Pengenaan Pph Final Dan Bphtb Terhadap Permohonan Hak Baru Atas Tanah Dan Atau Bangunan Yang Belum Bersertipikat Yang Dialihkan Setelah Bersertipikat Di Kota Binjai

1

BAB I
PENDAHULULUAN

A. Latar Belakang
Tercapainya masyarakat Indonesia adil, makmur dan sejahtera adalah
merupakan cita-cita bangsa. Tercapainya tujuan pembangunan bangsa ini tidak
terlepas dari sumber dana yang membiayai setiap program pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan. Diyakini hingga sekarang bahwa sumber dana
negara yang terbesar bersumber dari sektor perpajakkan, bahkan dapat dikatakan
bahwa tanpa pajak negara bisa lumpuh / negara tidak bisa beraktivitas. Sehingga
pemungutan pajak berfungsi essensial, terpenting dan harus dilaksanakan oleh negara.
Pajak adalah sebagai sumber utama penerimaan Negara,1 Negara memerlukan
uang rakyat yaitu pajak rakyat.

2

setiap tahun pajak merupakan sumber penghasilan

yang besar bagi pemerintah.3

Pasal 23A Amandemen ke 4 UUD 1945 adalah merupakan dasar hukum bagi
negara dalam hal pemungutan pajak yang menerangkan bahwa pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang,
bertujuan agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya, adanya jaminan
kejujuran, dan integritas dari petugas, serta jaminan bahwa pungutan tersebut akan
dikembalikan lagi ke masyarakat.

1

Tjip Ismail, Pengaturan Pajak daerah di Indonesia,Jakarta,Yellow Printing, 2007, hal.1
Boediono, Perpajakan Indonesia (Teori Perpajakan Kebijakan Perpajakan Pajak Luar
Negeri), Jakarta, Diadit Media, 2001, hal.51.
3
Amin Wijaya Tungggal, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan, Jakarta, Rieneka
Cipta, 1995, hal.1
2

1

2


Dalam meningkatkan penerimaan pajak tersebut, pemerintah telah melakukan
pembaharuan perpajakan (tax reform) sejak 1 Januari 1984. dengan pembaharuan ini
akan disederhanakan yang mencakup penyederhanaan jenis pajak. Dengan demikian
dapat diharapkan beban pajak akan semakin adil dan wajib, sehingga di satu pihak
mendorong WP (Wajib Pajak)

melaksanakan dengan sadar akan kewajibannya

membayar pajak, dan di lain pihak menutup peluang bagi mereka yang menghindari
pajak.
Secara garis besarnya pajak di Indonesia di bagi 2 (dua) yakni;4
1. Pajak Negara / Pusat, yaitu pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat,
penyelenggaraannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, digunakan
untuk pembiayaan rumah tangga negara umumnya.
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh daerah provinsi, daerah
kaupaten/kota, guna pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing.
Direktorat Jenderal Pajak adalah lembaga yang di tunjuk oleh UndangUndang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan penegakkan hukum
terhadap masyarakat Wajib Pajak dan penyelengara pemungutan pajak negara / pusat.
Dalam hal penyelenggaraan pajak di daerah, pemungutan kepada masyarakat

berupa pajak daerah dan retribusi daerah, pelayanan, pengawasan dan penegakkan
hukum kepada Wajib Pajak diatur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (disingkat PDRD) dilakukan oleh

4

Ida Zuraida, Penagihan Pajak, Pajak Pusat dan Pajak Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor,
2011, hal. 9.

3

Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang PDRD
diundangkan pada tanggal 15 September 2009 dimuat dalam LNRI Nomor 130, dan
berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2010.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) menyebutkan bahwa BPHTB (Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan) telah menjadi Pajak Daerah
Kabupaten/Kota. Karena itu, lebih lanjut Pemerintah Daerah Kota Binjai
mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011, Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/Atau


Bangunan (disingkat BPHTB),

diundangkan pada tanggal 20 Januari 2011, dimuat dalam Lembaran Daerah Kota
Binjai Tahun 2011 Nomor 2. Perda ini efektif berlaku sejak bulan Januari 2011.
Pajak-pajak yang diterima dari pengenaan pajak BPHTB ini seluruhnya masuk dalam
kas daerah atau dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah Daerah sesuai ketentuan.
Pada Pasal 85 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, dan Pasal 2
ayat (3) Perda Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB, menyatakan
bahwa yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan,
meliputi :5
a. Permindahan hak karena :
1. Jual-beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah;
4. Hibah wasiat;
5

