Jelaskan hubungan antara MPR dan DPR
1. Jelaskan hubungan antara MPR dan DPR!
Berbicara mengenai hubungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tentu tak terlepas dari pembicaraan mengenai konsepsi dari lembaga
negara. Baik DPR maupun MPR merupakan salah satu lembaga negara yang berbentuk legislatif
serta diatur dalam konstitusi Republik Indonesia. lembaga negara memiliki perbedeaan
penyebutan dengan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa sebut
Ornop atau organisasi non pemerintahan yang dalam bahasa inggris disebut Non-Government
Organization atau Non-Governmental Organization (NGO’s).
Lebih dalam serta luas lagi, Hans Kelsen berpendapat bahwa “Whoever fulfills a function
determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ. 1
Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang
bersifat campuran.2
Perbincangan makin menarik manakala Undang-Undang Dasar 1945
mengalami 4 (empat) kali amandemen, yakni terjadi pada tahun 1999, tahun 2000 lalu setahun
kemudian tahun 2001 dan terakhir pada tahun 2002. Amandemen ini sedikit banyak merubah
tatanan lembaga negara yang ada di Indonesia baik dari segi hierarkis maupun dengan wewenang
yang dibawanya. Perubahan ini nampak pada tiap lini pelaksanaan kekuasaan baik di eksekutif,
yudikatif maupun legislatif. Istilah check and balances serta distribution of power juga semakin
membuka ruang bagi tiap lembaga negara untuk saling mengoreksi serta saling berhubungan
yang bermuara pada kuatnya sistem demokrasi dan penghormatan nilai-nilai hak asasi manusia
yang dianut.3 Sejatinya, amandemen ini merupakan suatu itikad baik bagi para tokoh bangsa
untuk mereformasi sistem pemerintahan yang sebelumnya dinilai telah menyengsarakan rakyat
dan jauh dari tujuan utama yang tertuang dalam amanah pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu lembaga negara yang terkena imbas
dari adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal keanggotaan, tiap anggota
1 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell diterjemahkan oleh Raisul
Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, (Bandung: Penerbit
Nusamedia dan Nuansa), 2006, hlm 276.
2 Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 27.
3 Hague, Rod dan Martin Harrop. Comperative Government and Politics an introduction,
(New York: Palgrave) 2001, hlm 112.
DPR dipilih melalui sistem Pemilu yang dilaksanakan tiap lima tahun sekali dan tersebar melalui
tiap-tiap konstituennya.4Pada dasarnya, DPR merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi
aspirasi, legislasi, budgeting serta pengawasan. Fungsi aspirasi DPR seringkali dimaknai sebagai
penyalur aspirasi yang dihendaki oleh rakyat untuk diwujudkan melalui suatu kebijakan untuk
melindungi kepentingan rakyat. DPR juga memiliki fungsi dan wewenang legislasi, yakni
membentuk Undang-Undang yang dibahas bersama Presiden untuk disetujui secara bersama.
Kewenangan DPR juga ada dalam hal mengelola pos anggaran APBN serta alokasi penggunaan
dananya untuk berbagai macam kepentingan. Terakhir, fungsi pengawasan yakni DPR
menjalankan konsep check and balances dengan lembaga negara lainnya seperti Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung maupun Presiden dalam negara demokrasi ini. fungsi pengawasan
nampaknya menjadi hal yang krusial manakala DPR memiliki hak tambahan berupa hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapatnya. Dengan demikian, nampak jelas
bahwasannya amandemen UUD 1945 berdampak pada posisi tawar DPR sebagai lembaga
negara yang memiliki beberapa kewenangan yang lebih spesifik dan kekuasaan yang kuat untuk
memaksimalkan kerjanya.
Selanjutnya,
konstitusi
juga
mengamanatkan
lembaga
negara
bernama
Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya. Setelah empat kali
mengalami amandemen, MPR menjadi lembaga negara yang mengalami perubahan paling
signifikan dibandingkan lembaga negara lainnya. Implikasi dari perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 ini adalah adanya perubahan dalam tata kelola hubungan MPR dengan lembagalembaga negara yang lainnya.5 Jika keanggotaan DPR merupakan representasi dari partai politik
yang mewakili beberapa konstituennya, maka MPR merupakan gabungan dari DPR, DPD
(Dewan Perwakilan Daerah) serta beberapa utusan golongan. Secara umum, MPR merupakan
lembaga negara yang bertugas untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik ataupun
memberhentikan Presiden dan wakil Presiden serta berwenang memilih wakil Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya. 6 Hal yang paling fundamental
dalam amandemen UUD 1945 ini ialah penataan ulang sistem ketatanegaraan. MPR tidak lagi
menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) serta tidak berada di hirarki paling atas dari
4 Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara, cet. 1, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), hlm 74.
5 Ibid, hlm 72
6 Ibid, hlm 73
lembaga negara, melainkan kedudukannya menjadi sejajar diantara lembaga negara lainnya
dibawah kekuasaan Undang-Undang Dasar 1945. Ketika kedudukan ini menjadi sejajar, maka
lembaga negara lainnya berhak untuk mengawasi MPR dan saling membagi kekuasaan antar
lembaga negara lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Singkatnya, secara
filosofis kewenangan MPR telah diturunkan pasca amandemen UUD 1945 ini. MPR tidak lagi
menjadi pelaksana kepentingan rakyat, karena kini kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut
UUD 1945 melalui berbagai lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945.
Hubungan antara kedua lembaga negara ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 2 ayat 1, pasal
7B ayat 1 serta pasal 7B ayat 6. Secara singkat, keseluruhan pasal tersebut membahas mengenai
keanggotaan MPR yang juga terdiri dari lembaga negara DPR dan DPD, pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden, serta mekanisme penggantian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
telah diberhentikan. Sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan, telah diketahui bahwasannya
MPR merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki Garis Besar Haluan Negara serta
memiliki kedudukan paling tinggi diantara lembaga negara lainnya. Namun perlahan, kekuasaan
MPR didistribusikan
kepada
lembaga
negara
lainnya;
termasuk
DPR.
Hak untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dilakukan melalui usul DPR terlebih
dahulu. Artinya, MPR tidak dapat serta merta melakukan keputusan pemberhentian sebelum
adanya usulan yang datang dari DPR. Ketika usulan tersebut diterima, barulah MPR yang
keanggotaannya terdiri dari DPR, DPD serta beberapa utusan golongan melakukan sidang untuk
membuktikan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
2. Jelaskan hubungan antara DPR dan DPD dibidang pembentukan UU!
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekilas memang
terlihat sama. Di negara Indonesia, kedua lembaga negara ini memang sama-sama memiliki
kewenangan kekuasaan legislatif atau yang biasa disebut parlemen. Selain pudarnya kekuasaan
MPR pasca amandemen, hal fundamental lain yang berubah setelah terjadi amandemen UUD
1945 ialah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwujudan lembaga negara
baru yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MK dan MK. Keanggotaan DPD merupakan
utusan daerah yang berjumlah empat putra-putri terbaik daerah dari tiap provinsi di Indonesia.
keanggotaan DPD berbeda dengan DPR yang keanggotaannya merupakan representasi dari
partai politik yang dipilih dari berbagai wilayah konstituennya. Ketika di parlemen, anggota DPR
selain menyuarakan suara rakyat, juga menjalankan fungsi sebagai tugas partai. Hal ini sangat
kontras dengan anggota DPD yang dituntut untuk selalu memperjuangkan kepentingan
daerahnya tanpa terikat keputusan partai politik. Dalam sejarahnya, pembentukan DPD
dilatarbelakangi akibat pembangunan ekonomi Indonesia yang kurang merata dan cenderung
jawa-sentris. Maka dari itu, semangat pembentukan DPD merupakan nafas baru bagi perwujudan
kesejahteraan bagi daerah-daerah yang selama ini tidak tergapai oleh pusat untuk mendapatkan
kesejahteraan. Sejatinya DPD lahir sebagai sarana memperjuangkan aspirasi masyarakat di
daerah dalam rangka penentuan kebijakan nasional yang dilakukan oleh pusat.
Ide untuk melahirkan lembaga negara yang memiliki wewenang legislatif sesungguhnya
merupakan perwujudan dari ide kamar kedua (bikameral) yang dianut oleh parlemen Amerika
dengan House of Representative nya. Kamar kedua ini sangat membuka lebar-lebar peran
legislatif untuk melakukan check and balances antar lembaga negara lainnya.7 sistem bikameral
dalam sistem perwakilan di berbagai negara pada umumnya didasarkan pada dua bagian, yakni8:
a. Representatives
Merupakan duta/delegasi yang mewakili wilayah konstituennya berdasarkan jumlah penduduk
yang sebanding dengan luas wilayahnya.
b. Redunancy
Merupakan sistem yang menjamin bahwasannya setiap kebijakan-kebijakan yang lahir harus
dibahas secaar sistematis guna dijadikan pertimbangan yang matang dan mendalam.
Kehadiran DPD harusnya membawa dampak positif untuk menambal kinerja DPR yang
selama ini minim prestasi. Baik DPR maupun DPD seharusnya memiliki kewenangan, fungsi
dan hak yang setara agar berbagai kekurangan yang berdampak langsung terhadap rakyat dapat
7 Loulembah, M. Ichsan. Bikameral BUkan Federal, artikel DPD dan Perwakilan Politik
Daerah Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Hlm. 139.
8 Patterson, Samuel C. & Anthony Mughan. Senates: Bicameralism in the Contemporary
Word, ( Ohio: Ohio State University), 1999, Hlm. 18.
segera teratasi. Selayaknya sistem yang sudah mapan seperti di Amerika, perwujudan DPD
sebagai salah satu kamar dari sistem parlemen Bikameral seharusnya dapat terjadi di Indonesia.
Tetapi, kenyataan yang terjadi di lapangan ialah bahwa DPD tidak mempunyai kekuasaan yang
memadai untuk mewujudkan itu semua. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaankekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya lainnya, serta masalah
perimbangan keuangan pusat dan Daerah.9 Diluar dari yang disebutkan itu semua, semua sepakat
bahwasannya kekuasaan DPD hanya sebatas memberi usulan kepada DPR untuk selanjutnya
dirumuskan oleh DPR sebagai kebijakan dalam bentuk UU. Maka pantaslah jika saat ini
keberadaan DPD menjadi tidak ada tajinya dan cenderung diantara pilihan hidup atau mati.
Dengan kata lain bahwa DPD hanya dapat memberikan masukan dan usulan, sedangkan pada
akhirnya yang memutuskan adalah DPR,sehingga DPD lebih tepat disebut sebagai dewan
pertimbangan DPD, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan bagi DPR.10
Dalam bidang pembentukan Undang-Undang, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
bahwasannya amanah UUD 1945 pasal 22D ayat (1) telah menyebutkan bahwasannya DPD
dapat mengajukan kepada pemerintah pusat dalam hal ini adalah DPR yang berkaitan dengan
otonomi daerah sampai perimbangan keuangan pusat. Sifat pembentukan yang dimiliki DPD
hanya sebatas mengajukan usulan rancangan Undang-Undang keapda DPR, untuk pengesahan
UU nya akan dilanjutkan oleh DPR. Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya DPD tidak
mempunyai hak untuk membuat Undang-Undang secara mandiri. Hal ini juga menyangkut pada
sistem bikameral yang dianut oleh Indonesia. Kehadiran DPD dan DPR dalam pembagian kamar
ini seharusnya dapat mendorong wewenang legislatif menjadi lebih baik dalam hal pembentukan
UU, tetapi pada kenyataan dilapangan tetap saja terjadi kerancuan. Pasal 20 ayat (1) lantas
membenarkan bahwasannya wewenang untuk membentuk UU jatuh kepada DPR, bukan kepada
DPD. Dari hubungan yang terjalin antara DPD dengan DPR dalam hal pembentukan UU, maka
secara teknis dapat didapati mekanisme sebagai berikut:
a. DPD mengajukan/mengusulkan rancangan UU kepada DPR;
b. Setelah DPR menerima berkas tersebut, DPR nantinya dapat menentukan apakah RUU
tersebut dapat diterima atau tidak dapat diterima atau diterima dengan perubahan;
9 Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
10 Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo
Persada), 2001. Hlm. 238
c. Selanjutnya,
DPR
akan
membahas
RUU
tersebut
dengan
Presiden
tanpa
mengikutsertakan DPD dalam pembahasan tersebut.
