). Bogor.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi
Geografis. Bandung. Informatika.
Prasetya, R.N, 2011. Pemanfaatan Citra Penginderaan
Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk
Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Kokap dan
Pengasih Kabupaten Kulonprogo.Yogyakarta.
Sulistyo, B., 2008, Pengaruh Generalisasi Unit Lahan pada
Besarnya Erosi, Jurnal Ilmu Kehutanan Vol II, No. 1,
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Sulistyo, B., Gunawan, T., Hartono, Danoedoro, P., 2009,
Toward a fully and absolutely raster-based erosion
modeling by using RS and GIS, Indonesian Journal of
Geography. 41: 149-70. (can be accessed through
https://jurnal.ugm.ac.id/ijg/article/view/2269/2022)
Sulistyo, B., 2010, Pemodelan Erosi Berbasis Raster
+
Melalui Integrasi Citra Landsat 7 ETM dan Sistem
Informasi Geografis, Laporan Penelitian, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sulistyo, B., Gunawan, T., Hartono, Danoedoro, P., 2011,
Pemetaan Faktor C Yang Diturunkan Dari Berbagai
Indeks Vegetasi Data Penginderaan Jauh Sebagai
Masukan Pemodelan Erosi Di DAS Merawu (C
Factor Mapping Derived From Various Vegetation
Indices of Remotely Sensed Data As Input For
Erosion Modeling In Merawu Catchment), Jurnal
Manusia dan Lingkungan, 18, 68-78 (can be accessed
through
http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/7)
Sulistyo, B., 2011, The Efect of Choosing Different
Contour Interval On A Fully Raster-Based Erosion
Modeling (The Case In Merawu Watershed,
Banjarnegara, Central Java), Journal of Tropical
Soils, 16, 258-266 (can be accessed through
https://jurnal.ugm.ac.id/agritech/article/view/9751)
Sulistyo, B., Gunawan, T., Hartono, Danoedoro, P., 2013,
Pemodelan Persentase Tajuk Di DAS Merawu Yang
Diturunkan Dari Berbagai Indeks Vegetasi Data
Penginderaan Jauh (Modeling of Percentage of
Canopy In Merawu Catchment Derived From Various
Vegetation Indices of Remotely Sensed Data), Forum
Geografi, 27, 23-32 (can be accessed through
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/3451)

Sulistyo, B., 2015, Kajian Perubahan Tingkat Kekritisan
Lahan Sebagai Akibat Proses Eliminasi Unit Lahan:
Studi Kasus di Kawasan Pertambangan Danau
Mas Hitam, Provinsi Bengkulu (The Study of
Land Degradation Level As a result of Land Unit
Elimination Process: Case Study in Mining
Region of Danau Mas Hitam, Bengkulu Province),
National Seminar on Biodiversity, University
Club, University of Gadjah Mada, Yogyakarta,
828-833
(can
be
accessed
through
http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/M/M0104/M01
0428.pdf)
Sulistyo, B., 2015, Pemodelan Faktor K Berbasis Raster
Sebagai Masukan Pemodelan Erosi Di DAS Merawu,
Banjarnegara (Modeling of Raster-Based of K Factor
as Input for Erosion Modeling at Merawu Catchment,
Banjarnegara, Central Java Province), Jurnal
Manusia dan Lingkungan. 22: 240-246. (can be
accessed
through
http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/502)
Sulistyo, B., 2016, The Efect of Choosing Three Different
C Factor Formulae Derived From Ndvi on A Fully
Raster-Based Erosion Modeling, 2nd International
Conference of Indonesian Society for Remote Sensing
(ICOIRS), Published under licence by IOP Publishing
Ltd, IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, Volume 47, Number 1
Sulistyo, B., 2017, The Accuracy of The Outer Boundary
Delineation of Coral Reef Area Derived From The
Analyses of Various Vegetation Indices of Satellite
Landsat Thematic Mapper, Biodiversitas, 18, 351-358