Pasal 2 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB


4

5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum;
7. Pemisahan hak yang menyebabkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. Penggabungan usaha;
11. Peleburan usaha;
12. Pemekaran usaha;
13. Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
1. Kelanjutan pelepasan hak;
2. Diluar pelepasan hak
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa objek BPHTB adalah Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangun (disingkat BPHTB), yang artinya seseorang ataupun
badan memperoleh suatu hak atas tanah karena seseorang ataupun badan
menyerahkan ataupun memindahkan hak kepadanya sebagai yang menerima hak
tersebut. Ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak yang menerima. Hal ini dapat

dijumpai dalam peristiwa/perbuatan hukum transaksi (jual-beli) tanah yang pada
prakteknya dilaksanakan dihadapan Notaris/PPAT. Pihak yang menyerahkan haknya
(disebut penjual) dan pihak yang menerima hak tersebut (disebut pembeli), dan pihak
pembeli ini-lah yang dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
dan bagi pihak penjual dikenakan pajak penghasilan final atas pengalihan hak atas
tanah dan bangunan (disebut PPh Final PHTB). Para pihak disebut juga sebagai
Wajib Pajak (WP).
Sebagaimana diketahui bahwa pada setiap peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dikenakan BPHTB bagi pihak yang memperoleh/menerima hak atas tanah
dan/atau

bangunan,

dan

PPh

F

PHTB


dikenakan

kepada

pihak

yang

5

menyerahkan/memindahkan haknya atas tanah dan/atau bangunan. Karena pihak
yang menyerahkan atau melepaskan haknya atas tanah dan/atau bangunan miliknya
dianggap mendapatkan suatu hasil/imbalan ataupun keuntungan secara ekonomis.
PPh F PHTB dan BPHTB ini seolah tidak dapat dipisahkan dari setiap
peristiwa/perbuatan hukum khususnya pada Peralihan/pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan karena demikian diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengenaan PPh F PHTB diatur berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008

Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dari Peralihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan,
sebagaimana

serta
telah

Keputusan
diubah

Menteri
dengan

Keuangan
Peraturan

Nomor
Menteri


635/KMK.04/1994
Keuangan

Nomor

243/PMK.03/2008.
Bila dilihat dari objek PPh secara umum, maka setiap pendapatan/penghasilan
dikenai PPh. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (disebut UUPPh), menyatakan bahwa :
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.6

6

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh

6


Penghasilan yang dikenai pajak bersifat Final (disingkat PPh F) adalah
pengasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (disingkat PHTB),
sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) huruf d :
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau
bangunan.
Dari uraian peraturan perundang-undangan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari satu pihak ke pihak
lain dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB. Misalnya saja pengalihan yang disebakan
karena jual-beli lazim dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB. Dari transaksi jual-beli
umumnya pihak penjual di bebankan PPh F PHTB sedangkan kepada pembeli
dikenakan BPHTB.
Di Kota Binjai, terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan
yang belum bersertipikat (pendaftaran tanah untuk pertama kali), untuk memohon
sertipikat pada Kantor Pertanahan Kota Binjai dikenai PPh F PHTB dan BPHTB. Bila
tanah dan/atau bangunan yang dimohon/didaftarkan tersebut dapat diberi sertipikat,
maka kepada pemohon (pemilik tanah) diwajibkan membayar terlebih dahulu PPh F
PHTB dan BPHTB. Pembayaran PPh F PHTB dan BPHTB ini merupakan salah satu
syarat sebelum diterbitkannya sertipikat atas nama pemohon hak baru pada Kantor

Pertanahan Kota Binjai.
Selanjutnya, bila tanah dan/atau bangunan yang baru dimohon/didaftar
tersebut telah memperoleh sertipikat, kemudian tanah tersebut di jual atau di alihkan
kepada pihak lain, maka tanah tersebut di kenai lagi PPh F PHTB dan BPHTB.

