Peralihan Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Di Kecamatan Medan Johor Dan Pendaftaran Haknya Di Kantor Pertanahan Medan

(1)

PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM

BERSERTIPIKAT DI KECAMATAN MEDAN JOHOR

DAN PENDAFTARAN HAKNYA DI KANTOR

PERTANAHAN MEDAN

TESIS

Oleh

MUAZ EFFENDI

077011043/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(2)

PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM

BERSERTIPIKAT DI KECAMATAN MEDAN JOHOR

DAN PENDAFTARAN HAKNYA DI KANTOR

PERTANAHAN MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUAZ EFFENDI

077011043/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn.

2. Syafnil Gani, SH., M.Hum

3. Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH. CN. MS 4. Chadidjah Dalimunthe, SH. M. Hum


(4)

ABSTRAK

Kepemilikan hak atas tanah tidaklah semata-mata menyangkut jangka waktu yang panjang tapi juga menyangkut kepentingan pihak lain, tidak terjadinya sengketa tanah adalah hal yang diharapkan oleh semua pihak, karena sengketa tanah akan merugikan para pihak yang bersangkutan dengan banyaknya biaya yang dikeluarkan serta waktu yang tersita untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Demikian juga halnya terhadap jual beli tanah yang belum bersertipikat yang merupakan pengalihan hak atas tanah atau memindahkan hak atas tanah masih banyak dilakukan dengan cara yang tidak menurut ketentuan sehingga dapat menimbulkan sengketa tanah serta tidak terciptanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibidang pertanahan yang merupakan tujuan dari Undang-undang Pokok Agraria. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penelitian mengenai jual beli/ peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat yang dibuat oleh Camat dan pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat oleh Notaris serta Pendaftaran Haknya di Kantor Pertanahan Medan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang bertujuan untuk menggambarkan secara akurat mengenai jual beli/peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat dan mengenai pendaftaran hak atas tanah. Penelitian dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden dan mengedarkan kuesioner, data dianalisis tanpa menggunakan rumus-rumus statistik kemudian dibahas dengan membandingkan teori-teori hukum agraria dan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Hasil penelitian ini menunjukkan dalam melakukan jual beli/peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat terdapat ketidak seragaman bahkan menyimpang dari kaedah hukum yang berlaku, demikian juga terhadap pendaftaran hak atas tanah tersebut menimbulkan beberapa masalah dan kendala dari pihak masyarakat yaitu mahalnya biaya pendaftaran hak atas tanah, proses pendaftaran tanah yang terlalu lama, kurang mengerti fungsi sertipikat dan masyarakat merasa sudah cukup dengan alas hak yang dimiliki sekarang sehingga tidak berminat untuk mendaftarkan hak atas tanah. Sehubungan dengan hal ini maka pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah Republik Indonesia tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Kata Kunci : Jual Beli/Peralihan Hak Atas Tanah, Pendaftaran Tanah, Tanah Belum Bersertipikat


(5)

ABSTRACT

Ownership rights on land not solely related to a long period of time but also about the interests of other parties, not the land dispute is expected by all parties, since land disputes would harm the parties concerned with the many costs incurred and time taken to resolve the dispute. Similarly, the sale and purchase of land that has not bersertipikat which is the transfer of title to land or transfer land rights are still a lot done in a way that is not according to the provisions that may cause disputes and does not create certainty, order and protection of land in the field of law that is the purpose of Law Basic Agrarian. In connection with this research is needed on sale / transfer of rights on land that has not bersertipikat made by the Head and the relinquishment of rights to compensation made by the Notary and Registration of Land Office its rights in Medan.

This research is descriptive analysis, which aims to describe accurately the sale / transfer of rights on land that has not certified and the registration of rights to land. Research carried out by direct interviews with respondents and distributing questionnaires, analyzed the data without using statistical formulas and then discussed by comparing the theories of agrarian law and the provisions of applicable laws.

The results of this study showed in conducting sale and purchase / transfer of rights on land that has not certified there is lack of uniformity even deviate applicable law, as well as the registration of land rights which creates some problems and constraints of the society is the high cost of land registration, land registration process is too long, less understood function of the community certificate and has had enough with the base-owned right now, so no interest to register rights to land. In connection with this, the land registry that aims to provide legal certainty and legal protection to the holders of rights on a land area, providing information to the parties concerned including the government to easily obtain the necessary data in a legal action regarding the areas land and units of flats that have been registered and for the orderly implementation of land administration as expected by the Government of the Republic of Indonesia can not walk properly.

Keywords: Sale and Purchase / Transitional Land Rights, Land Registration, Land not Certified


(6)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, dan hidayah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM

BERSERTIPIKAT DI KECAMATAN MEDAN JOHOR DAN PENDAFTARAN HAKNYA DI KANTOR PERTANAHAN MEDAN”, sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera, Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan, oleh karena itu diucapkan terima kasih kepada yang terhormat dan amat terpelajar Ibu

Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn. dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH., M.Hum demikian juga kepada dosen

penguji Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH. CN.MS dan Ibu Chadidjah

Dalimunthe,SH. M.Hum atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan


(7)

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa, B.MSc, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH. CN.MS, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. R. Muh.Adi Dermawan, M.Eng.Sc, selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan.

5. Bapak Pulungan Harahap, SH, M.Si, selaku Camat Medan Johor. 6. Bapak Sutan Tolang Lubis, SSTP, MSP, selaku Lurah Gedung Johor. 7. Bapak Darwin Zainuddin, SH, SpN selaku Notaris di Kota Medan. 8. Ibu ErnaWaty Lubis, SH, SpN, selaku Notaris di Kota Medan. 9. Ibu Roosmidar, SH, SpN, selaku Notaris di Kota Medan.

10.Seluruh Staf Pengajar Pogram Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Staf Administrasi Pogram Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

12.Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan tesis dan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn).


(8)

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada orang tua penulis Ayahanda Haji Zulkifli Ahmad dan Ibunda Hajjah Zuraida Nasution yang selalu mengasihi, memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, selanjutnya ucapan terima kasih kepada istri tercinta Emilda, SE dan anak-anak tersayang Muhammad Nurilham

, Muhammad Ihsan dan Tasya Azzahra atas motivasi dan doa kalian telah dapat

menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2009 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : MUAZ EFFENDI, SH Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/01 Maret 1972

Alamat : Jl. Bajak II Gg. Sepakat No.192A Medan Jenis Kelamin : Laki-laki

II. ORANG TUA

Nama Ayah : H. ZULKIFLI AHMAD Nama Ibu : HJ. ZURAIDA NASUTION

III.LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

A. SD 1978 sampai 1984 Sekolah Dasar Negeri 010151 Petatal, Kecamatan Talawi, Kabupaten Asahan B. SMP 1984 sampai 1987 Sekolah Menengah Pertama

Negeri 3 – Medan

C. SMA 1987 sampai 1990 Sekolah Menengah Atas Nasional Khalsa – Medan

D. Universitas 1991 sampai 1995 S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara – Medan E. Universitas 2007 sampai 2009 S-2 Magister Kenotariatan


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ……….. ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP ……… vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ……….. x

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi... 24

G. Metode Penelitian ... 28

1. Sifat Penelitian ... 28

2. Metode Pendekatan ... 3. Populasi dan Sampel ... 29

4. Alat Pengumpulan Data ... 30


(11)

BAB II : TERJADINYA KETIDAKSERAGAMAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT

DI KECAMATAN MEDAN JOHOR ………. 32

A. Gambaran Umum Daerah ... 32

B. Alas Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat ... 35

C. Pengertian Dan Pandangan Masyarakat Tentang Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertipikat ... 38

BAB III : BENTUK-BENTUK SURAT PERALIHAN HAK ATAS TANAH SEBAGAI LANDASAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT ... 46

A. Pengertian Jual Beli ... 46

B. Bentuk-Bentuk Surat Jual Beli Tanah Atau Peralihan Hak Atas Tanah ... 47

1. Surat-Surat Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Camat/Lurah... 47

2. Akta Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dibuat Notaris 54 3. Kewenangan Notaris Membuat Akta Peralihan Hak

.. 57

BAB IV : PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT SERTA KENDALA- KENDALA YANG UMUMNYA DIHADAPI MASYARAKAT DALAM PENDAFTARAN TANAH PADA KANTOR PERTANAHAN MEDAN... 67

A. Pelaksananaan PendaftaranTanah ... 67

B. Sistem Pendaftaran Tanah... 75

C. Subyek Pendaftaran Tanah... 80

D. Obyek Pendaftaran Tanah ... 81

E. Tata Cara Pendaftaran Tanah ... 82 F. Kendala-kendala Yang Menghambat Pendaftaran Tanah. 97


(12)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran... 103


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul tabel Halaman


(14)

BAB I PENDAHULUAN

H.

