BAGAIMANA PERAN GUNBOAT DIPLOMACY SAAT I (1)

1

BAGAIMANA PERAN GUNBOAT DIPLOMACY SAAT INI?
Letkol Laut (P) Dickry Rizanny N., MMDS
Speak softly and carry a big stick; You will go far. (Theodore Roosevelt - Diplomacy)
Diplomasi secara sederhana dapat diartikan sebagai manajemen dalam
hubungan internasional. Sehingga diplomasi maritim dapat didefinisikan sebagai
manajemen dalam hubungan internasional melalui domain maritim. Pengertian ini
bukan berarti penggunaan diplomasi untuk mengatur permasalahan maritim melalui
kodifikasi hukum internasional, namun lebih pada penggunaan aset maritim dalam
mengatur hubungan internasional itu sendiri.
Gunboat Diplomacy
Gunboat Diplomacy mulai dikenal sejak abad 19 yaitu pada saat kapal-kapal
perang negara Eropa bermanuver di sepanjang pantai perairan negara-negara kecil
yang akan direbut dengan terus menembakkan meriam ke arah darat, dengan tujuan
untuk mendapatkan pengaruh dalam memenangkan diplomasi dan agar negara
sasaran menyerahkan diri. Pada perkembangannya, prinsip diplomasi ini digunakan
oleh negara-negara adikuasa untuk menguasai negara lain dengan taktik
imperialisme, menggunakan kekuatan militer yang tidak seimbang dan memanfaatkan
kondisi belum adanya hukum internasional yang berlaku terutama mengenai
penjajahan dan intimidasi antar negara. Baru pada awal tahun 2000, ketika kekuatan

di dunia mulai berubah ke arah kekuatan multipolar, negara-negara yang dulunya
merupakan korban dari gunboat diplomacy, misalnya Cina, India dan Korea Selatan,
mulai menggunakan diplomasi yang serupa demi mencapai tujuan negara masingmasing.
Gunboat diplomacy bukanlah suatu aktivitas atau taktik kuno yang telah
ketinggalan jaman. Saat ini, diplomasi ini masih digunakan baik oleh negara yang
sudah maju maupun negara berkembang dalam mendukung tujuan nasional mereka.
Dengan berkembangnya taktik kolonialisme dan berlakunya hukum internasional yang
mengikat, prinsip gunboat diplomacy tetap digunakan dengan mempertahankan
relevansi terhadap tujuannya, yaitu untuk mengejar atau mendapatkan suatu tujuan
atau kepentingan suatu negara dengan cara memaksa negara lain, tanpa
menimbulkan konflik berskala besar dan menggunakan anggaran yang besar.
Secara nyata, gunboat diplomacy tidak pernah ditinggalkan dan tidak pernah
berubah secara prinsip, namun yang berubah adalah karakternya atau strateginya.
Sebagai contoh, pada bulan Desember 2011 sampai Januari 2012, dalam latihan
Velayat 90, AL Iran menunjukkan kemampuan mereka dalam menembakkan SubSurface to Surface Missile (rudal dari kapal selam ke kapal permukaan). Tujuan
latihan ini untuk mengirim pesan kepada negara lain, terutama yang melintas Selat
Hormuz, bahwa apabila merasa terancam, Iran mampu untuk menutup selat tersebut.
Selat Hormuz adalah selat yang sangat penting dan sangat menentukan dalam
diplomasi maritim di kawasan Timur Tengah, terutama AS dan sekutunya. Beberapa
hari kemudian, USS Abraham Lincoln, kapal induk terbesar AL Amerika Serikat,

dengan dikawal kapal-kapal Cruiser dan Destroyer AL Amerika serta frigate AL Inggris
dan AL Perancis, berlayar melintas Selat Hormuz. Pelintasan selat ini memang