7

Dalam hukum jual-beli, PHTB (Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan) pihak
yang mengalihkan (penjual) wajib dikenakan PPh F PHTB dan pihak yang menerima
pengalihan tersebut (pembeli) wajib dikenakan BPHTB.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilik tanah dan/atau
bangunan yang belum bersertipikat bila melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, dengan memakai syarat akan dialihkan setelah tanah dan/atau
bangunan tersebut bersertipikat, maka pemilik tanah dan/atau bangunan tersebut akan
membayar PPh F PHTB sebanyak dua kali yakni pada saat permohonan sertipikat,
dan pada saat melakukan pengalihan (jual-beli), dan membayar BPHTB sekali yakni
pada saat permohonan sertipikat. Beban pajak tersebut belum termasuk biaya
pengenaan tarif PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan biaya biaya lainnya,
sehingga bila diakumulasi beban pajak yang ditanggung pemilik tanah tersebut jelas
sangat memberatkan. Secara garis besar peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dilakukan dengan jual beli.7
Contoh :
Harjono memiliki sebidang tanah seluas kurang lebih 600 m2. yang terletak di
Keluran Sumber Karya, Kecamtan Binjai Timur Kota Binjai, sesuai AKTA CAMAT
(Surat Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi) Nomor : 593.85/121/BT/1995 dengan
Surat Keterangan Nomor : 593.21 – 1585 yang dikelurkan Lurah Sumber Karya dan
diketahui oleh Camat Binjai Timur. Harjono telah semufakat dengan Sartono

7

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hal.1.

8

(pembeli) untuk melaksanakan jul-beli dengan syarat tanah tersebut harus di
sertipikatkan terlebih dahulu oleh Hartono, kemudian baru dilaksakan peralihan (jualbeli) dihadapan Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Pada saat pengajuan permohonan sertipikat atas tanah tersebut pada Kantor
Pertanahan Kota Binjai, oleh Kepala Kantor Pertanahan mewajibkan Harjono
membayar terlebih dahulu PPh F PHTB dan BPHTB, sebagai syarat akhir sebelum
sertipikat tanah tersebut diterbitkan. Kemudian setelah memperoleh sertipikat,
Harjono dan Sartono melakukan pengalihan (jual-beli) yang dilaksanakan dihadapan
pejabat yang berwenang yakni Notaris/PPAT Kota Binjai. Sebelum akta peralihan
hak (Akta Jual Beli) ditanda tangani oleh Pejabat tersebut, kepada kedua belah pihak
diwajibkan terlebih dahulu membayar PPh F PHTB dan BPHTB. PPh F PHTB
dibayar oleh harjono dan BPHTB dibayar oleh Sartono. Setelah bukti pembayaran di
serahkan kepada Notari/PPAT, baru-lah akta peralihan dibuat. Selanjutnya salinan
akta peralihan hak ini bersama bukti pembayaran PPh F PHTB dan BPHTB
dilampirkan dalam berkas permohonan hak baru (pendaftaran peralihan hak) pada
Kantor Peranahan Kota Binjai, dan Sertipikat tanah tersebut di BN (balik nama) atas
nama Sartono sebagai pembeli (pemegang hak baru).
Melihat kenyataan tersebut di atas, terhadap permohonan hak baru
(pendaftaran tanah untuk pertama kali) dikenakan PPh F PHTB dan BPHTB, dan
setelah memperoleh sertipikat dilakukan pengalihan hak (jual-beli) juga dikenakan
PPh F PHTB dan BPHTB. Sehingga pengenaan PPh F PHTB bermakna ganda
(double tax), subjek pajak yang sama yakni pemilik tanah dikenai PPh F PHTB

9

sebanyak dua kali. “logika-nya, karena tidak mungkin pemilik tanah menjual
tanahnya dua kali atau lebih sehingga dibebani baginya PPh F PHTB dua kali atau
lebih.”
Permohonan hak baru (pendaftaran tanah pertama kali) atas tanah dan/atau
bangunan yang belum bersertipikat bertujuan untuk memperoleh sertipikat sebagai
bukti telah terdaftar pada Kantor Pertanahan, sehingga pemilik tanah dan/atau
bangunan tersebut mendapat legalitas yang kuat. Dengan legalitas yang kuat tersebut,
diharapkan memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pemegang hak
(pemilik tanah), yang sesuai dengan azas dan tujuan pendaftaran tanah, yang
terkandung dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960,
(disebut UUPA).
Dengan demikian karena permohonan hak baru (pendaftaran tanah pertama
kali) atas tanah dan/atau bangunan yang belum bersertipikat bertujuan untuk
memperoleh sertipikat, dan permohonan hak baru (pendaftaran pertama kali) tidak
bersifat pengalihan hak (jual-beli), maka seharusnya tidak dibebani pajak penghasilan
(PPh F PHTB), karena bukan objek pajak penghasilan. Sebab pemohon (pemilik
tanah) tidak mendapat keuntungan secara ekonomis seperti halnya pada pengalihan
hak, dimana pihak yang mengalihkan hak akan memperoleh penghasilan/keuntungan
berupa hasil penjualan (uang). Hal inilah yang mendasari penelitian ini dilakukan
dengan judul “ Pengenaan PPh Final dan BPHTB Terhadap Permohonan Hak
Baru atas Tanah dan/atau Bangunan yang Belum Bersertipikat yang Dialihkan
Setelah Bersertipikat.”