Latar Belakang

Tanah mempunyai arti penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Tanah sebagai sumber kehidupan, karena disinilah setiap orang dapat bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tempat mendirikan rumah bersama keluarga melanjutkan keturunan dan sebagai tempat peristirahatan yang terakhir ketika dipanggil sang pencipta, yang kemudian dalam masyarakat adat tanah dianggap mempunyai sifat magis religius.

“Mengingat bahwa hubungan religius antara orang Indonesia dengan tanah masih ada, dan tidak hanya meliputi hubungan individual antara yang bersangkutan saja, tapi menjelma juga sebagai peraturan-peraturan dalam hukum adat”.1

Dilihat dari sisi hukum adat, masalah tanah mempunyai arti yang penting, disebutkan oleh Soerojo Wignjodipuro, adanya dua sebab tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu :

1. Karena sifatnya

Tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam

keadaannya, bahkan kadang malah lebih menguntungkan. Contoh : sebidang tanah yang dibakar, di atasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut tidak lenyap, sebidang tanah tersebut akan muncul kembali tetap berujud

1

Imam Soetiknyo, Proses Terjadinya UUPA, (Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada University Press, 1987), hlm. 59


(15)

tanah seperti semula kalau dibawa banjir, misalnya malahan setelah air surut, muncul kembali sebidang tanah yang lebih subur dari semula. 2. Karena fakta

Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu : a. Merupakan tempat tinggal persekutuan

b. Memberikan penghidupan kepada persekutuan, warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan.

c. Merupakan pola tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur.2

Hukum pertanahan di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda, sehingga ada dua macam tanah yaitu tanah-tanah dengan hak barat dan tanah-tanah dengan hak adat, yang berakibat pada perbedaan dalam peralihannya, termasuk perolehan hak melalui jual beli, perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan.

Akibat zaman penjajahan terjadi perlakuan yang tidak wajar terutama pada hukum agraria yang bersifat dualisme, yaitu terhadap tanah-tanah hak barat yang pada umumnya dimiliki oleh golongan Eropa atau yang dipersamakan, mendapat jaminan yang kuat dengan pendaftaran pada daftar umum sesuai dengan hak yang melekat padanya serta bukti hak atas tanah tersebut.3

”Terhadap tanah-tanah hak adat diatur menurut hukum adat dan tidak diberi jaminan dan kepastian hukum atas hak tersebut, karena tidak didaftarkan pada daftar umum dengan hak atas tanah yang tegas, melainkan hanya diberikan bukti pembayaran pajak saja dan bukan merupakan bukti hak”.4

2

Sorojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta, Gunung Agung, MCML, XXXII, 1982), hlm. 197.

3

Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, (Jakarta, Penerbit Bina Aksara, 1985), hlm. 17.

4


(16)

Dengan sistem tertutup dari masyarakat adat tersebut telah cukup membuktikan kepemilikan tanah tersebut karena masing-masing individu di dalam lingkungan masyarakat adat tersebut saling mengenal satu sama lain dengan baik.

Demikian pula dalam hal peralihan hak atas tanah, khusus untuk jual beli tanah dilakukan menurut sistem hukum yang dianut oleh para pihak yang bertransaksi. Bagi golongan Eropa, hukum yang berlaku untuk jual beli tanah berdasarkan hukum perdata. Sedangkan bagi golongan masyarakat pribumi, jual beli tanah berdasarkan hukum kebiasaan.

Secara formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat. ”Sebelum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dikenal lembaga hukum jual beli tanah, ada yang diatur oleh Kitab Undang-undang Perdata yang tertulis, dan ada yang diatur oleh hukum adat yang tidak tertulis”.5

Dengan semakin kompleksnya persoalan hukum pertanahan di Indonesia, menyebabkan diundangkannya peraturan dasar pokok-pokok agraria dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang lebih populer dengan nama Undang-Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu tepat pada tanggal 24 September 1960.

5

Boedi Harsono I., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok


(17)

Dengan diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal tersebut, sejak itu tanggal 24 September tercatat sebagai salah satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/ pertanahan di Indonesia pada umumnya dan pembaharuan hukum agraria/hukum tanah di Indonesia pada khususnya.6

Adapun tujuan pokok Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya adalah sebagai berikut :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur (ekonomis).

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan (politis).

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak tanah bagi seluruh rakyat (hukum).

Menurut putusan Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan tanggal 29 Agustus 1970 Nomor 123/K/SIP/70, jual beli tanah dilakukan menurut sistem hukum adat, yang dikenal adanya sistem pemindahan hak yang konstan, karena pendaftaran hanya merupakan tindakan administrasi. Dengan demikian dalam hukum adat pemindahan hak atas tanah serentak terjadi begitu uang pembayarannya diserahkan pihak pembeli kepada pihak penjual.7

Hal serupa juga disebutkan oleh Boedi Harsono, bahwa “dalam hukum adat jual beli tanah bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut perjanjian obligatoir. Jual beli tanah dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.8

6

Ibid, hlm. 1 7

AP Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973), hlm. 30. 8


(18)

”Bahwa jual beli tanah yang berlaku sekarang ini adalah berdasarkan konsepsi jual beli tanah menurut hukum adat”.9 Pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat

dewasa ini, khusus di bidang pertanahan menyebabkan nilai ekonomi dari tanah semakin tinggi dan menyebabkan status hak atas tanah semakin penting, karena akan memberikan jaminan kepemilikan atas tanah dan memberi kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan. Sehingga masalah pembuktian hak tersebut juga menjadi semakin penting, karena sekarang yang mempunyai alat bukti yang kuat atas status tanah yang dimilikinya, tentu akan terjamin pula kepastian hukumnya atas tanah tersebut.

Demikian pula bila tanah tersebut akan dialihkan kepada pihak lain, kedua pihak merasa yakin tidak akan terjadi sengketa di kemudian hari mengenai tanah tersebut serta akan memudahkan dalam tata cara dan proses penjualan tanah tersebut.

Mengenai peralihan tanah itu, tidak hanya pihak penjual dan pihak pembeli yang berkepentingan, bahkan ada pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap tanah tersebut akan memperoleh keterangan secara lebih mudah dan tidak timbul keragu-raguan lagi.

Kepemilikan tanah tidak hanya menyangkut jangka waktu yang panjang, tapi juga menyangkut kepentingan pihak lain, maka tidak adanya sengketa tanah adalah hal yang diharapkan oleh semua pihak, karena sengketa tanah akan merugikan para pihak yang bersangkutan dengan banyaknya biaya yang dikeluarkan serta waktu yang tersita untuk menyelesaikan sengketa tersebut terbilang cukup panjang dan mahal.

9

I.G.N. Sugangga, Pengantar Hukum Adat, (Semarang, Universitas Diponegoro, 1994), hlm. 146


(19)

Mengingat pentingnya pendaftaran tanah untuk memperoleh alat bukti hak atas tanah, maka pemerintah untuk pertama kali mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dalam sejarah pertanahan di Indonesia, yang uniform dan berlaku secara nasional sebagai konsekuensi berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.L.N 1997 Nomor 59, tanggal 8 Juli 1997 dan berlaku 8 Oktober 1997, sebagai perintah dari Pasal 19 UUPA.10

Sejak saat itu telah berlangsung era baru dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah di Indonesia yaitu dengan berlakunya pendaftaran tanah secara seragam di seluruh Indonesia.

”Menurut Boedi Harsono, penggantian tersebut berdasarkan kenyataan bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 30 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan”.11

Praktek transaksi jual beli tanah atau pelepasan hak atas tanah di Kecamatan Medan Johor, khususnya tanah yang belum bersertipikat masih terdapat ketidakseragaman yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), transaksi jual beli tanah yang tidak seragam tersebut dapat dilihat dari mudahnya transaksi tersebut dilakukan. Pertama, disini pihak penjual yang memiliki tanah dan pihak pembeli, cukup bersepakat atas harga tanah yang dijual tersebut, kemudian pihak pembeli akan memberikan sejumlah uang sebagai tanda pembayaran kepada pihak penjual dan pihak penjual menyerahkan tanah tersebut tanpa sehelai tanda terima atau surat apapun, mereka melakukannya atas dasar saling percaya dan pihak pembeli langsung menempati tanah dan menggarap tanah yang dibelinya.