2

merupakan rotasi rutin dalam skema operasi kapal induk AL Sekutu di perairan Teluk
Persia. Disampin itu, flotilla kapal tersebut sekaligus memberikan pesan jelas kepada
dunia internasional, bahwa AL sekutu mampu memberikan respons cepat, khususnya
dalam menghadapi kekuatan Iran. Apa yang dilaksanakan AL Iran dan AL Sekutu
merupakan bentuk gunboat diplomacy kontemporer. Tujuan mereka sama yaitu saling
unjuk kekuatan untuk mempengaruhi opini pengambil kebijakan dan perkembangan
lingkungan strategis.
Di kawasan Asia, diplomasi ini juga digunakan. Asia Timur merupakan
kawasan yang sangat krusial dan sering terjadinya tipe diplomasi ini. Contoh yang
paling jelas adalah pada Juli 2010, USS George Washington berpartisipasi dalam
latihan bersama Invicible Spirit di Laut Jepang. Latihan ini dilaksanakan adalah untuk
memberikan jawaban atas kejadian tenggelamnya kapal jenis korvet Cheonan milik
AL Korea Selatan sebelumnya. Latihan bersama Korea Selatan dan Jepang ini
merupakan respons untuk menunjukkan kemampuan dan kekuatan sekaligus
menunjukkan niat US dalam membantu Korea Selatan terhadap potensi ancaman dari

Korea Utara.
Sehingga jelas adanya bahwa gunboat diplomacy tidak pernah hilang dalam
operasi angkatan laut di seluruh dunia. Penerapannya yang berbeda dipengaruhi
adanya kemajuan teknologi militer, misalnya drone, rudal dan satelit. Di peperangan
era modern, penggunaan kapal frigate, destroyer, rudal jarak jauh, membuat
pengertian gunboat diplomacy terlihat ketinggalan jaman dan kuno. Namun secara
prinsip, cara berdiplomasi ini sudah sangat matang dan sudah seharusnya di update
kemudian di definisikan ulang sebagai Maritime Diplomacy. Terlebih dengan
perkembangan dimensi peperangan maritim dan peran angkatan laut yang berlainan,
diplomasi menjadi salah satu bagian dari peran sejumlah operasi angkatan laut, yaitu
penyebutan gunboat diplomacy menjadi coercive maritime diplomacy. Perkembangan
karakter diplomasi juga membentuk dua jenis diplomasi maritim lainnya yang
berkembang saat ini, yaitu co-operative maritime diplomacy dan persuasive maritime
diplomacy.

Co-operative Maritime Diplomacy
Co-operative maritime diplomacy atau diplomasi maritim kerja sama
dilaksanakan dengan berbagai cara, misalnya Port calls (kunjungan), Joint Exercises
and Trainings (latihan dan pelatihan gabungan) dan melalui Persuasive maritime
diplomacy (diplomasi maritim pendekatan) dimana diplomasi ini dilaksanakan melalui

memanfaatkan peran kehadiran angkatan laut di suatu kawasan. Persamaan kedua
diplomasi ini adalah lebih cenderung menggunakan cara pendekatan yang lunak,
tanpa menunjukkan dan menggunakan hard power.
Sebagai contoh, pada tahun 2010, AL Cina mengirimkan Peace Ark, kapal
rumah sakit tipe 920, ke Jibouti, Kenya dan Tanzania dalam rangka memberikan
bantuan logistik dan perawatan medis. Peace Ark datang dan disambut dengan
senyuman dan welcome dari penduduk Afrika. Pengiriman kapal ini memang terlihat
seperti kerja sama yang menguntungkan, yaitu memberikan bantuan dan pinjaman
sumber daya dalam membantu kemiskinan di Afrika. Namun, yang patut
dipertanyakan adalah, mengapa AL Cina bersikeras membangun Peace Ark yang

3

berbobot 10.000 ton yang hanya berfungsi sebagai kapal rumah sakit dan
mengirimkan ke Afrika dengan anggaran yang sangat besar? Tentunya ada maksud
dan tujuan di balik aksi tersebut.
Misi tersebut memiliki keuntungan diplomasi dan efek yang sangat kuat
terhadap kehidupan bernegara. Peace Ark mengirim pesan perdamaian, membangun
kepercayaan terhadap negara yang dibantu, memperkuat hubungan diplomatik dan
mendorong persepsi bahwa Cina adalah negara yang ramah. Persepsi keramahan

inilah yang merupakan tujuan pokok Cina, apalagi jika dikaitkan dengan pertanyaan
ada apa dibalik pembangunan kekuatan angkatan bersenjata Cina, terutama
angkatan lautnya yang sangat pesat. Cina hanya ingin memberikan persepsi bahwa
Cina adalah negara yang ramah dan cinta damai. Cina berusaha menghilangkan
persepsi bahwa pembangunan kekuatan militer yang pesat dari AL Cina, bukanlah
untuk tujuan yang berperang atau keinginan untuk mencaplok negara lain.
Selain Peace Ark, AL Cina juga menggunakan kapal latih Zheng He dalam
melaksanakan diplomasi, yaitu dengan melaksanakan pelayaran keliling dunia dan
berkunjung ke pangkalan-pangkalan negara lain, baik negara besar maupun negara
kecil. Pada tahun 1989 adalah merupakan pertama kalinya kapal AL Cina berkunjung
ke pangkalan Amerika Serikat di Hawaii.
Kunjungan ini bertujuan bukan saja untuk
menunjukkan
misi
diplomasi
dan
membangun pengaruh terhadap sekutu,
namun juga memastikan potensi rival dan
musuh, dalam hal ini Amerika itu sendiri.
Indonesia juga melakukan hal yang sama

dengan mengirimkan KRI Dewaruci
melaksanakan pelayaran keliling dunia dan
singgah di negara lain dengan misi sama
dengan Zheng He, yaitu berdiplomasi melalui kerja sama.
Dengan mempelajari apa yang dilakukan Peace Ark dan Zheng He, dengan
dua jenis operasi yang berbeda, Zheng He adalah kapal latih yang mempunyai misi
goodwill ke negara-negara maju dan berkembang, Peace Ark adalah kapal rumah
sakit yang memberikan bantuan kemanusiaan di beberapa negara miskin di dunia,
dapat disimpulkan bahwa bentuk kedua diplomasi tersebut merupakan bagian dari
diplomasi maritim yang mengutamakan kerja sama. Dua diplomasi modern di atas
adalah contoh yang sangat sempurna untuk menerangkan tentang konsep diplomasi
maritim saat ini secara luas, yang merupakan contoh pelaksanaan diplomasi maritim
kerja sama (co-operative Maritime Diplomacy).
Di dalam cooperative maritime diplomacy sendiri dapat melibatkan bermacammacam aktor maritim, misi dan agen-agen maritim yang berlainan dalam suatu operasi
yang mirip dan kohesif. Yang patut dijadikan patokan bahwa, pertama, kata
cooperative/ kerja sama adalah penting. Sebagai contoh adalah diplomasi yang
dikemas dalam operasi bantuan kemanusiaan dan bencana alam. Kerja sama lebih
dikedepankan baik antara sekutu maupun musuh dalam membantu korban bencana
dan melaksanakan operasi bersama dengan koordinasi antar aktor maritim.
Kedua, cooperative maritime diplomacy dilaksanakan antar negara yang

mempunyai tujuan politis yang sama, yaitu untuk mencari pengaruh, koalisi/ aliansi

4

dan kepercayaan. Diplomasi ini tidak bertujuan untuk menggertak, menghalangi,
memaksa, atau membujuk dengan kekuatan. Diplomasi ini lebih mengutamakan
metode untuk menarik perhatian, kooptasi dan usaha untuk menginspirasi negara lain.
Operasi Militer Selain Perang dan Soft Power
Perkembangan teknologi pada kapal perang dan bertambahnya peran yang diemban
kapal perang, seperti helikopter organik, persenjataan, sekoci tempur, memberikan
pilihan bahwa operasi kapal perang tidak hanya untuk berperang, tapi juga dapat
digunakan untuk mendaratkan pasukan di daratan yang minim infrastruktur dan
memberikan bantuan ke area yang sulit di akses. Sehingga, angkatan laut saat ini
mampu mengemban bahwa peran dan fungsi selain perang adalah lebih penting dan
lebih diperlukan dunia daripada perang itu sendiri, misalnya bantuan kemanusiaan,
bencana alam. Penggunaan kapal perang untuk operasi militer selain perang telah
ditunjukkan negara-negara adikuasa sekaligus sebagai sarana diplomasi demi
kepentingan negara masing-masing. Jika dulu, apabila kapal induk Amerika lengkap
dengan gugus tempurnya hadir di suatu perairan, terutama di wilayah negara-negara
yang mayoritas muslim, maka muncul kecurigaan akan terjadinya penggunaan

kekuatan laut untuk kepentingan Amerika. Namun saat ini persepsi tersebut berubah.
Sebagai contoh, pada saat bencana alam tsunami, 24 buah kapal perang US hadir di
pesisir pantai Aceh dalam melaksanakan misi kemanusiaan, sehingga
mengesampingkan persepsi dan kecurigaan tersebut.
Saat ini, bentuk bantuan kemanusiaan dan
bencana alam ini lebih memiliki efek diplomatis yang
dapat mempengaruhi dalam kehidupan antar negara.
Penggunaan angkatan laut dalam niat baik juga dapat
memberikan penekanan bahwa militer juga dapat
digunakan dalam operasi militer selain perang. Buktinya
adalah pada tahun 2010, di depan Parlemen Australia,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan
kebanggaan dalam melihat pasukan Australia dan TNI
bekerja bersama dalam menyelamatkan nyawa dan
meringankan penderitaan korban bencana alam
tsunami.1 Ini menunjukkan fakta bahwa setelah 5 tahun
sebelumnya Australia memimpin intervensi internasional terhadap Timor Timur,
tentara Australia masih di terima oleh Indonesia. Dapat kita lihat bagaimana kekuatan
dan kemampuan good will dalam membantu korban bencana alam dan kemanusiaan
mampu memberikan efek yang positif dalam diplomasi antara negara dengan

memenangkan hati dan pikiran rakyat Indonesia.
Diplomasi yang bertujuan untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat atau
negara yang dituju oleh Joseph Nye disebut sebagai Teori Soft Power. Dalam
bukunya, Nye menjelaskan bahwa “Soft Power is getting others to want the outcome
that we want and rests on ability to shape the preferences of others.” (Soft Power
adalah aksi mempengaruhi orang lain untuk ikut menginginkan apa yang kita inginkan
dan sangat bergantung pada kemampuan untuk membentuk pemikiran orang lain
1

Sambutan Presiden RI, Dr. Susilo Bambang Yudhoyono DI Parlemen Australia tanggal 10 Maret 2010. Tersedia
di www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2010/03/1353.html (diakses 4 November 2016)

5

tersebut).2 Pembentukan pemikiran tersebut tidak didapatkan melalui paksaan
(coercion), namun dengan menunjukkan personalitas yang menarik, budaya, nilai
politik dan institusi, jalan hidup atau kebijakan yang lebih bermoral dan resmi. Dengan
melihat contoh-contoh diatas, sangat jelas bahwa pengaruh bantuan Peace Ark dan
Zheng He terhadap kemanusiaan dan bencana alam lebih memberikan efek
diplomatis yang lebih besar daripada “Invasi Sekutu ke Iraq pada tahun 2003.”

Sehingga dapat disimpulkan, co-operative maritime diplomacy dapat
merupakan sebuah aksi dalam mendukung soft power melalui penggunaan aset hard
power. Atau dengan kata lain disebut sebagai “soft maritime diplomacy”, dimana tipe
ini sangat bertolak belakang dengan “hard maritime diplomacy” yang merupakan
aplikasi dari gunboat diplomacy yang cenderung menggunakan persenjataan demi
memaksakan kehendak.
Dalam kenyataannya, co-operative maritime diplomacy ini terbukti sering
memberikan hasil nyata dalam mempengaruhi pemikiran negara lain dan dalam
memperkuat aliansi. Latihan bersama dengan angkatan laut negara lain akan lebih
efektif dalam membentuk kapasitas, serta dapat membangun hubungan pertemanan
yang membuat angkatan laut lebih kompatibel dalam melaksanakan operasi bersama.
Latihan gabungan dan operasi pengamanan maritim bersama dapat membentuk
suatu koalisi, membangun confidence building measures (CBM), dan tercapai
harmonisasi di antara negara-negara yang berbeda.
Seorang Admiral dari AL
Kanada, Rear Admiral Bob Davidson
memberikan
pandangannya
mengenai Modern Naval Diplomacy,
bahwa diplomasi maritim dapat dilihat

adalah suatu operasi angkatan laut
yang bertujuan untuk mencari
pengaruh (maritime influence). Dia
menggambarkan
“kapal
perang
adalah duta besar mini, mewakili
negara dan kepentingannya serta
pengaruhnya di setiap pelabuhan yang disinggahi.”3 Dalam artikelnya bahwa “the
modern naval deployment has potential far beyond the limited concept of gunboat
diplomacy. Maritime influence operations ... can be conceived and implemented with
a view to enhancing Canada’s reputation in a broad spectrum of areas that cross the
boundaries of many government departments.”(penggunaan kekuatan angkatan laut
yang modern mempunyai potensi yang lebih daripada konsep gunboat diplomacy.
Operasi maritim yang bertujuan untuk mencari pengaruh ....dapat dipahami dan
diimplementasikan untuk meningkatkan reputasi Kanada di spektrum yang luas
dimana dapat melebihi batas-batas peran departemen pemerintah yang lain).
Dapat disimpulkan bahwa, penggunaan kekuatan angkatan laut untuk
keperluan diplomasi tidak hanya untuk kepentingan perang, namun dapat berpotensi
mendapatkan hal-hal lain atau tujuan diplomasi suatu negara yang seharusnya
Joseph S. Nye, Jr. Soft Power – The Means to success in World politis. Public Affairs, New York, 2004.
Read Admiral Bob Davidson, Canadian Navy. Modern Naval Diplomacy – A Practitioner’s View di JOurnal of
Military and Strategic Studies, Fall and Winter 2008/9, Volume 11, Issues 1 and 2.

2

3

6

dilaksanakan oleh departemen pemerintahan atau lembaga lainnya. Kesimpulan ini
sesuai dengan apa yang dituliskan Geoffrey Till dalam bukunya Sea Power, yaitu
angkatan laut memiliki rentang kemampuan yang luas sehingga mengharuskan
mereka untuk melaksanakan peran-peran yang biasanya sulit dikerjakan oleh
angkatan militer lain.4
Persuasive Maritime Diplomacy
Adapun Persuasive Maritime Diplomacy terletak di antara Cooperative dan
Coercive Maritime Diplomacy. Dibanding cooperative, persuasive lebih memiliki
sedikit keterlibatan dalam efek politis atau dengan kata lain pengaruh yang diberikan
tidak secara langsung kepada negara yang dimaksud. Kemudian, dengan coercion,
diplomasi ini bertujuan untuk tidak menakuti atau memaksa pihak lain dengan
kekerasan. Persuasive maritime diplomacy ini adalah lebih untuk meningkatkan
pengakuan sebagai sebuah kekuatan maritim atau kekuatan nasional, serta
membangun dan meningkatkan gengsi atau nilai tawar di tingkat internasional.
Diplomasi ini bukan untuk mempengaruhi suatu negara tertentu dan juga bukan untuk
mengancam untuk menyerang negara yang merupakan potensi menjadi musuh.
Namun, diplomasi ini untuk membujuk orang lain atau menimbulkan pengakuan
negara lain bahwa angkatan laut negara tersebut ada dan efektif.
Diplomasi maritim persuasif ini juga bisa disebut dengan diplomasi “showing
the flag” yaitu diplomasi yang menggunakan kapal perang dengan menunjukkan
kehadiran dan kekuatan suatu negara tanpa perlu mencari atau mempengaruhi
kebijakan negara lain. Contoh yang sangat jelas adalah pada saat Presiden US,
Theodore Roosevelt, memerintahkan dua skuadron battleships dan kapal perang
pengawal mereka untuk di cat putih dan melaksanakan pelayaran keliling dunia mulai
Desember 1907 sampai dengan Februari 1909. Operasi ini disebut Great White Fleet
yang bertujuan utama bahwa pemerintah US ingin menunjukkan rasa cinta damai dan
Amerika mampu menjangkau seluruh dunia.
Sebetulnya, pelayaran Great White Fleet juga merupakan co-operative
maritime diplomacy sebagai kombinasi, dengan tujuan tambahan yaitu untuk
memperkuat persekutuan/ aliansi dan membangun pengaruh US di dunia. Pelayaran
ini merupakan keinginan untuk menunjukkan bahwa Amerika adalah salah satu
negara terkuat di dunia, terutama setelah memenangkan pertempuran dalam
Spanish-American War tahun 1898 dan berhasil merebut Guam, Filipina dan Porto
Rico. Roosevelt hanya ingin menunjukkan bahwa Amerika adalah kekuatan global
baru. Roosevelt memberikan misi bukan untuk melaksanakan invasi atau
menanggulangi agresi yang terjadi atau keinginan untuk berkonfrontasi dengan
negara lain, namun dengan semboyan “Speak softly and carry a big stick” dalam
diplomasinya.
Namun, diplomasi ini jarang dilaksanakan oleh negara-negara maritim dengan
alasan misi yang cenderung tidak jelas dan memerlukan anggaran yang besar. Sangat
sulit menentukan keseimbangan antara anggaran dalam menggerakkan gugus tugas
dengan pencapaian tujuan yang diinginkan. Sehingga, persuasive maritime diplomacy
sering dilaksanakan kombinasi dengan diplomasi lain, karena efek diplomatis yang
timbul sulit diukur keberhasilannya.
4

Geoffrey Till, Sea Power, A Guide for the Twenty-First Century, Second Edition, Routledge, 2004.

7

Dapat disimpulkan bahwa diplomasi persuasif ini mempunyai kegunaan untuk
menanamkan keyakinan akan kehadiran kekuatan maritim terhadap negara lain,
tanpa berusaha untuk mempengaruhi kebijakan politis suatu negara. Kesulitan dalam
menyeimbangkan penggunaan anggaran operasi diplomasi ini dengan tujuan akhir
yang diharapkan menyebabkan jenis diplomasi ini jarang digunakan di banding dua
cara diplomasi maritim lainnya.
Coercive Maritime Diplomacy (Contemporary Gunboat Diplomacy)
Bentuk terakhir dari diplomasi maritim adalah coercive maritime diplomacy.
Diplomasi ini merupakan bentuk kontemporer gunboat diplomacy yaitu mengejar
tujuan melalui diplomasi dengan menggunakan kekuatan angkatan laut. Namun
seiring dengan berkembangnya teknologi dan peralatan tempur angkatan laut, definisi
dari gunboat diplomacy menjadi tidak jelas, karena penggunaan alut sista yang
berbeda. Namun secara prinsip, diplomasi jenis ini tetap dilaksanakan walaupun
karakternya yang berbeda.
Kejadian yang dapat menjelaskan definisi coercive maritime diplomacy adalah
diplomasi Amerika, Inggris, Rusia, dan Prancis dalam membuka jalur perdagangan ke
Jepang. Pada tahun 1853, gugus tempur kapal US terdiri dari empat kapal perang,
dipimpin oleh Komodor Matthew C. Perry, berlayar menuju Edo (sekarang Tokyo)
mempunyai tujuan tidak hanya untuk menunjukkan kebangkitan kekuatan Imperial
Amerika, namun juga untuk membuka sistem perdagangan global. Diplomasi ini
berhasil memaksa Jepang memberikan dua pelabuhan besarnya, Shimoda dan
Hakodate melalui Konvensi Kanagawa sebagai pelabuhan perdagangan dengan
Amerika. Keberhasilan Amerika ini kemudian diikuti oleh negara lain dengan
mengirimkan kekuatan angkatan lautnya ke Jepang yaitu Inggris pada tahun 1854,
Rusia pada tahun 1855, dan Prancis pada tahun 1858, yang juga berhasil
mendapatkan akses perdagangan global dan internasional dengan Jepang sebagai
pelabuhan utama.
Keefektifan diplomasi ini kemudian diadopsi oleh Jepang pada tahun 1876,
dengan menggunakan pengiriman gunboat Unyo ke Pulau Ganghwa, Korea, dan
menyerang dua pelabuhan Korea. Serangan ini menghasilkan diberlakukannya Treaty
of Ganghwa, dimana Korea memberikan Busan, Inchon dan Wusan kepada Jepang
untuk digunakan warga negara Jepang untuk tinggal dan berdagang. Contoh yang
bisa dilihat saat ini adalah pada Januari 1968, Korea Utara melaksanakan gunboat
diplomacy terhadap US dengan menangkap USS Pueblo, kapal pengumpul intelijen
maritim. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kekuatan Korut sebenarnya melalui
propaganda tersebut dan untuk menangkal misi operasi intelijen Amerika.
Berbagai contoh di atas menunjukkan berbagai macam taktik dan tujuan
dengan keberhasilan yang berbeda-beda. Sehingga sangat sulit dalam
mendefinisikan gunboat diplomacy secara jelas. Seorang ahli teori diplomasi bernama
James Cable menjelaskan bahwa “gunboat diplomacy is the use or threat of limited
naval force, otherwise as an act of war, in order to secure advantage or to avert los,
either in the furtherance of an international dispute or else against foreign nationals
within the territory or the jurisdiction of their own state.”5 (Gunboat Diplomacy adalah
5

James Cable, Gunboat Diplomacy 1919-1979, Political Applications of Limited Naval Force. Palgrave
Macmillan, 1981.

8

penggunaan ancaman dengan menggunakan kekuatan angkatan laut, dalam aksi
peperangan, untuk mengamankan keuntungan atau mencegah kekalahan, di dalam
situasi perselisihan internasional atau dalam situasi bermusuhan dengan negara lain
di dalam wilayah atau kedaulatan wilayah mereka sendiri).
Pertama, definisi Cable ini menunjukkan bahwa gunboat diplomacy hanya bisa
dilakukan oleh suatu negara yang memiliki angkatan laut. Namun dengan
berkembangnya taktik dan strategi peperangan, misalkan dengan berkembangnya
aktor bukan negara, seperti teroris, definisi ini menjadi tidak jelas. Munculnya
kelompok teroris seperti Al Shabab di Somalia dan kelompok Abu Sayyaf di Filiphina,
yang menggunakan kapal dalam aksi mereka, menunjukkan bahwa gunboat
diplomacy bisa dilaksanakan bukan oleh angkatan laut suatu negara saja.
Kedua, Cable menyebutkan “naval force”, bukan “naval power”, sehingga
diartikan penggunaan kekuatan angkatan laut secara terbatas. Definisi naval power
adalah kemampuan untuk mengendalikan lingkungan maritim, sedangkan naval force
berarti penggunaan kemampuan tersebut untuk mempengaruhi suatu kebijakan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diplomasi ini adalah operasi di luar peperangan,
berbeda dengan aksi yang dilakukan selama perang adalah operasi militer untuk
mencapai tujuan militer atau tujuan politik. Sebagai contoh, tenggelamnya Belgrano
pada tahun 1982 bukan termasuk dalam diplomasi. Walaupun tenggelamnya
Belgrano dapat memberikan pesan politik, namun intensi HMS Conqueror menembak
torpedonya adalah aksi dengan tujuan militer yaitu mencegah Belgrano dan kapal
pengawalnya masuk ZEE Falklands (Malvinas) yang berpotensi mengancam
kekuatan tugas Inggris. Sehingga jelas bahwa tujuan gunboat diplomacy tidak sama
dengan tujuan militer saat perang, namun cenderung ke tujuan diplomatik saat damai.
Perang akan di mulai saat diplomasi gagal. Gunboat diplomacy adalah sebuah usaha
atau aksi penggunaan kekuatan angkatan laut untuk mengatur hubungan
internasional tanpa mendeklarasikan perang.
Cable juga mendefinisikan gunboat diplomacy harus memenuhi salah satu atau
dua syarat adanya diplomasi ini, yaitu kemampuan dan niat. Siapa pun aktor yang
menunjukkan kemauan atau niat menggunakan kekuatan angkatan laut untuk
kepentingan diplomasi adalah gunboat diplomacy. Contoh negara yang
melaksanakan diplomasi hanya dengan hanya menunjukkan kemampuan adalah
Cina. Tahun 2009, Cina menyelenggarakan parade angkatan laut yang ke-60,
melibatkan 52 kapal perang, termasuk memperkenalkan kapal selam nuklir pertama
Cina tipe 092. Tanpa menunjukkan ancaman namun pesan dan indikasi bisa
disampaikan kepada Jepang dan Amerika bahwa angkatan laut Cina tidak dapat
disepelekan. Di lain pihak, latihan Verayat 90 oleh AL Iran adalah contoh diplomasi
yang menggunakan kemampuan dan niat mengancam, dengan menunjukkan
kemampuan asimetris yang dimiliki.
Kesimpulan
Jenis diplomasi maritim dapat didefinisikan dengan melihat contoh sejarah
diplomasi angkatan laut. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa diplomasi
maritim dilaksanakan saat pada masa damai. Mungkin batas antara diplomasi,
terutama yang menggunakan kekuatan, dengan aksi peperangan menjadi tidak jelas.
Namun, keduanya dapat mempunyai efek politis. Seluruh kekuatan maritim, baik itu

9

angkatan laut, coastguard atau instansi maritim lainnya, merupakan agen suatu
negara dalam berdiplomasi, sehingga peran diplomasi selalu melekat.
Sehingga, jelas bahwa diplomasi maritim adalah sebuah kegiatan diplomasi
dengan menggunakan atau memanfaatkan kekuatan maritim untuk mencapai tujuan
tertentu, yang bukan tujuan militer saat perang. Diplomasi maritim bukanlah suatu
kegiatan yang berdiri sendiri, namun sebuah spektrum kegiatan mulai dari jenis
diplomasi kerja sama (cooperative maritime diplomacy) sampai dengan jenis
pemaksaan (coercive maritime diplomacy/gunboat diplomacy). Diplomasi maritim
tentunya merupakan kepanjangan dari politik dengan cara lain dimana aksi ini dapat
mencegah terjadinya perang berskala besar. Selain itu, diplomasi maritim merupakan
kegiatan yang mampu mengisi antara perang militer dengan diplomasi sipil, dengan
memberikan pilihan cara kepada pembuat kebijakan untuk dapat mencegah eskalasi
yang meningkat dan mencegah terjadinya peperangan yang berkepanjangan. Yang
perlu disimpulkan bahwa, apapun jenis diplomasi maritim, baik cooperative,
persuasive dan coercive, mempunyai kesamaan yang mendasar yaitu menunjukkan
kepada kawan maupun lawan melalu kemampuan dan niat. Setiap kegiatan diplomasi
selalu melibatkan niat yang jelas walaupun tersembunyi, kemampuan atau kehadiran
yang signifikan, dengan segala konsekuensi yang tidak diinginkan yang mungkin
timbul dalam diplomasi.