10

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat di rumuskan pokok permasalahan yang akan
diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak
baru (pendaftaran tanah pertama kali) atas tanah dan/atau bangunan yang
belum bersertipikat di Kota Binjai ?
2. Bagaimana kepastian hukum tentang ketentuan pengenaan PPh F PHTB dan
BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang
belum bersertipikat di Kota Binjai ?
3. Bagaimana pemenuhan aspek keadilan dalam pengenaan PPh F PHTB dan
BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang
belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat di Kota Binjai ?
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB
terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum
bersertipikat dan yang sudah bersertipikat.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian hukum pengenaan PPh F
PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau
bangunan yang belum bersertipikat.

11

3. Untuk mengetahui dan menganalisis aspek keadilan dalam pengenaan PPh F
PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau
bangunan yang belum bersertipikat yang di alihkan setelah bersertipikat.
D. Manfaat Penelitian.
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu :
1.

Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademis
maupun masyarakat umum guna menambah khasanah ilmu dalam hukum,
khususnya dapat memberi masukan bagi penyempurnaan peraturan dalam
masalah perpajakkan khususnya mengenai pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB
terhadap kegiatan pendaftaran tanah atau permohonan hak baru.

2.

Manfaat Praktis
Pembahasan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait
dengan pendaftaran tanah (permohonan hak baru) atas tanah yang belum
bersertipikat dan yang sudah bersertipikat, dan menjadi jalan keluar terhadap
masalah yang diteliti dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dalam bidang perpajakan.

E. Keaslian Penelitian.
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah
dilakukan pada program studi pasca sarjan Megister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Pengenaan PPh Final dan BPHTB

12

Terhadap Permohonan Hak Baru atas Tanah dan/atau Bangunan yang Belum
Bersertipikat yang Dialihkan Setelah Bersertipikat”, belum pernah dilakukan,
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah :
1. Tesis atas nama Belinda Siti Ayesha dengan judul Hak Pemungutan pajak
Penghasilan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Atas
Peralihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (Studi Di Kantor Pelayanan
Pajak Medan Kota). Pokok masalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah pemungutan Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan dapat dikenakan terhadap semua jenis tanah dan
bangunan ?
b. Bagaiamana upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan terhadap pemungutan Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ?
c. Apakah kendala-kendala yang terdapat dalam pembayaran Pajak
Penghasilan dan Bea Perolehan atas Tanah dan/atau Bangunan tersebut?
2. Penelitian yang dilakukan oleh M. Syahrizal, Mahasiswa Magister
Knotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Tinjauan Yuridis atas
Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) terhadap Pengalihan Hak atas Tanah
dan/ atau Bangunan di Kota Kisaran.” Pokok masalah dalam Penelitian ini
adalah :

13

a. Apakah pengaturan PPh dan BPHTB tentang mengharuskan Wajib Pajak
melakukan pembayaran pajak terutang ?
b. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaa pemungutan
PPh dan BPHTB ?
c. Bagaimana penyelesaian terhadap kendala-kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pembayaran PPh dan BPHTB ?
Berdasarkan penelusuran tersebut maka dapat dipastikan penelitian ini dapat
dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan hukum.
Adapun pengutipan-pengutipan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam
penulisan tesis ini, telah dicantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,
kaedah dan etika penulisan ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka teori
Kerangka teori merupakan pemikiran atas butir-butir pendapat, atau teori,

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problematika) yang menjadi
perbandingan, pegangan teoritis.8 Fred N Kerlinger dalam bukunya Foundation of
Behaviour Reasearch bahwa suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan
proporsisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan
merinci hubungan antar variable dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala
tersebut.9

8

M. Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80
Fred N Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioural, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2004, hal.14.
9

14

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori
tesis mengenai suatu kasus permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau
pegangan teoritis dalam penelitian10. Soejono Soekanto mengatakan bahwa
perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metologi, aktivitas penelitian dan
imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11
Penelitian hukum dalam tataran teori ini diperlukan bagi mereka yang ingin
mengembangkan suatu bidang kajian hukum tertentu. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan dan memperkaya pengetahuannya dalam penerapan aturan hukum.
Dengan melakukan telaah mengenai konsep-konsep hukum.12 Suatu teori harus diuji
dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarnnya.13 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.14
Teori diartikan sebagi ungkapan mengenai kausal yang logis diantara
perubahan (varibel) dalam bidang tertentu sehingga dapat digunakan sebagi kerangka
pikir (frame of thinking) dalam memahami permasalahan yang timbul dalam bidang
tersebut.15 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan

10

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung, Cetakan I, Mandar Maju, 1994, hal.80.