10

Ap. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 1999), hlm. 1.

11


(20)

Transaksi jual beli secara lisan ini biasanya dilakukan oleh para pihak yang sudah saling mengenal satu dengan lainnya dalam suatu kekerabatan yang kental.

Kedua, cara transaksi jual beli tanah atau pelepasan hak atas tanah ini sebenarnya juga dilakukan secara lisan, tapi sebagai tanda pelunasan pembelian tanah maka pihak pembeli menyerahkan selembar kwitansi yang berisi sejumlah uang yang telah mereka sepakati sebelumnya dengan pihak penjual. Kemudian pihak pembeli akan menempati tanah yang dibelinya atau langsung menggarap tanah tersebut.

Kedua cara di atas menunjukkan bahwa masyarakat dalam melakukan jual beli tanah atau pelepasan hak atas tanah yang belum bersertipikat tidak mempunyai pedoman secara legal bahkan seolah-olah mereka tidak mengetahui tata cara yang menjadi aturan hukum yang menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat. Ironisnya masyarakat menganggap tata cara yang mereka lakukan sah-sah saja, padahal jual beli tanah yang seperti ini disamping diragukan keabsahannya secara hukum juga mudah sekali menimbulkan sengketa, karena selain pihak penjual dan pihak pembeli yang tahu tentang adanya jual beli tersebut, maka pihak lain yang merasa berkepentingan tidak tahu dasar/alas hak terjadinya perpindahan kepemilikan atas tanah yang bersangkutan.

Ketiga, tata cara transaksi ini sesuai dengan ketentuan hukum adat. Pihak penjual dan pihak pembeli sepakat terhadap harga jual beli tanah dan mereka menghadap Lurah/Kepala Desa untuk melakukan jual beli tersebut. Sebagai tanda telah terjadi jual beli tanah, maka dibuatlah surat jual beli yang dibuat oleh pihak


(21)

penjual, di tandatangani oleh pihak penjual, pihak pembeli, dua orang saksi dan diketahui oleh Lurah/Kepala Desa dimana tanah tersebut berada.

Hal-hal tersebut telah melatarbelakangi penulisan tesis yang berjudul

“Peralihan Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Di Kecamatan Medan Johor Dan Pendaftaran Haknya Di Kantor Pertanahan Medan”, sebab pada

prakteknya di Kecamatan Medan Johor terdapat ketidakseragaman dalam hal jual beli tanah yang belum bersertipikat serta guna mengetahui kendala-kendala dalam pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan Medan, yang selanjutnya dihubungkan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dengan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa terjadi ketidakseragaman atas peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat di Kecamatan Medan Johor?

2. Bagaimana bentuk-bentuk surat peralihan hak atas tanah sebagai landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat ?


(22)

3. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah yang belum bersertipikat serta kendala-kendala apa yang umumnya dihadapi masyarakat dalam pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara rinci dan tepat serta konkrit mengenai persoalan yang diungkapkan dalam permasalahan tersebut di atas, adalah :

1. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadi ketidakseragaman peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat di Kecamatan Medan Johor.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk surat peralihan hak atas tanah sebagai landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan pendaftaran tanah yang belum bersertipikat serta kendala-kendala yang umumnya dihadapi masyarakat dalam pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan Medan.


(23)

D.Manfaat Penelitian

1. Bersifat Teoritis

Bahwa dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya di bidang hukum agraria serta untuk mengetahui secara langsung penerapan hukum yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat, alasan terjadi ketidakseragaman peralihan hak atas tanah tersebut, ditinjau dari sudut pandang masyarakat dan instansi yang berwenang serta pelaksanaan pendaftaran haknya di Kantor Pertanahan Medan.

2. Bersifat Praktis

Setelah diketahui penyebab terjadinya ketidakseragaman dalam peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat serta pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah, maka instansi yang berwenang dan masyarakat yang berkepentingan dapat mengambil langkah-langkah serta cara untuk mengatasi kendala-kendala tersebut yang akan bermanfaat bagi pembangunan, khususnya pembangunan di bidang hukum agraria, karena dengan diketahuinya penerapan suatu ketentuan hukum agraria dan bagaimana tanggapan masyarakat, akan memberikan masukan berupa saran dan kritik dalam rangka untuk menyempurnakan ketentuan hukum yang bersangkutan dan mengambil langkah-langkah strategis guna tercapainya tertib hukum di


(24)

bidang hukum agraria dan tertib administrasi pertanahan nasional secara komprehensif.

E.Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “ Peralihan Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Di Kecamatan Medan Johor Dan Pendaftaran Haknya Di Kantor Pertanahan Medan” belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keasliannya, tetapi ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan jual beli yang pernah dilakukan oleh alumni mahasiswa Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yakni :

b. Nama : Wuryandari Dwi Astuti

NIM : 017011066

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Keabsahan Jual Beli Tanah Hak Tanpa Melalui PPAT (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan)

c. Nama : Adi Irwansyah

NIM : 017011003

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Jual Beli Tanah Hak Milik Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 di Kota Medan


(25)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kaitan dengan penelitian ini pembahasannya tidak sama baik dari variabel maupun isinya belum pernah dilakukan, dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Teori adalah merupakan suatu prinsip ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, salah satu arti teori adalah “Pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”.12

Hukum positif yang lahir diluar Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perikatan ini memerlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan menggunakan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (pemerintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak

didasarkan pada penilaian baik-buruk.13

“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

12

W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1985), hlm. 155.

13

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung, Mandar Maju, 2002), hlm. 55


(26)

perbandingan, pegangan teoritis”,14 bagi peneliti terutama tentang jual beli tanah

yang belum bersertipikat dan pendaftaran haknya di Kantor Pertanahan Medan.

Dalam membicarakan tentang peralihan hak atas tanah yang belum

bersertipikat maka harus diketahui terlebih dahulu pengertian tanah dan dasar hukum mengenai tanah itu sendiri.

Menurut geologis-agronomis, pengertian tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi paling atas yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan tanah bangunan digunakan untuk menegakkan rumah. Di dalam tanah garapan ini dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan kukus dan lapisan dalam.15

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian tanah adalah:

a. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali b. Keadaan bumi di suatu tempat

c. Permukaan bumi yang diberi batas

d. Bahan dari bumi, bumi sebagai lahan sesuatu (pasir, cadas, aspal, dan lain-lain).16

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan definisi tanah, sesuai dengan Pasal 4 (empat) ayat (1) yang menyebutkan bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama sama dengan orang-orang

14

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju, 1994), hlm. 80 15

AP Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973), hlm. 35.

16

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi Ke-II, Cetakan ketiga, 1994, hlm. 12.


(27)

lain serta badan-badan hukum”. Sehingga secara yuridis, pengertian tanah adalah permukaan bumi.

Selanjutnya penjelasan umum Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bagian II ayat (1) menegaskan, bahwa : dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki (dimiliki oleh seseorang).

Sebelum berlakunya UUPA, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada tanggal 24 September 1960, jual beli tanah di Indonesia mempergunakan dua sistem hukum, yaitu sistem hukum barat bagi golongan Eropah dan sistem hukum adat bagi golongan bumi putera atau pribumi.

AP Parlindungan menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya UUPA, negara kita masih terdapat dualisme dalam hukum agraria. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih berlakunya dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita, yaitua hukum adat dan hukum barat sehingga terdapat dua macam tanah yaitu tanah adat dan tanah barat.17

Jual beli tanah menurut hukum adat pada dasarnya mempunyai syarat terang dan tunai, maksudnya adalah jual beli dilakukan dihadapan kepala desa dan pembeli membayar harga tanah secara tunai kepada penjual sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli.

“Sehingga dikatakan bahwa jual beli tanah menurut hukum adat itu bersifat terang, nyata (konkrit) dan bersifat tunai (kontan)”.18 Sesuai dengan pendapat di atas,

Boedi Harsono mengatakan bahwa, “jual beli tanah itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada

17

AP. Parlindungan, Op.Cit, hlm. 40 18


(28)

penjual harga yang telah disetujui bersama, maka jual beli tanah menurut hukum adat ini pengaturannya termasuk dalam hukum adat.19

Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi perubahan secara fundamental atau mendasar di dalam sistem hukum nasional seperti dikatakan oleh Boedi Harsono bahwa, “UUPA menciptakan hukum agraria nasional berstruktur tunggal, yang seperti dinyatakan dalam bagian “berpendapat” serta penjelasan umum UUPA berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya sebagian terbesar rakyat Indonesia.20

“Boedi Harsono menyebutkan, bahwa sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur oleh KUH Perdata yang tertulis, dan ada yang diatur oleh hukum adat yang tidak tertulis”.21

Jual beli tanah pada dasarnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain yaitu dari penjual kepada pembeli dengan sejumlah pembayaran, menurut pasal 1457 KUH Perdata, pengertian jual beli yaitu, “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu hak milik atas sesuatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.22

Selanjutnya R.Soebekti menyebutkan bahwa, “penyerahan barang tidak bergerak terjadi dengan pengutipan sebuah “akta transport” dalam register tanah di depan Pegawai Balik Nama (Ordonansi Balik Nama, LN.1834-27)”.23

Dalam jual beli tanah yang dilakukan sesudah berlakunya UUPA, yang sangat penting diperhatikan adalah :

a. Subjek dalam jual beli tanah adalah warga negara Indonesia (Pasal 9 UUPA yang merupakan Prinsip Nasionalitas), namun demikian seorang

19

Boedi Harsono I, Op.Cit, hlm. 29 20

Ibid, hlm. 3 21

Ibid, hlm. 27 22

R. Subekti, I, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek), (Jakarta, Pradnya Paramita, 1996), hlm. 366

23


(29)

Warga Negara Asing juga dapat menjadi Subjek dalam jual beli tanah disebabkan warisan yang diterimanya dan dalam hal demikian Warga Negara Asing tersebut wajib melepaskan haknya dalam jangka waktu 1(satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut jika dalam 1 (satu) tahun tersebut tidak dilepaskan maka hak tersebut batal karena hukum dan jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung (Pasal 21 ayat (3) UUPA).

Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun1998 menyebutkan bahwa orang asing yang sesudah berlakunya peraturan ini memperoleh hak milik karena pewarisan, karena wasiat atau percampuran karena perkawinan. Demikian juga Warga Negara Indonesia yang mepunyai hak milik dan setelah berlakunya peraturan ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun harus mengalihkan haknya apabila tidak maka hak atas tanahnya dikuasai oleh negara.

b. Objek dalam jual beli tanah adalah :

1) Tanah dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pengelolaan untuk tanah yang sudah bersertipikat.

2) Untuk tanah yang belum bersertipikat antara lain yaitu: a) SK Gubernur (Surat Keterangan Gubernur) b) SKT (Surat Keterangan Tanah) Bupati c) SK Camat (Surat Keterangan Camat) d) SK Lurah (Surat Keterangan Lurah)


(30)

e) Tanah Garapan f) Grant Sulthan

Tata cara jual beli tanah sesudah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 adalah :

a. Pihak penjual dan pihak pembeli harus mempersiapkan berkas-berkas dokumen yang diperlukan untuk jual beli tanah tersebut, yaitu :

1) Golongan I, yaitu dokumen status tanah

2) Golongan II, yaitu dokumen identitas penjual dan pembeli dan perbuatan hukum atas tanah

3) Golongan III, yaitu dokumen lain-lain.

b. Kemudian penjual dan pembeli menghadap PPAT untuk dibuatkan akta jual beli, untuk itu PPAT harus bertindak sebagai berikut :

1) Untuk tanah yang belum bersertipikat, “PPAT dapat meminta kehadiran kepala desa dan seorang anggota pemerintah desa untuk bertindak sebagai saksi, juga menjamin bahwa tanah yang akan dijual memang hak milik penjual dan ia berwenang menjualnya”.24

Menurut Harun Al Rasyid, bahwa :

Fungsi akta merupakan sesuatu yang penting bila ia dihubungkan dengan pemindahan hak milik seseorang terhadap sesuatu barang tertentu yang menjadi miliknya, karena akta jual beli tanah mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh akta otentik, maka mempunyai kekuatan pembuktian formal,

24

Effendi Perangin-angin, I, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah dari Sudut Pandang


(31)

artinya para pihak memang benar-benar telah menerangkan apa yang telah diterangkan dalam akta tersebut adalah benar berlaku terhadap pihak ketiga.25

”Sedangkan M. Yahya Harahap berpendapat bahwa, “tujuan akta jual beli tanah hanya sekedar mensejajari jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis disamping penyerahan nyata”.26

2) Untuk tanah yang sudah bersertipikat, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebelum membuat akta jual beli, maka harus meneliti :

(a) Sertipikat tanah ke Kantor Pertanahan tentang sesuai atau tidak dengan arsip data fisik dan data yuridis di Kantor Pertanahan, dalam praktek di lapangan biasanya disebut dengan cek bersih.

(b) Adanya pernyataan dari penjual bahwa bidang tanah tidak berada dalam sengketa.

Selain kedua hal tersebut di atas PPAT juga harus memperhatikan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yang harus dibayarkan pembeli (Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000) dan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan penjual (Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994), dalam hal mana BPHTB tersebut harus dibayar jika Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) telah mencapai Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) namun jika NJOP ini tidak mencapai

25

Harun Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya), (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 66

26


(32)

Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) maka BPHTB tersebut tidak perlu dibayar atau nihil dan jika NJOP tersebut telah mencapai Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) maka PPh juga harus dibayar, namun jika NJOP tidak mencapai Rp.60.000.000,- maka PPh tersebut tidak perlu dibayar atau nihil (rumusan tentang NJOP Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) untuk BPHTB dan Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) untuk PPh, ketentuan ini berlaku di Medan.

Penentuan nilai pengenaan pajak yang harus dibayar wajib pajak ini, yaitu nilai tertinggi diantata nilai jual obyek pajak nyata dengan dengan nilai jual obyek pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).

3) Untuk selanjutnya setelah PPAT membuat akta jual beli, maka PPAT selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta, wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada kantor pertanahan untuk didaftar (Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

Pasal 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 memerinci tujuan dari pendaftaran tanah yaitu :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.


(33)

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Pendaftaran untuk tanah yang belum bersertipikat disebut dengan pendaftaran pertama kali. Pendaftaran pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Ada dua macam pendaftaran tanah pertama kali, yaitu :

a. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan yang diprakarsai oleh pemerintah.

b. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal atas permintaan pemilik tanah.

Pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif, demikian UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, hal ini dilihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf (c) UUPA, bahwa


(34)

pendaftaran menghasilkan surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dalam mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif/stelsel negatif ini, maka dipergunakan lembaga yang terdapat dalam hukum adat yaitu lembaga

rechtsverwerking.

Rechtsverwerking yaitu: apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan

sertipikatnya secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata merasa menguasai tanah tersebut, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat.27

Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah tersebut dikerjakan oleh orang lain, yang memperolehnya dengan itikad baik, maka dia dianggap telah melepaskan haknya atas bidang tanah yang bersangkutan dan karenanya hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.28

Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan adanya lembaga

rechtsverwerking ini antara lain sebagai berikut :

a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 210/K/Sip/1944 tanggal 10 Januari 1956

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 361/K/Sip/1958 tanggal 21 November 1958

27

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendafataran Tanah, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2008), hlm. 147.

28


(35)

c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 329/K/Sip/1957 tanggal 24 Mei 1958. d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 70/K/Sip/1955 tanggal 7 Maret 1959. e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 707/K/Sip/1972 tanggal 4 Desember

1975.

f. Putusan Mahkamah Agung Nomor 695/K/Sip/1973 tanggal 21 Januari 1974.

Menurut Saleh Adiwinata bahwa, “bila kita perhatikan jual beli menurut UUPA dengan membandingkan caranya dalam jual beli sesuai dengan hukum adat sebelum UUPA berlaku, maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli sampai si pembeli menjadi pemilik hak atas tanah berbeda sekali, juga formalitas lainnya lebih mirip kepada jual beli tanah eigendom dulu daripada jual beli tanah dengan hak milik Indonesia”.29

Pernyataan di atas disebabkan kalau sebelum berlakunya UUPA, jual beli hanya dilakukan dihadapan kepala desa, maka menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961, sebagaimana juga menurut Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997, kecuali ada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas sebidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT.30

Berbeda dengan pendapat Saleh Adiwinata, adalah pendapat Boedi Harsono bahwa, “dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang terbuka, lembaga jual beli misalnya, mengalami modernisasi dan penyesuaian, tanpa mengubah hakekatnya sebagai perbuatan hukum pemindaha hak atas tanah dengan pembayaran harganya secara tunai, serta sifatnya dan cirinya sebagai perbuatan yang riil dan terang”.31

29

Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, (Bandung, Alumni, 1976), hlm. 36.

30

Boedi Harsono I, Op.Cit, hlm. 539 31


(36)

Ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dirubah dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pada Pasal 19 disebutkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah memberikan sesuatu hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Negara Agraria (selanjutnya dalam peraturan-peraturan ini disebut sebagai Penjamin), akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.

Dari ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, Achmad Chulaemi berpendapat bahwa, “bila diperhatikan konstruksi kalimat yang dipakai oleh pasal tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa persetujuan jual beli tanah merupakan persetujuan yang konsensuil, karena dipisahkan secara tegas antara persetujuan sendiri dengan penyerahannya (levering) sedangkan dalam hukum adat konstruksi kalimat dengan tidak cocok karena dalam hukum adat menganut asas kontan”.32

AP Parlindungan juga menjelaskan maksud Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, “bahwa pejabat yang dimaksud adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagai satu-satunya pejabat yang berhak melakukan perbuatan akta dan tidak dapat dilaksanakan oleh instansi lain seperti pengadilan negeri ataupun dengan keputusan pengadilan atas setiap peralihan hak atas tanah.33

Sehingga dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hal di atas dipertegas dengan ketentuan yaitu peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,

32

Achmad Chulaemi, Hukum Agraria dan Perkembangan, Macam-macam Hak Atas Tanah

dan Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1996), hlm. 15.

33


(37)

hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai hubungan jual beli dalam UUPA dan hukum adat, Harun Al Rasyid mengatakan bahwa, “jual beli dalam UUPA adalah jual beli yang sesuai dengan hukum adat, yaitu dibayar tunai, karena tanpa dilakukan pembayaran tersebut, maka tidak akan terjadi jual beli dihadapan PPAT dan tidak akan memperoleh akta jual beli dari PPAT yang berarti tidak adanya pemindahan hak atas tanah secara hukum menurut ketentuan yang berlaku”.34

Berbeda dengan pendapat di atas adalah pernyataan Saleh Adiwinata bahwa, “tidak mungkin hak itu kita anggap berpindah ke pembeli pada waktu akta dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peralihan haknya hanya masih disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk juga setelah pembeli mendapat izin, hak atas tanah dapat dianggap telah beralih, namun peralihannya itu belumlah berlaku pada pihak ketiga”.35

Senada dengan pendapat Saleh Adiwinata adalah Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa, “dilihat dari sistem pemindahan hak dalam UUPA, saat lahir hak (kebendaan) adalah pada saat pendaftaran”.36

34

Harun Al Rasyid, Op.Cit, hlm. 36 35

Saleh Adiwinata, Loc.Cit, hlm. 36 36

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Hipotek, (Bandung, Alumni, 1980), hlm. 41.


(38)

2. Konsepsi

Perlu diketahui bahwa konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep merupakan penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran.

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, disebut dengan operation/definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.37

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan, penguasaan, peruntukan atas tanah yang dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. Dari berbagai bentuk peralihan hak atas tanah yang disebut di atas maka yang menjadi pokok bahasan tesis ini adalah peralihan hak atas tanah melalui jual beli.

Harun Al Rasyid mengatakan bahwa, “pengertian jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak/orang lain yaitu dari penjual kepada pembeli”.38

Demikian juga dengan jual beli tanah, yang menggunakan ketentuan UUPA juga berdasarkan hukum adat, seperti ketentuan Pasal 26 ayat

37

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993),

hlm. 10. 38


(39)

(1), UUPA yang menyatakan bahwa jual beli, penukaran, penghibah, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.39

Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang sama sekali belum pernah didaftarkan di Kantor Pertanahan, namun tanah tersebut secara nyata (de facto) berada di dalam kekuasaan pemilik tanah, seperti ada rumah di atasnya atau yang ditanami dengan tanaman.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pengertian pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah serta terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian di atas bahwa, kata-kata ‘suatu rangkaian kegiatan’ menunjukkan kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain berturutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.40 Selanjutnya beliau berkata bahwa, “kata ‘terus menerus’ menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya”.41

39

Ibid, hlm. 13. 40

Boedi Harsono I, Op.Cit, hlm. 72 41


(40)

Data tersebut harus tetap dipelihara bilamana terjadi perubahan baik perubahan terhadap subjeknya dikarenakan adanya perbuatan hukum atas tanah tersebut, seperti pewarisan, jual beli, hibah, wakaf/pemberian dan lain-lain, maupun perubahan yang terjadi pada objeknya, yaitu bilamana terjadi perubahan status hak atas tanah tersebut.

Boedi Harsono melanjutkan pernyataannya bahwa, kata ‘teratur’ menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum”.42

“Mengenai pentingnya pendaftaran tanah, Bachsan Mustafa berpendapat bahwa, pendaftaran tanah akan melahirkan sertipikat tanah, mempunyai arti untuk memberikan kepastian hukum, karena hukum jelas dapat diketahui baik identitas pemegang haknya (subjeknya) maupun identitas tanahnya”.43

Bachtiar Effendi menyebutkan ada dua tujuan pendaftaran tanah yaitu : a. Penyediaan data-data penggunaan tanah untuk pemerintah ataupun

masyarakat.

b. Jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.44

K.Wantjik Saleh juga berpendapat bahwa :

Tujuan diadakannya pendaftaran tanah oleh pemerintah adalah untuk menjamin kepastian hukum, yang meliputi mengenai :

IV.Letak, batas dan luas tanah

V. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah VI.Pemberian berupa surat sertipikat.45

Demikian pula Harun Al Rasyid berpendapat bahwa :

42

Ibid, hlm75 43

Bachsan Mustafa, Hukum Agraria Dalam Perspektif, (Bandung, Remaja Karya CV, 1984), hlm. 58.

44

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan

Pelaksanaannya, (Bandung, Alumni, 1993), hlm. 21

45


(41)

Tujuan pendaftaran tanah adalah terciptanya kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum menyangkut bidang keagrariaan, khusus mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. Kepastrian hukum itu harus meliputi :

A. Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak.

B. Kepastian hukum objek hak (letak, batas-batas dan luas bidang tanah).46

Menurut Boedi Harsono pendaftaran tanah mempunyai fungsi sebagai berikut b. Dalam bidang pembuktian

c. Memberikan jaminan kepastian hukum

d. Dalam hal-hal tertentui sebagai syarat konstitutif bagi terjadinya suatu peristiwa hukum, misalnya terciptanya hak atas tanah, peralihan hak, hapusnya hak.47

VII. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. Data yang diperoleh dari penelitian, diusahakan memberikan gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang dipandang erat hubungannya dengan gejala-gejala yang diteliti, kemudian akan dianalisa mengenai penerapan atau

pelaksanaan peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan mengenai jual beli tanah yang belum bersertipikat serta tata cara pendaftaran haknya di

46

Harun AL Rasyid, Op.Cit, hlm. 82 47

Boedi Harsonoi, III, Beberapa Analisa Tentang Hukum Agraria, Bagian I, Esa Study Club, Jakarta, hlm. 108.


(42)

Kantor Pertanahan untuk mendapatkan data atau informasi mengenai pelaksanaan dan kendala-kendala yang dihadapi.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis disini menekankan dari segi perundang-undangan dan peraturan-peraturan serta norma-norma hukum yang relevan dengan permasalahan ini, yang bersumber pada data sekunder.

Sedangkan pengertian empiris adalah, bahwa di dalam penelitian yang dilakukan dengan melihat kenyataan dalam praktek tentang ketidakseragaman tata cara dan bentuk jual beli tanah yang belum bersertipikat serta tata cara (prosedur) pendaftaran hak atas tanah berikut kendala-kendala yang umumnya dihadapi dalam pendaftaran tanah.

3. Populasi dan Sampel

Penulisan tesis ini didukung dengan penelitian di lapangan (field

research) ini penulis melakukan penelitian di lapangan untuk memperoleh

data dan keterangan yang diperlukan.

“Populasi adalah seluruh objek yang melakukan jual beli atau seluruh gejala dan seluruh unit yang akan diteliti. Oleh karena populasi bisaanya sangat besar dan luas, maka tidak mungkin meneliti seluruh populasi itu, tapi cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sample”.48

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah sebagian masyarakat yang melakukan jual beli tanah yang belum bersertipikat tersebut

48

Ronny Hanitijo Soemitro I, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 44.


(43)

sedangkan Kantor Pertanahan Medan, Notaris, Kelurahan dan Kecamatan adalah sebagai data pendukung.

Metode penentuan sampel yang digunakan adalah purpossive

sampling, yaitu penarikan sampel bertujuan atau dilakukan dengan

cara mengambil subjek atau objek didasarkan pada tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dipilih karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar jumlahnya dari jauh letaknya.49

Berdasarkan teknik sampling di atas, maka diambil sampel :

a. Responden 10 orang yang homogen, bukan untuk mengukur keadaan tetapi untuk mengambil informasinya.

Data pendukung :

b. Kantor Pertanahan Kota Medan

c. Kantor Notaris, Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan di Medan Johor.

4. Alat Pengumpulan Data

”Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui observasi, pengamatan, interview, wawancara, questioner, angket”.50

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara dengan informal. Teknik wawancara berencana, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan yang telah direncanakan atau disusun terlebih dahulu. Tetapi tidak berarti hanya terpancang pada pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan. Disini dimungkinkan variasi

49

Ibid, hlm. 51 50


(44)

pertanyaan lain sesuai pada waktu wawancara, dengan terpusat pada satu pokok tertentu (focused-interview).51

”Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui perpustakaan, dengan menelaah buku-buku literatur, Undang-undang, brosur/ tulisan yang ada kaitan dengan masalah yang akan diteliti”.52

5. Analisis Data

Metode yang digunakan adalah analisa kualitatif, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan

kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. “Data tersebut

kemudian dianalisa secara interpretatif menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada”.53

51

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta, PT.Gramedia, 1986), hlm. 173.

52

Ronny Hanitijo Soemitro II, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, Rajawali, 1984), hlm. 172.

53


(45)

BAB II

TERJADINYA KETIDAKSERAGAMAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT DI KECAMATAN

MEDAN JOHOR

A. Gambaran Umum Daerah

Kota Medan sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Sumatera Utara letaknya cukup strategis secara regional karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara sehingga relatif dekat dengan kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang dan Singapura, bahkan dijadikan barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Kota Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia mempunyai luas wilayah 26.510-Ha terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan.

Kecamatan Medan Johor merupakan salah satu dari 21 Kecamatan yang berada di wilayah Kota Medan yang sebelumnya termasuk Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan Patumbak dan Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan Medan Johor menjadi bagian wilayah Kota Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1973 tanggal 10 Mei 1973 yang luas arealnya lebih kurang 3.228 Ha dan terdiri dari 10 Kelurahan.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1987 Nomor 140/4078/K/1978 tentang Pemekaran Kelurahan di Wilayah Kota Medan, yang salah satu diantaranya terdapat di Kecamatan Medan Johor. Dengan demikian jumlah kelurahan yang tadinya hanya


(46)

10 maka setelah keluarnya SK tersebut jumlah kelurahan di Kecamatan Medan Johor menjadi 11 Kelurahan.

Terakhir kali dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1991, Kecamatan Medan Johor mengalami pemekaran sehingga jumlah Kelurahan menjadi 6 Kelurahan yaitu:

1. Kelurahan Sukamaju luasnya 152-Ha 2. Kelurahan Titi Kuning luasnya 181-Ha 3. Kelurahan Kedai Durian luasnya 98-Ha

4. Kelurahan Pangkalan Masyhur luasnya 400-Ha 5. Kelurahan Gedung Johor luasnya 315-Ha 6. Kelurahan Kwala Bekala luasnya 550-Ha

Kecamatan Medan Johor terletak di wilayah Selatan Kota Medan dengan luas wilayah 1.696-Ha merupakan daerah pemukiman dan resapan air yang mempunyai batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Maimun, Medan Polonia, Medan Kota, Medan baru dan Medan Selayang.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe dan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Amplas.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Selayang dan Medan Tuntungan.


(47)

Luas wilayah Kecamatan Medan Johor secara lebih rinci berikut jumlah penduduk sampai dengan Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1 : Luas Wilayah Kecamatan Medan Johor dan Jumlah Penduduk

Jumlah Penduduk No Kelurahan Luas

Wilayah

Jlh

KK L P L+P

Jumlah

Lingkungan RT RW

1 Sukamaju 152 3.048 7.432 7.101 14.542 13 27 11

2 Titi Kuning

181 5.271 11.920 11.769 23.689 15 47 15

3 Kedai Durian

98 1.459 3.525 3.213 6.738 5 14 3

4 P.Masyhur 400 7.315 17.081 16.545 33.626 15 46 13

5 Gedung Johor

315 5.266 12.446 12.388 24.834 13 17 6

6 Kwala Bekala

550 7.159 17.215 17.389 34.604 20 47 16

Jumlah 1.696 28.725 69.610 68.405 138.015 81 198 64

Sumber: Kantor Camat Medan Johor, 2009

Secara garis besar Kecamatan Medan Johor merupakan kawasan pemukiman namun masih memiliki kawasan pertanian yang terdapat di Kelurahan Gedung Johor dan Kwala Bekala yang masih memiliki peluang untuk dapat dikembangkan menjadi kawasan agrobisnis yang bernilai ekonomis, apalagi jika dapat dikembangkan secara profesional.


(48)

Kebutuhan masyarakat yang meningkat akan tanah maka mendorong pula meningkatnya kegiatan jual beli tanah sebagai salah satu bentuk proses peralihan hak atas tanah. Berbagai aktivitas anggota masyarakat guna memanfaatkan tanah telah mendorong adanya pengaturan perihal sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan pemukiman, mengingat tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah sehingga harus digunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.

B. Alas Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat

Terhadap hak atas tanah yang dikuasai atau diusahai oleh masyarakat sekarang ini dengan suatu bukti kepemilikan ada yang sifatnya tertulis. Namun demikian masih banyak juga yang tidak dilengkapi dengan suatu bukti kepemilikan hak (alas hak) yang jelas dan tidak lengkap, hal ini disebabkan tanah yang dikuasai oleh pemiliknya diperoleh dengan pembukaan tanah pada zaman dahulu secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat setempat.

Seseorang dapat dikatakan mempunyai hak atas tanah atau mendapatkan penetapan hak atas tanah terlebih dahulu harus dibuktikan terlebih dengan adanya dasar penguasaan seseorang dalam menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah yang tidak ditentang oleh pihak manapun dan dapat diterima menjadi bukti awal untuk pengajuan hak kepemilikannya.

Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan hak atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga


(49)

berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini bisanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, akta otentik maupun surat dibawah tangan lain-lain.54

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Alas pemilikan hak atas tanah yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat kepemilikan hak atas tanah di Kantor Pertanahan merupakan satu alat bukti yang dapat digunakan sebagai alat pembuktian data yuridis atas kepemilikan atau penguasaan suatu bidang tanah, baik secara tertulis ataupun berdasarkan keterangan saksi.

Secara perdata, dengan adanya hukum yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dapat dibuktikan dengan penguasaan fisik baik secara nyata di lapangan atau ada alas haknya berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan, tanah tersebut telah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya.

Untuk mengetahui hak atas atas tanah maka terlebih dahulu harus diketahui pengertian hak atas tanah tersebut. Hak atas tanah adalah wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Negara dan Bangsa atau kepentingan umum.

54


(50)

Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diatur bahwa bumi (tanah) dikuasai tertinggi oleh Negara. Dikuasai dalam hal ini bukan berarti dimiliki tetapi negara berwenang untuk:

2. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi (tanah).

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi (tanah).

Hak menguasai dari Negara ini adalah untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat/masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Di Kecamatan Medan Johor terhadap tanah-tanah yang belum bersertipikat dijumpai berbagai jenis alas hak, yaitu:

2. SK Gubernur (Surat Keterangan Gubernur)

3. SKT (Surat Keterangan Tanah) Bupati Deli Serdang

SKT ini didapati karena Kecamatan ini sebelum terjadinya pemekaran dahulunya merupakan wilayah Kabupaten Deli Serdang.

4. SK Camat (Surat Keterangan Camat) Kecamatan Medan Johor. 5. SK Lurah (Surat Keterangan Lurah)

6. Tanah Garapan 7. Grant Sulthan

8. Surat Jual beli di bawah tangan.

Berdasarkan syarat bahwa pemberian/penetapan hak atas tanah harus dibuktikan terlebih dahulu dengan adanya dasar penguasaan yang menunjukkan adanya hubungan hukum pemilik dengan tanah tersebut. Setelah ada dasar


(51)

penguasaan dimaksud maka selanjutnya dapat saja diformalkan hak tersebut dengan penetapan pemerintah. Apabila hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan bukti-bukti tertulis yang pernah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang pada daerah yang sudah bersentuhan dengan administrasi dan yurisdiksi hukum pertanahan seperti pada masyarakat di daerah swapraja/kotapraja maupun bukti-bukti tidak tertulis pada daerah-daerah yang realitas sosial budayanya tunduk pada hukum adat setempat dan status tanahnya masih ditemukan hak ulayat dan hak milik adat, dalam hal ini dilakukan dengan pendaftaran tanah dengan konversi dan pengakuan hak atau penegasan hak.

Untuk daerah-daerah yang tidak pernah diberlakukan administrasi pertanahan dan juga daerah-daerah yang status hukum tanahnya tidak diakui lagi sebagai tanah adat atau dapat dikatakan sebagai tanah negara atau tanah yang langsung dikuasai negara maka kegiatan administrasi dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan dengan cara penetapan pemerintah melalui pemberian hak.

A. Pengertian Dan Pandangan Masyarakat Tentang Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertipikat

Jual beli hak atas atas tanah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, bahkan bagi golongan tertentu jual beli ini sering dilakukan. Penjual merupakan pemilik tanah yang sah atas tanah tersebut, jika jual beli tersebut dilakukan oleh pihak lain dengan surat kuasa dari penjual yang sah dengan itikad tidak baik maka dapat menyebabkan perbuatan hukum tersebut batal demi hukum.


(52)

Pengertian jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela.55

Dalam transaksi jual beli tanah sering kali bangunan dan atau tanaman di atas tanah bersangkutan turut menjadi obyek jual beli, hal ini harus dipertegas sebelum transaksi yang dilakukan, apakah bangunan dan atau tanaman tersebut juga merupakan obyek jual beli atau tidak. Jika bangunan dan atau tanaman tidak disebutkan dalam obyek jual beli secara jelas dan tegas maka secara hukum bangunan dan atau tanaman tersebut tidak turut diperjual belikan, keadaan yang demikian ini karena dalam hukum pertanahan di Indonesia berlaku hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yaitu bangunan dan atau tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, dengan demikian hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi kepemilikan bangunan yang ada di atasnya. Jika hal ini tidak diperhatikan secara teliti dan seksama maka dapat menjadi konflik bagi masyarakat yang melaksanakan jual beli tersebut.

Kebisaaan yang dilakukan masyarakat dalam jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan membayar sejumlah harga pada saat bersamaan dilakukan secara tunai dan terang. Tunai artinya ketika jual beli dilakukan, penjual menyerahkan tanah tersebut kepada pembeli dan penjual menerima pembayaran harganya dari pembeli dan pembeli menyerahkan selembar

55


(53)

kwitansi sebagai bukti telah dilakukan pembayaran untuk selanjutnya pembuatan jual beli tersebut dianggap telah selesai. Terang artinya telah diserahkan fisik benda yang dibeli tersebut dalam hal ini adalah tanah. Perbuatan hukum ini adalah jual beli yang dimaksudkan dalam hukum adat.

Namun demikian ada juga sebagian masyarakat melakukan jual beli di bawah tangan yaitu dengan cara hanya menggunakan selembar kwitansi sebagai bukti peralihan haknya, dimana pembeli menyerahkan sejumlah uang untuk pembayaran dan penjual menyerahkan kwitansi berikut alas hak atas tanah baik berupa SKT (Surat Keterangan Tanah) atau surat-surat lain yang menjadi dasar kepemilikan atas tanah tersebut kepada pihak pembeli untuk dikuasainya, hal ini dilakukan mereka antara lain adalah untuk menghindari biaya yang relatif besar dan prosedur yang berbelit-belit jika mereka harus melakukan transaksi jual beli atau pelepasan hak dihadapan pejabat yang berwenang akan tetapi ada juga masyarakat yang melakukan jual beli ini karena tidak mengetahui tentang prosedur jual beli atau pelepasan hak itu sendiri sehingga mereka menyamakan antara jual beli benda bergerak dengan benda tidak bergerak (tanah).

Seseorang yang melakukan jual beli tanah dengan cara sederhana hanya menggunakan kwitansi sebagai bukti pembayaran maupun sebagai bukti peralihannya adalah perbuatan hukum yang salah dan tidak mempunyai kekuatan hukum ketika kepentingan orang tersebut selaku pembeli terhadap pihak lain tidak terpenuhi, misalnya sebagai berikut:


(54)

1. Pihak pembeli yang terakhir mau melakukan jual beli lagi dengan pihak lain kemudian mereka pergi ke Kantor Camat untuk membuat Surat Pelepasan Hak atau Peralihan Hak Atas Tanah yang tentunya surat-surat aslinya diperlihatkan kepada pegawai Kantor Kecamatan untuk diperiksa dan diteliti secara seksama dengan memperlihatkan surat-surat ini maka diketahuilah bahwa kwitansi tersebut adalah satu-satunya surat yang merupakan bukti bahwa jual beli telah tejadi maka hal ini tentunya menjadi hambatan bagi penjual dan pembeli untuk menindaklanjuti jual beli diantara mereka.

a. Untuk mengatasi hal ini bisanya dilakukan penandatanganan ulang antara penjual dengan pembeli yaitu dengan menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi, setelah hal ini ditandatanganai maka surat ini dilegalisasi oleh Camat setelah hal ini selesai kemudian dibuatlah Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Rugi yang baru yaitu antara pembeli tersebut dengan pihak ketiga (pembeli terakhir), jika penjual telah meninggal dunia maka ahli warislah yang harus menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Rugi. b. Jika penjual tidak dijumpai lagi karena telah pindah atau tidak diketahui

keberadaannya maka Camat akan mengeluarkan Surat Keterangan Tanah setelah berkordinasi dengan pihak kelurahan serta pernyataan-pernyataan dari pihak-pihak yang berkepentingan.


(55)

2. Untuk mendaftarkan tanah agar mendapatkan Sertipikat dari Kantor Pertanahan Medan. Pada saat melakukan pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan maka semua surat tanah secara kronologis akan dilihat, diperiksa dan diteliti secara seksama jika ada surat-surat yang tidak lengkap maka harus dilengkapi, kwitansi tersebut sebagai surat pengalihan hak tidak diterima oleh Kantor Pertanahan untuk melakukan pendaftaran, tentunya sipemohon segera kembali Kantor Lurah atau Camat untuk membuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah mengenai tanah yang diperjualbelikan tersebut.

3. Untuk memperoleh pinjaman uang di Bank, dalam prakteknya surat tanah tersebut dapat dijadikan jaminan saat meminjam uang, setelah permohonan diperiksa oleh pihak bank maka diketahui bahwa kwitansi sebagai dasar kepemilikan calon debitur tidak dapat diproses sebagaimana mestinya, maka calon debitur harus membuat Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi atau dibuatkan Surat Keterangan Tanah oleh Camat.

Jual beli dalam masyarakat awam intinya adalah bergantinya subyek kepemilikan yaitu antara pemilik lama dengan pemilik yang baru dengan adanya pembayaran sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati tanpa memperhatikan prosedur jual beli, aspek-aspek hukum maupun konsekuensinya di kemudian hari.

Perlu ditegaskan jual beli yang dimaksudkan adalah sama dengan Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris maupun Camat, hal ini dikarenakan tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu (sebagaimana yang


(56)

dimaksudkan dalam Pasal 16 UUPA) dan status kepemilikan tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai negara.

Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan, penguasaan, peruntukan atas dasar jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan ke dalam perseroan, pemisahan dan pembagian atau karena warisan.

Untuk tanah yang belum bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh negara maka seseorang hanya boleh menguasainya untuk diusahakan sehingga mendapat manfaat dari tanah tersebut. Apabila dilakukan jual beli terhadap tanah tersebut berarti terjadi peralihan hak dari penjual kepada pembeli yang diikuti dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan hak atas tanah tersebut, hak yang dimaksudkan adalah hak dalam arti menguasai dan mengusahakan atau mengelola tanah tersebut.

Hak-hak atas tanah yang belum bersertipikat lebih mengacu kepada kepada hak seseorang yang telah memperoleh manfaat dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara, tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang dapat menggarapnya untuk diusahakan atau dikelola.

Seseorang yang telah menjadi pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat tidak dapat memberikan haknya tersebut kepada orang lain dengan begitu saja karena hak itu merupakan kewenangannya namun yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya dengan akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat dihadapan Notaris


(57)

ataupun Surat Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi oleh Notaris ataupun Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh Camat.

Dengan melepaskan haknya itu, tanah yang terlibat menjadi tanah negara, yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas tanah tersebut.56

Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang cukup menentukan dalam perbuatan hukum di atas adalah yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasan hak atau penyerahan tanah itu adalah imbalan sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah.

Berdasarkan ketentuan ini dapat kita ketahui bahwa ganti rugi merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah yang telah dilepas atau diserahkan oleh pembeli.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka jelaslah bahwa begitu mudah dan gampangnya masyarakat untuk melaksanakan peralihan hak atas tanah tanpa mengetahui proses ataupun cara peralihan itu sehingga pada saat pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan maupun segala hal yang menyangkut tanah tersebut terhadap pihak lain pastilah terjadi kesulitan.

56

AP.Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, (Bandung, Mandar Maju, 1997), hlm. 135


(58)

Bagi sebagian masyarakat yang telah mengetahui teknis dan tata cara peralihan hak atas tanah tentu tidak akan mau untuk melakukan transaksi jual beli tersebut dengan demikian mudahnya, apalagi jika tidak sesuai prosedur karena dapat menimbulkan sengketa atau konflik di kemudian hari. Untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum peralihan atau pelepasan hak atas tanah maka harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang untuk melaksanakan peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut yaitu ke Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan ataupun ke Kantor Notaris guna menjamin kepastian hukum tentang peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut.

Kenyataan ini dapat kita lihat dengan adanya surat-surat tanah yang dibuat oleh Camat maupun Lurah. Surat-surat yang dibuat Camat ataupun Lurah adalah untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang mereka kuasai, tanah-tanah tersebut merupakan tanah-tanah yang belum dikonversi atau tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang diduduki oleh rakyat, sehingga tanah tersebut merupakan hak seseorang.

Pada umumnya Camat sering mengeluarkan “SK Camat” (Surat Keterangan Camat) yang dibuat dengan berbagai judul seperti Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi dan lain sebagainya, surat ini dibuat oleh Camat sebagai bukti hak ataupun bukti peralihan hak atas tanah sehubungan dengan adanya jual beli tanah. Dari penelitian dan data-data yang diperoleh, pada Kantor Camat Medan Johor judul surat pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat adalah “Surat Pernyataan Pelepasan Penguasaan Tanah Dengan Ganti Rugi”, sedangkan terhadap tanah-tanah


(1)

bertujuan untuk mengalihkan hak atau memindahkan hak dan kewajiban atas tanah dari penjual kepada pembeli.

3. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah Republik Indonesia tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya disebabkan sumber daya manusia, peralatan kurang memadai dan sistem pemetaan yang kurang baik pada kantor pertanahan Medan serta alas hak yang kurang lengkap, tanda batas tidak dipasang, terjadinya sengketa (konflik) tanah, biaya yang relatif besar, prosedur yang berbelit-belit dan beranggapan bahwa alas hak yang dipunyai mempunyai kekuatan yang sama dengan sertipikat menurut masyarakat, sehingga dengan demikian azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka (pasal 2 PP No.24 Tahun 1997) belum dapat diterapkan sepenuhnya.


(2)

2. Saran

Memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat dirumuskan beberapa saran sebagai masukan kepada semua pihak terkait dengan penelitian tesis ini, yaitu:

1. Agar instansi-instansi yang terkait melaksanakan sosialiasi hukum agar masyarakat memahami tentang pentingnya peralihan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang bukan menurut kebiasaan ataupun dengan menggunakan kwitansi, sehingga dasar pengajuan pendaftaran hak/ permohonan hak ataupun sebagai dasar untuk mengalihkannya kepada pihak lain khususnya terhadap tanah-tanah yang belum bersertipikat tidak menimbulkan konsekuensi yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri di kemudian hari.

2. Diharapkan kepada Camat dan Notaris agar meneliti alas hak secara seksama dan bertindak professional dalam membuat surat atau akta peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat agar legalitas surat/akta tersebut dapat dipertanggung jawabkan serta untuk mencegah terjadinya sengketa.

3. Penyuluhan Hukum bersifat terpadu yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Kota Medan secara bersama-sama dengan pihak Kecamatan, Kelurahan ataupun pihak-pihak lain yang terkait perlu digiatkan dan dilaksanakan agar masyarakat mengetahui dan memahami pentingnya sertipikat dan segera mendaftarkan sertipikatnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adiwinata, Saleh, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, Alumni, Bandung, 1976 Al Rasyid, Harun, Sekilas tentang Jual beli Tanah Berikut Peraturan-peraturannya,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987

Atmosudirjo, S.Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994 Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1981

_______________________, Aneka Hukum Bisnis, Aneka, Bandung, 1981 _______________________, Bab-bab Tentang Hipotek, Alumni, Bandung, 1980 Chulaemi, Achmad, Hukum Agraria dan Perkembangan, Macam-macam Hak Atas

Tanah dan Pemindahannya, FH-UNDIP, Semarang, 1996

Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksanaan Landrefrom di Indonesia dan Permasalahannya, Medan, FH USU Press 2000

Doerjadi, Trimoelja. D., Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT, yang disampaikan pada acara Temu Ilmiah dan Pembinaan Serta Pembekalan Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah IPPAT, Garden Palace Hotel, Surabaya tanggal 14 Juli 2003

Effendi, Bachtiar, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Bandung, Alumni, 1983

_______________, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993

Harahap, M.Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2003.


(4)

_____________, Beberapa Analisa Tentang Hukum Agraria, Bagian I, Esa Study Club, Jakarta

I.G.N. Sugangga, Pengantar Hukum Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, 1994 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Edisi Ke-II, Cetakan ketiga, Jakarta, 1994

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT.Gramedia, Jakarta, 1986

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994

Lubis, Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendafataran Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008

Mustafa, Bachsan Hukum Agraria Dalam Perspektif, Remaja Karya CV, Bandung, 1984

Parlindungan, AP., Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, 1973 _______________, H. Serba Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung, 1984

_______________, Konversi Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1997

_______________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999 Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut

Pandang Praktisi Hukum, CV.Rajawali, Jakarta, 1987

___________________, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Press, Jakarta, 1993

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985

Rasjidi dan Rasjidi Ira Thania, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wet Boek, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996


(5)

_________, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 1979

Saleh, K.Wantjik, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977

Sembiring, M.U., Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notaris, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997

_____________, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notaris, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997

Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993

Soemitro Ronny Hanitijo, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1984

____________________, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988

Soetiknyo, Imam, Proses Terjadinya UUPA, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1987

Thalib, Sajuti, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985

Wignjodipuro, Sorojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, MCML, XXXII, Jakarta, 1982

Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1974 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997


(6)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan

Jurnal dan Laporan

Chairani Bustami, Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dengan Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis Magister Kenotariatan Sekolah PascaSarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Kekuatan Sertifikat Hak Milik Diatas Tanah Yang Dikuasai Pihak Lain (Studi Kasus Atas Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan NO.39/G.TUN/2006/PTUN.MDN)

4 67 127

Kendala Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pertama Kali (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Medan)

6 92 132

Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak atas Tanah Pada Kantor Pertanahan di Kota Medan

0 40 4

Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pada Kantor Pertanahan Di Kota Medan

0 37 2

Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Warisan Di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal

2 14 75

Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah karena warisan Di Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes

0 7 63

PERALIHAN HAK ATAS TANAH KARENA JUAL BELI KHUSUSNYA YANG BELUM BERSERTIFIKAT DAN PENDAFTARAN HAKNYA PERALIHAN HAK ATAS TANAH KARENA JUAL BELI KHUSUSNYA YANG BELUM BERSERTIFIKAT DAN PENDAFTARAN HAKNYA DI KANTOR PERTANAHAN (STUDI KASUS DI DESA NGIJO KECAM

0 0 11

PENDAHULUAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH KARENA JUAL BELI KHUSUSNYA YANG BELUM BERSERTIFIKAT DAN PENDAFTARAN HAKNYA DI KANTOR PERTANAHAN (STUDI KASUS DI DESA NGIJO KECAMATAN TASIKMADU KABUPATEN KARANGANYAR).

0 1 18

PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KARANGANYAR.

0 0 11

Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah karena warisan Di Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes.

0 0 1