penggunan model ARIMA pdq untuk nilai tu

DE FACTO DOLLARIZATION : ANALISIS RUNTUN WAKTU
MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (p,d,q) SERTA PERKEMBANGAN
SISTEM NILAI TUKAR DI INDONESIA
(Untuk peramalan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar dalam periode
tahun berikutnya)
PAPER
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keanksentralan

Oleh :
RIZKY BAI SAPUTRA
5553120425/6A
Kosentrasi: MONETER

JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015

I.

PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang masalah
Dalam perkembangannya, arus liberalisasi dan globalisasi dunia dewasa
ini telah menyebabkan kekawatiran tersendiri bagi setiap negara. Untuk
mensikapi dinamika yang terjadi, setiap negara merumuskan suatu kerangka
kerjasama multisektor. Salah satu dampak dari adanya liberalisasi dan globalisasi
tersebut adalah semakin transparannya perekonomian setiap negara. Melalui
interaksi ekonomi yang ada, setiap negara mampu melaksanakan kegiatan
ekonominya sesuai dengan endowment factor yang dimilikinya. Kemampuan
suatu negara dalam memberdayakan endowment factor tersebut akan
berdampak

pada

kemampuannya

dalam

meningkatkan


kapasitas

perekonomiannya.
Pada sisi lain juga dapat dijelaskan bahwa liberalisasi dan globalisasi yang
ada membawa konsekuensi pada fundamental perekonomian masing-masing
negara. Ketidakmampuan negara dalam menjaga fundamental perekonomian ini
dapat berdampak pada kestabilan ekonomi makro. Salah satu indikator ekonomi
makro yang sensitif terhadap gejolak perekonomian eksternal adalah nilai tukar
mata uang (kurs mata uang). Dalam hal ini nilai tukar mata uang mencerminkan
kekuatan perekonomian sebagai akibat dari penetrasi dan efek dari
perekonomian global. Semakin stabil nilai tukar mata uang suatu negara terhadap
mata uang negara lain,

semakin menunjukkan kekuatan fundamental

perekonomian negara tersebut. Dengan kata lain, pemerintah (otoritas moneter)
mampu melakukan kebijakan moneter dan dari nilai tukar mata uang yang dapat
mendorong peningkatan daya saing perekonomian suatu negara.
Pada suatu negara yang memiliki mata uang domestik tentu
merupakan kebanggan jika pengguanaan mata uang domestik

digunakan untuk berbagai kegiata transaksi oleh masyarakat di
negara nya

sebagai identitas yang dimiliki suatu negara,

penciptaan mata uang domestik yang dilakukan oleh bank
sentral

tentu

menstabilkan

menjadikan
perekonomian

bank
pada

sentral
suatu


berperan
Negara

dalam
dengan

menggunakan

kebijakan

moneter

melalui

instrumen

keuangannya.
Jika transaksi di suatu Negara tidak menggunakan mata uang
domestik melainkan menggunakan mata uang negara lain atau

sering disebut sebagai dolarisasi (dollarization), maka tentu akan
memberikan masalah terhadap bank sentral

untuk melakukan

perannya dalam mempengaruhi perekonomian melalui kebijakan
moneter karena adanya peredaran mata uang asing untuk
kegiatan transaksi diatur oleh bank sentral luar negeri yang
mengeluarkan uang tersebut,

walaupun begitu dibeberapa

negara (seperti zimbawe) dolarisasi diterapkan sebagai salah
satu strategi untuk mengatasi serangan hyperinflasi yang terjadi
di negaranya.
Dollarization (dolarisasi) adalah situasi dimana masyarakat
pada

sebuah


negara

secara

resmi

maupun

tidak

resmi

menggunakan mata uang negara lain sebagai alat tukar yang
sah dalam melakukan transaksi. Alasan utama dilakukannya
adalah karena mata uang negara tersebut lebih stabil dibanding
mata uang negara sendiri.
Dolarisasi terbagi menjadi dua macam, yaitu secara de jure
dan de facto. De jure adalah dengan secara resmi menggunakan
mata


uang

negara

lain

untuk

segala

keperluan

yang

berhubungan dengan transaksi. Sedangkan de facto adalah
menggunakan mata uang negara lain dan mata uang negara
sendiri secara bersamaan untuk pertukaran (keperluan transaksi,
sebagai pengganti mata uang) atau sebagai simpanan dalam
bentuk hard currency (sebagai pengganti aset). Dolarisasi pada
setiap negara tentu berbeda beda tergantung pada mata uang

apa

yang

menurut

penggunaannya

stabil.

Seperti

Bolivia,

Uruguay, Peru, Argentina, Mongolia, Romania, Vietnam (U.S

dollar), Macau dan China selatan (Hong Kong dollar), Belarus
(Russian ruble).
Sementara di Indonesia kondisi dolarisasi yang terjadi
adalah kondisi penggunaan mata uang asing secara tidak resmi

(Unofficial dollarization /de facto) hal tersebut tercermin dari
banyaknya transaksi menggunakan dollar. Dolar digunakan di
berbagai tempat, seperti di Pelabuhan Tanjung Priok untuk
pembayaran Container Handling Charge(CHC) dan Terminal
Handling Charge(THC).
Dolar juga digunakan dalam perdagangan batu bara,
produk kimia, alat-alat berat, mesin tekstil, sewa-menyewa ruko
di pusat perbelanjaan, ruang perkantoran, pembelian properti,
dan pembayaran hotel. Hal ini terjadi di berbagai daerah
perbatasan, seperti NTT, Kalimantan, Papua, dan Batam. di
wilayah Jakarta, salah satu lokasi yang masih menggunakan
Dolar adalah Pasar baru Bandung, Glodok, Tanah Abang. Selain
itu Dolar juga digunakan untuk pembayaran paket umrah di
salah

satu

perusahaan

travel.


Di

daerah-daerah

lainnya

penggunaan Dolar juga masih marak dilakukan.
Perekonomian Indonesia hingga kini masih sangat rentan terhadap gejolak
perekonomian dari luar negeri. Keterbukaan perekonomian yag tercermin dalam
strategi pengembangan industri nasional yang berorientasi ke luar (outward
looking strategy) berdampak pada pergerakan nilai tukar mata uang
(khususnya

Rp/US$)

yang

semakin


bebas.

Sebagai

perkembangan nilai tukar mata uang Rp/US seperti gambar 1.

gambaran

dari

USD-IDR
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
01 03 05 07 09 11 13 05 64
20 20 20 20 20 20 20 420 420
USD-IDR

USD-IDR

N

Ap
ov r-7
0
19
7
D 8
es
D 82
es
Se 85
p
D -86
es
Ag -9
t1 5
9
D 97
es
Fe 97
bJu 98
nO 98
kt
D 99
es
-0
0

18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0

USD-IDR

Gambar 1. Perkembangan Nilai Kurs Rp/US$
Sumber : International Financial Statistics dari IMF, Worldbank dan Bank Indonesia, 2014

Berdasarkan pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa periode
sebelum krisis 1997/1998 nilai tukar mata uang relatif stabil pada kisaran
Rp.2.000/US$-Rp.3.000/US$. Kestabilan nilai tukar ini salah satunya diakibatkan
oleh sistem nilia tukar yang dianut yakni sistem Man- aged floating dengan
crawling band system yang diterapkan sejak 1992-1997. Namun setelah periode

krisis ekonomi tersebut sistem nilai tukar menganut sistem mengambang bebas
(free floating exchange rate system). Dampak dari naik turunnya nila tukar
tersebut dapat menyebabkan perekonomian mengalami fluktuasi output yang
dihasilkannya. Selain itu pula fluktuasi yang terjadi tersebut mengharuskan
otoritas moneter untuk melakukan intervensi pasar yang ditujukan untuk menjaga
nilai tukar mata uang Rp/US$ agar tidak keluar dari interval kurs yang telah
ditetapkannya. Berdasarkan pada uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. untuk mengetahui prediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar dalam periode
selanjutnya, guna mempersiapkan kebijakan dan sistem nilai tukar apa yang
harus di gunakan oleh pemerintah dalam menghadapi dampak
perkembangan nilai tukar yang akan terjadi dan mencegah dolarisasi di
indonesia.
1.2 Gap Penelitian
a. Edgar L. Feige
Indikator-indikator dolarisasi terbaru memungkinkan para peneliti untuk
meneliti

penyebab

proses

dolarisasi

dan

kecenderungan

untuk

menyebabkan berbaliknya (hysteresis). Selain itu, substitusi mata uang dan
substitusi aset indeks menjelaskan konsekuensi dinamis proses ini untuk
efektivitas kebijakan moneter. Akhirnya, perkiraan baru memungkinkan
pengukuran yang efektif rasio mata uang / deposit yang dapat digunakan
untuk mengembangkan perkiraan baru dari ukuran dan pertumbuhan
ekonomi bawah tanah dalam transisi negara.
b. Mohamed Ibrahim Nor
bahwa dolarisasi ekonomi di somalia membawa kekacauan
yang parah terhadap perekonomian, termasuk kegagalan
mutlak dalam mencapai kestabilan harga jual di pasaran
setempat. Selain itu kebijakan ini menghambat sistem
manajemen keuangan di negara tersebut.
c. Ivan Milenković Milivoje Davidović

Dampak negatif De-euroization (Dollarisasi de facto), yang
pertama : uang yang beredar berupa euro yang digunakan
untuk transaksi sehari-hari, sehingga

kebijakan moneter

tidak mampu mencapai tujuannya. Kedua, pada perbankan
simpanan (deposito) dan pinjaman berupa mata uang euro,
sehingga jika membayar pinjaman nilai uang tergantung
pada tren di pasar valuta asing.
1.3

Output dari penelitian sebelumnya

a. Edgar L. Feige
Dolarisasi facto adalah hasil dari kedua substitusi mata uang dan aset
substitusi. Mata Uang dan substitusi aset biasanya disebabkan oleh
inflasi masa lalu, devaluasi, penyitaan mata uang dan pertumbuhan
ekonomi bawah tanah. ketika dolarisasi de facto tersebar luas, jumlah
uang beredar yang efektif adalah jauh lebih besar daripada pasokan
uang domestik dan, apalagi, kurang mudah dikendalikan oleh otoritas
moneter karena kecenderungan masyarakat untuk menggantikan asing
untuk mata uang domestik
b. Ivan Milenković dan Milivoje Davidović (2013)
Penelitian yang dilakukannya menggunakan keterkaitan
antara literatur dengan keadaan yang terjadi di Serbia
dimana hasil penelitiannya menjelaskan bahwa
depresiasi yang terjadi di serbia mengakibatkan
timbulnya peningkatan utang. Terjadi situasi yang sama
di sektor perbankan, karena depresiasi menandai
adanya kerusakan kualitas kredit portofolio, dengan
semua implikasi negatif terhadap kinerja keuangan
bank. Proses tersebut menyoroti perlunya tindakan
offensif yang bertujuan untuk memperkuat keyakinan
dalam mata uang domestik serta dalam kebijakan
moneter dan fiskal, sebagai fungsi dari mengurangi

mata uang substitusi tingkat yang wajar (15-20%). hal
ini menunjukkan bahwa agen ekonomi kehilangan
kepercayaan dengan cepat, tetapi penahanan faktorfaktor psikologis yang negatif dan memulihkan
kepercayaan dalam mata uang domestik adalah sebuah
proses sulit
c. Mohamed Ibrahim Nor (2012)
pada penelitiannya mendefinisikan bahwa Dolarisasi
terjadi disomalia diikuti oleh kegagalan bank sentral
somalia. Dolar AS digunakan sebagai media transaksi di
pasar dalam bentuk fisik maupun nilai selama satu
dekade penyebab dari permasalahntersebut ditenggarai
oleh adanya devaluasi somali shilling dan kekacauan
ekonomi secara umum akan kepercayan pengguanaan
dollar AS di pasar somalia yang mengakibatkan
depresiasi dollar secara universal.

II.

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Nilai Tukar
2.1.1. Definisi Nilai Tukar
Definisi niilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara lain

dikemukakan oleh Abimanyu

4

adalah harga mata uang suatu negara

relatif terhadap mata uang negara lain. Karena nilai tukar ini mencakup
dua mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi
penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.
Pengertian lain dari nilai tukar ditulis oleh Olivier Blanchard
dalam
bukunya ”Macroeconomics” adalah :

”Nominal exchange rate as the price of the domestic currency in
term of foreign currency”
Frank J. Fabozzi dan Franco Modigliani (1992:664) memberikan
defenisi mengenai nilai tukar sebagai berikut:
”An exchange rate is defined as the amount of one currency that
can be exchanged per unit of another currency, or the price of one
currency in terms of another currency”
Dapat disimpulkan dari beberapa definisi diatas bahwa nilai tukar
adalah sejumlah uang dari suatu mata uang tertentu yang dapat
dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain.
2.1.2. Cara Menyatakan Nilai Tukar
Menurut Abimanyu, ada dua cara untuk menyatakan nilai
tukar, yaitu:
a. Model Eropa (Indirect quote)
Model tersebut adalah cara yang paling umum dipakai dalam
perdagangan valuta

asing

antar

bank

seluruh

dunia.

Nilai

tukarnya ditetapkan dengan menghitung berapa unit uang asing yang
dibutuhkan untuk membeli satu unit mata uang dalam negeri.
b.

Model

Amerika

(direct quote)
Model tersebut didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam
mata uang domestik, atau berapa besar nilai rupiah yang digunakan
untuk membeli satu mata uang asing. Metode tersebut dipakai di
Indonesia.
2.1.3. Bentuk Sistem Nilai
Tukar
Sistem nilai tukar sangat tergantung pada kebijakan moneter suatu
negara. Bentuk sistem nilai tukar dapat dibagi dalam dua bentuk
(Berlianta, 2004), yaitu :
1. Fixed Exchange Rate
System
Merupakan suatu sistem nilai tukar dimana nilai suatu mata uang yang
dipertahankan pada tingkat tertentu terhadap mata uang asing. Dan bila
tingkat nilai tukar tersebut bergerak terlalu besar maka pemerintah
melakukan intervensi untuk mengembalikannya. Sistem ini mulai
diterapkan pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan
digelarnya konferensi mengenai sistem nilai tukar yang diadakan di
Bretton Woods, New Hampshire pada tahun 1944.
2. Floating Exchange Rate
System
Setelah runtuhnya Fixed Exchange Rate System maka timbul
konsep baru yaitu Floating Exchange Rate System. Dalam konsep ini
nilai tukar valuta dibiarkan bergerak bebas. Nilai tukar valuta
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran valuta tersebut di
pasar uang.
Fakta yang terjadi di banyak negara di dunia menganut varians
dari kedua sistem pokok nilai tukar diatas. Menurut Gilis (1996), dalam
Abimayu (2004:8-10), terdapat enam sistem nilai tukar berdasarkan pada

besarnya intervensi dan candangan devisa yang dimiliki bank sentral suatu
negara yang dipakai oleh banyak negara di dunia antara lain:
1.

Sistem Nilai Tukar Tetap (fixed

exchange rate)
Dalam sistem ini otoritas moneter selalu mengintervensi pasar untuk
mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri terhadap satu mata uang
asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa yang
relatif besar. Tekanan terhadap nilai tukar valuta asing, yang
biasanya

bersumber

dari defisit neraca perdagangan, cenderung

menghasilkan kebijakan devaluasi.
2. Sistem Nilai Mengambang Bebas (free floating exchange rate)
Sistem ini berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem fixed.
Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu
mengintervensi pasar sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan
devisa yang besar. Sistem ini berlaku di Indonesia saat ini.
3. Sistem Wider Band
Pada sistem tersebut nilai tukar dibiarkan mengambang atau
berfluktuasi diantara dua titik, tertinggi dan terendah. Apabila keadaan
perekonomian mengakibatkan nilai tukar bergerak melampaui batas
tertinggi dan terendah tersebut, maka otoritas moneter akan
melaksanakan intervensi dengan cara membeli atau menjual rupiah
sehingga nilai tukar rupiah berada diantara kedua titik yang telah
ditentukan.
4. Sistem Mengambang Terkendali (Managed Float)
Dalam sistem ini, otoritas moneter tidak menentukan untuk
mempertahankan satu nilai tukar tertentu. Namun, otoritas moneter
secara kontinyu melaksanakan intervensi berdasarkan pertimbangan

tertentu, misalnya cadangan devisa yang menipis. Untuk mendorong
ekspor, otoritas moneter akan melakukan intervensi agar nilai mata
uang menguat.
5. Sistem Crawling Peg
Otoritas moneter dalam sistem ini mengaitkan mata uang domestik
dengan beberapa mata uang asing. Nilai tukar tersebut secara periodik
dirubah secara berangsur-angsur dalam persentase yang kecil. Sistem
ini dipakai di Indonesia pada periode 1988-1995.
6. Sistem Adjustable Peg
Dalam sistem ini, otoritas moneter selain berkomitmen untuk
mempertahankan nilai tukar juga berhak untuk merubah nilai tukar
apabila terjadi perubahan dalam kebijakan ekonomi.
2.2. Perkembangan Sistem Nilai Tukar di Indonesia
Dalam sejarah perekonomian Indonesia sistem nilai tukar di
Indonesia pada intinya dikelompokkan menjadi empat bagian. Penetapan
sistem nilai tukar oleh Bank Indonesia didasarkan pada berbagai
pertimbangan, khususnya yang berkaitan dengan kondisi ekonomi pada
7

saat itu. Perry dan Solikin (2003) memaparkan sistem nilai tukar yang
berlaku di Indonesia sebagai berikut:
2.2.1. Sistem Nilai Tukar Bertingkat (Multiple Exchange Rate System)
Sistem ini dimulai sejak Oktober 1966 hingga Juli 1971.
Penggunaan

sistem

berfluktuasinya

nilai

ini

dilakukan

rupiah

serta

dalam
untuk

rangka

menghadapi

mempertahankan

dan

meningkatkan daya saing yang hilang karena adanya inflasi dua digit
selama periode tersebut.
2.2.2. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)

Sistem yang berlaku mulai Agustus 1971 hingga Oktober 1978 ini
mengaitkan secara langsung nilai tukar rupiah dengan dollar Amerika
Serikat yaitu

tarif

US$1

=Rp415,00.

Pemberlakuan

sistem

ini

dilandasi oleh kuatnya posisi neraca pembayaran pada kurun waktu
1971-1978. Neraca pembayaran tersebut
mempunyai

peran

besar

dalam

kuat

karena sektor

migas

penerimaan devisa ekspor yang

didukung oleh peningkatan harga minyak mentah (masa keemasan
minyak).
2.2.3.

Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed

Floating Exchange Rate)
Sistem ini belaku sejak November 1978 sampai Agustus 1997.
Pada masa ini nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan dolar
Amerika Serikat akan tetapi terhadap sekeranjang mata uang asing
(basket currency). Pada periode ini telah terjadi tiga kali devaluasi yaitu
pada bulan November 1978, Maret 1983, dan

September

1986.

Setelah devaluasi tahun 1986, nilai nominal rupiah diperbolehka
terdepresiasi sebesar 3-5% per tahun untuk mempertahankan nilai tukar
riil yang lebih baik. Pada sistem ini, nilai tukar dibagi dalam tiga
periode yaitu:
a. Managed Floating I (1978-1986)
terjadi fluktuasi nilai tukar yang tidak terlalu besar dengan
nilai kurs berkisar antara Rp625,38 hingga Rp1.644,10. Periode
tersebut lebih didominasi oleh ketidakpastian manajemen dari Bank
Indonesia

dibandingkan

ketidakpastian

floating

karena

situasi

perekonomian pada saat tersebut belum berkembang. Hal ini dapat
dilihat oleh adanya pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap
dan perubahan relatif baru terjadi pada tahun-tahun dimana Indonesia
melakukan devaluasi rupiah.
b. Managed Floating II (1987-1992).
Pada periode ini juga terjadi devaluasi walaupun tidak terlalu

besar dengan nilai kurs antara Rp1.644,10 hingga Rp2.053,40. Namun
pada periode ini, unsur floating lebih dominan dibandingkan
ketidakpastian manajemen. Artinya, peran Bank Indonesia dalam
melakukan intervensi pada pasar uang lebih sedikit dibandingkan
pergerakan kurs yang ditentukan oleh pasar uang itu sendiri.
Pemilihan strategi ini dalam rangka menjaga daya saing produk
ekspor melalui pergerakan mata uang dalam kisaran sempit.
c.

Managed Floating dengan Crawling Band Sistem (September 1992-

Agustus
1997), terjadi depresiasi nilai tukar yang kisarannya antara Rp2.053,40
hingga Rp2.791,30. Pada periode ini unsur floating semakin
diperlakukan dengan kisaran yang semakin lebar. Pada 1 September
1992, Bank Indonesia menetapkan rentang intervensi Rp10 dengan
batas bawah Rp2.035 dan batas atas Rp2.045. Kemudian pada tanggal
11 Juli 1997 (akhir periode), Bank Indonesia akhirnya memperlebar
rentang intervensi menjadi Rp304 dengan batas bawah Rp2.378 dan
batas atas Rp2.682. Dengan demikian Bank Indonesia secara
berkesinambungan melakukan pelebaran band intervention secara
bertahap dan akhirnya band intervension dihapus sehingga rupiah lebih
floating dibandingkan periode sebelumnya.
2.2.4.

Sistem Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate

System)
Sistem ini diberlakukan sejak 14 Agustus 1997 hingga
sekarang. Dalam sistem ini Bank Indonesia melakukan intervensi di
pasar valuta asing karena semata-mata untuk menjaga kestabilan nilai
tukar rupiah yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Awalnya,
penerapan sistem nilai tukar mengambang ini menyebabkan terjadinya
gejolak yang berlebihan (overshooting). Misalnya kurs pada tangga 14
Agustus melemah tajam menjadi Rp2.800 per dolar dari posisi Rp2.650

per dolar pada penutupan hari sebelumnya. Banyak faktor yang
menyebabkan nilai tukar rupiah terus merosot, mulai dari aksi ambil
untung (profit taking) oleh pelaku pasar, tingginya permintaan perusahaan
domestik terhadap dolar untuk pembayaran hutang luar negeri yang jatuh
tempo, memburuknya perkembangan perbankan nasional, maupun oleh
sebab-sebab lain. Dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut,
pada bulan November 1997, International Monetary Fund (IMF) masuk
ke Indonesia. Dengan kondisi dalam negeri yang bergejolak, terutama
situasi sosial politik, program pemulihan ekonomi yang dilakukan
bersama-sama dengan IMF tidak dengan segera membuahkan hasil.
Sampai akhir Desember 1997, nilai tukar rupiah ditutup pada kisaran
Rp5.000 per dolar, tetapi pergerakan nilai tukar rupiah semakin tak
terkendali hingga mencapai puncaknya pada 22 Januari 1998 dimana kurs
mencapai Rp16.000 per dolar.
2.3 Pengertian Dolarisasi
Dolarisasi yaitu penerapan mata uang yang sehat, seperti dolar AS, sebagai
uang negara. (Mishkin, 175). Dolariasasi telah ditetapkan sebagai strategi
kebijakan moneter negara-negara yang pasarnya berkembang. Dolariasi
sepenuhnya mencegah kemungkinan serangan spekualasi terhadap mata uang
domestik (karena tidak ada mata uang domestik). 176 Dollarisasi tidak hanya
mengarah pada U.S Dollar, tetapi dollarisasi bisa terjadi dengan mata uang asing
lainnya.

Jenis-jenis Dolarisasi
1. full dollarization adalah keadaan dimana mata uang asing memiliki status
eksklusif sebagai legal tender di suatu negara. mata uang tersebut
diterimana sebagai alat pembayaran untuk segala jenis transaksi di negara
tersebut. Pada official dollarization, jika masih terdapat mata uang

domestik, maka mata uang tersebut memiliki peranan kedua setelah mata
uang asing.
2. Semi-dollarization atau bisa disebut juga dengan bimonetary system terjadi
ketika mata uang asing dapat digunakan sebagai legal tender bersamaan
dengan mata uang asing. Pada semi-dollarization, mata uang domestik
masih memiliki peran utama dalam transaksi yang terjadi di negara
tersebut.
3. Unofficial dollarization (de facto) adalah keadaan dimana mata uang asing
digunakan disamping mata uang domestik negara tersebut sebagai
exchange rate (tujuan transaksi) atau untuk menyimpan dalam bentuk
hard currency (contoh: asset) tapi bukan merupakan legal tender.
Unofficial dollarization ini terjadi ketika pemerintah dari negara tersebut
tidak mempunyai kontrol terhadap masyarakat yang memiliki asset atau
mata uang asing.

III.

METODE ANALISIS

3.1 Prinsip Dasar dan Tujuan Analisis dengan menggunakan Model
ARIMA
3.1.1

Prinsip Dasar
ARIMA sering juga disebut metode runtun waktu Box-Jenkins.

ARIMA

sangat baik ketepatannya untuk peramalan jangka pendek,

sedangkan untuk peramalan jangka panjang ketepatan peramalannya
kurang baik. Biasanya akan cenderung flat (mendatar/konstan) untuk
periode yang cukup panjang. Model Autoregresif Integrated Moving
Average (ARIMA) adalah model yang secara penuh mengabaikan
independen variabel dalam membuat peramalan. ARIMA menggunakan
nilai masa lalu dan sekarang

dari variabel

dependen

untuk

menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. ARIMA cocok jika
observasi dari deret waktu (time series) secara statistik berhubungan satu
sama lain (dependent).
3.1.2

Tujuan Analisis
Tujuan model ini adalah untuk menentukan hubungan statistik yang
baik antar variabel yang diramal dengan nilai historis variabel tersebut
sehingga peramalan dapat dilakukan dengan model tersebut.

3.1.3

Format Data Dasar dan Program Komputer yang Digunakan
ARIMA

hanya

menggunakan

suatu

variabel

(univariate)

deret

waktu.

Misalnya: variabel IHSG. Program komputer yang dapat

digunakan adalah EViews, Minitab, SPSS, dll.
3.1.4

Model Matematis dan Algoritma Pokok Analisi
Model ARIMA terdiri dari tiga langkah dasar, yaitu tahap identifikasi,
tahap penaksiran dan pengujian, dan pemeriksaan diagnostik. Selanjutnya
model ARIMA dapat digunakan untuk melakukan peramalan jika model
yang diperoleh memadai.

3.1.5

Stasioneritas dan Nonstasioneritas
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kebanyakan deret
berkala bersifat nonstasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari
model ARIMA hanya berkenaan dengan deret berkala yang stasioner.
Stasioneritas berarti tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada
data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu.
Dengan kata lain, fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata
yang konstan, tidak tergantung pada waktu dan varians dari fluktuasi
tersebut pada pokoknya tetap konstan setiap waktu.

Suatu deret waktu yang tidak stasioner harus diubah menjadi data
stasioner dengan melakukan
differencing

adalah

differencing.

Yang

menghitung perubahan

dimaksud
atau

dengan

selisih

nilai

observasi. Nilai selisih yang diperoleh dicek lagi apakah stasioner
atau tidak. Jika belum stasioner maka dilakukan differencing lagi. Jika
varians tidak stasioner, maka dilakukan transformasi logaritma
3.1.6

Klasifikasi model ARIMA
Model Box-Jenkins (ARIMA) dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu: model
autoregressive (AR), moving average (MA), dan model campuran
ARIMA (autoregresive moving average) yang mempunyai karakteristik
dari dua model pertama.
1) Autoregressive Model (AR)
Bentuk

umum

model

autoregressive

dengan

ordo

p

(AR(p)) atau model
ARIMA (p,0,0) dinyatakan sebagai berikut:
X t   '1 X t 1   2 X t 2  ...   p X t p  et [0]

dimana:
 ' = suatu konstanta
 p = parameter autoregresif ke-p
et

= nilai kesalahan pada saat t

2) Moving Average Model (MA)
Bentuk umum model moving average ordo q (MA(q)) atau ARIMA
(0,0,q) dinyatakan sebagai berikut:
X t   'et 1et 1  2 et 2 ...  q et k
dimana:

 ' = suatu konstanta
1 sampai  q adalah parameter-parameter moving average
et-k = nilai kesalahan pada saat t – k

3) Model campuran
a. Proses ARMA
Model umum untuk campuran proses AR(1) murni dan MA(1)
murni, misal
ARIMA (1,0,1) dinyatakan sebagai berikut:
X t   '1 X t 1  et 1et 1

atau
(1 1 B) X t   '(1 1 B)et

AR(1)

MA(1)
b. Proses ARIMA
Apabila nonstasioneritas ditambahkan pada campuran proses
ARMA, maka model umum ARIMA (p,d,q) terpenuhi.
Persamaan untuk kasus sederhana
ARIMA (1,1,1) adalah sebagai berikut:

(1 B)(1 1 B) X t   '(1 1 B)et
pembedaan
pertama

AR(1)

MA(1)

3.2 Musiman dan Model ARIMA
Musiman didefinisikan sebagai suatu pola yang berulang-ulang dalam
selang waktu yang tetap. Untuk data yang stasioner, faktor musiman dapat
ditentukan dengan mengidentifikasi koefisien autokorelasi pada dua atau
tiga time-lag

yang berbeda

nyata dari nol. Autokorelasi yang secara

signifikan berbeda dari nol menyatakan adanya suatu pola dalam data. Untuk
mengenali adanya faktor musiman, seseorang harus melihat pada autokorelasi
yang tinggi.
Untuk menangani musiman, notasi umum yang singkat adalah:
ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)S
Dimana (p,d,q) = bagian yang tidak musiman dari model
(P,D,Q) = bagian musiman dari model
S
3.2.1

= jumlah periode per musim

Identifikasi
Proses identifikasi dari model musiman tergantung pada alat-alat
statistik berupa autokorelasi dan parsial autokorelasi, serta pengetahuan
terhadap sistem (atau proses) yang dipelajari.

3.3 Penaksiran Parameter
Ada dua cara yang mendasar untuk mendapatkan parameter-parameter
tersebut:
a. Dengan cara mencoba-coba (trial and error), menguji beberapa nilai yang
berbeda dan memilih satu nilai tersebut (atau sekumpulan nilai, apabila
terdapat lebih dari satu

parameter

yang

akan

ditaksir)

yang

meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa (sum of squared residual).
b. Perbaikan

secara iteratif, memilih taksiran awal dan kemudian

membiarkan program komputer memperhalus penaksiran tersebut secara

iteratif.
3.3.1

Pengujian Parameter Model
1. Pengujian masing-masing parameter model secara parsial (t-test)
2. Pengujian model secara keseluruhan (Overall F test)
Model

dikatakan

baik jika nilai error bersifat

random,

artinya sudah tidak mempunyai pola tertentu lagi. Dengan kata lain
model yang diperoleh dapat menangkap dengan
yang ada. Untuk melihat kerandoman

baik

pola

data

nilai error dilakukan

pengujian terhadap nilai koefisien autokorelasi dari error, dengan
menggunakan salah satu dari dua statistik berikut:
1) Uji Q Box dan Pierce:

2) Uji Ljung-Box:

Menyebar secara Khi Kuadrat (  2 ) dengan derajat bebas
(db)=(k-p-q-P-Q) dimana:
n’ = n-(d+SD)
d = ordo pembedaan bukan faktor musiman
D = ordo pembedaan faktor musiman
S = jumlah periode
per musim m = lag
waktu maksimum

rk = autokorelasi untuk time lag 1, 2, 3, 4,..., k
Kriteria pengujian:
Jika Q ≤  2 ( ,db ) , berarti: nilai error bersifat random
(model dapat diterima). Jika Q   2 ( ,db ) , berarti: nilai
error tidak bersifat random (model tidak dapat diterima).

3.4 Pemilihan Model Terbaik

Untuk menentukan model yang terbaik dapat digunakan standard error
estimate berikut:

dimana:
Yt

=

^y

t

=

nilai sebenarnya pada waktu ke-t

nilai dugaan pada waktu ke-t

Model terbaik adalah model yang memiliki nilai standard error estimate
(S) yang paling kecil.
Selain nilai standard error estimate, nilai rata-rata persentase kesalahan
peramalan (MAPE) dapat juga digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan model yang terbaik yaitu:

dimana:
T = banyaknya periode peramalan/dugaan.
3.5 Peramalan Dengan Model ARIMA
Notasi yang digunakan dalam ARIMA adalah notasi yang mudah dan
umum. Misalkan model ARIMA (0,1,1)(0,1,1)12 dijabarkan sebagai berikut:

Tetapi untuk menggunakannya

dalam peramalan

mengharuskan

dilakukan suatu penjabaran dari persamaan tersebut dan menjadikannya
sebuah persamaan regresi yang lebih umum. untuk model diatas bentuknya
adalah:

Untuk meramalkan satu periode ke depan, yaitu Xt+1 maka seperti
pada persamaan berikut:

Nilai et+1 tidak akan diketahui, karena nilai yang diharapkan untuk
kesalahan random pada masa yang akan datang harus ditetapkan sama dengan
nol. Akan tetapi dari model yang disesuaikan

(fitted model) kita boleh

mengganti nilai et, et-11 dan et-12 dengan nilai nilai mereka yang ditetapkan

secara empiris (seperti yang diperoleh setelah iterasi terakhir algoritma
Marquardt). Tentu saja bila kita meramalkan jauh ke depan, tidak akan
kita peroleh nilai empiris untuk “e” sesudah beberapa waktu, dan oleh sebab itu
nilai harapan mereka akan seluruhnya nol. Untuk nilai X, pada awal proses
peramalan, kita akan mengetahui nilai Xt, Xt-11, Xt-12. Akan tetapi sesudah
beberapa saat, nilai X

akan berupa nilai ramalan (forecasted value), bukan

nilai-nilai masa lalu yang telah diketahui.
3.6 Struktur Informasi Pokok Hasil Analisis (Cara
Interpretasi)
1. Indentifikasi
a. Berdasarkan plot data aktual dapat diketahui apakah data sudah
stasioner.

Jika belum stasioner maka data harus distasionerkan

terlebih dahulu.
b.

Tentukan kombinasi model ARIMA yang mungkin. Dari plot
autokorelasi tentukan ordo MA (q), dari plot autokorelasi parsial
tentukan orde AR (p).

2. Estimasi dan pengujian model ARIMA yang mungkin serta pemilihan
model terbaik.
3. Tentukan persamaan dan nilai ramalan model ARIMA terbaik.

IV. PEMBAHASAN
4.1 Plot Data
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat plot data. Dalam
hal ini adalah membuat plot data nilai tukar rupiah terhadap dolar, untuk melihat
apakah sudah stasioner dalam mean maupun variansi.
USD-IDR
12,000

10,000

8,000

6,000

4,000

2,000

0
90

92

94

96

98

00

02

04

06

08

10

12

14

Pada plot data hasil diatas, didapat bahwa data sudah cenderung stasioner.
Meskipun belum benar-benar stasioner. Selanjutnya akan dilakukan analisis
runtun waktu dengan permodelan ARIMA.
4.2 Identifikasi Model ARIMA
Apabila data sudah stasioner dalam mean dan variansi maka asumsi
metode ARIMA telah terpenuhi. Langkah selanjutnya adalah membuat plot ACF
(autocorrelation function) dan PACF (partial autocorrelation function) untuk
mengidentifikasi model ARIMA yang cocok untuk diguakan.
Tabel 4. 1 Plot ACF dan PACF

dari plot autokorelasi(ACF) dan plot autokorelasi parsial(PACF), terlihat
bahwa kedua gambar mengalami cutoff(turun drastis) pada baris pertama jika
cutoff pada ACF dan PACF maka kemungkinan pertama p=1 dan q=0 kemudian
kemungkinan kedua p=0 dan q=1. sehingga jika digabung dengan d yang sudah
diketahui nilainya. maka kemungkinan ARIMA(p,d,f) adalah ARIMA(1,0,0) bisa
disingkat AR(1) atau model ARIMA(0,0,1) bisa disingkat MA(1).
4.3 Estimasi Model ARIMA
4.3.1 Model 1: AR(1) (1,0,0)
Dependent Variable: USD_IDR
Method: Least Squares
Date: 05/30/15 Time: 19:33
Sample (adjusted): 1986 2014
Included observations: 29 after adjustments
Convergence achieved after 5 iterations
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
AR(1)

11198.69
0.928549

6743.322
0.075397

1.660709
12.31547

0.1083
0.0000

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.848884
0.843287
1513.724
61866730
-252.4606
151.6708
0.000000

Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat

Inverted AR Roots

.93

6379.304
3823.794
17.54901
17.64330
17.57854
2.342999

Hasil Output di atas bahwa


Nilai koefisien c sebesar 11198.69, Namun nilai statistik t-nya sudah
signifikan, dengan nilai probabilitas sebesar 0,1083 > 0,05 artinya Ho di
terima



Nilai koefisien AR(1) sebesar 0,928549, Nilai statistik t-nya sudah
signifikan, dengan nilai probabilitas 0,0000 signifikan



Persamaan Model Arima (1,0,0) dari hasil estimasi di atas adalah:

Usd_idrt = 11198.69 + 0,928548 USD_IDRt-1 + et
Berdasarkan analisis di atas di ketahui bahwa parameter konstan tidak
signifikan dalam model sedangkan parameter AR(1) siginifikan dalam model.
Maka model tersebut tidak dapat dimasukan ke dalam model ARIMA (1,0,0)
sehingga ARIMA (1,0,0) tidak layak untuk digunakan pada model yang mungkin.
4.3.2 Model 2: ARIMA (0,0,1)
Dependent Variable: USD_IDR
Method: Least Squares
Date: 05/30/15 Time: 19:23
Sample: 1985 2014
Included observations: 30
Convergence achieved after 7 iterations
MA Backcast: 1984
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
MA(1)

6335.307
0.820391

840.9992
0.096874

7.533071
8.468631

0.0000
0.0000

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.586859
0.572104
2537.054
1.80E+08
-276.6960
39.77343
0.000001

Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat

Inverted MA Roots

-.82

6203.680
3878.470
18.57974
18.67315
18.60962
1.041256

Hasil Output di atas bahwa


Nilai koefisien c sebesar 6335.307, nilai statistik t-nya sudah signifikan,
dengan nilai probabilitas sebesar 0,0000 artinya signifikan.



Nilai koefisien MA(1) sebesar 0.820391, Nilai statistik t-nya sudah
signifikan, dengan nilai probabilitas 0,0000 artinya signifikan



Persamaan Model Arima (0,0,1) dari hasil estimasi di atas adalah:
USD_IDRt = 6335.307+ 0.820391USD_IDRt-1 + et
Berdasarkan analisis di atas di ketahui bahwa parameter konstan dan

parameter AR(1) siginifikan dalam model. Maka model tersebut dapat dimasukan
ke dalam model ARIMA (0,0,1) sehingga ARIMA (0,0,1) layak untuk digunakan
pada model yang mungkin
4.4 Uji Asumsi Residual (diagnostic checking)
Selanjutnya akan dilakukan uji asumsi residual untuk model yang terpilih yaitu:


Model ARIMA (1,0,0)

1. Uji Non-autokorelasi
Uji non-autokorelasi ini bertujuan untuk menguji apakah antara data
residual terdapat korelasi ataukah tidak. Suatu model yang baik mempuyai
nilai-nilai residualnya tidak saling berkorelasi satu dengan lainya. Hasil
pengujiannya adalah sebagai berikut:
Tabel. 4.2 Output Correlogram-Q-statistic ARIMA (1,0,0)

Berdasarkan correlogram di atas, terlihat, bahwa nilai prob > tingkat signifikan
a=0.05

sehingga nilai Ho ditolak yang artinya bahwa residual data tidak

mengandung autokrelasi. Hal ini diperkuat dengan plot ACF dan PACF, dimana
lag-lag secara signifikan berada di dalam batas interval konfidensi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa plot data di atas menunjukan tidak terdapat autokorelasi
pada residual.
2. Uji Homoskedastisitas
Uji homokedastisitas adalah uji kesamaan variansi residual. Jika
residualnya mempunyai variansi yang konstan, maka model tersebut bisa
dikatakan baik. Output yang didapatkan setelah dilakukan pengujian
adalah sebagai berikut:
Tabel. 4.3 Output Correlogram Squared Residuals ARIMA (1,0,0)

Berdasarkan corrlogram di atas, terlihat bahwa semua nilai prob >
signifikan

a=0.05

tingkat

dan tidak ada time lag yang keluar dari batas signifikan

berarti homoskedastisitas pada residual terpenuhi.
3. Uji Normalitas Residual
Uji normalitas residual dilakukan untuk melihat kenormalan dari residual.
Model dikatakan baik jika residualnya berdistribusi normal. Hasil
pengujuan ditampilkan pada output sebagai berikut:
Tabel 4.4 Outpur Histogram-Normality test ARIMA (1,0,0)
20

Series: Residuals
Sample 1986 2014
Observations 29

16

12

8

4

0
-2000

0

2000

4000

6000

Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis

4.71e-08
-545.8051
6511.958
-2243.145
1486.447
2.950277
13.95405

Jarque-Bera
Probability

187.0593
0.000000

Untuk menguji normalitas residula akan dilakukan pengujiaan Jarque-berra,
sebagai berikut:


Uji Hipotesis
Ho: Residual berdistribusi normal
H1: Residual tidak berdistribusi normal



Tingkat signifikan a=0.05



Statistik uji: Probability= 0.00000, daerah kritis: Ho ditolak jika
Probability < a



Kesimpulan: karena nilai Probability= 0.00000 < 0.05 maka Ho ditolak
artinya bahwa residual tidak berdistribusi normal
Model ARIMA (0,0,1)

1. Uji Non-autokorelasi
Uji non-autokorelasi ini bertujuan untuk menguji apakah antara data
residual terdapat korelasi ataukah tidak. Suatu model yang baik mempuyai
nilai-nilai residualnya tidak saling berkorelasi satu dengan lainya. Hasil
pengujiannya adalah sebagai berikut:
Tabel. 4.5 Output Correlogram-Q-statistic ARIMA (0,0,1)

Berdasarkan correlogram diatas, dapat dilihat bahwa terdapat nilai prob

yang lebih kecil dari tingkat signifikan a=0.05 dan terdapat time lag
yang melebihi batas signifikan. Segingga dapat disimpulkan terdapat
autokorelasi pada residual artinya non autokorelasi residual tidak terpeuhi
2. Uji Homoskedastisitas
Uji homokedastisitas adalah uji kesamaan variansi residual. Jika
residualnya mempunyai variansi yang konstan, maka model tersebut bisa
dikatakan baik. Output yang didapatkan setelah dilakukan pengujian
adalah sebagai berikut:
Tabel. 4.6 Output Correlogram Squared Residuals ARIMA (0,0,1)

Berdasarkan correlogram di atas, residual kuadrat di atas lag-lag awal secara
signifikan berada di dalam batas interval konfidensi, sehingga dapat disimpulkan
residual bersifat homoskedastisitas
3. Uji Normalitas Residual
Uji normalitas residual dilakukan untuk melihat kenormalan dari residual.
Model dikatakan baik jika residualnya berdistribusi normal. Hasil
pengujuan ditampilkan pada output sebagai berikut:
Tabel. 4.7 Outpur Histogram-Normality test ARIMA (0,0,1)
14

Series: Residuals
Sample 1985 2014
Observations 30

12
10
8
6
4
2
0
-4000

-2000

0

2000

4000

6000

Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis

15.40323
282.4190
5034.526
-3124.536
2492.879
0.277293
1.671043

Jarque-Bera
Probability

2.592116
0.273608

Untuk menguji normalitas residula akan dilakukan pengujiaan Jarque-berra,
sebagai berikut:


Uji Hipotesis
Ho: Residual berdistribusi normal
H1: Residual tidak berdistribusi normal



Tingkat signifikan a=0.05



Statistik uji: Probability= 0.273608, daerah kritis: Ho ditolak jika
Probability < a



Kesimpulan: karena nilai Probability= 0.273608 > 0.05 maka Ho diterima
artinya bahwa residual berdistribusi normal

4.5 Pemilihan Model Terbaik.
Setelah melakukan estimasi parameter untuk masing-masing model maka
kita dapat melakukan pemilihan model terbaik dari semua kemungkinan model
dengan cara melihat ukuran-ukuran standar ketepatan peramalan. Tabel
perbandingan ARIMA adalah sebagai berikut:
Tabel. 4.8 Perbandingan nilai berdasarkan model

C
a1

ARIMA

ARIMA

(1,0,0)
11198.69

(0,0,1)
6335.307

(0.1083)
0.928549

(0.0000)

(0.0000)
b1

SSR
AIC
BIC

0.820391
61866730
17.54901
17.64330)

(0.0000)
1.80E+08
18.57974
18.67315

Tabel. 4.9 Perbandingan model berdasarkan asumsi

Model

Non Autokorelasi

Homoskedastisitas

Normalitas

ARIMA (1,0,0)

-



-

ARIMA (0,0,1)

-





Berdasarkan tabel di atas, didapatkan analisis berikut:


Model ARIMA (1,0,0)
Untuk model ini terlihat dari uji koefisien model signifikan, tetapi uji
residual menunjukan terdapat korelasi serial dalam data. Sehingga model
ini tidak dapat dipertimbangkan sebagai model untuk data diatas.



Model ARIMA (0,0,1)
Untuk model ini terlihat dari model uji t koefisien dari model signifikan
dan uji residual menunjukan sudah tidak terdapat korelasi serial dalam
data. Sehingga model ini dapat dipertimbangkan sebagai model untuk data
di atas. Dengan kata lain, model terbaik untuk data indonesia adalah
ARIMA(0,0,1)

4.6 Peramalan (Forecasting)
Langkah terkhir dalam analisis runtun waktu adalah menentukan
peramalan atau prediksi untuk periode selanjutnya. Dalam pembahasan ini akan
diramalkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar dalam 5 tahun kedepan.
Berikut ini adalah tampilan outputnya:
20,000

Forecast: USD_IDRF
Actual: USD_IDR
Forecast sample: 1986 2015
Included observations: 25
Root Mean Squared Error
2409.786
Mean Absolute Error
2180.980
Mean Abs. Percent Error
49.76740
Theil Inequality Coefficient 0.162488
Bias Proportion
0.048035
Variance Proportion
0.433563
Covariance Proportion
0.518403

16,000

12,000

8,000

4,000

0

-4,000
86

88

90

92

94

96

98

00

USD_IDRF

02

04

06

± 2 S.E.

08

10

12

14

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa secara deskriptif nilai tukar terhadap
dolar utuk tahun 2015 mengalami penurunan. Di samping itu terdapat pula nilainilai kesalahan peramalan seperti MSE =24 09 MAE= 21 80 MAPE = 49.76
Kemudian hasil peramalan untuk periode tahun 2015 sebagai berikut:
Tabel. 4. 10
Tahun
2015

Peramalan
Rp. 9018.3036

V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasakan hasil penelitian yang dilakukan penulis tentang DE FACTO
DOLLARIZATION : ANALISIS RUNTUN WAKTU MENGGUNAKAN
MODEL ARIMA (p,d,q) SERTA PERKEMBANGAN SISTEM NILAI TUKAR
DI INDONESIA (Untuk peramalan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar
dalam periode tahun berikutnya) maka dapat diambil kesimpulan:
1. kondisi dolarisasi di indonesia yang terjadi adalah kondisi
penggunaan mata uang asing secara tidak resmi (Unofficial
dollarization

/de

facto)

hal

tersebut

tercermin

dari

banyaknya transaksi menggunakan dollar. Dolar digunakan
di berbagai tempat, seperti di Pelabuhan Tanjung Priok
untuk pembayaran Container Handling Charge(CHC) dan
Terminal Handling Charge(THC).
2. Perkembangan sistem nilai tukar di indonesia di mulai dengan Sistem
Nilai Tukar Bertingkat (Multiple Exchange Rate System) Sistem

ini

dimulai sejak Oktober 1966 hingga Juli 1971 lalu di lanjut dengan
Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System) Sistem yang
berlaku mulai Agustus 1971 hingga Oktober 1978 kemudian menggunakan
Sistem

Nilai

Tukar

Mengambang

Terkendali

(Managed Floating

Exchange Rate) Sistem ini belaku sejak November 1978 sampai Agustus
1997 dan terakhir menggunakan Sistem Mengambang Bebas (Free
Floating Exchange Rate System) Sistem ini diberlakukan sejak 14 Agustus
1997 hingga sekarang.

3. ARIMA (autoregressive integrated moving average) merupakan salah satu
model analisis data time series. Proses permodelan dapat menggunakan
pendekatan Box-Jeknis yang terdiri dari: tahap identifikasi, tahap
penaksiran parameter dan pengujian serta penerapan.
4. Model runtun waktu yang terbaik berdasarkan nilai kebaikan model dan
terpenuhinya asumsi-asumsi untuk digunakan adalah ARIMA(0,0,1)
dengan persamaan sebagai berikut:
USD_IDRt = 6335.307+ 0.820391USD_IDRt-1 + et
5. Hasil peramalan nilai tukar rupiah untuk periode tahun 2015 mendatang
adalah:
Tahun
2015

Peramalan
Rp. 9018.3036

5.2 Saran-saran
1. Model yang sudah didapatkan dalam pembahasan dalam paper ini,
peneliti mengharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para
otoritas moneter dalam membuat kebijakan.
2. Hasil suatu peramalan (forecasting) bukanlah suatu nilai yang pasti
akan terjadi diperiode mendatang. Mengingat banyak faktor-faktor di
lapangan yang kadang memberikan pengaruh yang cukup signifikan
pada hasil akhirnya.
3. Permodelan data runtun waktu dapat dilakukan dengan ARIMA,
SARIMA dan ARIMAX. Oleh karena itu, peneliti lain dapat
mempelajari lebih lanjut tentang permodelan runtun waktu dengan
menggunakan SARIMA dan ARIMAX yang belum dibahas dalam
paper ini.
Demikian saran dari peneliti semoga dapat menjadi inspirasi para
peneliti dalam bidang yang sama khusunya analisis runtun waktu, untuk
melajutkan dan mengembangkan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Arga, W, 1984. Analisis Runtun Waktu Teori & Aplikasi. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta
Kustituanto, B, 1984. Statistik Analisis Runtun Waktu dan Regresi-Korelasi.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Subagyo, P, 1986. Forecasting Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFEYogyakarta.
Abimayu, Yoopi, 2004. Memahami Kurs Valuta Asing, FE-UI, Jakarta.
Blanchard, Olivier, 1995 Macroeconomics Fourth Edition, Prentice Hall,
New Jersey.
Frank j, Fabrozzi dan Modigliani, Fanco, 1995 Capital Markets, Prentice Hall,
New Jersey, dalam Tge Fei Ming, 2002 Day Tranding Valuta Asing,
Gramediam, Jakarta.
Warjiyo Perry dan Solikin, 2003. Seri Kebanksentralan No. 6: Kebijakan
Moneter di Indonesia, PPSK-BI, Jakarta
Mishkin, Frederic S. 2009. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar
Keuangan

Buku 2. Jakarta : Salemba Empat
Milenkovic, Ivan and Milivoje Davidovic. 2012. Determinants Of
Currency
Subtitiution/Dollarization-The Case Of The Republic Of,
dalam Journal of
Central Banking Theory and Practice, 2013, 1, pp.139-155
Nor, Ibrahim Mohammed, 2012. The Effect Of Dollarization On
Debeloping
Economis: Lessons From Somalia’s Indormal, dalam
Academic Research
International, Vol 2 No.3.