11

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal.6.

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2006, hal. 73

13

M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta, Ui-Press, 1996, hal.203
Made Wiranatha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi Dan Tesis, Andi,
Yogyakarta, 2006, hal.6.
15
Bintoro Tjokro Amidjojo, Teori Dan Strategi Pembangunan Nasional, CV.Haji Mas
Agung, Jakarta, 1988, hal.12.
14

15

petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.16 Teori
dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu
dimasukan dalam penelitian.17 Suatu teori atau fenomena juga merupakan kesimpulan
dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum18.
Tidak setiap kekuasan dalam masyarakat disebut baik.19
Teori yang digunakan sebagai pisau analitis dalam penelitian ini sebagai teori
utama adalah Teori Keadilan.
Menurut Plato, semua orang harus memiliki sifat adil atau keadilan dalam diri
mereka, keadilan paling kecil bisa diwujudkan dalam keadilan dalam pemenuhan hak
dan kewajiban bagi diri sendiri.20 Menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam
hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan
hal itu. Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani” Dikaiosune” yang
berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan sosial. Penjelasan tentang
tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus.
Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan
tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang
lain.

16

lexy j. Maleong, Metologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993,

hal.35.
17

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192
Mukti Fajar Dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empuiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.134,
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke V, Bandung, 2000, hal.53.
20
Pieter Mahmud Marzuki(a), Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009, hal.158
18

16

Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum,
dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undangundang. Ia menganggap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan
relative dengan sebuah norma “adil” dengan kata lain dari “benar”.21
Keadilan merupakan fokus utama dari setiap hukum dan keadilan tidak dapat
begitu saja dikorbankan, seperti pendapat John Rawls yang dikutip Munir Fuady
sebagai berikut :
Nilai keadilan tidak boleh ditawar-tawar dan harus diwujudkan ke dalam
masyarakat lainnya. Suatu ketidakadilan hanya dapat dibenarkan jika hal
tersebut diperlukan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Karena
merupakan kebajikan yang terpenting dalam kehidupan manusia, maka
terhadap kebenaran, dan keadilan tidak ada kata kompromi.22
Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan sehingga
seluruh masyarakat sekalipun tidak dapat membatalkannya. Atas dasar ini keadilan
menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal
yang lebih besar yang didapat orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan
yang dipaksakan kepada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan
yang dinikmati banyak orang.23
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtgerechtigheid),

21

kemanfaatan

(rechtsuilititeit)

dan

kepastian

hukum

Diterjemahkan dari karya Hans Kelsen, introduction to problem legal theory (Clarendon
Press-oxford, 1996) dalam buku L. Stanly L. Poulson, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media,
Bandung, 2012, Hal. 48
22
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, Hal. 94
23
John Rawls, A Theory Of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

17

(rechtszekerheid).24 Dalam bukunya Inleiding Tot DE Studie Van Het Nederlandse
Recht, Apeldoorn mengatakan bahwa :
Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan
adil. Untuk menciptakan kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang
adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan
satu sama yang lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin)
apa yang menjadi haknya.25
Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin kepastian hukum. Kepastian hukum itu bisa diwujudkan oleh hukum
dengan sifatnya hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan
hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan :
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan
akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu meniti beratkan kepada kepastian
hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan
menimbulkan rasa tidak adil. Adapun yang terjadi peraturannya adalah
demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa
kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex duraset tamen scipta” (UndangUndang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).26
Menurut Rimsky K. Judisseno, teori daya pikul, pembebanan pajak itu harus
sama beratnya untuk setiap orang sesuai dengan daya pikulnya masing-masing.27

24

Ahmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung
Agung, Jakarta, 2002, Hal. 85.
25
R Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 57.
26
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (suatu pengantar) Liberty, Yogyakarta, 1998,
hal. 136
27
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum
dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, Hal. 9.

