Ringkasan - REKONSTRUKSI NILAI BUDAYA DARI PERIBAHASA MINANGKABAU DAN PEMBUDIDAYAANNYA DALAM UPAYA MEMPERKOKOH FILOSOFI ADAT BASANDI SARAK-SARAK BASANDI KITABULLAH (ABS-SBK).

RINGKASAN
LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL

REKONSTRUKSI NILAI BUDAYA DARI PERIBAHASA MINANGKABAU DAN
PEMBUDIDAYAANNYA DALAM UPAYA MEMPERKOKOH FILOSOFI ADAT
BASANDI SARAK-SARAK BASANDI KITABULLAH (ABS-SBK)

Oleh
Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum
Dra. Lindawati, M.Hum
1. Pendahuluan
Peribahasa yang terdiri dari ungkapan, pepatah dan perumpamaan selain
memiliki bentuk, makna, dan fungsi tersendiri juga diperkirakan mengandung
keberagaman nilai baik yang dipedomani maupun yang tidak dipedomani. Karena
faktor-faktor seperti arus globalisasi, desakan bahasa nasional dan perusakan
lingkungan, nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa perlu direkonstruksi
sehingga nilai-nilai itu dapat dipahami dan digunakan kembali secara utuh oleh
masyarakat Minangkabau yang pada saat ini sudah mulai berada di persimpangan
jalan.
Peribahasa yang hampir-hampir dapat diidentikkan dengan bahasa figuratif,
metafora atau analogi menurut Recour (2002), berbeda dari bahasa biasa. Perbedaan

itu menjadikannya sebagai bahasa orang cerdik cendikia. Lebih dari itu, peribahasa
adalah juga bahasa yang multi fungsi dan membentuk keperibadian. Namun demikian,
peribahasa tidak mudah dipahami dan digunakan sehingga perlu direkonstruksi ulang
untuk memberikan pemahaman terutama kepada generasi muda dalam upaya
memperkokoh filosofi ABS-SBK.
Bertolak dari kenyataan di atas, masalah yang dikaji dan temuan yang
ditargetkan dari penelitian ini adalah (1) rekonstruksi semua nilai yang terkandung
dalam peribahasa Minangkabau baik nilai-nilai yang dipedomani maupun yang
seharusnya dihindari; (2) hubungan antara nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
peribahasa dengan filosofi adat basandi sarak-sarak basandi kitabullah; (3) tingkat
pemahaman generasi muda Minangkabau terhadap nilai budaya yang terkandung
dalam peribahasa; (4) langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya
membudidayakan nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa.
2. Jenis Penelitian, Teori dan Metode Yang Digunakan
Kajian dilakukan dari perspektif etnolinguistik yang dikemukakan oleh
Malinowski dan selanjutnya dikembangkan oleh Duranti (1997), Foley (1997) dan
Kramsch (1998). Pada intinya etnolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa
dengan budaya. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan
pragmatik dan etnografi komunikasi. Sebuah peribahasa dapat mengandung banyak
makna tergantung kepada faktor etnografisnya. Penelitian dilakukan di seluruh

wilayah Minangkabau (Sumatera Barat). Penelitian dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif dengan menggunakan data lisan dan tulisan. Data dikumpulkan dengan
1

menggunakan metode SLC (Simak Bebas Libat Cakap) dan SBLC (Simak Bebas
Libat Cakat). Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik untuk analisis
kuantitatif serta metode padan dan distribusi untuk analisis kualitatif.
3. Hasil Penelitian
3.1 Pemahaman dan Penggunaan Peribahasa
3.1.1 Pemahaman dan Penggunaan Peribahasa oleh Penutur BM Berusia 15-20
Secara keseluruhan kelihatannya, tingkat pemahaman dan penggunaan peribahasa di kalangan penutur muda bahasa Minangkabau sangat rendah. Berbagai
faktor penyebab rendahnya pemahaman peribahasa di kalangan generasi muda
mengemuka. Penutur muda tidak lagi berada di lingkungan di mana peribahasa itu
tumbuh dan berkembang. Benda-benda dan objek yang dijadikan peribahasa tidak lagi
mereka kenali. Selain dari itu, model berbahasa yang mengacu ke gaya bahasa anak
muda di televisi, ragam bahasa kota yang menjadi rujukan adalah juga sangat
berkontribusi bagi pelemahan pemahaman peribahasa yang ada dalam bahasa daerah
seperti bahasa Minangkabau.
3.1.2 Pemahaman dan Penggunaan Peribahasa oleh Penutur BM Berusia 20-25
Secara keseluruhan tingkat pemahaman dan penggunaan peribahasa penutur

dengan usia 20-25 tahun juga tergolong rendah. Penyebab-penyebab rendahnya
pemahaman mereka terhadap peribahasa hampir sama dengan yang terjadi pada
penutur dengan usia 15-20 tahun sebagaimana dikemukakan di atas. Bila
dibandingkan dengan penutur berusia 15-20 tahun, tingkat pemahaman peribahasa
penutur berusia 20-25 tahun lebih baik. Pada usia 15-20 tahun, yang menyatakan
jarang memahami peribahasa berjumlah 65%, sedangkan pada penutur dengan usia
20-25 tahun, yang menyatakan jarang memahami peribahasa berjumlah 14%.
Perbedaan angka keduanya cukup signifikan. Fenomena seperti ini terjadi karena
penutur yang sudah beranjak dewasa memiliki akses ke lingkungan dan orang tua-tua
mereka lebih banyak dan pengalaman juga sudah berbeda.
3.2 Rekonstruksi Nilai Budaya dari Peribahasa Minangkabau
Penelitian ini berhasil merekonstruksi nilai budaya sebanyak 26 jenis. Nilai
budaya tersebut adalah kesia-siaan, keangkuhan, prinsip hidup (teguh pendirian, tidak
teguh pendirian, serba tanggung), membuka aib, boros, hemat, cemat, bersih dan teliti,
kesantunan, keadilan, undang-undang/hukum alam, kewaspadaan/kehati-hatian,
kesabaran, multinilai, solidaritas, kreatifitas, diskriminasi, dominasi, galir,
keserasian /keindahan, tidak membalas guna, kebijaksanaan, kemakmuran,
ketertindasan dan kikir. Semua nilai budaya itu dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu peribahasa yang memiliki nilai budaya positif dan peribahasa dengan
nilai budaya negatif. Peribahasa dengan nilai budaya positif dapat dijadikan sebagai

nilai yang dipedomani untuk ditiru, sedangkan peribahasa dengan nilai budaya negatif
adalah juga untuk dipedomani untuk tidak ditiru. Kedua kategori nilai budaya yang
terkandung dalam berbagai bentuk peribahasa sangat sejalan dengan ajaran syarak
(Agama Islam) di Minangkabau seperti terlihat pada diagram berikut.
Diagram 1: Rekonstruksi Nilai Budaya Peribahasa (I)
2

KITABULLAH
KITABULLAH
[AL
[AL QUR’AN]
QUR’AN]

ADAT
ADAT BASANDI
BASANDI SYARAKSYARAKSARAK
SARAK BASANDI
BASANDI KITABULLAH
KITABULLAH
NILAI

NILAI BUDAYA
BUDAYA DALAM
DALAM
PERIBAHASA
PERIBAHASA

Hemat, Cemat, Bersih
dan Teliti, Kesantunan,
Teguh Pendirian,
Keadilan, UndangUndang/Hukum
Alam, Kewaspadaan/
Kehati-hatian,
Kesabaran, Multinilai,
Solidaritas, Kreatifitas,
Keserasian /Keindahan,
Kebijaksanaan, dan
Kemakmuran

AL
AL QUR’AN

QUR’AN

Al-Furqaan :1-2
dan ayat-ayat lainnya
dalam Al-Qur’an

NILAI YANG DIPEDOMANI

ADAT
ADAT

SYARAK
[ISLAM]

Syarak mangato, adat mamakai
Diagram 2: Rekonstruksi Nilai Budaya Peribahasa (II)
3

KITABULLAH
KITABULLAH

[AL
[AL QUR’AN]
QUR’AN]

ADAT
ADAT BASANDI
BASANDI SYARAKSYARAKSARAK
SARAK BASANDI
BASANDI KITABULLAH
KITABULLAH
NILAI
NILAI BUDAYA
BUDAYA DALAM
DALAM
PERIBAHASA
PERIBAHASA

Kesia-siaan,
Keangkuhan, Tidak
Teguh Pendirian, Serba

Tanggung, Membuka
Aib, Boros,
Diskriminasi, Dominasi,
Galir, Tidak Membalas
Guna, Ketertindasan
dan Kikir

AL
AL QUR’AN
QUR’AN

Al-Furqaan :1-2
dan ayat-ayat lainnya
dalam Al-Qur’an

NILAI YANG TIDAK DIPEDOMANI

ADAT
ADAT


SYARAK
[ISLAM]

Syarak melarang, adat tidak membenarkan
3.3 Pembudidayaan Nilai Budaya Peribahasa Minangkabau
4

Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk membudidayakan nilai budaya
yang terkandung dalam peribahasa Minangkabau antara lain adalah (1) pembelajaran
di sekolah; (2) menciptakan ruang yang lebih luas bagi penggunaan bahasa
Minangkabau atau pembiasaan diri penutur bahasa Minangkabau menggunakan
bahasa Minangkabau pada situasi-situasi informal terutama di dalam keluarga; (3)
mengadakan pelatihan pidato adat atau pelatihan pidato pasambahan karena ragam
bahasa Minangkabau pada pidato adat dan pasambahan sangat kaya dengan
peribahasa (petatah-petitih, ungkapan dan perumpamaan) dan harus disampaikan
melalui peribahasa (ungkapan, petatah-petitih dan perumpamaan); (4) menghidupkan
dan melindungi acara-acara adat; dan (5) penciptaan kebijakan strategis oleh para
pengambil kebijakan di Minangkabau (Sumatera Barat).
3.4 Kesimpulan
Nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa Minangkabau perlu

dibudidayakan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya
tersebut merupakan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, anjuran-anjuran,
peringatan-peringatan, dan hikmah-hikmah yang dapat dipedomani untuk mengatur
hidup manusia dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya, dan yang paling utama
dengan penciptanya.

5