3. Jelaskan
hubungan
antara
DPR
dan
DPD
dibidang
pengawasan!
Salah satu fungsi legislatif yang memainkan peranan penting dalam mendukung check and
balances di lingkungan lembaga negara adalah fungsi pengawasan. Melalui pengawasan,
monitoring dan evaluasi bagi tiap lembaga negara dalam menjalankan fungsinya dapat terlihat
dan berjalan sesuai yang diamanatkan dalam cita-cita negara Republik Indonesia. Selain
kekuasaan untuk membentuk UU, kedua lembaga legislatif ini juga berperan dalam bidang
pengawasan terhadap lembaga negara lainnya. Sistem bikameral yang menganut dua kamar ini
sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sistem unikameral, yakni diantaranya
adalah:
a.
b.
c.
d.
Sistem keterwakilan yang sangat beragam;
Melakukan musyawarah untuk mufakat terhadap setiap perumusan perundang-undangan;
Menghindarkan diri dari tersahkannya suatu Undang-Undang yang tidak sempurna;
Melakukan sistem pengawasan serta pengendalian yang lebih baik terhadap lembaga
eksekutif;11
Sistem parlemen dengan dua kamar memiliki kelebihan dibandingkan dengan
sistem parlemen satu kamar, Yakni : (1)Secara resmi mewakili beragam pemilih
(misalnya
negara
bagian,
wilayah,
etnik,
atau
golongan);
(2)Memfasilitasi
pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundangundangan;
(3)Mencegah
disahkannya
perundang-undangan
yang
cacat
atau
ceroboh;
(4)Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga
eksekutif.26 kelebihan-kelebihan parlemen bikameral hanya bisa didapatkan jika
parlemen di negara tersebut memang benar-benar memakai strong bicameral,
bukan soft bicameral. Hal ini karena soft bikameral dalam penerapannya akan
kehilangan fungsi saling kontrol diantara kedua kamarnya karena salah satu kamar
dapat diabaikan begitu saja. Hingga tidak ada ubahnya dengan sistem parlemen
11 National Democratic For International Affair (NDI), Seri Penelitian Legislatif, One or Two
Chamber , hlm. 2-3
dengan satu kamar (unikameral) dimana terjadi monopoli proses legislasi dalam
satu kamar.
manademen Kedua UUD 1945 juga memunculkan ketentuan baru yang semakin
memperkokoh posisi DPR. Ketentuan itu dirumuskan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu (1)
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang
diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; dan (4) Ketentuan lebih
lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amandemen menempatkan DPR sebagai
lembaga penentu kataputus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa
agenda kenegaraan yang meliputi: (1) menyatakan perang, membuat perdamaian,
perjanjian dengan negara lain; (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara; (3) menetapkan peraturan pemerintah pengganti
undangundang menjadi undangundang; (4) pengangkatan Hakim Agung; (5)
pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa
agenda kenegaraan juga “pertimbangan” DPR, seperti: (1) pengangkatan Duta; (2)
menerima penempatan duta negara lain; dan (3) pemberian amnesti dan abolisi.