18

Menurut Adam Smith, pemungutan pajak hendaknya didasari atas empat azas,
yaitu equity, certainty, convenience dan economic. Sedangkan Dora Hancock dalam
bukunya : Taxation: Policy and Practice, mengutip pernyataan Stilglist-Pemenang
Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa ada lima karakteristik yang diharapkan dalam
suatu sistem pemungutan pajak, yaitu Economically efficient, Administratively
Simple, Flexible, Politically Accountable, Fair.28
Azas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata.
Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk
membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang di terimanya dari
negara. Azas keadilan dalam pajak penghasilan terdiri dari keadilan horizontal
(horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Suatu pemungutan pajak
dikatakan memenuhi keadilan horizontal apabila wajib pajak yang berada dalam
kondisi yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals). Azas keadilan
vertikal terpenuhi apabila wajib pajak yang

mempunyai tambahan kemampuan

ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. Agar terjaga keseimbangan dan
agar tercapai sistem perpajakan yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Guru
Besar FISIP Universitas Indonesia, Mansury :
Itulah tiga azas yang seharusnya dipegang teguh sistem PPh kita yang
seimbang memperhatikan semua kepentingan. The Revenue Adequacy
Principle adalah kepentingan pemerintah, The Equity Principle adalah
kepentingan masyarakat dan Certainty Principle adalah kepentingan
pemerintah dan masyarakat.

28

Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan implementasi di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, Hal. 157.

19

Suatu pemungutan pajak dikatakan optimal apabila dalam pemungutannya
terpenuhi azas revenue productivity dengan tetap menjaga keadilan dalam
pemungutannya.29
Dalam mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman suatu Undang-Undang
haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.30
Menurut J.J.H Bruggink mengatakan :
Seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan sistem konseptual aturanaturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk
sebagian yang dipositifkan. 31
Sedangkan Subekti, dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum dan Keadilan” mengatakan
bahwa :
Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya ialah mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. Pengabdian tersebut dilakukan
dengan cara menyelenggarakan “Keadilan dan Ketertiban”. Keadilan ini
digambarkan sebagai suatu keseimbangan yang membawa ketentraman di
dalam hati orang yang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan
mengguncang. Kaidah ini menurut “dalam keadaan yang sama dan setiap
orang menerima yang sama pula.32
Aspek keadilan dalam pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB pada dasarnya
dapat berpengaruh pada sistem pengenaan pajak atas objek tanah dan/atau bangunan
baik dalam hal pendaftaran tanah maupun peralihan hak ;
29

Salman, Otje dan Susanto, Anton F, teory Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka
Kembali, Refika Aditama, Jakarta, 2013, Hal. 60.
30
W. Fiedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Telaah Krisis Atas Teori-Teori Hukum,
terjemahan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Raja Grasindo Persad, Jakarta,
1993, Hal. 7.
31
Otje Salman dan Susanto, Anton F, teory Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka
Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013, Hal. 60.
32
R. Soerosa, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal. 57

20

a. Substansi hukum, yang terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana pendaftaran
tanah;
b. Struktur hukum, yang terdiri dari lembaga hukum, lembaga pemerintahan dan
Badan Pertanahan;
c. Kultur hukum, yang terdiri dari kesadaran hukum dan realitas sosial
masyarakat.
Pemungutan pajak harus diatur dalam Undang-Undang, tujuannya agar ada
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk Negara dan Wajib Pajak
dalam menyelenggaran pendaftaran tanah dan pemungutan pajak. Pasal 23A UUD
1945 menyatakan bahwa “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, menjadi landasan yuridis
pengenaan/pemungutan pajak. Sebaliknya bila ada pungutan pajak yang tidak
berdasarkan Undang-Undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih
tepat disebut perampokan (taxation without representation is robbery).
Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak bertujuan untuk
mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan secara umum
dan merata. Prinsip tersebut mengawali setiap proses penyusunan perangkat
perundang-undangan perpajakan maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan
merata ini menjadi parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak. Negara
memiliki hak untuk memungut pajak, namun pelaksanaan hak tersebut tidak boleh
mengabaikan teori dan azas hukum yang ada.

21

Dalam pemungutan pajak dikenal adanya azas kepastian (certainty), menurut
Haula Rosdiana dan Edy Slamet Irianto, azas certainty merupakan unsur dari azas
ease of administration. Azas certainty mengatakan bahwa harus ada kepastian, baik
bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak dan seluruh masyarakat, sebagaiman dikutip
dari The News Encyclopeda Britanica “Taxation” :
Tax laws and regulation must be comprenhensible to the taxplayer, they must
be unambigous and certain, both the taxplayer and to the tax administrator.33
Azas kepastian antara lain kepastian mengenai siapa-siapa yang dikenakan
pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak
yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar.
Artinya kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan
pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta
besarnya tarif pajak tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan kewajibannya antara
lain prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya.
Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka Wajib Pajak akan sulit untuk menjalankan
kewajiban serta haknya, dan bagi fiscus (petugas Pajak) akan kesulitan untuk
mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak juga
dalam melayani hak-hak Wajib Pajak. Sommerfeld menegaskan bahwa untuk
meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan petunjuk pemungutan pajak yang
terperinci, advanced rulling, maupun interprestasi hukum yang lainnya. Terlepas

