X Makalah Budaya Jawa dan Eksistensinya

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
makalah ini. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Jawa di
SMA Negeri 1 Gemolong.
Di dalam makalah ini kami membahas tentang Budaya Jawa dan eksistensinya di
dalam masyarakat Jawa saat ini. Karena mengingat sekarang fenomena yang dapat kita
saksikan yang menunjukkan semakin ini banyak sekali lunturnya kesadaran masyarakat
terhadap budaya kita ini.
Makalah ini sudah barang tentu jauh dari sempurna. Kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Tidak luput kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kemaslahatan umum.

Gemolong, 11 Januari 2013
Penyusun

1

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR......................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................2
ABSTRAKSI...................................................................................................................3
BAB I : PENDAULUAN................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................4
B. Rumusan Masala.........................................................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................................................4
D. Luaran yang Diharapkan............................................................................................4
E. Tinjauan Pustaka.........................................................................................................5
BAB II : ISI.....................................................................................................................6
KESIMPULAN.............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................23
LAMPIRAN..................................................................................................................24

2

ABSTRAKSI

Di daerah Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan
baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang.

Jawa Tengah yang merupakan salah satu dari sepuluh daerah tujuan wisata di
Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru baik darat, laut, maupun
udara.
Globalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, di samping
membawa kemajuan di dalam pribadi pemuda dan setiap elemen masyarakat, globalisasi
juga memberikan dampak buruk terhadap sebuah budaya. Eksistensi budaya menjadi
terancam, sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap budaya mereka adalah
tujuan yang paling utama.
Dengan adanya kesadaran dari masing-masing pribadi masyarakat akan dapat sangat
membantu tetap bertahannya budaya kita, karena kesadaran akan menggerakkan hati mereka
untuk mencintai budaya mereka. Dengan demikian, hal tersebut akan mendorong mereka
untuk selalu berusaha menjaga keberadaannya, sehingga eksistensi budaya ini akan terus
tetap terjaga.

3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jawa adalah bagian dari kepulauan NKRI yang paling padat penduduknya. Pulau Jawa
itu sendiri terbagi menjadi provinsi Banten, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain padat penduduknya, Jawa juga kaya akan khasanah
budaya, karena dari masing-masing provinsi tersebut memiliki budaya, tradisi, dan latar
belakang yang berbeda-beda.
Dewasa ini kelangsungan budaya di pulau Jawa semakin terancam keberadannya,
terlebih lagi dengan adanya modernisasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi maka
mengakibatkan semakin mudah pula merasuknya budaya asing yang sangat berpeluang
merusak budaya tersebut.
Kini semakin terlihat dengan jelas bahwa tidak dapat dipungkiri budaya kita kini
semakin tersingkir. Pemuda lebih condong kepada budaya Barat dan semakin jarang
masyarakat yang peduli dengan budaya leluhur mereka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan seperti yang telah dikemukakan di atas,
perlu dicari jawab atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut
(1) Apakah budaya Jawa itu?
(2) Bagaimanakah eksistensinya sekarang ini?
(3) Apakah yang menyebabkan terancamnya eksistensi budaya Jawa?
(4) Langkah apa sajakah yang harus kita lakukan untuk tetap menjaga eksistensi
budaya Jawa?

C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang
budaya dan untuk membangkitkan semangat mereka untuk mencintai budayanya.
D. Luaran yang Diharapkan
Makalah ini disusun supaya masyarakat lebih faham akan budaya Jawa yang menjadi
budaya leluhur mereka, selain itu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap budaya
mereka adalah tujuan yang paling utama. Dengan adanya kesadaran dari masing-masing
pribadi masyarakat akan dapat sangat membantu tetap bertahannya budaya kita, karena
kesadaran akan menggerakkan hati mereka untuk mencintai budaya mereka. Dengan
demikian, hal tersebut akan mendorong mereka untuk selalu berusaha menjaga
keberadaannya, sehingga eksistensi budaya ini akan terus tetap terjaga.

4

E. Tinjauan Pustaka
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi ( budi atau akal ) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Budaya didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan pengalamannya dan

menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
Sebuah kebudayaan adalah milik bersama anggota masyarakat atau suatu golongan
sosial, yang penyebaran dan pewarisan kepada anggota-anggotanya yakni kepada
generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbolsimbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga
berbagai peralatan yang dibuat oleh mereka).
Kejawen adalah peradaban yang terbentuk di Jawa merupakan aturan moral yang terapi
unsur-unsur religius. Bagi masyarakat Jawa, mitos adalah sebuah sistem ide yang
digunakan sebagai “cara untuk menjelaskan dunia”.
Digelar dua buah kongres untuk mengembalikan kejayan budaya Jawa. Kongres yang
pertama, kongres sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo (6-7 Juli 2009) . Kongres kedua ,
Kongres Bahasa Jawa (KBJ) digelar di jantung peradaban Jawa, Yogyakarta (15-21 Juli
2009).

5

BAB II
ISI
BUDAYA JAWA DAN EKSISTENSINYA

1. Asal-Usul Budaya Jawa

“Dalam catatan Yunani, yang ditulis Claucius Ptolomeus (tahun 165 M) istilah
labadiou (jawadwipa) digunakan untuk menyebut pulau Jawa, yang mana kurang
lebih artinya adalah sebuah pulau yang jauh terletak di tenggara yang kaya akan
beras.
Njowo digunakan sebagai sebuah ungkapan untuk mendefinisikan tingkah laku
seseorang, atau dengan kata lain njowo itu adalah mengerti; paham; beretika sesuai
dengan (budaya) Jawa .
Peradaban tertua di Indonesia yang tercatat dalam perjalan pelancong-pelancong (dari
Cina maupun pedagang India ) masa lalu adalah Sakanagara (abad 1 M) sendiri
terletak di pesisir barat Pulau Jawa, di sekitar daerah Pandeglang. Dari komunitas ini
kemudian lahirlah Taramarajuk (abad 4 M). Sedangkan di bagian tengah Pulau Jawa,
peradaban tertua di awali dengan kerajaan Kalingga (abad 6 M). Kemudian untuk
Pulau Jawa bagian timur , peradaban pertama yang dicatat adalah kerajaan
Kanjuruhan dengan ditemukannya prasasti Dinoyo (tahun 760) yang ditulis dengan
huruf Jawa Kuno (Kawi). Kemudian dilanjutkan dengan kerajaan yang didirikan oleh
Mpu Sendok, raja terakhir dari Wangsa Sanjaya yang berkuasa di Mataram pada abad
9 M, yang memindahkan ibukota kerajaan lebih ke timur di tepi Sungai Brantas.
Diduga karena bencana alam meletusnya gunung Merapi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan “peradaban tertua yang pernah tercatat di
Pulau Jawa dimulai dari barat ke timur”. Juga terdapat bentuk sinkritisme yang paling

pas dan harmonis antara ajaran teologi Islam-Hindu-Buddha-dan Jawa”.
2. Macam –Macam Kesenian dalam Budaya Jawa
Budaya yang terdapat di pulau Jawa sangatlah beragam, namun di sini kita akan
membahas tentang budaya Jawa Tengah yang lebih dikenal oleh masyarakat
Indonesia dengan budaya Jawa. Jawa tengah adalah salah satu provinsi di pulau Jawa
yang memiliki budaya daerah yang sangat beragam.
Jawa Tengah yang merupakan salah satu dari sepuluh daerah tujuan wisata di
Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru baik darat, laut,
maupun udara. Provinsi ini juga telah melewati sejarah yang panjang dari jaman
purba hingga sekarang.
Di Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang dengan baik, dan
hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada sekarang.

6

3.

Seni Arsitektur Bangunan Jawa Tengah
Pembagunan Jawa Tengah pada umumnya bangunan induk serta bangunan lain di
seputarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan

“Padepokan Jawa Tengah”, seni bangunan dari jaman Sanjayawangsa dan
Syailendrawangsa. Jawa Tengah juga dikenal dengan sebutan “ The Island of Temples
“ karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi.
Pendopo Agung yang berbentuk “Joglo Trajumas”, atapnya yang luas ditopang 4
Soko Guru (tiang pokok), 12 Soko Goco, dan 20 Soko Rowo. Kesemuanya membuat
penampilan bangunan itu berkesan “momot”, artinya berkemampuan menampung
segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Pendopo Agung
dihubungkan dengan ruang “pringgitan”, yang aslinya sebagai tempat pertunjukan
ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur limas. Bangunan lain adalah
bentuk rumah adat “ Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit”, dan rumah
bercorak “Doro Gepak”.
4. Tarian Daerah Jawa Tengah
Tari Jawa memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Selain sebagai
hiburan, beberapa tarian yang lainnya juga memiliki fungsi sakral yaitu disajikan
dalam pelantikan dan penghormatan raja-raja. Tarian Jawa itu berwujud seni tari yang
adiluhung , sakral , dan religius. Tari Jawa tersebut banyak jenisnya. Tarian tersebut
di antaranya sebagai berikut: (1) Tari Srimpi, (2) Tari Bedaya Ketawang, (3) Wireng,
(4) Prawirayudha, (5) dan (6) Tari Kuda Lumping.
1) Tari Srimpi
Tarian Srimpi merupakan tarian bernuansa mistik yang berasal dari

Yogyakarta. Tari Serimpi Yogyakarta ini diiringi oleh gamelan Jawa. Tari Serimpi
Yogyakarta ini dimainkan oleh dua orang penari wanita. Gerakan tangan yang
lambat dan gemulai, merupakan ciri khas dari tarian Serimpi. Tarian srimpi
sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya
Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 17881820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri berasal dari kata
“sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Tari Serimpi Yogyakarta ini
melambangkan bekal untuk kematian (dari arti Sangopati) diperuntukan kepada
Belanda.
Dari namanya, Srimpi bersinonimkan bilang empat. Tari Serimpi Yogyakarta Jawa
yang berasal dari Yogyakarta ini kebanyakan ditarikan oleh penari dengan jumlah
empat orang diiringi oleh musik gamelan Jawa. Gerakan tangan yang lambat dan
gemulai, merupakan ciri khas dari tarian Serimpi. Menurut Kanjeng
Brongtodiningrat, komposisi penari Serimpi melambangkan empat unsur dari
dunia, Yakni grama (api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah).
Selain itu kata “srimpi” juga diartikan dengan akar kata “impi” [dalam bahasa
Jawa] atau mimpi. Serimpi merupakan seni yang adhiluhung serta dianggap
pusaka Kraton. Tema yang ditampilkan pada Tari Serimpi Yogyakarta sebenarnya
7

sama dengan tema pada tariBedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian

antara dua hal yang bertentangan antara baik dengan buruk, antara benar dan
salah antara akal manusia dan nafsu manusia.
Dahulu Tari Serimpi Yogyakarta diperuntukan hanya untuk masyarakat di
lingkungan istana Yogyakarta, yakni pada saat menyambut tamu kenegaraan atau
tamu agung. Dalam perkembanganya, Tari Serimpi Yogyakarta mengalami
perubahan, sebagai penyesuaian terhadap kebutuhan yang ada di dalam
masyarakat saat ini. Salah satu penyesuaian yang dilakukan yakni pada segi
durasi. Srimpi, versi zaman dahulu dalam setiap penampilannya bisa disajikan
selama kurang lebih 1 jam. Sekarang, untuk setiap penampilan di depan umum
[menyambut tamu negara], Tari Serimpi Yogyakarta ditarikan dengan durasi
kurang lebih 11-15 menit saja dengan menghilangkan gerakan pengulangan dalam
Tari
Serimpi
Yogyakarta.
Upaya pelestarian Tari Serimpi Yogyakarta banyak dilakukan di berbagai sanggar
tari
klasik
yang
banyak
di

temui
di
Yogyakarta.
Ada banyak jenis tari srimpi, diantaranya :
- Tari Srrimpi sangopati
Tari Serimpi Yogyakarta ini dimainkan oleh dua orang penari wanita. Tarian
srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya
Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun
1788-1820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri berasal dari
kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Tari Serimpi
Yogyakarta ini melambangkan bekal untuk kematian (dari arti Sangopati)
diperuntukan kepada Belanda.
- Tari Srimpi Anglirmendhung
Menurut R.T. Warsadiningrat, Anglirmedhung ini digubah oleh
K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula terdiri atas tujuh penari, yang kemudian
dipersembahkan kepada Sinuhun Paku Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun
Paku Buwana IV Tari Serimpi Yogyakarta ini dirubah sedikit, menjadi Srimpi
yang hanya terdiri atas empat penari saja.
- Tari Srimpi Ludira Madu
Tari Srimpi Ludira Madu ini diciptakan oleh Paku Buwono V ketika masih
menjadi putra mahkota Keraton Surakarta dengan gelar sebutan Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom.Tari Serimpi Yogyakarta ini diciptakan untuk
mengenang ibunda tercinta yang masih keturunan Madura, yaitu putri Adipati
Cakraningrat dari Pamekasan. Ketika sang ibu meninggal dunia, Pakubuwono
V masih berusia 1 ½ tahun , dan masih bernama Gusti Raden Mas Sugandi.
Jumlah penari dalam tarian ini adalah 4 orang putri. Dalam Tari Serimpi
Yogyakarta ini digambarkan sosok seorang ibu yang bijaksana dan cantik
seperti jelas dituliskan pada syair lagu Srimpi Ludira Madu. Nama Ludira
8

-

-

-

-

-

-

2)

Madu diambil dari makna Ludira Madura yang berarti “ Darah/ keturunan
Madura”.
Tari Serimpi Renggawati.
Salah satu jenis Tari Serimpi Yogyakarta putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana V. Penari Serimpi Renggawati
berjumlah 5 orang. Membawakan cerita petikan dari “Angling Darmo” yang
magis, dengan menggunakan tambahan properti sebatang pohon dan seekor
burung mliwis putih.
Tari Serimpi Cina.
Salah satu jenis Tari Serimpi Yogyakarta putri klasik di Istana Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada kekhususan pada tari Serimpi cina, yaitu
busana para penari menyesuaikan dengan pakaian cina.
Tari Serimpi Pistol.
Salah satu jenis Tari Serimpi Yogyakarta putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII. Kekhususan tarian ini terletak
pada properti yang digunakan yaitu pistol.
Tari Serimpi Padhelori.
Salah satu jenis Tari Serimpi Yogyakarta putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VI dan VII. Properti yang digunakan
dalam tarian ini berupa pistol dan cundrik. Membawakan cerita petikan dari
“Menak”, ialah perang tanding Dewi Sirtu Pelaeli dan dewi Sudarawerti,
sebagaimana dikisahkan dalam syair vokalianya. Tari Serimpi Padhelori
mempergunakan lagu pengiring utama Gending Pandhelori.
Tari Serimpi Merak Kasimpir.
Salah satu jenis Tari Serimpi Yogyakarta putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII. Properti yang digunakan dalam
tarian ini berupa pistol dan jemparing. Gending yang dipergunakan untuk
mengiringi tari Serimpi Merak Kasimpir adalah Gending Merak Kasimpir.
Tari Serimpi Pramugrari.
Salah satu jenis Tari Serimpi Yogyakarta putri klasik gaya Yogyakarta,
merupakan hasil ciptakan Sultan Hamengku Buwana VII. Tarian ini
menggunakan properti pistol. Gending yang dipergunakan untuk mengiringi
tari Serimpi Pramugrari adalah Gending Pramugrari.
Tari Bedaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian kebesaran dan tarian yang di sakralkan
di Keraton Jawa (Yogyakarta dan Solo). Tarian ini hanya dipentaskan satu tahun
sekali, yaitu pada saat perayaan hari penobatan raja atau “Tingalan Dalem
Jumenengan”.
Seperti halnya tarian Bedhaya lainnya, tarian ini bersifat magis-religius, dalam
pementasannya tarian ini dipentaskan oleh 7 sampai 9 penari. Awalnya tarian ini
hanya dimainkan oleh 7 orang penari saja, namun dalam perkembangannya,
9

karena tarian ini dianggap sebagai tarian khusus dan amat sakral, sehingga
akhirnya dimainkan oleh 9 orang penari.
Sebelum menarikan tarian ini, kesembilan penari harus melakukan ritual puasa
tertentu, mensucikan diri lahir batin, dan tidak sedang dalam keadaan datang
bulan. Sehingga seringkali penari penari cadangan dipersiapkan untuk
menggantikan jika saat tiba hari pementasan ada salah satu penari yang
berhalangan sehingga tidak memenuhi syarat untuk mementaskan tarian ini.
Lebih dari itu, para penari harus dalam keadaan perawan.
Selain itu, Keraton juga harus melakukan ritual tertentu. Yaitu larungan atau
labuhan (persembahan korban) berupa sesaji ke 4 titik mata angin, yaitu : di
bagian arah utara untuk Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng Ratu Sekar.
Di bagian arah selatan untuk Segoro Kidul (Laut Selatan) dengan penguasa Ratu
Kidul. Di bagian barat, untuk Tawang Sari dengan penguasa Sang Hyang
Pramori (Durga di hutan Krendowahono). Dan terakhir, di bagian timur untuk
Tawang Mangu dengan penguasa Argodalem Tirtomoyo, dan Gunung Lawu
dengan penguasa Kyai Sunan Lawu.
Ada beberapa versi mengenai penciptaan tari ini. Konon, tarian ini diciptakan
ratunya seluruh makhluk halus, yaitu Ratu Kencanansari atau lebih dikenal
sebagai Ratu Kidul untuk melambangkan cinta kasihnya kepada raja penguasa
Mataram.
Versi pertama, menurut Sinuhun Paku Buwono X, Bedhaya Ketawang
menggambarkan lambang cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan
Senopati (raja pertama Kerajaan Mataram) segala gerak melambangkan bujuk
rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul
tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan
bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh
Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral
antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat
dilanggar oleh Raja-Raja Jawa yang Turun Temurun atau Raja-Raja Penerus.
Namun versi lain, menurut kitab Wedhapradagna, tarian Bedhaya Ketawang ini
diciptakan oleh Sultan Agung (raja ketiga Kerajaan Mataram), dan Kanjeng Ratu
Kidul diminta oleh Sultan untuk mengajarkan secara langsung gerakan tarian
tersebut kepada para penari kesayangan Sultan. Pelajaran tari ini diselenggarakan
setiap malan Anggara Kasih (selasa kliwon). Sampai saat inipun, para penari
masih melakukan latihan pada hari tersebut.
Saat tarian dipentaskan tidak dibenarkan adanya makanan atau rokok, karena hal
ini dianggap akan mengganggu ke khidmat-an dari tarian ini. Maka, selama
kurang lebih 5.5 jam hadirin harus khusuk, tidak berbicara, tidak makan, tidak
minum, dan hanya menikmati setiap gerakan dari tarian
Saat pementasan, dipercaya sang pencipta tarian ini juga turut hadir. Namun
tidak semua orang dapat melihatnya, hanya mereka yang memiliki kepekaan
10

tertentu saja yang merasakannya. Begitu pula saat para penari berlatih, sang
pencipta tarian ini dipercaya ikut membenarkan gerakan – gerakan para penari,
namun tentunya tidak kasat mata, hanya penari yang memiliki kepekaan pula lah
yang dapat merasakannya
3) Wireng
Wireng adalah suatu bentuk tari yang bertama perang antara dau tokoh yang
diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana dan cerita lain tanpa dengan
menggunakan dialog.
Ciri-ciri wireng :
- Bertema Keprajuritan
- Rias dan busana sama
- Gerakannya sama
- Tidak ada penokohan yang jelas
- Tidak ada yang kalah dan menang
- Struktur tarinya terdiri dari maju beksan, beksan dan mundur beksan
- Iringan yang digunakan lancaran, ketawang dan ladrang
Contoh wiring :
- Bandabaya
- Bandayuda
- Jemparingan
- Bugis Kembar
- Lawung
4) Tari Kuda Lumping
Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional
Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tari Kuda
lumping Jawa ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam
dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan
kain beraneka warna. Tari Kuda lumping Jawa biasanya hanya menampilkan
adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga
menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi
memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang
merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa,
Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera
Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.
Tari Kuda lumping Jawa adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa
kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun
catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal
yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang
menyebutkan, bahwa Tari Kuda lumping Jawa menggambarkan kisah perjuangan
Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda.
11

Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang
pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram,
untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, Tari Kuda lumping Jawa
merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan
berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan
agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor
kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang
mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi
mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas
pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan
supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa,
dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan
Belanda.
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti
jamban, kolong jembatan, rel kereta, dan daerah-daerah lainnya. Tari Kuda
lumping Jawa ini biasanya ditampilkan pada ajang-ajang tertentu, seperti
menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang
dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tari kuda lumping menggunakan kaca,beling,batu,dan
jimat. Para penari kuda lumping sangat gila
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional Tari Kuda
lumping Jawa ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum
pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk
mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya
dilakukan di lapangan terbuka.
Khusus di Mangkunegaran disebut tari Langendriyan , yang mengambil kisah
Damarwulan .
Tari yang terkenal di Kraton Solo di antaranya adalah Srimpi dan Bedaya Ketawang.
Menurut kitab Wredhapradhangga yang dianggap sebagai pencipta dari tari Bedaya
Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) yakni yang menjabat sebagai raja
pertama kerajaan Mataram. Tari ini tidak hanya ditampilkan saat pelantikan raja
namun juga ditampilkan setahun sekali ketika hari-hari besar dan upacara kraton.
Rangakaian tari Bedaya Ketawang dan nama penarinya dengan urutan sebagai
berikut: Batak, Endhel Ajeg, Endhel Weton, Apit ngarep, Apit mburi, Gulu, Dhada,
dan Boncit.
Sementara Kraton Kasunanan Pakubuwono juga menciptakan tarian, yaitu tari
Srimpi. Tarian ini menggambarkan perang antara dua satria. Jenis tari srimpi di
antaranya: Srimpi Padelori, Andhong-andhong, Arjuna Mangsah, Dhempel
Sangopati, Elo-elo, Dempel, Gambir Sawit, Muncar, Gandokusuma, dan Srimpi
12

Lobong. Selain itu juga terdapat tarian Jawa modern yang biasanya disajikan saat
hajatan, di antaranya : (1) Tari Gambyong, (2) Tari Merak, (3) Tari Golek Menak, (4)
Tari Gambiranom, (5) Tari Minak Jingggo, (6) Tari Karonsih, (7) Tari Gatotkaca
Gandrung, dan lain-lain.
1) Tari Gambyong
Tari Gambyong adalah Seni tari yang berasal dari Surakarta Jawa Tengah. Asal
mula tari Gambyong ini berdasarkan nama seorang penari jalanan (dalam bahasa
jawanya penari jalanan disebut tledek, kadang terdengar kledek). Nama seorang
penari ini adalah Gambyong. Ia hidup pada zaman Sinuhun Paku BUwono ke IV
di Surakarta Sekitar tahun 1788 – 1820. Gambyong ini dikenal sebagai seorang
penari yang cantik dan bisa menampilkan tarian yang cukup indah. Gambyong
pun terkenal di seluruh wilayah Surakarta kemudian terciptalah Tari Gambyong.
Jadi tari gambyong ini diambil dari Nama seorang Penari Wanita.
Tarian Gambyong ini merupakan salah satu jenis tari pergaulan di masyarakat.
Seperti Tari Jaipong dari Jawa Barat yang juga merupakan tari pergaulan. Ciri
khas dari pertunjukan tari gambyong ini adalah selalu dibuka atau di awali
dengan gendhing pangkur sebelum tarian di mulai. Tari gambyong akan terlihat
indah dan elok jika sang penari dapat menyelaraskan antara gerakan dan irama
musik gendang. Karena, gendang sendiri umumnya disebut sebagai otot tarian
dan pemandu gendhing.
Pada zaman dulu kala, yaitu pada zaman Surakarta. Instrumen pengiring tarian
Jalanan (tledek) Gambyong ini dilengkapi dengan bonang dan gong. Galeman
yang digunakan umumnya meliputi gong, kempul, kenong, kendang, gender, dan
penerus gender. Semua instrumen tersebut selalu dibawa kemana-mana dengan
cara dipikul
Perlu diketahui bahwa ada salah satu instrumen yang tampak sederhana namun
untuk memainkan bukanlah sesuatu yang mudah. yaitu Gendhang. Untuk
memainkan gendang yang baik, penabuh gendang atau pengendang harus
mampu jumbuh dengan keluwesan tarian, selain itu juga harus mampu berpadu
dengan irama gending. Wajar sekali jika sering terjadi dimana seorang penari
gambyong tidak dapat dipisahkan dari pengendang. Begitu pun sebaliknya,
penabuh gendang yang telah memahami gerak-gerik si penari gambyong pun
juga akan mudah memainkan gendang yang sesuai dengan penarigambyong.
2) Tari Merak
Tari Merak merupakan tarian tradisional yang berasal dari daerah Jawa barat
,makna dari tarian merak ini terdapat pada gerakannya yang ceria dan gembira,
sehingga tarian merak ini selalu digunakan sebagai tarian persembahan bagi
tamu atau menyambut pengantin pria untuk menuju pelaminan. Tari Merak
adalah tarian populer di daerah jawa dan merupakan tarian kreasi baru dari
Tanah Pasundan, yang diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri pada tahun
1950an, walaupun tarian ini dibawakan oleh penari wanita, namun sebenarnya
13

tarian ini mengambarkan tingkah laku merak jantan dalam menebatkan
pesonanya kepada merak betina, dalam tarian ini digambarkan bagaimana usaha
merak jantan untuk menarik perhatian merak betina dengan memamerkan bulu
ekornya yang indah dan panjang, dalam usahanya menarik merak betina, sang
jantan akan menampilkan pesona terbaik yang ada pada dirinya sampai membuat
sang betina terpesona dan serlangsung sampai perkawinan .
3) Tari Golek Menak
Tari Golek Menak merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang
diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak
berawal dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak
yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941.
Disebut juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti
menarikan wayang Golek Menak.
Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan merencanakan
ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk
melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941 memanggil para pakar tari yang
dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat,
Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja,
K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW
Larassumbaga.
Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup
lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton pada tahun 1943 untuk
memperingati hari ulang tahun sultan. Bentuknya masih belum sempurna, karena
tata busana masih dalam bentuk gladi resik. Hasil pertama dari ciptaan sultan
tersebut mampu menampilkan tipe tiga karakter yaitu :
1. Tipe karakter puteri untuk Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli,
2. Tipe karakter putra halus untuk Raden Maktal,
3. Tipe karakter gagah untuk Prabu Dirgamaruta
Tiga tipe karakter tersebut ditampilkan dalam bentuk dua beksan, yaitu perang
antara Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaeli, serta perang antara Prabu
Dirgamaruta melawan Raden Maktal.
Melalui pertemuan-pertemuan, dialog dan sarasehan antara sultan dengan para
seniman dan seniwati, maka sultan Hamengku Buwana IX membentuk suatu tim
penyempurna tari Golek Menak gaya Yogyakarta. Tim tersebut terdiri dari enam
lembaga, yaitu : Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja,
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Mardawa Budaya, Paguyuban
Surya Kencana dan Institut Seni Indonesia (ISI).
Keenam lembaga ini setelah menyatakan kesanggupannya untuk
menyempurnakan tari Golek Menak (1 Juni 1988), kemudian menyelenggarakan
lokakarya dimasing-masing lembaga, dengan menampilkan hasil garapannya.
Giliran pertama jatuh pada siswa Among Beksa pada tanggal 2 Juli 1988.
14

Lokakarya yang diselenggarakan oleh siwa Among Beksa pimpinan RM
Dinusatama diawali dengan pagelaran fragmen lakon kelaswara, dengan
menampilkan 12 tipe karakter, yaitu :
1. Alus impur (tokoh Maktal, Ruslan dan Jayakusuma),
2. Alus impur (tokoh Jayengrana),
3. Alur kalang kinantang (Perganji),
4. Gagah kalang kinantang (Kewusnendar, Tamtanus, Kelangjajali, Nursewan
dan Gajah Biher),
5. Gagah kambeng (Lamdahur),
6. Gagah bapang (tokoh Umarmaya),
7. Gagah bapang (Umarmadi dan Bestak),
8. Raseksa (Jamum),
9. Puteri (Adaninggar seorang Puteri Cina),
10.Puteri impur (Sudarawerti dan Sirtupelaeli),
11.Puteri kinantang (Ambarsirat, Tasik Wulan Manik lungit, dan kelas wara),
12.Raseksi (mardawa dan Mardawi).
Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa bagongan. Busana yang
dikenakan para penari mengacu pada busana Wayang Golek Menak Kayu, semua
tokoh berbaju lengan panjang, sedangkan cara berkain menerapkan cara
rampekan, kampuhan, cincingan, serta seredan disesuaikan dengan tokoh yang
dibawakan.
Giliran kedua jatuh pada Pusat Latihan tari Bagong Kussudiardja
diselenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kusssudiardja sendiri. Bentukbentuk tari yang ditampilkan merupakan garapan baru yang bersumber dari
Golek Menak, dengan mempergunakan ragam tari yang pernah dipelajari dari
kakaknya, yaitu Kuswaji Kawindrasusanta (seorang peraga Golek Menak pada
saat proses penciptaan tari oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX).
Beberapa tipe karakter yang ditampilkan antara alain : puteri luruh, puteri Cina,
gagah bapang untuk tokoh Umarmaya, gagah kinantang untuk tokoh Umarmadi.
Disamping itu ditampilkan pula sebuah garapan kelompok dari tipe gagah
kinantang yang diberi nama tari Perabot Desa, dengan gendhing-gendhing yang
digarap sesuai keperluan gerak tari sebagai pengiringnya.
Giliran ketiga jatuh pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Yogyakarta,
dipimpin oleh Sunartama dan diselenggarakan pada tanggal 30 Juli 1988
S.M.K.I. menitik beratkan pada penggarapan ragam gerak yang merupakan dasar
pokok dari tipe-tipe karakter dari Golek Menak dan memperhatikan gendhinggendhing yang mengiringi tari agar penampilan tipe-tipe karakter bisa lebih kuat.
Penyajian dari S.M.K.I. menampilkan tipe karakter dengan 14 ragam gerak
berbentuk demonstrasi, tanpa menggunakan lakon, tata busana, tata rias,
antawecana, swerta kandha tidak digarap.
15

Giliran keempat jatuh pada Mardawa Budaya yang menyelenggarakan lokakarya
pada tanggal 9 Agustus 1988 dipimpin oleh Raden Wedana Sasmita Mardawa.
Mardawa Budaya menampilkan sebuah fragmen singkat tetapi padat dengan
lakon Kelaswara Palakrama. Dalam penampilannya Mardawa Budaya
menampilkan 14 tipe karakter.
Giliran kelima adalah Surya Kencana pimpinan raden Mas Ywanjana, yang
menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 15 Agustus 1988. Surya Kencana
memilih bentuk demonstrasi dan menampilakan 16 tipe karakter, serta berupaya
memasukkan gerak pencak kembang dan silat gaya Sumatera Barat yang
disesuaikan dengan rasa gerak Jawa.
Giliran keenam atau terakhir jatuh pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang
menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 22 Agustus 1988. Lokakarya
bertempat di Fakultas Kesenian Kampus Utara, dipimpin oleh Bambang
Prahendra Pujaswara, dengan menampilkan 15 tipe karakter dalam
demonstrasinya. Demonstrasi tipe-tipe karakter kemudian disusul dengan
penampilan sebuah fragmen pendek dengan lakok Geger Mukadam dipetik dari
Serat Rengganis.
Para penggarap tari dari ISI Yogyakarta menitik beratkan pada garapan geraknya,
iringan tari, tata busana, tata rias serta antawecana. Gerak pencak kembang dari
Sumatera barat juga telah dimasukkan, bukan hanya pada adegan perang saja,
tapi juga pada ragam-ragam geraknya. Bahasa yang dipergunakan untuk
antawecana atau dialog adalah bahasa Jawa pewayangan.
Pada pertemuan pada tanggal 16 September 1988 dia Anjungan Daerah Istimewa
Yogyakarta, sultan menyatakan kegembiraannya, bahwa enam lembaga tari di
DIY telah menanggapi dengan baik permintaan sultan. Karena hasil lokakarya itu
baru merupkan hasil awal dari proses penyempurnaan tari Golek Menak, sultan
mengharapkan agar segmen disusul dengan rencana kerja kedua, yaitu pada
bulan Maret 1989.
Tetapi sebelum sultan sempat menyaksikan kerja kedua dari Tim Penyempurnaan
Tari Golek Menak yang akan jatuh pada bulan Maret 1989, sultan mangkat di
Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober 1988. Beberapa minggu kemudian
seluruh anggota Tim sepakat untuk meneruskan penyempurnaan tari Golek
Menak, meskipun sultan telah tiada. Maka dalam pagelaran hasil penyempurnaan
tari Golek Menak tanggal 17 Maret 1989 itu ditampilkan demonstrasi Wayang
Golek Menak serta fragmen dramatari Golek Menak dengan cerita yang sama,
yaitu kelaswara palakrama atau perkawinan antara kelaswara dengan Wong
Agung Jayengrana.
Tim penyempurnaan tari Golek Menak bekerja sesuai dengan petunjuk-petujuk
sultan. Tetapi karena perancangan tata busana seperti yang diinginkan sultan
menuntut biaya yang besar, maka tata busana untuk pagelaran itu masih
16

menggunakan busana yang telah ada dengan tambahan serta modifikasi
seperlunya.
4) Tari Gambiranom
Tari ini menggambarkan seorang raja yang sedang jatuh cinta pada seorang putri
kerajaan Dwarawati yang bernama Dewi Tih Sari, Prabu Gambir Anom
sebenarnya adalah salah seorang putra dari Arjuna yang bernama Irawan.
Biasanya tari ini diiringi susunan iringan yang terdiri dari Lancaran Rena-rena,
Ketawang Kinanti Sandung dan Srepengan.
5) Tari Karonsih dan Lambangsih
Tarian Karonsih dan Lambangsih menggambarkan orang yang sedang bermadu
kasih (antara laki-laki dan perempuan). Tarian iuni biasanya ditarikan pada acara
resepsi pernikahan sebagai lambang cinta kasih kedua mempelai, bagaikan
percintaannya antara Dyah Sekartaji dengan Panji Asmara Bangun.
6) Tari Gatotkaca
Tarian ini menggambarkan tingkah laku Gatotkaca tatkala berangan-angan ingin
mempersunting putri itu menjadi istrinya. Kadangkala untuk lebih memberi
hidup pada tarian ini ditunjukkan pula tokoh Pregiwa sebagai bayangan atau
ilusi.
5. Seni Peran Ketoprak
Ketoprak adalah salah satu kebudayaan daerah Jawa Tengah, yang mana
kesenian ini diperankan oleh sekelompok orang dengan membawakan peran dan
karakter dari tokoh-tokoh dari kisah-kisah cerita rakyat dari Jawa. Cerita yang sering
diangkat dalam ketoprak adalah Ramayana dan Mahabarata, yang kesemuanya
bercerita tentang kebaikan akan selalu menang melawan keangkaramurkaan.
Karena itulah sebabnya mengapa masyarakat Jawa memiliki sikap “andap asor”,
lemah-lembut, ramah-tamah, sopan-santun, dan penuh filosofi.
6. Wayang
Wayang adalah salah satu tradisi bercerita di Jawa Tengah yang masih
berlanjut hingga saat ini yang paling berkembang dan terkenal hingga ke penjuru
dunia.Wayang merupakan salah satu kesenian Jawa yang hingga sekarang ini masih
eksis.
Kesenian wayang sering disajikan dalam hajatan. Wayang tidak jauh berbeda
dengan ketoprak. Jika ketoprak diperankan oleh manusia, sementara tokoh-tokoh
cerita dalam wayang diperankan dengan properti yang disebut wayang itu sendiri
yakni sejenis miniatur dengan bentuk sosok manusia yang digambarkan sesuai
dengan sifatnya dan berbahan dari kulit . Wayang dijalankan oleh seorang dhalang.
Beberapa alat yang digunakan dalam pewayangan di antaranya adalah: “kelir”
(background dalam bentuk layar yang berupa kain berwarna putih), “blencong”
(sejenis lampu yng digunakan untuk menambah kesan untuk menguatkan suasana
dari jalan ceritanya), “debog” (batang pisang yang digunakan sebagai tempat untuk
17

menancapkan wayang-wayang yang hendak dimainkan), “cempala” dan “kepyak”
(sejenis alat untuk menciptakan suara pengiring saat wayang dijalankan).
7. Lagu Daerah Jawa Tengah
Budaya Intelektual di tanah Jawa pada masa lalu ternyata sudah dapat
dikatakan tinggi, hal ini terbukti banyak karya-karya sastra yang ditulis, meskipun
berbentuk tembang (sastra sekar) macapat yang juga ternyata memiliki aturan-aturan
baku , yang kalau kita pelajari akan tampak nilai-nilai intelektualitas yang tinggi.
Ciri lain yang menonjol dari karya-karya itu adalah nilai mistiknya, sehingga
membaca karya mereka seakan kita hanya akan mengungkap khasanah mitos yang
tidak rasional. Padahal jika diperhatikan secara seksama banyak dari karya mereka
yang mengandung informasi yang meyakinkan.
Jawa Tengah memiliki lagu daerah, yang dibagi atas : (1) Tembang Dolanan
(Ilir-Ilir, Cublak-Cublak Suweng, Gundhul Pacul, dan lain-lain), (2) Tembang
Macapat (Maskumambang, Pocung, Gambuh, Megatruh, Mijil, Kinanthi, Durma,
Pangkur, Asmaradana, Sinom, dan Dhandanggula), dan (3) Gendhing Jawa Kreasi.
8. Kesenian Musik Jawa Tengah
Musik Jawa yang disebut gamelan sering digunakan untuk mengiringi
gendhing-gendhing dan tari , terdiri atas gender,demung, bonang, bonang penerus,
gambang, gong, kempul, kethuk, kenong, saron, peking, siter, rebab, suling, dan
kendhang. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yang menuntun suara
adalah rebab sementara yang menuntun “sampak” (Tempo) adalah kendhang.
Gamelan Jawa itu adalah salah satu corak gamelan yang eksis di Jawa
Tengah dan Yoyakarta dan sebagian Jawa Timur. Musik gamelan Jawa berbeda
dengan gamelan dari daerah lainnya. Jika gamelan Jawa pada umumnya mempunyai
nada lembut dan menggunakan tempo lebih lambat, berbeda dengan gamelan Bali
yang mempunyai tempo lebih cepat dan gamelan Sundha yang mana musiknya
mendayu-dayu serta didominasi dengan suara seruling.
Gamelan Jawa juga mempunyai aturan-aturan yang sudah baku di antaranya
terdiri atas beberapa “puteran dan pathet” (tinggi rendahnya nada). Juga ada aturan
“sampak” (tempo) dan “gongan” (melodi) yang kesemuanya terdiri atas empat nada.
Sementara yang memainkan gamelan disebut “Panayagan” atau “nayaga” dan yang
menyanyi disebut “pesinden” (wiraswara atau swarawati).
9. Bahasa Daerah Jawa Tengah
Kebudayaan Jawa yang paling melekat dalam pribadi setiap masyarakatnya
adalah bahasa Jawa. Setiap hari di mana saja dan kapan saja mereka selalu
menerapkannya. Dari anak kecil hingga orang dewasa dapat menggunakannya
dengan fasih, meskipun hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar
menguasai bahasa Jawa tersebut, karena bahasa jawa memiliki tingkatan-tingkatan
dalam penggunaanya. Tingkatan-tingkatan tersebut menyebabkan tidak semua dari
mereka dapat menguasai dengan baik. Bahasa Jawa terdiri atas bahasa krama inggil,
krama alus , krama lugu, krama madya, dan ngoko.
18

Krama inggil biasanya digunakan sebagai bahasa para MC hajatan, krama alus
digunakan saat berbicara dengan orang yang dihormati, sedangkan ngoko digunakan
dalam perbincangan antara orang-orang dekat atau biasa digunakan oleh para orang
tua untuk berbicara dengan anak-anak mereka, atau oleh orang dewasa kepada
orang-orang usia di bawah mereka dan dialog antara teman sebaya. Keanekaragaman
ini menambah kekayaan budaya Jawa, namun hal ini juga justru menjadikan
masyarakatnya enggan untuk menerapkannya.
10. Eksistensi Budaya Jawa
Di balik kekayaan dan keagungan budaya Jawa, kelangsungan budaya Jawa
kini semakin terancam punah. Semakin sedikit pula masyarakatnya yang sadar akan
kebudayaan itu sendiri. Sebagian besar dari mereka juga kurang mengenal dengan
baik budayanya tersebut, hal ini mengakibatkan semakin rendahnya kesadaran
mereka akan budaya serta keinginan untuk menjaganya juga semakin rendah.
Hal ini terbukti, karena banyak dari mereka yang tidak mengerti dan tidak
mau tahu akan budayanya sendiri, lebih senang dengan budaya asing yang dianggap
“keren”.Banyak dari kalangan masyarakat yang lebih suka mengenakan produk
asing, mengembangkan pemikiran asing yang dianggap modern, dan hal ini juga
melanda pada bahasa yang mereka pergunakan dalam berkomunikasi. Kenyataan
yang terjadi sekarang ini adalah, banyak dari pemuda daerah yang lupa akan budaya
mereka. Banyak dari remaja yang tidak lagi menguasai bahasa Jawa dengan baik.
Semakin lama Budaya Jawa semakin tergerus oleh jaman , terlihat dari
sebuah fakta bahkan atau mungkin kita mengalami sendiri saat guru mengajari
tembang Jawa justru ditertawakan oleh murid-muridnya.Sebagian orang
menganggap menguasai budaya bukanlah hal yang penting, mereka menganggap ini
adalah hal yang usang dan kuno , dan menghambat kemajuan.
11. Yang Menyebabkan Lunturnya Budaya Jawa
Globalisasi berjalan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, di
samping membawa kemajuan di dalam pribadi pemuda dan setiap elemen
masyarakat, globalisasi juga memberikan dampak buruk pada budaya. Eksistensi
budaya menjadi terancam, karena masyarakat yang merasakan kemajuan jaman
selalu beranggapan bahwa budaya daerah tidaklah penting karena yang ada dalam
otak mereka adalah bagaimana caranya dapat terus mengikuti kemajuan iptek yang
terjadi.
Ironinya bukan hanya sekedar memberi dampak buruk terhadap sikap
masyarakat, namun juga merasuk ke dalam jiwa mereka kemudian tertanam kukuh
dan kemudian menguasai mereka. Sehingga mengalahkan kesadaran mereka dalam
berbudaya.
Salah satu penyebab utama yang lainnya adalah karena pemerintah tidak lagi
memasukkan pendidikan bahasa Jawa ke dalam kurikulum pendidikan 1975.
Barulah sepuluh tahun kemudian terasa mengapa pemuda tidak dapat menguasai
budaya Jawa dan tata krama Jawa.Namun, di sisi lain tidak sedikit warga negara
19

asing yang kagum akan budaya Jawa dan sangat antosias serta berlomba-lomba
untuk bisa dan belajar budaya Jawa.
Memang sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Namun hal tersebut
tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rasa bangga tidak cukup hanya diucapakan di
bibir saja, namun harus dibuktikan dengan tindakan nyata, yaitu kita wajib menjaga
dan melestarikan budaya kita.
Rupanya karena eksistensi budaya Jawa yang semakin menhawatirkan
keadannya ini, digelar dua buah kongres untuk mengembalikan kejayannya.
Kongres yang pertama, kongres sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo (6-7 Juli 2009) .
Meskipun belum dapat menghasilkan hasil-hasil yang lebik kongkrit, delapan puluh
sastrawan Jawa yang hadir nampak cukup puas. Kongres kedua , Kongres Bahasa
Jawa (KBJ) digelar di jantung peradaban Jawa, Yogyakarta (15-21 Juli 2009).
Budaya adalah sebuah identitas yang akan membuat kita bertahan. Bertahan
bukan dengan melawan tetapi dengan menerima. Menerima beragam berbedaan
yang akan selalu hadir dalam perputaran jaman. Dan masih ada harapan , karena
masih banyak anak-anak yang belajar tentang budaya mereka.Dan mereka akan
belajar banyak melalui kisah-kisah heroic yang akan mempengaruhi keputusan
mereka kelak.
Banyak cara yang dapat kita tempuh.Memang tidak sedikit dana yang
dibutuhkan dalam hal ini, tetapi jika harus dibayar mahal dengan musnahnya sebuah
budaya itu tidaklah akan sepadan.
Dengan mendirikan sanggar-sanggar akan sangat membantu dalam menjaga
kelangsun gan budaya ini. Menumbuhkan minat masyarakat adalah langkah awal
yang harus kita kerjakan. Selanjutnya akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita
semua, yakni turut ambil bagian di dalamnya.
Bagi yang memiliki kemampuan lebih dapat menyumbangkan tenaganya
sebagai pelatih dalam sanggar tari misalnya. Sebagai guru vokal, kita juga dapat
melestarikan budaya dengan cara mengajarkan tembang-tembang Jawa dalam kelas.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melestarikan budaya ini dengan
cara menerapkan bahasa Jawa dengan baik dan benar.Di dalam lingkungan sekolah
dengan cara menyisipkan mata pelajaran Bahasa Jawa adalah sebuah langkah yang
tepat. Karena mau tidak mau seorang siswa akan dituntut untuk belajar budaya Jawa
ini.
Kita jangan mau kalah dengan orang-orang asing yang antosias mempelajari
budaya kita, karena kalau kita sampai terlena maka hal ini justru akan menjadi
bumerang bagi kita semua. Sebuah fakta Reog Ponorogo kebudayaan asli Jawa
Timur dihak patenkan oleh Malaysia, dan masih banyak hal-hal kecil lainnya yang
seharusnya ini menjadi suatu kebanggaan bagi kita.
Dulu kita harus kehilangan yaitu tempe yang diakui oleh Jepang, Reog oleh
Malaysia, dan masih banyak identitas kita yang terampas. Ini adalah suatu hinaan
20

dan pukulan keras bagi kita. Oleh karena itu kita harus menjaga jangan sampai hal
ini terulang lagi untuk kedua kalinya.
Ada peribahasa “ Tak ada gading yang tak retak “, ini adalah peribahasa
yang tepat untuk menggambarkan keadaan budaya kita sekarang ini. Namun jika
dirawat gading yang retakpun dapat dipakai sebagai hiasan, Begitu pula dengan
budaya, jika kita penuh kesadaran dan keikhlasan menjaga kelangsungannya maka
budaya ini akan tetap terjaga kelestariannya, keindahan, serta kekhasanahannya
sehingga dapat kita nikmati hingga akhir nanti.
Jadikan budaya ini untuk terus dan tetap eksis, sehingga generasi penerus
kita akan tetap dapat menikmati budaya yang elok, agung, dan mempesona ini. Kita
harus bangga memiliki budaya ini, karena budaya tidak hanya tersohor hingga ke
penjuru dunia, tetapi juga merupakan aset yang begitu luar biasa.
Setiap kebudayaan tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tidak akan
bertahan. Sebaliknya kekuasaan politik membutuhkan identas. Dengan
memanfaatkan kebudayaan tertentu , sebuah rezim kekuasaan memiliki identitas .
Di sini kebudayaan menjadi alat kekuasaan.Sehingga campur tangan dari
pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini.

21

KESIMPULAN

Dengan mengetahui dan memahami budayanya, maka masyarakat akan tergerak
hatinya untuk mencintai dan menjaga budaya mereka. Jika rasa memiliki telah tumbuh,
maka mereka tidak akan pernah mau kehilangan budayanya. Sehingga mereka akan
berusaha dengan keras untuk menjaga budayanya tersebut dari segala hal yang
mengancam keberadaan budaya tersebut dan mereka akan selalu berusaha untuk
melestarikannya.
Kita harus berupaya keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini,
sehingga kita semua dapat terus menjaga kelestariannya. Dengan demikian generasi
penerus kita masih dapat menikmati budaya yang elok ini.
Sehingga kekhasanahan budaya bangsa ini juga akan tetap terjaga hingga akhir
nanti. Karena menjaga budaya daerah sama halnya dengan nenjaga budaya negeri ini.
Dan hal ini adalah salah satu perwujudan kecintaan kita kepada tanah air.

22

DAFTAR PUSTAKA







Anonim. 1978. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta :
Balai Pustaka.
Maruti,Retno.2009. Asal-Usul Budaya Jawa.http://www.tokohindonesia.com[ 8 Mei
2009]
Nasukha, Yaqub, dkk. 2009. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah.
Surakarta : Penerbit Media Perkasa
Yudiono, K.S. 1984. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah.
Semarang : Universitas Diponegoro
Situs internet :
- https://www.google.co.id/search?
q=budaya+jawa&oq=budaya+jawa&aqs=chrome..69i57j0l2j69i60j0l2.20087j0j4&so
urceid=chrome&espv=210&es_sm=122&ie=UTF-8
- http://www.blifnews.com/2012/12/tarian-jawa.html
- https://www.google.co.id/search?
q=kebudayaan+jawa+&oq=kebudayaan+jawa+&aqs=chrome..69i57j0l5.4401j0j4&s
ourceid=chrome&espv=210&es_sm=122&ie=UTF-8

23

LAMPIRAN

Seni Arsitektur Joglo Tajuk Mangkurat

Seni Arsitektur Joglo Pangrawit

Tari Srimpi

Tari Bedaya Ketawang

Wireng

Tari Kuda Lumping

24

Tari Gambyong

Tari Merak

Gatotkaca Gandrung

Tari Golek Menak

Tari Minak Jingggo

Tari Gambiranom

25

Ketoprak

Wayang Kulit

26