Kekuasaan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisi
beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa
Keuangan, menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan (3)
menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non
state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk
meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian
Negara RI (Kapolr
Berbicara mengenai hubungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tentu tak terlepas dari pembicaraan mengenai konsepsi dari lembaga
negara. Baik DPR maupun MPR merupakan salah satu lembaga negara yang berbentuk legislatif
serta diatur dalam konstitusi Republik Indonesia. lembaga negara memiliki perbedeaan
penyebutan dengan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa sebut
Ornop atau organisasi non pemerintahan yang dalam bahasa inggris disebut Non-Government
Organization atau Non-Governmental Organization (NGO’s).
Lebih dalam serta luas lagi, Hans Kelsen berpendapat bahwa “Whoever fulfills a function
determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ. 1
Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang
bersifat campuran.2
Perbincangan makin menarik manakala Undang-Undang Dasar 1945
mengalami 4 (empat) kali amandemen, yakni terjadi pada tahun 1999, tahun 2000 lalu setahun
kemudian tahun 2001 dan terakhir pada tahun 2002. Amandemen ini sedikit banyak merubah
tatanan lembaga negara yang ada di Indonesia baik dari segi hierarkis maupun dengan wewenang
yang dibawanya. Perubahan ini nampak pada tiap lini pelaksanaan kekuasaan baik di eksekutif,
yudikatif maupun legislatif. Istilah check and balances serta distribution of power juga semakin
membuka ruang bagi tiap lembaga negara untuk saling mengoreksi serta saling berhubungan
yang bermuara pada kuatnya sistem demokrasi dan penghormatan nilai-nilai hak asasi manusia
yang dianut.3 Sejatinya, amandemen ini merupakan suatu itikad baik bagi para tokoh bangsa
untuk mereformasi sistem pemerintahan yang sebelumnya dinilai telah menyengsarakan rakyat
dan jauh dari tujuan utama yang tertuang dalam amanah pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu lembaga negara yang terkena imbas
dari adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal keanggotaan, tiap anggota
1 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell diterjemahkan oleh Raisul
Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan I, (Bandung: Penerbit
Nusamedia dan Nuansa), 2006, hlm 276.
2 Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 27.
3 Hague, Rod dan Martin Harrop. Comperative Government and Politics an introduction,
(New York: Palgrave) 2001, hlm 112.
DPR dipilih melalui sistem Pemilu yang dilaksanakan tiap lima tahun sekali dan tersebar melalui
tiap-tiap konstituennya.4Pada dasarnya, DPR merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi
aspirasi, legislasi, budgeting serta pengawasan. Fungsi aspirasi DPR seringkali dimaknai sebagai
penyalur aspirasi yang dihendaki oleh rakyat untuk diwujudkan melalui suatu kebijakan untuk
melindungi kepentingan rakyat. DPR juga memiliki fungsi dan wewenang legislasi, yakni
membentuk Undang-Undang yang dibahas bersama Presiden untuk disetujui secara bersama.
Kewenangan DPR juga ada dalam hal mengelola pos anggaran APBN serta alokasi penggunaan
dananya untuk berbagai macam kepentingan. Terakhir, fungsi pengawasan yakni DPR
menjalankan konsep check and balances dengan lembaga negara lainnya seperti Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung maupun Presiden dalam negara demokrasi ini. fungsi pengawasan
nampaknya menjadi hal yang krusial manakala DPR memiliki hak tambahan berupa hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapatnya. Dengan demikian, nampak jelas
bahwasannya amandemen UUD 1945 berdampak pada posisi tawar DPR sebagai lembaga
negara yang memiliki beberapa kewenangan yang lebih spesifik dan kekuasaan yang kuat untuk
memaksimalkan kerjanya.
Selanjutnya,
konstitusi
juga
mengamanatkan
lembaga
negara
bernama
Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya. Setelah empat kali
mengalami amandemen, MPR menjadi lembaga negara yang mengalami perubahan paling
signifikan dibandingkan lembaga negara lainnya. Implikasi dari perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 ini adalah adanya perubahan dalam tata kelola hubungan MPR dengan lembagalembaga negara yang lainnya.5 Jika keanggotaan DPR merupakan representasi dari partai politik
yang mewakili beberapa konstituennya, maka MPR merupakan gabungan dari DPR, DPD
(Dewan Perwakilan Daerah) serta beberapa utusan golongan. Secara umum, MPR merupakan
lembaga negara yang bertugas untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik ataupun
memberhentikan Presiden dan wakil Presiden serta berwenang memilih wakil Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya. 6 Hal yang paling fundamental
dalam amandemen UUD 1945 ini ialah penataan ulang sistem ketatanegaraan. MPR tidak lagi
menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) serta tidak berada di hirarki paling atas dari
4 Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara, cet. 1, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), hlm 74.
5 Ibid, hlm 72
6 Ibid, hlm 73
lembaga negara, melainkan kedudukannya menjadi sejajar diantara lembaga negara lainnya
dibawah kekuasaan Undang-Undang Dasar 1945. Ketika kedudukan ini menjadi sejajar, maka
lembaga negara lainnya berhak untuk mengawasi MPR dan saling membagi kekuasaan antar
lembaga negara lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Singkatnya, secara
filosofis kewenangan MPR telah diturunkan pasca amandemen UUD 1945 ini. MPR tidak lagi
menjadi pelaksana kepentingan rakyat, karena kini kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut
UUD 1945 melalui berbagai lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945.
Hubungan antara kedua lembaga negara ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 2 ayat 1, pasal
7B ayat 1 serta pasal 7B ayat 6. Secara singkat, keseluruhan pasal tersebut membahas mengenai
keanggotaan MPR yang juga terdiri dari lembaga negara DPR dan DPD, pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden, serta mekanisme penggantian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
telah diberhentikan. Sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan, telah diketahui bahwasannya
MPR merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki Garis Besar Haluan Negara serta
memiliki kedudukan paling tinggi diantara lembaga negara lainnya. Namun perlahan, kekuasaan
MPR didistribusikan
kepada
lembaga
negara
lainnya;
termasuk
DPR.
Hak untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dilakukan melalui usul DPR terlebih
dahulu. Artinya, MPR tidak dapat serta merta melakukan keputusan pemberhentian sebelum
adanya usulan yang datang dari DPR. Ketika usulan tersebut diterima, barulah MPR yang
keanggotaannya terdiri dari DPR, DPD serta beberapa utusan golongan melakukan sidang untuk
membuktikan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
2. Jelaskan hubungan antara DPR dan DPD dibidang pembentukan UU!
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekilas memang
terlihat sama. Di negara Indonesia, kedua lembaga negara ini memang sama-sama memiliki
kewenangan kekuasaan legislatif atau yang biasa disebut parlemen. Selain pudarnya kekuasaan
MPR pasca amandemen, hal fundamental lain yang berubah setelah terjadi amandemen UUD
1945 ialah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwujudan lembaga negara
baru yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MK dan MK. Keanggotaan DPD merupakan
utusan daerah yang berjumlah empat putra-putri terbaik daerah dari tiap provinsi di Indonesia.
keanggotaan DPD berbeda dengan DPR yang keanggotaannya merupakan representasi dari
partai politik yang dipilih dari berbagai wilayah konstituennya. Ketika di parlemen, anggota DPR
selain menyuarakan suara rakyat, juga menjalankan fungsi sebagai tugas partai. Hal ini sangat
kontras dengan anggota DPD yang dituntut untuk selalu memperjuangkan kepentingan
daerahnya tanpa terikat keputusan partai politik. Dalam sejarahnya, pembentukan DPD
dilatarbelakangi akibat pembangunan ekonomi Indonesia yang kurang merata dan cenderung
jawa-sentris. Maka dari itu, semangat pembentukan DPD merupakan nafas baru bagi perwujudan
kesejahteraan bagi daerah-daerah yang selama ini tidak tergapai oleh pusat untuk mendapatkan
kesejahteraan. Sejatinya DPD lahir sebagai sarana memperjuangkan aspirasi masyarakat di
daerah dalam rangka penentuan kebijakan nasional yang dilakukan oleh pusat.
Ide untuk melahirkan lembaga negara yang memiliki wewenang legislatif sesungguhnya
merupakan perwujudan dari ide kamar kedua (bikameral) yang dianut oleh parlemen Amerika
dengan House of Representative nya. Kamar kedua ini sangat membuka lebar-lebar peran
legislatif untuk melakukan check and balances antar lembaga negara lainnya.7 sistem bikameral
dalam sistem perwakilan di berbagai negara pada umumnya didasarkan pada dua bagian, yakni8:
a. Representatives
Merupakan duta/delegasi yang mewakili wilayah konstituennya berdasarkan jumlah penduduk
yang sebanding dengan luas wilayahnya.
b. Redunancy
Merupakan sistem yang menjamin bahwasannya setiap kebijakan-kebijakan yang lahir harus
dibahas secaar sistematis guna dijadikan pertimbangan yang matang dan mendalam.
Kehadiran DPD harusnya membawa dampak positif untuk menambal kinerja DPR yang
selama ini minim prestasi. Baik DPR maupun DPD seharusnya memiliki kewenangan, fungsi
dan hak yang setara agar berbagai kekurangan yang berdampak langsung terhadap rakyat dapat
7 Loulembah, M. Ichsan. Bikameral BUkan Federal, artikel DPD dan Perwakilan Politik
Daerah Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Hlm. 139.
8 Patterson, Samuel C. & Anthony Mughan. Senates: Bicameralism in the Contemporary
Word, ( Ohio: Ohio State University), 1999, Hlm. 18.
segera teratasi. Selayaknya sistem yang sudah mapan seperti di Amerika, perwujudan DPD
sebagai salah satu kamar dari sistem parlemen Bikameral seharusnya dapat terjadi di Indonesia.
Tetapi, kenyataan yang terjadi di lapangan ialah bahwa DPD tidak mempunyai kekuasaan yang
memadai untuk mewujudkan itu semua. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaankekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya lainnya, serta masalah
perimbangan keuangan pusat dan Daerah.9 Diluar dari yang disebutkan itu semua, semua sepakat
bahwasannya kekuasaan DPD hanya sebatas memberi usulan kepada DPR untuk selanjutnya
dirumuskan oleh DPR sebagai kebijakan dalam bentuk UU. Maka pantaslah jika saat ini
keberadaan DPD menjadi tidak ada tajinya dan cenderung diantara pilihan hidup atau mati.
Dengan kata lain bahwa DPD hanya dapat memberikan masukan dan usulan, sedangkan pada
akhirnya yang memutuskan adalah DPR,sehingga DPD lebih tepat disebut sebagai dewan
pertimbangan DPD, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan bagi DPR.10
Dalam bidang pembentukan Undang-Undang, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
bahwasannya amanah UUD 1945 pasal 22D ayat (1) telah menyebutkan bahwasannya DPD
dapat mengajukan kepada pemerintah pusat dalam hal ini adalah DPR yang berkaitan dengan
otonomi daerah sampai perimbangan keuangan pusat. Sifat pembentukan yang dimiliki DPD
hanya sebatas mengajukan usulan rancangan Undang-Undang keapda DPR, untuk pengesahan
UU nya akan dilanjutkan oleh DPR. Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya DPD tidak
mempunyai hak untuk membuat Undang-Undang secara mandiri. Hal ini juga menyangkut pada
sistem bikameral yang dianut oleh Indonesia. Kehadiran DPD dan DPR dalam pembagian kamar
ini seharusnya dapat mendorong wewenang legislatif menjadi lebih baik dalam hal pembentukan
UU, tetapi pada kenyataan dilapangan tetap saja terjadi kerancuan. Pasal 20 ayat (1) lantas
membenarkan bahwasannya wewenang untuk membentuk UU jatuh kepada DPR, bukan kepada
DPD. Dari hubungan yang terjalin antara DPD dengan DPR dalam hal pembentukan UU, maka
secara teknis dapat didapati mekanisme sebagai berikut:
a. DPD mengajukan/mengusulkan rancangan UU kepada DPR;
b. Setelah DPR menerima berkas tersebut, DPR nantinya dapat menentukan apakah RUU
tersebut dapat diterima atau tidak dapat diterima atau diterima dengan perubahan;
9 Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
10 Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo
Persada), 2001. Hlm. 238
c. Selanjutnya,
DPR
akan
membahas
RUU
tersebut
dengan
Presiden
tanpa
mengikutsertakan DPD dalam pembahasan tersebut.
3. Jelaskan
hubungan
antara
DPR
dan
DPD
dibidang
pengawasan!
Salah satu fungsi legislatif yang memainkan peranan penting dalam mendukung check and
balances di lingkungan lembaga negara adalah fungsi pengawasan. Melalui pengawasan,
monitoring dan evaluasi bagi tiap lembaga negara dalam menjalankan fungsinya dapat terlihat
dan berjalan sesuai yang diamanatkan dalam cita-cita negara Republik Indonesia. Selain
kekuasaan untuk membentuk UU, kedua lembaga legislatif ini juga berperan dalam bidang
pengawasan terhadap lembaga negara lainnya. Sistem bikameral yang menganut dua kamar ini
sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sistem unikameral, yakni diantaranya
adalah:
a.
b.
c.
d.
Sistem keterwakilan yang sangat beragam;
Melakukan musyawarah untuk mufakat terhadap setiap perumusan perundang-undangan;
Menghindarkan diri dari tersahkannya suatu Undang-Undang yang tidak sempurna;
Melakukan sistem pengawasan serta pengendalian yang lebih baik terhadap lembaga
eksekutif;11
Sistem parlemen dengan dua kamar memiliki kelebihan dibandingkan dengan
sistem parlemen satu kamar, Yakni : (1)Secara resmi mewakili beragam pemilih
(misalnya
negara
bagian,
wilayah,
etnik,
atau
golongan);
(2)Memfasilitasi
pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundangundangan;
(3)Mencegah
disahkannya
perundang-undangan
yang
cacat
atau
ceroboh;
(4)Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga
eksekutif.26 kelebihan-kelebihan parlemen bikameral hanya bisa didapatkan jika
parlemen di negara tersebut memang benar-benar memakai strong bicameral,
bukan soft bicameral. Hal ini karena soft bikameral dalam penerapannya akan
kehilangan fungsi saling kontrol diantara kedua kamarnya karena salah satu kamar
dapat diabaikan begitu saja. Hingga tidak ada ubahnya dengan sistem parlemen
11 National Democratic For International Affair (NDI), Seri Penelitian Legislatif, One or Two
Chamber , hlm. 2-3
dengan satu kamar (unikameral) dimana terjadi monopoli proses legislasi dalam
satu kamar.
manademen Kedua UUD 1945 juga memunculkan ketentuan baru yang semakin
memperkokoh posisi DPR. Ketentuan itu dirumuskan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu (1)
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang
diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; dan (4) Ketentuan lebih
lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amandemen menempatkan DPR sebagai
lembaga penentu kataputus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa
agenda kenegaraan yang meliputi: (1) menyatakan perang, membuat perdamaian,
perjanjian dengan negara lain; (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara; (3) menetapkan peraturan pemerintah pengganti
undangundang menjadi undangundang; (4) pengangkatan Hakim Agung; (5)
pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa
agenda kenegaraan juga “pertimbangan” DPR, seperti: (1) pengangkatan Duta; (2)
menerima penempatan duta negara lain; dan (3) pemberian amnesti dan abolisi.
Kekuasaan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisi
beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa
Keuangan, menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan (3)
menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non
state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk
meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian
Negara RI (Kapolr