33

Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan Implementasinya
di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, Hal. 167

22

daripada adanya sanksi, secara sadar atau tidak, pada umumnya orang mentaati
hukum yang ada.
Menurut Utrecht, orang mentaati hukum karena :
a. Karena orang merasakan bahwa peraturan –peraturan itu dirasakan sebagai
hukum.
b. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap
peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional (rasioneele aanvaarding).
Agar tidak mendapat kesukaran-kesukaran orang memilih untuk mentaati saja
pada peraturan hukum, karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.
c. Karena masyarakat mengkehendakinya.
d. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasa malu atau khawatir
dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar sesuatu kaidah
sosial/hukum.34
2.

Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam

penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dengan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisir dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. Untuk
menjawab permasalahan secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan
dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
ditentukan :
a.

Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau
badan yang terutang oleh yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
34

hal. 23-24

E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Iktiar Baru, Jakarta, 1983,

23

b.

Pengenaan Pajak adalah pembebanan kewajiban pembayaran pajak kepada Wajib
Pajak;

c.

PPh adalah Pajak Penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau di peroleh oleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut;

d.

PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenai bersifat final, yakni penghasilan
yang diperoleh orang pribadi atau badan dikenakan PPh dengan tarif tertentu
dengan dasar pengenaan pajak tertentu, pada saat penghasilan itu diterima, dan
langsung lunas;

e.

PPh F PHTB adalah pajak penghasilan Final atas penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

f.

BPHTB adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, yaitu
pengenaan pajak terhadap perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

g.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan;

h.

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah peralihan hak seseorang
atau badan atas Tanah dan/atau Bangunan kepada pihak lain (orang atau badan);

i.

Tanah adalah permukaan bumi;

j.

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut;

24

k.

Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang belum terdaftar pada Kantor
Pertanahan;

l.

Sertipikat adalah surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan tentang
sesuatu;

m. Sertipikat Tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi
satu bersama-sama dengan suatu sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri
Agraria;
n.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
atau berdasarkan Undang-Undang lainnya;

o.

PPAT adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu Pejabat umum yang diberi
kewenangan membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah / hak milik atas satuan rumah susun dalam rangka tugas
pokok;

p.

Permohonan Hak Baru adalah permohon hak yang diajukan oleh orang pribadi
ataupun badan pada Kantor Pertanahan untuk menyatakan dirinya sebagai
pemegang hak yang baru, yang sah dan sempurna menurut hukum, atas tanah
dan/atau bangunan yang telah diperoleh/dimilikinya.

G. Metode Penelitian.
Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

25

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, maka diadakan
pemeriksaan

mendalam

terhadap

fakta

hukum

tersebut,

untuk

kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di
dalam

gejala

yang

bersangkutan.35

Penelitian

hukum

dilakukan

untuk

mengidentifikasi sumber hukum yang dapat diterapkan pada problem hukum tertentu
dan menemukan solusi atas problem yang diidentifikasikan tersebut. 36
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.

Sifat dan jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, artinya

penelitian ini merupakan penelitian yang berupaya menggambarkan, menjelaskan
serta menganalisa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan PPh F PHTB dan
BPHTB kemudian akan dibandingkan dengan pelaksanaan pemungutan terhadap
objek PPh F PHTB dan BPHTB di Kota Binjai.
Jenis penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris/
hukum sosiologis, yakni metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data
primer untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif
dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan
proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang
mutakhir. Metode yuridis sosiologis dalam penelitian tesis ini yaitu dari hasil

35

Soerjono, Soekanto, Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2007, hal. 43
36
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar
Grafika, Jakarta, 2014 hal. 31

26

pengumpulan dan penemuan data, wawancara serta informasi, melalui studi
kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam
menjawab permasalahan yang berkaitan dengan “PPh F PHTB, BPHTB dan
Pendaftaran Tanah (permohonan hak baru) atas tanah dan/atau bangunan yang belum
bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat". Metode pendekatan yuridis
empiris dalam penelitian ini bersifat Deskriptif yaitu dengan menggambarkan
keadaan yang berhubungan dengan pengenaan pajak PPh F PHTB, BPHTB terhadap
pendaftaran tanah dan pengalihan hak atas tanah. Penelitian ini dimulai dari
pengumpulan data yang berhubungan dengan pembahasan di atas, lalu menyusun,
mengklasifikasikan dan menganalisisnya, serta kemudian menginterprestasikan data,
sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti. Dengan
penelitian yang bersifat yuridis empiris dimaksudkan untuk melukiskan keadaan
objek atau peristiwa.
2.

Lokasi penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di Kota Binjai

3.

Populasi penelitian dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Notaris/PPAT Kota Binjai. Data dari

Ketua Pengda Ikatan Notaris dan IPPAT Kota Binjai-Langkat, Notaris/PPAT Kota
Binjai berjumlah 25 (dua puluh lima) orang.37 Jumlah tersebut seluruhnya dijadikan
sampel dalam penelitian ini (disebut sampel jenuh). Penelitian ini didukung dengan
data penunjang melalui informan yaitu : masing-masing 1 (satu) orang dari Pegawai
37

Data dari Ketua Pengda Ikatan Notaris dan IPPAT Kota Binjai-Langkat.

27

Kantor Pertanahan Kota Binjai, Camat Kota Binjai, Pegawai/Petugas Kantor Dinas
Pendapatan Kota Binjai, Pegawai/Petugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota
Binjai.
4.

Sumber data
Dalam penelitian ini jenis data yang dipergunakan yaitu data primer dan data

sekunder, sebagai berikut :
a. Data Primer.
Data primer adalah data penelitian lapangan yang terkait dengan pengenaan
PPh F PHTB dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau
bangunan yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat,
melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan kuisioner, dan
informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah ditentukan
yaitu Notaris/PPAT Kota Binjai, Pegawai Kantor Pertanahan Kota Binjai,
Camat Kota Binjai, Pegawai Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)
Kota Binjai, dan Pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota
Binjai.
b. Data Sekunder.
Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier ;
(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
a.

Norma atau kaidah dasar

28

b.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perpajakan
khususnya mengenai pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB terhadap
permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang belum
bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat, yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebagai Pengganti
Peraturan

Pemerintah

Nomor

10

Tahun

1961,

tentang

pendaftaran tanah;
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak
Penghasilan;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
Dan Restribusi Daerah;
6. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, Tentang
Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994
Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan;

29

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 Tentang
Perubahan Kedua atas Keputusan Menetri Keuangan Nomor
635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas dan/atau
Bangunan;
9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, Tentang Perubahan
pertama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
10. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Pertama Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak
daerah Dan Restribusi Daerah;
11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Notaris,
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Notaris;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
(2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer antara lain tulisan atau pendapat para pakar
hukum dibidang perpajakan.
(3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer maupun hukum sekunder berupa kamus, kamus hukum, majalah

30

dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang akan
dilakukan.
5.

Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian ini, sebagai alat penelitian menggunakan;
a. Studi

dokumen/kepustakaan

atau

penelitian

kepustakaan

(library

research), dengan cara mengumpulkan semua buku-buku peraturan
peundang-undangan, dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan
dengan rumusan masalah penelitian;
b. Kuisioner, melakukan tanya jawab kepada responden melalui kuisioner
yang telah dipersiapkan, sehingga lebih mudah mengetahui dan
mendapatkan informasi yang diperlukan.
c. Wawancara, untuk memenuhi data pimer, dilakukan wawancara atau
interview dengan informan sehingga peneliti akan secara langsung
memperoleh data yang dikehendaki pada saat itu juga. Wawancara,
dimaksudkan melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti
dengan nara sumber untuk mendapatkan informasi.38
6.

Analisis Data
Analisis data terhadap data primer, mengenai Permohonan Hak Baru

(Pendaftaran tanah) dikaitkan dengan pengenaan PPh F PHTB dan BPHTB, setelah
terlebih dahulu diadakan pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan kemudian

38

Soerjono Soekanto, dan Mahmudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal. 161

31

dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, data tabel dianalisis dengan menggunakan
metode analisis kualitatif dengan logika deduktif, yaitu berpikir dari yang umum
menuju hal yang lebih khusus dengan menggunakan perangkat yuridis empiris, yaitu
dengan cara melakukan interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum
konkrit yang terjadi terutama hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan PPh F PHTB
dan BPHTB terhadap permohonan hak baru atas tanah dan/atau bangunan yang
belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, dikaji, dan diteliti serta
dievaluasi, kemudian data dikelompokan atas data yang sejenis untuk kepentingan
narasi dan tabel. Evaluasi dan penafsiran secara kualitatif untuk menilai jawaban,
dianalisis dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk memperoleh kesimpulan
dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Dari kegiatan interprestasi data
primer yang diperoleh diharapkan dapat menghasilkan sebuah kesimpulan yang
sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini.