PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP ANDRAGOGI DALAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN (DIKLAT) PENGEMBANGAN MUTU SDM SATUAN POLISI PAMONG PRAJA : Studi Kasus Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ...i

ABSTRAK ...ii

ABSTRACK...iii

KATA PENGANTAR ...iv

UCAPAN TERIMA KASIH ...v

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR GAMBAR ...X DAFTAR TABEL...xi

BAB I Pendahuluan ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian.. ...8

D. Manfaat Penelitian ...9

E. Penjelasan Istilah ...9

F. Sistematika Penulisan ...10

BAB II Kajian Pustaka, Kerangka Berfikir ...12

A. Konsep Sumber Daya Manusia ...12

B. Konsep Pendidikan Luar Sekolah ...15

1. Pengertian Pendidikan Luar Sekolah ...15

2. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah ...17

3. Ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah ...18

4. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam PLS ...18

C. Konsep Pendidikan Orang Dewasa ...22

1. Pengertian Pendidikan Orang Dewasa ...22


(2)

3. Prinsip Pendidikan Orang Dewasa ...28

4. Kondisi Pendidikan Orang Dewasa ...32

5. Proses Pembelajaran Orang Dewasa...35

6. Pengaruh Penurunan Faktor Fisik Orang Dewasa dalam Belajar ...46

7. Metode Pendidikan Orang Dewasa...49

8. Metode Mutakhir ...51

D. Konsep Pendidikan dan Latihan (Diklat) ...52

1. Pengertian Diklat ...52

2. Manfaat Diklat ...54

3. Diklat Satpol PP ...55

E. Konsep Sikap Kerja Satpol PP ...56

1. Pengertian Sikap Kerja ...56

2. Faktor yang Mempengaruhi Sikap Kerja ...65

3. Jasa Publik dan Layanan Sipil ...67

F. Penelitian Terdahulu ...77

G. Kerangka Pemikiran ...79

BAB III Metode Penelitian ...81

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ...81

B. Definisi konseptual dan definisi operasional ...82

1. Definisi Konseptual ...82

2. Definisi Operasional ...83

C. Lokasi dan subjek Penelitian ...84

D. Teknik Pengumpulan Data ...86

1. Wawancara...86

2. Teknik Observasi ...87

3. Studi Dokumentasi ...88

4. Studi Literatur ...88

E. Instrumen Penelitian. ...89


(3)

1. Tahap Persiapan ...89

2. Tahap Pelaksanaan ...90

3. Tahap Akhir ...91

G. Pengolahan dan Analisis Data ...91

H. Validitas Hasil Penelitian... ...93

BAB IV Hasil TEMUAN ...96

A. Gambaran Profil Satuan Polisi Pamong Praja ...96

B. Deskripsi Hasil Penelitian ...101

1. Kategori Peserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP ...101

2. Hasil Wawancara ...105

C. Analisis Hasil Peneltian ...162

1. Analisis Proses pembelajaran Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP ...162

2. Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Andragogi Dalam Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP ...176

3. Analisis Sikap Kerja Anggota Satpol PP ...199

BAB V. Pembahasan ...208

A. Tinjauan Terhadap Proses pembelajaran Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP ...208

B. Tinjauan Terhadap Penerapan Prinsip-Prinsip Andragogi Dalam Proses Pembelajaran Diklat Pengembangan SDM Satpol PP Provinsi DKI Jakarta ...217

C. Tinjauan Terhadap Sikap Anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta Dalam Menjalankan Tugas. ...225

BAB V Kesimpulan ...239


(4)

DAFTAR PUSTAKA ...241 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Asal usul Layanan Civil civil service...67 Gambar 2.2: Kerangka Berfikir...80


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Perbedaan Jasa Publik dan Layanan Civil ... 68 Tabel 4.1: Kategori Peserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP

Berdasarkan Jenis Kelamin ... 101 Tabel 4.2 : Kategori Peserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP

Berdasarkan Usia ... 102 Tabel 4.3 : Kategori Peserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP

Berdasarkan Status Marital ... 103 Tabel 4.4: Kategori Peserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP

Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 104 Tabel 4.5: Materi Diklat ... 177


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan aset yang berharga. Keberhasilan suatu organisasi ditentukan dari kualitas orang-orang yang berada di dalamnya. Sumber daya manusia (SDM) akan bekerja secara optimal jika organisasi dapat mendukung kemajuan karir dengan melihat kompetensi SDM. Pelatihan dan pengembangan SDM akan mempertinggi produktivitas anggota sehingga kualitas kerja pun menjadi lebih tinggi dan berujung pada puasnya pengguna jasa dan organisasi akan memperoleh keuntungan.

Satuan Polisi Pamong Praja merupakan institusi yang dibentuk sesuai dengan tututan dan amanat Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, Pasal 120 yang mengatur tentang keberadaan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22 Tahun 1999, 1999: 408).

Pengarusutamaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ditekankan pada upaya dalam membina ketenteraman ketertiban masyarakat (Tramtibmas), memberi peringatan dini dan penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. Penegakan Peraturan Daerah (Perda) yang harus ditaati oleh semua pihak dengan kewenangan prosedural. Upaya ini diwujudkan dalam


(8)

bentuk sistem perlindungan masyarakat, dimana kepentingan masyarakat sebagai hal yang utama. Sistem perlindungan masyarakat dilakukan melalui pendekatan pengayoman, pencegahan, pembinaan hingga penindakan atas pelanggaran peraturan yang berlaku dalam masyarakat.

Satpol PP Provinsi DKI Jakarta sebagai satuan organisasi perlu memilliki kemampuan untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya dan potensi sumber daya secara optimal. Kemampuan tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan dan latihan (Diklat). Diklat merupakan proses pembelajaran untuk dapat meningkatkan kompetensi agar pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan tuntutan tugas yang diemban. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 dinyatakan bahwa Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri Sipil (http://sida. lan.go.id/attachment, Januari 2012).

Petugas Satpol PP hendaknya memperoleh Diklat yang terfokus pada peningkatan kompetensi agar dapat lakukan tugas tanggung jawab dan fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Pendekatan Diklat Satpol PP yang selama ini masih belum terfokus pada peningkatan kompetensi petugas satpol PP dilapangan. Tugas di lapangan menuntut setiap petugas melayani masyarakat secara langsung yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pengembangan partisipasi masyarakat. Namun pada kenyataan di lapangan masih ditemui terjadinya bentrok antara personel satpol PP dengan


(9)

pedagang kaki lima ketika dilakukan pembinaan (suaramerdeka.com). Hal ini menunjukkan bahwa pembinaan SDM melalui Diklat yang telah dilakukan perlu ditinjau kembali.

Sistem Diklat yang dilaksanakan dalam membina anggota Satpol PP ada beberapa bentuk Diklat, diantaranya adalah Diklatsar (pendidikan dan pelatihan dasar), Diklat Teknis, Diklatpim, dll. Diklat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Diklat Peningkatan Mutu SDM. Diklat Peningkatan Mutu SDM merupakan diklat yang diberikan kepada anggota Satpol PP sebagai pengayaan dalam membekali anggota satpol PP yang bertugas di lapangan.

Anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam menjalankan tugas berhadapan langsung dengan anggota masyarakat. Sikap kerja anggota satpol PP dalam mengemban tugas dan memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan cermin dan refleksi dari organisasi Satpol PP secara keseluruhan. Peranan anggota satpol PP dalam organisasi sangat penting. maka kualitas sumber daya manusia Satpol PP harus dapat dioptimalkan melalui pelatihan dan pengembangan anggota satpol PP. Hal ini memberikan dampak yang positif ketika anggota Satpol PP dalam menjalankan tugas dillapangan mampu memberikan pelayanan yang baik dan akan membawa pada peningkatan kinerja organisasi. Pengembangan manusia dalam organisasi memberikan kualitas dan kemampuan kerja yang akan berdampak pada peningkatan kinerja organisasi Satpol PP.


(10)

Kurangnya kemampuan komunikasi dan upaya pendekatan yang lebih partisipatif dalam melakukan operasi penegakan Perda menunjukkan masih lemahnya kualitas SDM Satpol PP. Sehingga tidak jarang ditemui penegakan Perda yang berujung pada bentrokan fisik maupun pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Satpol PP itu sendiri.

Kemampuan komunikasi dan negosiasi melalui pendekatan yang lebih humanis saat ini menjadi prioritas tuntutan tugas yang harus dipenuhi. Kegagalan dalam melakukan komunikasi dan upaya negosisasi dalam melaksanakan operasinya berakibat pada terjadinya kericuhan yang tidak jarang berujung pada bentrok fisik antara masyarakat dengan aparat Satpol PP.

Pemberitaan tentang penertiban pedagang kaki lima di media cenderung memojokkan dan menempatkan Satpol PP sebagai figur aparat yang keras dan melanggar HAM. Namun disisi lain dukungan dari masyarakat pun kerap diperoleh agar Satpol PP tetap menjaga ketentraman dan ketertiban di wilayah DKI Jakarta.

Masyarakat saat ini mulai cerdas menyadari hak nya untuk memperoleh pelayanan yang baik dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Kondisi ini menjadi sebuah tuntutan bagi Satpol PP untuk dapat memberikan pelayanan sesuai harapan masyarakat.

Tuntutan masyarakat ini dapat dipenuhi melalui upaya pelatihan dan pengembagan SDM. Kesenjangan antara masih rendahnya kualitas SDM Satpol PP dengan tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang


(11)

baik menjadi pekerjaan rumah dan harus dilakukan langkah penangangan yang serius.

Pendekatan Diklat yang dapat merangsang pembentukan sikap humanis anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta perlu dilakukan guna mengimbangi pendekatan militeristik yang selama ini diterapkan pada pendidikan dasar seorang anggota Satpol PP. Pendekatan Diklat yang tepat diharapkan dapat membentuk sikap anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan tuntutan tugas yang diembannya.

Pendekatan Diklat berasaskan pendekatan andaragogi pada dasarnya sudah dilakukan dalam setiap diklat yang dilaksanakan oleh satpol PP. Porsi dan konten berbasiskan pendekatan andragogi masih minim dalam implementasi Diklat. Diklat masih beroentasi pada hal yang bersifat teknis dan fungsional. Diklat teknis dan fungsional ini memberikan dampak yang kurang signifikan terhadap sikap humanis anggota Satpol PP dalam menjalankan operasinya di lapangan.

Pendekatan Diklat berasaskan pendekatan andragogi menjadi hal yang penting. Diklat bagi anggota Satpol PP hendaknya didasari oleh suatu kesadaran bahwa semua peserta Diklat adalah orang dewasa yang sudah bisa menggunakan akal sehat untuk memilih dan berpikir secara optimal. Kesadaran ini penting untuk diterapkan dalam setiap Diklat mengingat pada praktek pelaksanaan tugas di lapangan, seorang anggota Satpol PP dituntut untuk dapat memperhitungkan setiap alasan dan resiko dari tindakan yang diambil. Prinsip andragogi memberikan rangsangan terhadap pola pikir dan


(12)

perilaku peserta Diklat agar menjadi penguatan terhadap kepercayaan diri dari setiap anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan tugasnya dilapangan.

Menerapkan prinsip-prinsip andragogi dalam penyelenggaraan Diklat adalah hal yang amat penting untuk dilaksanakan. Terciptanya suasana Diklat yang kondusif merupakan suatu upaya fasilitasi untuk mendorong peserta Diklat agar mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dalam belajar.

Seorang anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta yang telah memiliki konsep diri akan bergerak menuju ke arah pengendalian diri sendiri. Pengendalian diri ini sangat penting agar dalam melaksanakan tugas dilapangan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Pengalaman yang telah dimiliki turut membentuk konsep diri seseorang, pengalaman bagi orang dewasa merupakan sumber daya terkaya, dimana cara belajar orang dewasa adalah analisis pengalaman. Berhadapan dengan massa yang menolak, pelanggar aturan bahkan terancam terlibat dengan aksi kekerasan,

Proses Diklat yang diikuti merupakan pembekalan dan pengayaan dalam mengemban tugas. Hal ini menuntut kesiapan belajar dari setiap anggota untuk mengikuti proses Diklat, dengan bekal pengalaman yang dimiliki, tentunya hal ini akan dikonfrontasikan dengan materi yang disampaikan dalam proses Diklat, hal ini akan berkembang menjadi diskusi


(13)

yang menarik dalam proses belajar. Konfrontasi materi dengan pengalaman serta konsep diri yang dimiliki merupakan suatu proses membentuk kesiapan belajar dalam diri individu anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta agar mampu menjalankan peranannya di masyarakat. Kesiapan belajar ini tumbuh karena didasari oleh kebutuhan hidupnya sebagai anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta.

Proses diklat yang telah dilengkapi dengan konsep diri, pengalaman serta kesiapan belajar dari peserta diklat akan membentuk orientasi belajar yang terpusat pada pemecahan masalah. Setiap kasus yang mampu dipecahkan dalam proses Diklat dapat memberikan pengalaman baru bagi anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dan berguna bagi bekal informasi untuk mengadapi masalah dalam menjalankan tugas dan hidupnya.

Pendekatan andragogi merupakan pendekatan yang sesuai diterapkan dalam Diklat Satpol PP Provinsi DKI Jakarta. Sebagai orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh peserta Diklat yang dirasakan berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dan orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan. Proses Diklat yang telah dilalui diharapkan dapat memberikan dampak kepada perubahan sikap yang positif bagi anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan tugas dilapangan. Sikap yang professional sesuai dengan tuntutan tugas dalam menegakkan Perda dan sebagai pengayom masyarakat.


(14)

Penulis bermaksud untuk menggali lebih dalam mengenai penerapan andragogi dalam Diklat Satpol PP Provinsi DKI Jakarta khususnya dalam Diklat Peningkatan Mutu SDM. Penulis meyakini bahwa sebagian besar orang dewasa memiliki ketertarikan dalam belajar serta termotivasi ke arah pendidikan secara terus menerus. Kita tidak pernah mengetahui seberapa banyak pengetahuan yang diinginkan oleh orang dewasa tentang diri dan dunia yang mereka tinggali. Oleh karena itu, diklat sebagai upaya pendidikan orang dewasa adalah upaya untuk menemukan metode baru dan menciptakan insentif baru untuk belajar dimana implikasinya bersifat kuantitatif, bukan bersifat kualitatif.

B. Indentifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah penerapan prinsip andragogi dalam Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol

PP Provinsi DKI Jakarta”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk

1. Mendeskripsikan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP Provinsi DKI Jakarta


(15)

2. Mendeskripsikan penerapan prinsip-prinsip andragogi dalam proses pembelajaran yang dilaksanan dalam diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP Provinsi DKI Jakarta.

3. Mendeskripsikan sikap anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam menekuni pekerjaannya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik bersifat teoritis maupun praktis

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang konsep pendidikan dan pelatihan dalam upaya pembinaan dan pengembangan kompetensi.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka meningkatkan hasil kualitas pendidikan non formal, serta dalam rangka penerapan prinsip-prinsip andragogi dalam proses pembelajaran Diklat.

E. Penjelasan Istilah

1. Prinsip Andragogi adalah suatu prinsip dalam proses pembelajaran yang dapat membantu orang dewasa untuk menemukan sesuatu dan mempergunakannya dalam suasana atau satuan pembelajaran untuk


(16)

mendorong perkembangan seseorang baik dalam suatu organisasi maupun dalam masyarakat.

2. Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP adalah suatu cara yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh petugas Satpol PP dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk saat ini atau untuk masa depan.

3. Sikap kerja satpol PP adalah sikap dan tindakan seseorang terhadap kewajiban pekerjaan, tanggung jawab, hasil dari usaha yang dilakukan serta harapannya terhadap pengalaman masa depan sebagai seorang anggota Satpol PP.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan selanjutnya, berikut ini sistematika penulisan yang digunakan pada penulisan tesis ini sebagai berikut:

BAB I. Cakupan pada bab I berisi tentang pendahuluan yaitu meliputi latar

belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan dan pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi dasar, definisi operasional, kerangka berfikir, dan sistematika penulisan.

BAB II. Cakupan pada bab II berisi tentang landasan teoritis atau kajian


(17)

permasalahan penelitian. Bab II juga mencakup mengenai penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran.

BAB III. Cakupan pada bab III berisi tentang metodologi penelitian yakni

membahas mengenai metoda dan pendekatan penelitian, sumber dan jenis data penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan dan teknik analisis data.

BAB IV. Cakupan pada bab IV berisi tentang hasil penelitian dan

pembahasan penelitian yakni penjabaran mengenai profil Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta, deskripsi dan analisis hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian mengenai penerapan prinsip Andragogi dalam Diklat Satpol PP dan deskripsi tentang sikap anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam menjalankan tugas.

BAB V. Cakupan pada bab V berisi tentang kesimpulan dan terhadap

penelitian sehubungan dengan permasalahan penelitian.

Daftar Pustaka berisi mengenai sumber-sumber literatur yang digunakan

dalam penelitian.

Lampiran-Lampiran merupakan kumpulan dari kisi-kisi instumen


(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh data empiris tentang penerapan prinsip-prinsip andragogi dalam Diklat Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta, maka untuk mencapai tujuan tersebut penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena pada hakekatnya ingin memahami dan mengungkapkan secara mendalam bagaimana penerapan prinsip-prinsip andragogi dalam proses pembelajaran Diklat, pengelolaan program, instruktur, panitia penyelenggara dan peserta latihan.

Pendekatan kualitatif ini diharapkan dapat menghasilkan suatu gambaran tentang objek yang diteliti secara utuh, sebagaimana diungkapkan Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Maleong (1993: 3) bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Nasution (1988: 5) mengemukakan bahwa, penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya berinteraksi dengan metode, berusaha memahami bahasa dan tafsiran tentang dunia sekitarnya.

Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Behlen (1982), Lincoln dan Guba (1985) yang dikutip Meleong (1999: 4-8) memiliki ciri-ciri sebagai


(19)

berikut: 1) peneliti kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah, 2) peneliti merupakan alat pengumpul data utama, 3) menggunakan metode kualitatif, 4) analisis data secara indiktif, 5) teori dasar (grounded theory), 6) laporannya berisi kutipan-kutipan data (secara deksriptif), 7) lebih mementingkan proses daripada hasil, 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, 9) adanya kriteria untuk keabsahan data, 10) desain bersifat sementara, 11) hasil dirundingkan dan disepakati bersama.

Metode merupakan hal yang sangat penting diperlukan dalam suatu penelitian dengan tujuan untuk memandu seseorang peneliti. Surachmad (1982: 131) mengemukakan bahwa metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, seperti yang dikemukakan oleh Masri Singarimbun (1989:4) bahwa metode deskriptif dimasudkan “Untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu.” Peneliti hanya menggambarkan keadaan lapangan tanpa memberikan kondisi khusus.

B. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional 1. Definisi Konseptual

Proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP adalah suatu tahapan perubahan yang terjadi dalam diri seorang individu pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor melalui praktek dan latihan. Perbuatan belajar sendiri terbagi menjadi kondisi belajar intern dan kondisi belajar ekstern.


(20)

Penerapan prinsip Andragogi adalah Suatu prinsip dalam proses pembelajaran yang dapat membantu orang dewasa untuk menemukan sesuatu dan mempergunakannya dalam suasana pembelajaran untuk mendorong perkembangan seseorang baik dalam suatu organisasi maupun dalam masyarakat.

Sikap anggota Satpol PP Provinsi DKI adalah sikap dan tindakan seseorang terhadap kewajiban pekerjaan, tanggung jawab, hasil dari usaha yang dilakukan serta harapannya terhadap pengalaman masa depan sebagai seorang anggota Satpol PP.

2. Definisi Operasional

Proses pembelajaran diklat pengembangan mutu SDM Satpol PP Secara operasional berkait dengan prinsip yang relatif berlaku umum, dalam menciptakan suatu proses pembelajaran berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual.

Prinsip andragogi secara operasional dalam penelitian ini adalah dilihat dari sudut peserta didik adalah sebagai berikut:

a. Terlibat dalam proses pebelajaran diklat

b. Materi diklat relevan dengan kehidupan dan tugas/pekerjaan sehari-hari

c. Materi diklat memberikan manfaat terhadap dirinya dan bersifat praktis


(21)

d. Diberikan kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh semua kemampuan dalam waktu yang cukup.

e. Adanya konsep saling pengertian f. Pengalaman,

Sikap anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam menjalankan tugas di lapangan secara operasional dilihat dari variabel yang mempengaruhi sikap kerja anggota organisasi yaitu motivasi, harapan, komitmen dan kinerja dari sumber daya manusia dalam hal ini adalah anggota Satpol PP.

C. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, dengan wilayah satuan kerja Satpol PP tingkat Provinsi. Lokasi di pilih karena wilayah ini merupakan daerah yang relatif kompleks dengan karakteristik penduduk yang heterogen, sehingga bagi petugas satpol dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk bersikap profesional.

Subyek penelitian yang akan diteliti terdiri dari dua bagian, pertama,

sebagai “sumber informasi”, yaitu responden yang terdiri dari anggota Satuan

Polisi pamong praja sebagai peserta didik/latihan yang dapat memberikan data tentang dirinya serta bagaimana pengalamannya terkai dengan diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP. Kedua, “sumber informan”, yaitu sumber data lain yang dapat memberikan informasi pelengkap tentang hal-hal yang tidak terungkap dari subyek penelitian, dan sekaligus sebagai triangulasi


(22)

untuk menjamin akurasi data. Informan ini terdiri dari penyelenggara dan sumber belajar program diklat Satpol PP.

Informasi tentang implementasi diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP tingkat dasar maka subyek penelitian dipilih secara purposif (sesuai dengan tujuan). Hal ini berdasarkan pendapat Nasution (1988 : 11) yang

menyatakan bahwa “metode naturalistik tidak menggunakan sampling random atau acak, dan tidak pula menggunakan populasi sampel yang banyak”. Sampel atau subyek penelitian biasanya sedikit dan dipilih

berdasarkan tujuan (purposive) penelitian.

Dengan demikian pendekatan penelitian kualitatif tidak membutuhkan populasi dan sampel yang banyak. Populasi tergantung kepada konsep yang digunakan terbatas pada unit penelitiannya. Jumlah subyek penelitian tidak ditentukan secara ketat, tetapi tergantung kepada tercapainya redudancy, ketuntasan atau kejenuhan data, jadi cenderung bersifat snowball sampling.

Berdasarkan hasil studi penjajagan dan observasi serta orientasi dengan peserta diklat serta melakukan diskusi dengan pihak penyelenggara, akhirnya didapat informasi bahwa subjek yang sesuai dengan tujuan penelitian adalah empat orang anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Untuk mendapatkan data yang akurat dan tepat setelah mengumpulkan hasil observasi dan wawancara dengan keempat sumber primer, maka peneliti mengadakan triangulasi dengan salah seorang instruktur yang memberikan materi latihan tingkat dasar. Dengan demikian jumlah subyek penelitian seluruhnya adalah enam orang.


(23)

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan dalam penelitian diperlukan teknik pengumpulan data yang relevan dengan permasalahan penelitian. Adapun yang dimaksud dengan teknik pengumpulan

data menurut Suharsimi Arikunto (1992:121) adalah : “alat pada waktu peneliti menggunakan suatu teknik pengumpulan data dalam memecahkan masalah penelitian yang berkaitan dengan instrumen yang akan digunakan

dalam rangka memperoleh data”.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam rangka memperoleh data semaksimal mungkin agar tercapai keutuhan yaitu sebagai berikut :

1. Wawancara

Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dimana terjadinya komunikasi secara verbal antara pewawancara dengan subjek pewawancara. Sejalan dengan pengertian diatas, dapat diperjelas bahwa wawancara atau interview yaitu percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu (Kartini Kartono, 1990: 187).

Wawancara yang mendalam dengan responden dilakukan dalam bentuk tanya jawab dan diskusi yang mengarah pada pemanfaatan hasil diklat Pengembangan Mutu SDM terhadap pengelolaan ataupun pengembangan pekerjaan dilingkungan Satpol PP. Dalam wawancara ini


(24)

diminta agar responden memberikan informasi sesuai dengan yang dialami, diperbuat atau dirasakan, yang pernah diketahui ataupun dipelajari yang mengarah kepada manfaat diklat Pengembangan Mutu SDM yang telah diikuti.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menghindari dan menutupi kelemahan dari salah satu teknik wawancara, maka pedoman wawancara ini peneliti menggunakan secara terpadu yaitu pedoman wawancara yang terstruktur dan bersifat terbuka. Kita menyadari bahwa dengan wawancara terstruktur jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan telah disediakan oleh peneliti, dan responden tinggal memilih atau mengkategorikan saja, hal ini memungkinkan jawaban tidak objektif, karena responden merasa terpengaruh atau diarahkan oleh peneliti.

Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dipadukan dengan wawancara yang bersifat terbuka, sehingga responden tidak perlu merasa diarahkan, karena jawaban yang akan diberikan bersifat bebas sesuai dengan keyakinan responden sendiri.

2. Tekhnik Observasi

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Margono, 1996: 158). Adapun tujuan dari observasi adalah selain sebagai eksplorasi (untuk memperkaya atau memperluas pandangan peneliti terhadap suatu masalah) juga untuk mendeskripsikan kehidupan sosial


(25)

dengan menjaring prilaku individu sebagaimana prilaku itu terjadi dalam kenyataan yang sebenarnya.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan usaha penelaahan terhadap beberapa dokumen (barang-barang tertulis) atau arsip dari kegiatan Diklat Pengembangan Mutu SDM. Suharsimi Arikunto (2002:206)

mengemukakan bahwa “metode dokumentasi yaitu mencari data

mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat (FGD), agenda dan

sebagainya”.

Penggunaan studi dokumentasi dalam penelitian ini guna melengkapi data yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara dan observasi. Cara ini digunakan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan peserta diklat.

4. Studi Literatur

Studi literatur adalah dimaksudkan untuk memberikan landasan teoritis atau pemahaman masalah dan studi perbandingan dengan jalan membaca buku-buku, pendapat-pendapat dan teori-teori sebagai pendukung terhadap permasalahan teori sehingga dapat memperluas wawasan berfikir yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Studi kepustakaan dapat didefinisikan sebagai suatu teknik mendapatkan data teoritis guna memperoleh pendapat para ahli dan teorinya melalui sumber bacaan (Bohar Soeharto, 1987: 224). Dalam penelitian ini, studi


(26)

literature/kepustakaan diterapkan penulis untuk memperoleh informasi mengenai masalah yang diteliti dari buku-buku, majalah-majalah, surat kabar dan bahan cetak lain (elektronik misal internet dan sebagainya) yang menunjang penelitian ini dan dapat dijadikan landasan pemikiran dalam penulisan tesis ini sehingga diperoleh keterkaitan antara teori dengan tujuan penelitian.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa angket, pedoman wawancara, pedoman observasi penelitian. Instrumen penelitian ini akan digunakan untuk pengumpulan data penelitian.

F. Prosedur dan Tahapan Penelitian

Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan yang menurut Nasution (1992:33-34) terdiri dari: tahap persiapan

(orientasi), tahap pelaksanaan (eksplorasi) dan tahap akhir (member check). 1. Tahap Persiapan (orientasi)

Tahap ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap tentang permasalahan-permasalahan yang akan diteliti sekaligus untuk memantapkan desain dan fokus penelitian berikut nara sumbernya. Secara singkat dan berurutan kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan (orientasi) ini adalah:


(27)

b. Review dan revisi rancangan penelitian c. Penyusunan, review dan revisi instrumen d. Pengadaan instrumen terbatas

e. Orientasi kepada pihak-pihak terkait sekaligus pemantapan desain dan instrumen penelitian

2. Tahap Pelaksanaan (eksplorasi)

Tahap ini dilakukan setelah peneliti memperoleh rekomendasi dari instansi yang berwanang yaitu Satuan Polisi Pamong Praja. Pada tahap ini dilakukan penggalian data dan informasi, pengumpulan data sesuai dengan fokus permasalahan dan tujuan penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara dengan sumber data yang representatif berdasarkan pada pedoman wawancara sebagaimana terlampir. Hal ini dilakukan agar dalam wawancara dapat lebih terarah dan tetap dalam konteks fokus penelitian. Pada tahapan ini peneliti berusaha memperoleh informasi tentang latar penelitian secara tepat. Untuk itu dijalin hubungan baik secara formal maupun informal dengan responden yang akan diminta keterangan. Fleksibilitas dan adaptabilitas sangat perlu dipertahankan agar proses pengumpulan data dalam pelaksanaannya berjalan lancar. Selain itu untuk melengkapi data yang diperoleh dan sekaligus sebagai trianggulasi dilakukan observasi dan untuk mereka data atau informasi lengkap digunakan buku catatan.


(28)

Dalam tahap pelaksanaan ini juga dilakukan analisis data dengan cara mereduksi data atau informasi yang telah diperoleh yaitu dengan cara menyeleksi catatan lapangan yang ada dan merangkum hal-hal yang penting secara sistematis agar ditemukan polanya dan mempermudah peneliti untuk mempertajam peneliti untuk mempertajam gambaran tentang fokus penelitian.

3. Tahap Akhir (member check)

Untuk mengecek kebenaran data atau informasi yang telah dikumpulkan sehingga hasil penelitian dapat dipercaya maka perlu dilakukan member check. Setiap perolehan data atau informasi selalu dikonfirmasikan dan diteliti kembali kepada sumber datanya.

Untuk memantapkan lagi dilakukan observasi dan triangulasi dengan sumber data dan pihak-pihak yang lebih kompeten. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kesalahpahaman dalam menafsirkan data atau informasi yang disampaikan tahap eksplorasi dan member check merupakan siklus artinya informasi atau data yang dikumpulkan selalu diperbaiki, disempurnakan dan dimantapkan sehingga kebenarannya dapat ditingkatkan.

G. Pengolahan dan Analisis Data

Untuk memperoleh data lapangan peneliti mencoba menguraikan dan mendeskripsikan data yang diperoleh menurut apa adanya. Kemudian data tersebut dianalisis berdasarkan pedoman-pedoman studi kepustakaan dan


(29)

dikembangkan suatu pola pengolahan yang sesuai dengan masalah dan objek yang diteliti.

Model pola pengolahan data yang telah dikembangkan dalam penelitian ini digunakan sebagai pedoman pola pikir untuk menganalisis data lapangan yang diperoleh. Untuk memperoleh kebenaran ilmiah dalam penelitian ini, maka peneliti berusaha untuk mengungkap kenyataan-kenyataan atau fenomena-fenomena yang sesungguhnya di lapangan.

Mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan tentang peristiwa atau objek terhadap penerapan prinsip andragogi, maka hasil pengumpulan data dan informasi disajikan secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang dianalisis dengan menggunakan komparasi teoritik. Sedangkan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

tahap reduksi, tahap display, tahap mengambil kesimpulan dan verifikasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan sesuai dengan ketentuan

penelitian kualitatif, yaitu diinterpretasikan dan dianalisis secara terus menerus sejak awal hingga akhir penelitian. Analisis data merupakan proses mengurutkan dan mengamati secara sistematis transkrip wawancara (interview), catatan lapangan (hasil observasi) dan bahan-bahan yang ditemukan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diamati dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Dalam hal ini langkah-langkah yang ditempuh yaitu: 1) reduksi data, 2) display data, 3) mengambil kesimpulan dan verifikasi. Hal ini sejalan dengan menurut pendapat Nasution (1988:129) analisis data secara umum mengikuti


(30)

langkah-langkah berikut yaitu reduksi data, display data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi.

Reduksi data yaitu dengan menyingkat data-data ke dalam bentuk laporan yang lebih sistematis sehingga mudah dikendalikan. Data-data tersebut dirangkum, dipilih dan difokuskan pada hal yang penting-penting. Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan lagi.

Display data yaitu agar bisa melihat gambaran data secara keseluruhan dan bagian-bagian tertentu. Dalam hal ini dilakukan dengan cara membuat beberapa matrik, grafik atau chart dan deskripsi secara rinci dengan mengklasifikasikan data berdasarkan kode yang telah ditentukan sebelumnya.

Mengambil kesimpulan dan verifikasi yaitu peneliti berusaha untuk mencari makna data yang dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan, persamaan, hal yang sering timbul dan sebagainya. Jadi dari data yang dikumpulkan dicoba diambil kesimpulan. Kesimpulan di awal pengumpulan data tentu masih meragukan, tetapi dengan adanya data baru, dengan cara mengadakan triangulasi maka kesimpulan itu lebih mendasar.

H. Validitas Hasil Penelitian

Validitas hasil penelitian ini dilakukan dengan menetapkan tingkat kepercayaan dan kebenaran, menurut Nasution (1996:114) tergantung


(31)

kepada kredibilitas (validitas internal), dipendabilitas (reliabilitas), transferabilitas (validitas eksternal, dan konfirmabilitas (objektivitas).

Validitas dan objektivitas data dalam penelitian ini dilakukan melalui :

1. Kredibilitas, kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil

penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan memperpanjang pengamatan, meningkatkan ketekukan dalam melakukan penelitian, melakukan triangulasi, mendiskusikan dengan teman sejawat tentang data yang diperoleh, menganalisis kasus negatif, dan melakukan

member chek.

2. Tranferability, tranferability dilakukan agar penelitian kualitatif dapat dimengerti orang lain dan dapat diterapkan. Pada tahap ini peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian pembaca jelas atas hasil penelitian tersebut sehingga dapat memutuskan data atau tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian di tempat lain.

3. Depenability, depenability dilakukan dengan melakkan audit terhadap

proses keseluruhan penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti itu perlu dilakukan defenabiltynya, apabila proses penelitian tersebut tidak dilakukan tapi datanya ada, meka penelitian tersebut tidak reliabel. Jika peneliti tidak memiliki data dan tidak dapat menunjukkan


(32)

”jejak aktivitas lapangannya” maka defenabilitas penelitiannya patut diragukan.

4. Confirmabiliti, menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian

yang dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmability. Dalam penelitian jangan sampai terjadi proses penelitian tidak ada, tetapi hasilnya ada.


(33)

BAB V PEMBAHASAN

A. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Tinjauan Terhadap Proses Pembelajaran Yang Dilaksanakan Dalam DIKLAT Pengembangan SDM Satpol PP Provinsi DKI Jakarta

a. Perhatian

Perhatian merupakan hal yang amat penting dalam belajar. Perhatian peserta diklat akan timbul jika bahan pembelajaran yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh peserta diklat itu. Perhatian seperti ini merupakan perhatian alami yang ada dalam diri peserta diklat, jika perhatian alami ini tidak nampak maka

peserta diklat perlu dibangkitkan perhatiannya. “Dari kajian teori

belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian

tidak mungkin terjadi belajar”. (Ali Imran, 1996: 42).

Perhatian sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan diklat dengan baik, dan hal ini akan berpengaruh pula terhadap minat peserta diklat dalam belajar. Perhatian peserta diklat adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan dalam setiap sesi pelatihan. Pada kenyataanya perhatian dari setiap peserta diklat amat ditentukan oleh kepiawaian dari sumber belajar/instruktur dalam memberikan materi pembelajaran. Peserta


(34)

untuk secara sukarela mendayagunakan kesadaran untuk menyertai suatu aktivitas yang diberikan oleh instruktur. isnstruktur harus selalu berusaha menarik perhatian peserta diklat sehingga mereka mempunyai minat terhadap materi yang diajarkannya.

Peserta diklat yang menaruh minat pada suatu aktivitas akan memberikan perhatian yang besar. Peserta diklat tidak segan mengorbankan waktu dan tenaga demi aktivitas tersebut. Oleh karena itu seorang peserta diklat yang mempunyai perhatian terhadap suatu materi pelajaran pasti akan berusaha keras untuk memperoleh penambahan nilai dari materi yang pelajari dengan belajar.

2. Keaktifan

Para kaum humanis manganggap bahwa peserta diklat sebagai manusia mempunyai potensi dan keinginan sendiri untuk belajar. Keinginan ini mendorong peserta diklat untuk berperan aktif dalam proses belajar yang sedang dilaluinya. Inisiatif untuk belajar datang dari dalam diri peserta diklat sendiri, karena hal ini menyangkut dengan apa yang peserta diklat kerjakan dalam proses belajarnya kelak.

Peserta diklat selalu menampakkan keaktifan dalam setiap proses belajar. Keaktifan itu beraneka ragam bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang susah


(35)

diamati. (Ali Imran, 1996: 45). Keaktifan dari peserta diklat merupakan bentuk dari proses belajar yang terjadi dalam diri mereka.

Keaktifan perserta diklat merupakan hubungan stimulus dan respon yang akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham. Peserta diklat yang mengajukan pertanyaan menunjukan bahwa sedang terjadi proses belajar dalam ranah kognitifnya untuk menemukan suatu jawaban atau penguatan atas pertanyaan yang timbul.

Keaktifan peserta diklat dapat berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebaginya. Kegiatan psikis dapat berupa menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain, menyimpulkan dan lain sebagainya.

3. Keterlibatan langsung/berpengalaman

Belajar merupakan peristiwa mengalami dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Edwar Dale seperti yang diungkapkan

oleh Ali Imran mengemukakan bahwa “Belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung”. (Ali Imran, 1996: 45).


(36)

Belajar dengan pengalaman langsung seorang peserta didik dapat terlibat langsung, mengamati, menghayati dalam perbuatan dan ia bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.

Usaha untuk mencapai keterlibatan langsung peserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP dalam proses belajar maka

pendidik berperan sebagai pembimbing dan instruktur. “Pengalaman

adalah hasil dari suatu interaksi antara peserta didik dengan

lingkungannya”. (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 21). Keterlibatan langsung merupakan pengalaman belajar yang diperoleh dari hasil suatu interaksi antara peserta pelatihan dengan instrukturnya.

Seorang anggota Satpol PP peserta diklat misalnya, dapat bersikap terbuka dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan oleh instruktur dan instruktur memberikan penguatan dan membenarkan sikap yang dilakukan kepada peserta pelatihan tersebut. Keteribatan secara langsung yang dilakukan oleh peserta pelatihan telah terjadi. Sikap terbuka dalam mengatasi suatu permasalahan tersebut adalah salah satu hasil internalisasi yang terima dari materi pembelajaran diklat, peserta diklat memperoleh pembelajaran bahwa sikap terbuka dalam penyelesaian masalah/konflik merupakan hal yang penting.

Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa belajar itu baru timbul jika seseorang individu menemui suatu situasi/soal baru dalam


(37)

kehidupannya. Ketika menghadapi persoalan yang sama ia akan menggunakan pengalaman yang dimilikinya.

Setiap peserta diklat sebagai orang dewasa mempunyai kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. Dengan demikian, segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri. Pembelajaran dalam diklat akan lebih bermakna jika peserta diklat "mengalami sendiri apa yang dipelajarinya" bukan "mengetahui" dari informasi yang disampaikan isntruktur. Proses diklat memberikan kesempatan kepada peserta diklat untuk mengalami sendiri proses belajar yang berlangsung.

4. Pengulangan

Proses belajar tidak lepas dari pengulangan atau latihan, hal ini diperlukan untuk membiasakan peserta Diklat agar terbentuk suatu respon yang benar. Pengulangan masih relevan sebagai suatu dasar pembelajaran. Pengulangan membiasakan peserta Diklat untuk melakukan suatu aktifitas sebagai suatu latihan.

Ada beberapa teori yang mengungkapkan tentang pengulangan, diantaranya adalah teori psikologi daya, teori psikologi asosiasi atau koneksionisme, dan psikologi conditioning. “Menurut teori psikologi daya belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang


(38)

terdiri atas daya pengamat, menangkap, mengingat, menghayal,

merasakan, berfikir, dan sebagainya”. (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 46).

“Teori koneksionisme mengemukakan bahwa belajar ialah

pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang

timbulmya respon benar”. (Ali Imran, 1996: 45). Teori psikologi

conditioning mengemukakan bahwa “Perilaku individu dapat dapat

dikondisikan, dan belajar merupakan upaya untuk mengkondisikan

suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu”. (Ali Imran, 1996: 45) Menurut teori ini proses pembelajaran merupakan suatu usaha membentuk kebiasaan, mengulang suatu perbuatan sehingga menjadi seuatu kebiasaan.

Belajar merupakan proses yang berjalan dengan penuh makna. Hasil proses itu ada sejumlah kesan yang diharapkan tersimpan dalam pikiran. Biasanya kesan-kesan yang telah didapat dari belajar itu tersimpan dengan rapi di dalam otak, tetapi tidak dapat bertahan lebih lama di alam sadar. Lama kelamaan kesan-kesan itu akan tersimpan di alam bawah sadar, dikarenakan (kemungkinan) sangat jarang digunakan. Kesan-kesan yang lama sekali tidak digunakan akan sukar untuk memunculkannya ke alam sadar. (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 64)


(39)

Dalam proses pembelajaran Diklat Pengembangan Mutu SDM pengulangan yang dilakukan terkait dengan aktivitas yang kemungkinan akan dihadapi oleh peserta diklat di dalam menjalankan tugas. Masalah yang diberikan terkait dengan kepemimpinan, manajemen dan komunikasi. Kasus yang berikan kepada peserta adalah kasus yang kurang bervariasi dan relatif sama. Kasus yang diharus diselesaikan peserta adalah kasus yang biasa dihadapi dalam menjalankan tugas sehingga peserta tidak terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Jawaban peserta diklat terhadap kasus yang diberikan kemudian ditanggapi oleh peserta lain dan oleh instruktur. Instruktur memberikan komentar terhadap kasus yang diberikan. Dalam hal ini instruktur berperan untuk menekankan kembali prinsip yang telah diberikan dalam materi. Peserta diklat membandingkan apa yang disampaikan instruktur dengan jawaban yang dibuatnya. Hal ini merupakan upaya untuk membentuk kesan yang benar melalui pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman tersebut akan memperbesar peluang timbulnya respon yang benar.

Pengulangan terhadap kasus yang dibahas didalam kelas dilakukan agar kesan-kesan itu mudah diangkat ke alam sadar. Kesan-kesan berupa ilmu pengetahuan perlu dimanfaatkan sesering mungkin dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi peserta diklat sehari-hari. Hal ini adalah upaya untuk menjaga agar kesan berupa


(40)

ilmu pengetahuan yang telah ada di benak seseorang yang belajar dimanfaatkan. Karena ketika kesan yang dimiliki tidak dimanfaatkan maka, peserta diklat akan merasa tidak memiliki ilmu pengetahuan atau akan terlupakan.

5. Tantangan

Teori medan dari Kurt Lewin seperti yang disampaikan oleh Ali

Imron bahwa “Kurt Lewin dengan teori medannya (Field Teori)

mengemukakan bahwa seorang siswa dalam situasi belajar berada

dalam suatu medan atau lapangan psikologis”. (Ali Imran, 1996: 47) Seorang individu menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar yaitu menguasai materi pelajaran. Seorang individu dalam usaha untuk menguasai materi pelajaran itu ia mengadapai hambatan, yaitu mempelajari bahan pelajaran. Menghadapi keadaan ini maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu, yaitu dengan mempelajari bahan pelajaran tersebut. Penguasaan terhadap materi pelajaran oleh individu berarti hambatan ini telah diatasi, maksudnya adalah tujuan belajar telah dapat dicapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru. Kondisi ini akan berulang selama ia belajar.

Peserta diklat yang menghadapi tantangan dalam belajar membuatnya bergairah untuk dapat mengatasi tantangan tersebut. Bahan belajar yang baru yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat peserta Diklat tertantang untuk


(41)

mempelajarinya. Pelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta Diklat untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan generalisasi akan menyebabkan peserta Diklat menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi tersebut.

Peserta Diklat perlu didorong untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan generalisasi maka peranan seorang instruktur adalah sebagai instruktur. Instruktur memberikan kesempatan kepada peserta Diklat untuk berdialog agar peserta diklat menemukan sendiri pengetahuan yang dibutuhkan. Peserta Diklat berinteraksi langsung dengan materi pelajaran. Belajar seperti ini merupakan proses belajar yang berpusat kepada peserta diklat.

Tantangan dalam proses pembelajaran Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP diterapkan dalam bentuk latihan praktek yang menuntut kemampuan setiap peserta diklat untuk melakukan peran sebagai seorang petugas pemerintah yang memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Peserta dituntut untuk dapat menemukan solusi dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Hal ini mendorong peserta diklat untuk dapat melihat sudut pandang yang lain dari masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dalam aktivitas bekerja sehari-hari mendorong peserta diklat untuk berani mengambil resiko dan mencoba hal yang baru dalam pekerjaan yang diemban.


(42)

2. Tinjauan Terhadap Penerapan Prinsip-Prinsip Andragogi Dalam Proses Pembelajaran Diklat Pengembangan SDM Satpol PP Provinsi DKI Jakarta.

Pelaksanaan program Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP sebagai suatu proses yang merupakan kegiatan berlangsungnya belajar itu sendiri. “Proses belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi peserta pelatihan sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia menjalani situasi tadi” (Ngalim, 1996 : 84).

Berkaitan dengan belajar Gagne (Djudju Sudjana, 1993: 68)

mengemukakan bahwa: belajar adalah “Perubahan disposisi atau

kemampuan seseorang yang dicapai melalui usaha orang itu, dan perubahan itu bukan diperoleh secara langsung dari proses pertumbuhan

dirinya secara alamiah”.

Pelaksanaan diklat sebagai suatu pelatihan merupakan proses transformasi pengetahuan, keterampilan dan sikap dari sumber belajar kepada peserta diklat. Pelaksanaan Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP tidak terlepas dari kurikulum yang telah ditetapkan, yang meliputi tujuan diklat yaitu untuk meningkatkan kemampuan keterampilan dan profesionalitas anggota satuan polisi pamong praja dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta penegakan peraturan daerah, sehingga hasil yang diharapkan adalah adanya peningkatan kemampuan dan ketrampilan anggota satuan polisi


(43)

pamong praja dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sehari-hari serta dapat meningkatnya situasi dan kondisi yang aman, tentram dan dinamis di wilayah provinsi DKI Jakarta sehingga tercipta stabilitas dan keseimbangan gerak antara pemerintah daerah dan masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan Satpol PP merupakan proses interaksi edukatif antara peserta pelatihan dengan komponen-komponen lainnya, masukan mentah yaitu peserta pelatihan, masukan sarana meliputi sumber dana, tujuan program, kurikulum, pendidik, pengelola program, sumber belajar, media, fasilitas, biaya, dan pengelolaan program, masukan lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sosial, iklim, lokasi, tempat tinggal, dan masukan lain meliputi dana atau modal, lapangan kerja/ usaha, alat dan fasilitas, pemasaran. Temuan penelitian tersebut secara garis besar ternyata mendukung dan memperkuat rambu-rambu konseptual tentang komponen pendidikan luar sekolah, sebagaimana dikemukakan Djudju Sudjana (1991: 35-35) yang mengemukakan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung melibatkan komponen-komponen sebagai berikut :

a) Masukan sarana (instrumental input) meliputi keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok dapat melakukan kegiatan belajar.

b) Masukan mentah (raw input) yaitu peserta pelatihan (peserta pelatihan) dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya. c) Masukan lingkungan (environmental input) yaitu faktor

lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya program pendidikan

d) Proses yang menyangkut interaksi antara masukan sarana, terutama pendidik dengan masukan mentah, yaitu peserta pelatihan (peserta pelatihan).


(44)

e) Keluaran (output) yaitu kuantitas lulusan yang disertai dengan kualitas perubahan tingkah laku yang didapat melalui kegiatan belajar membelajarkan.

f) Masukan lain (other input) adalah daya dukung lain yang memungkinkan para perserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan yang telah dimiliki untuk kemajuan kehidupannya.

g) Pengaruh (impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta pelatihan dan lulusan.

Pelatihan Satpol PP dilakukan untuk meningkatkan kemampuan ketrampilan dan profsionalitas anggota satuan polisi pamong praja dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta penegakan peraturan daerah, sehingga hasil yang diharapkan adalah adanya peningkatan kemampuan dan ketrampilan anggota satuan polisi pamong praja dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.

Suatu kegiatan akan terlaksana secara efektif dan efesien, apabila diselenggarakan dengan baik dan sistematik, seperti yang dilaksanakan pada pelatihan Satpol PP ini, dimana penyelenggara bersama-sama dengan nara sumber (sumber belajar) menyusun dan menetapkan urutan kegiatan pembelajaran, dan diharapkan pelatih/instruktur, nara sumber dapat mengikuti dan menyesuaikan jadwal pembelajaran. Pada Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP ini diurutkan materi utama, kelompok dan penunjang. Penyusunan jadwal juga didasari dengan teori 30%, praktek 70%, sehingga proses pemahaman dan pengetahuannya dapat diimplementasikan dalam pekerjaannya.

Menurut penyelenggara dan nara sumber bahwa materi disusun dan dirumuskan untuk menjawab permasalahan kebutuhan pelatihan serta


(45)

sesuai dengan kebutuhan, minat peserta pelatihan. Pada proses pembelajaran ini, materi disusun dalam bentuk hand out/media belajar dan disajikan dengan pokok bahasan yang telah ditetapkan.

Hasil wawancara dengan nara sumber/instruktur dalam setiap pertemuan belajar menunjukkan bahwa media belajar/bahan sarana belajar, memiliki keragaman dari segi jenis dan tingkatannya. Perkembangan metodologi pembelajaran orang dewasa, semakin menuntut adanya sarana belajar untuk meningkatkan hasil belajar. Sarana dalam pengertian segala jenis dan fasilitas yang dapat menunjang berlangsungnya kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sarana pembelajaran dapat berfungsi sebagai : (a) fasilitas atau alat pembelajaran, dan (b) sumber belajar (Ishak Abdulhak, 2000).

Gagne (1976) mengungkapkan bahwa :

Bahan belajar tersebut terdiri dari konsep, prinsip, prosedur, dan fakta atau kenyataan yang ada. Dan setiap jenis tersebut memiliki tingkatan kesulitan yang terdiri dari bahan belajar dasar, kelanjutan, dan tinggi. Untuk kepentingan tersebut cara mempelajari bahan belajar menuntut adanya metode yang beragam. Hal ini didasarkan atas kondisi setiap metode pun yang cocok untuk setiap jenis dan tingkatan bahan belajar. Oleh karena itu bagi tutor yang akan menggunakan metode dalam kegiatan pembelajaran perlu memilikinya sesuai dengan kondisi bahan belajar dan ketepatan metode tersebut. (Ishak Abdulhak, 1995 : 45).

Bertolak dari penjelasan diatas, dimana materi belajar atau bahan belajar yang tepat adalah materi yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan dengan pemahaman, penerapan, penerimaan, dan tanggapan dapat juga membentuk perubahan sikap dan perilaku yang baik sehingga


(46)

penampilan bekerja di lapangan secara efektif dan efesien, setelah selesai mengikuti pelatihan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pelatih/narasumber dan penyelenggara bahwa proses pembelajaran menggunakan pendekatan andragogi yakni memanfaatkan pengalaman-pengalaman peserta pelatihan sebagai sumber belajar untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pelatihan. Mengenai pendekatan dalam pembelajaran orang dewasa sesuai dengan pendapat Zainudin Arif (1981: 4) yang menyatakan bahwa “Orang dewasa memiliki pengalaman, oleh karena itu orang dewasa merupakan sumber belajar yang kaya”.

Oleh karena itu dalam proses pelatihan lebih ditekankan penggunaan yang sifatnya menyadap pengalaman mereka seperti kelompok diskusi, latihan praktek, demonstrasi, dan bimbingan konsultatif. Dengan pendekatan tersebut lebih banyak melibatkan diri dan partisipasi peserta dalam proses pembelajaran, maka makin aktif peserta dalam proses pemebelajaran, makin banyak pula terjadi belajar pada dirinya.

Temuan hasil penelitian di atas memberi gambaran ternyata pembelajaran andragogi merupakan fenomena pembelajaran masyarakat yang terjadi dan dapat diterapkan dalam berbagai bentuk/ satuan jenis program pendidikan luar sekolah. Temuan lain berkenaan dengan penerapan andragogi ini, karakteristik pembelajaran andragogi yang dipahami dan dijadikan acuan oleh penyelenggara program pelatihan


(47)

Satpol PP, terutama adanya pelibatan peserta pelatihan/ peserta pelatihan dalam mengeksplorasi pengalamannya.

Dari hasil deskripsi penelitian dapat diketahui bahwa metode dan teknik pelatihan dalam kegiatan pelatihan Satpol PP berupa ceramah, tanya jawab, curah pendapat, diskusi, demonstrasi, simulasi, praktek, penugasan. Penentuan metode pembelajaran tersebut disesuaikan dengan kebutuhannya. Pemilihan metode dan teknis tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam pembelajaran ini dimaksudkan untuk memberi dorongan, menumbuhkan minat belajar, menciptakan iklim belajar yang kondusif, menambah energi untuk melahirkan kreativitas, mendorong untuk menilai diri sendiri dalam proses dan hasil belajar, serta mendorong dalam melengkapi kelemahan hasil belajar (Ishak Abdulhak, 2000).

Mengenai strategi pelatihan dalam proses kegiatan belajar mengajar menggunakan pola klasikal dan kelompok. Pada tahap klasikal, materi yang disampaikan berupa teori/ konsep-konsep penguatan kelompok. Strategi pelatihan yang dilakukan dalam proses pelatihan ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ishak Abdulhak, (2000 : 43-49) bahwa apabila dilihat dari segi sasaran terdiri dari : bersentral kepada tutor dan bersentral kepada peserta belajar. Strategi pembelajaran yang bersentral kepada sumber belajar dilakukan pada kegiatan pembelajaran apabila bahan belajar yang dipelajari adalah berupa konsep-konsep dasar, atau bahan yang bersifat baru bagi peserta, sehingga diperlukan informasi yang gamblang dari sumber belajar. Sedangkan strategi pelatihan yang


(48)

bersentral kepada peserta belajar, ditujukan untuk kegiatan pelatihan yang banyak memberikan kesempatan kepada peserta pelatihan untuk terlibat dalam proses pembelajaran.

Temuan hasil penelitian berkenaan dengan penerapan strategi pelatihan pada program pelatihan Satpol PP memberi gambaran bahwa strategi pembelajaran yang berpusat pada sumber belajar masih dominan. Keadaan ini terjadi, mengingat kondisi karakteristik peserta pelatihan yaitu rendahnya tingkat penerimaan terhadap inovasi sehingga secara teknis, nara sumber pada fase-fase awal pembelajaran akan lebih dominan dan penggunaan strategi lainnya (strategi pembelajaran berorientasi pada peserta pelatihan).

Berdasarkan uraian terdahulu bahwa evaluasi terhadap peserta pelatihan dilakukan pada akhir kegiatan, sebelum nara sumber menyimpulkan materi pembelajaran berupa evaluasi lisan (tanya jawab) dengan maksud untuk mengukur pemahaman atau penerapan materi oleh peserta pelatihan. Evaluasi menyeluruh setelah peserta pelatihan mengikuti pelatihan Satpol PP oleh pihak penyelenggara dalam hal ini LPM Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Aspek yang di evaluasi meliputi evaluasi kognitif, afektif, dan psikomotor. Kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh sumber belajar dan penyelenggara menurut peneliti sudah cukup baik artinya dilakukan ketiga aspek, yaitu pengetahuan, sikap, dan psikomotor terhadap pemahaman dan penerapan.


(49)

Pelaksanaan penilaian proses sesuai dengan pendapat Djudju Sudjana (2000: 70) yang menyatakan bahwa penilaian proses bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan rencana yang telah ditetapkan. Selanjutnya Djudju Sudjana (2000 : 208) mengemukakan bahwa evaluasi terhadap proses kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mendiagnosis tingkat kesesuaian antara kebutuhan belajar dan rencana kegiatan pembelajaran dengan pelaksanaan pembelajaran dalam menjembatani jarak atau perbedaan antara kemampuan saat ini dengan kemampuan yang diinginkan. Evaluasi perorangan dapat dilakukan oleh diri peserta pelatihan itu sendiri (self

evaluation), dan evaluasi oleh sumber belajar, jenis evaluasi yang

digunakan berupa teknik test dan non test.

Dari hasil deskripsi penelitian monitoring dan pembinaan kegiatan

pelatihan di lapangan merupakan tindak lanjut dari pasca pelatihan.

Kegiatan monitoring terhadap pelaksanaan pelatihan Satpol PP, memiliki tujuan sebagai berikut : (a) mengetahui sampai sejauhmana peserta pelatihan (kelompok) mampu untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dimilikinya dari hasil pelatihan/pembelajaran dalam kegiatan usaha secara nyata dilapangan, (b) mengetahui perkembangan kegiatan peserta pelatihan (kelompok) dari waktu ke waktu berikut permasalahan yang dihadapinya, (c) mengumpulkan data dan informasi tentang keberhasilan dan/ atau ketidakberhasilan usaha kelompok berikut faktor-faktor penyebabnya sebagai input bagi


(50)

penyelenggara/pengelola/pendamping untuk melakukan tidak lanjut, (d) sebagai bahan dokumentasi informasi tentang temuan-temuan yang terjadi dilapangan dengan pelaksanaan kegiatan pelatihan Satpol PP.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Djudju Sudjana (2000: 253) bahwa monitoring pada umumnya dilakukan pada waktu sebelum kegiatan pembinaan maupun bersamaan waktunya dengan penyelenggaraan pembinaan. Dimuka juga dibahas mengenai program tindak lanjut setelah diklat diselegarakan. Pembinaan dilakukan pada setiap lingkungan tugas masing-masing peserta. Pembinaan secara khusus untuk peserta diklat pengembangan mutu SDM belum dapat dilaksanakan. Hal ini terkait dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Hal ini merupakan suatu catatan yang harus diperhatikan agar dapat meningkatkan kualitas SDM dengan baik.

3. Tinjauan Terhadap Sikap Anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta Dalam Menjalankan Tugas.

Sikap kerja perserta Diklat Pengembangan Mutu SDM Satpol PP merupakan sikap terhadap pekerjaannya yang mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan (Kenneth, 1992: 129). Penelitian yang ini mengemukakan beberapa aspek terkait dengan sikap kerja yaitu motivasi, harapan, komitmen, hasil, insentif, dan produktifitas.


(51)

Penelitian ini menemukan bahwa motivasi responden menunjukkan hal yang positif dimana motivasi untuk mencurahkan kemampuan dan tenaga dalam menjalankan tugas cukup baik. Tugas pekerjaan yang dilaksanakan bukan hanya untuk memenuhi tuntutan pekerjaan sebagai anggota Satpol PP saja. Selain itu penelitian ini menemukan bahwa kesadaran responden akan pentingnya untuk meningkatkan kompetensi sebagai seorang anggota satpol PP cukup baik, hal ini dilihat dari pernyataan responden yang merasa bahwa diklat yang diadakan oleh pemerintah masih sangat kurang. Hal ini merupakan bentuk dari motivasi instrinsik yang berasal dari dalam diri responden untuk dapat meningkatkan kompetensiya. Kompetensi yang dimiliki tentu saja akan memberikan peningkatan kinerja dan imbalan dari hasil pekerjaan yang diperoleh. Ini merupakan bentuk dari motivasi expentasi. Seperti yang diungkapkan oleh Efendi Hariandja tentang teori motivasi expentansi, mengatakan bahwa salah satu unsur penting dalam motivasi adalah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mencapai kinerja yang diharapkan, karena adanya hubungan yang jelas antara kinerja dengan reward/imbalan yang didapat (instrumentality), serta imbalan yang akan didapat sesuai dengan bentuk yang sangat diinginkan saat ini (valens) (Efendi, 2005: 198).

Tindakan responden dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diawali oleh adanya tenaga dorongan dari dalam dirinya serta rangsangan yang berasal dari lingkungannya. Dorongan dari dalam dirinya


(52)

berkaitan erat dengan kebutuhannya, sedangkan rangsangan dari luar berkaitan erat dengan cita-cita dan harapannya seperti status sosial, uang, jabatan dan lain-lain.

Keinginan responden untuk dapat menjalankan suatu tugas yang baru dan sulit merupakan bentuk kinerja dari motivasi yang kuat. Seperti disampaikan Danim (2004: 2), “Motivasi sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan atau mekanisme psikologi yang mendorong seseorang atau kelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Motivasi responden dalam bentuk dorongan untuk mencari informasi atau membeli buku yang berkaitan dengan kompetensi keahliannya menunjukkan hal yang baik. Responden mencari sumber informasi yang dibutuhkan terkait dengan tugas pekerjaan yang ditekuninya. Hasrat dalam bekerja ini merupakan indikasi dari motivasi yang cukup kuat yang ada dalam diri responden untuk dapat tampil secara profesional sebagai seorang anggota Satpol PP.

Penelitian ini menemukan bahwa adanya motivasi terhadap pekerjaan yang menantang untuk diselesaikan cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dari sikap responden ketika harus berhadapan dengan pelanggar ketertiban. Upaya yang dilakukan responden adalah dengan berupa melakukan pendekatan persuasif. Upaya melakukan pendekatan persuasif ini diperoleh dari hasil pelatihan yang telah dijalani oleh anggota satpol PP untuk kemudian diimplementasikan kedalam aktivitas sehari-hari.


(53)

Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan responden untuk dapat bekerja sama dalam pekerjaan cukup baik. Responden menyatakan bahwa dalam penugasan seksi tugas responden dapat menerima siapa saja yang menjadi anggota seksi atau staffya. Responden memiliki sikap yang terbuka terhadap hubungan interpersonal dipekerjaan yang ditekuninya. Kemampuan untuk dapat bekerja sama merupakan bentuk dari motivasi sebagai daya penggerak yang dapat menciptakan kegairahan dalam bekerja agar mereka mau bekerja sama. Hal ini sejalan seperti yang dinyatakan oleh Hasibuan (2003: 97) bahwa “Motivasi adalah daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegerasi dengan segala upaya-upayanya untuk mencapai kepuasan”. Responden bekerja dalam tim/kolompok dalam bidang pekerjaannya. Responden menyatakan tidak bekerja sendiri. Lingkup pekerjaan responden tidak memungkinkkan untuk melakukan pekerjaan sendirian. Namun tidak semua hal dikerjakan secara berkelompok, ada juga responden yang menyatakan harus mengerjakan beberapa hal yang terkait dengan pekerjaannya sendirian.

b. Harapan

Harapan yang ada dalam diri individu membawa kepada sikap yang ditampilkan oleh individu terhadap suatu stimulus tertentu. Sikap yang benar dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan merupakan hal yang penting bagi terciptanya hasil kerja yang diharapkan. Masalah yang


(54)

dihadapi oleh responden dalam melaksanakan tugasnya dirasakan tidak terlalu berat, karena berkaitan dengan lingkup prosedural. Namun apabila responden mendapati masalah yang dirasakan sulit untuk dipecahkan, responden berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Sikap kerja yang ditampilkan oleh responden ini merupakan “Sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan” (Kenneth, 1992: 129).

Sikap responden ketika melaksanakan tugas adalah dengan sungguh-sungguh dan berupaya untuk mengembangkan keterampilannya dalam pekerjaan. Harapan responden untuk mencapai keterampilan yang memadai dalam menjalankan tugas cukup tinggi. Akan tetapi dalam penelitian ini menemukan bahwa responden menilai keterampilan yang dimiliki sudah sesuai dengan tuntutan kompetensi pekerjaannya. Harapan untuk dapat mengembangkan keterampilan merupakan wujud dari adanya kesempatan untuk maju. Temuan ini sejalan dengan pendapat Blum and Nylon (2008) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi sikap kerja antara lain: “Kesempatan untuk maju, jaminan terhadap karir dan hari tua dapat dijadikan salah satu motivasi dalam sikap kerja”.

Responden menjalankan tugas sebagai kewajiban dan keharusan yang harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawabnya. Responden merasa melakukan tugas sungguh-sungguh bukan


(55)

untuk mendapatkan penilaian yang baik dari atasannya semata, akan tetapi sebagai wujud pegawai yang profesional dalam pekerjaannya.

Lingkup pekerjaan responden terkait dengan aturan dan prosedur yang telah ditetapkan. Apabila ada peraturan PERDA yang baru, responden berusaha untuk memperoleh informasi dan serta berupaya untuk memahami Perda yang baru tersebut. Setelah memperoleh informasi mengenai perda tersebut, selanjutnya responden mencari hal-hal yang terkait dengan tugas yang diembannya. Hal ini harus dilakukan oleh responden agar pekerjaan yang dilaksanakannya tidak salah dan melanggar ketentuan Perda DKI Jakarta. Upaya responden untuk dapat memperoleh informasi mengenai Perda yang baru terkait dengan pekerjaannya merupakan bentuk dari harapan yang ada dalam diri responden.

c. Komitmen

Penelitian ini menemukan bahwa komimen responden terhadap organisasi terbilang baik. Keterikatan psikologis responden terhadap pekerjaannya tampak pada sikap yang positif terhadap pekerjaan. Selama bekerja sebagai anggota Satpol PP responden menyatakan tetap berusaha memberikan yang terbaik, walaupun dalam tim terdapat rekan yang tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas. Hal ini selajalan dengan

apa yang diungkapkan oleh O’ Reilly (1996: 374) bahwa “Komitmen organisasi sebagai suatu keterikatan psikologis seseorang pada organisasinya yang meliputi perasaan terlibat dalam tugas, memiliki loyalitas dan keyakinan akan nilai-nilai organisasi yang dianut”.


(56)

Sikap loyalitas responden tercermin dari cara responden menyikapi kesalahan yang terjadi dalam pekerjaan. Sikap responden terhadap kesalahan yang dapat terjadi dalam menjalani pekerjaan cukup positif. Responden menyatakan bahwa kesalahan dalam berkerja dapat saja terjadi, karena manusia tidak luput dari kesalahan. Kesalahan dalam bekerja merupakan hal yang harus diperbaiki. Responden cenderung menyatakan berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, jika responden tidak mampu mengatasi kesalahan tersebut maka responden akan melapor kepada pimpinannya untuk meminta arahan dalam penyelesaian masalahnya.

Loyalitas responden terhadap organisasinya juga dapat dilihat dari Sikap responden dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Adanya keinginan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Responden menyatakan selalu berupaya terlebih dahulu untuk dapat mengatasi permasalahannya. Ketika Responden merasa masalahnya sudah tidak dapat diatasi sendiri maka ia melaporkan kepada atasannya. Sikap ini merupakan komitmen yang merefleksikan loyalitas dan dedikasi pengikut pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana para pengikut merefleksikan dan mengeksprsikan perhatiannya terhadap organisasi serta keberhasilannya.

Rasa bangga muncul dari responden setelah dapat menyelesaikan tugas yang diembannya dengan baik. Responden menyatakan merasa bangga apabila tugas yang dikerjannya dapat selasai dengan cepat, tepat


(57)

dan memberikan kemudahan kepada masyarakat yang dilayaninya. Kebanggan dapat menyelesaikan tugas dengan cepat tepat dan memberikan kemudahan merupakan bentuk loyalitas terhadap komitmen yang ada dalam diri responden untuk dapat mengabdikan diri dan fikiran dalam menjalankan tugas.

Sikap kerja peserta pelatihan dalam aktivitas sehari-hari sebagai bagian dari birokrasi Satpol PP dipengaruhi juga oleh gaya memimpin pimpinan. Banyaknya tugas tambahan diluar tanggung jawab dan tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang anggota satpol menjadikan beban kerja bertambah. Hal ini terkai dengan tugas atau perintah yang diberikan oleh pimpinan yang lebih tinggi jabatannya.

Dalam lingkungan kerja Satpol PP, sikap loyal kepada pimpinan menjadi hal yang amat penting, bahkan ketika tugas yang diterima diluar wewenang dan tanggung jawabnya. Bagi seorang anggota Satpol PP, tugas yang diberikan oleh pimpinan merupakan hal yang harus segera dilaksanakan. Loyalitas kepada pimpinan menjadi tolok ukur bagi staf dalam pekerjaannya. Sikap loyal yang tinggi akan memperoleh penghargaan yang baik dari pimpinannya, sehingga pimpinan tersebut akan cenderung memberikan tugas lebih banyak kepada staf/anggota yang loyal dari pada yang dianggap kurang loyal. Hal ini dapat dengan mudah ditemui di lingkungan kerja/kantor Satpol PP. Ketika diperhatikan ada staf yang sibuk dengan pekerjaanya yang menumpuk sedangkan di ruangan yang sama dapat pula ditemukan staf yang tampak bekerja dengan santai.


(1)

Jaenal Mutakim, 2013

Penerapan Prinsip-Prinsip Andragogi Dalam Pendidikan Dan Latihan (Diklat) Pengembangan Mutu SDM Satuan Polisi Pamong Praja

kontribusi sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Kehadiran dan memberikan pendapat ketika bekerja secara tim menunjukkan kualitas dukungan yang diberikan oleh responden kepada rekan kerjanya cukup baik.

Hubungan sosial responden di masyarakat cukup baik dari pernyataan responden bahwa merasa senang apabila dapat membantu masyarakat dalam menjaga ketertiban lingkungan tinggalnya. Responden menyatakan sering terlibat dalam menjaga ketentraman dan ketertiban lingkungan tempat tinggalnya.

Sikap responden terhadap kesalahan yang terjadi dalam menjalani pekerjaan dirasakan cukup positif. Responden cenderung menyatakan berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, jika responden tidak mampu mengatasi kesalahan tersebut maka responden akan melapor kepada pimpinannya untuk meminta arahan dalam penyelesaian masalahnya. Dalam hal ini tampak bahwa adanya pengaruh Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan pimpinan dan team leader. Peranan pimpinan dalam sistem kerja di lingkungan satpol PP amat dominan memberikan dampak terhadap kinerja staf. Pimpinan berperan dalam memberikan dorongan dalam menjalankan pekerjaan, memberikan bimbingan dalam mengatasi masalah yang dihadapi dam memberikan dukungan kepada stafnya untuk dapat menyelesaikan permasalahan.


(2)

Sebagai seorang abdi masyarakat, responden sebagai anggota satpol PP harus dapat memberikan pelayanan sipil yang baik. Sikap responden untuk berusaha menjalakan tugas dengan cepat dan tepat nampak cukup baik. Responden menyatakan selalu berusaha melaksanakan tugas dengan cepat dan tepat. Responden menyatakan bahwa melaksanakan tugas dengan cepat dan tepat merupakan keharusan yang mesti dicapai. Perubahan era reformasi saat ini menuntut kinerja aparat pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan keadaan sebelum reformasi dimana saat ini masyarakat begitu terbuka untuk menyampaikan kritik terhadap kinerja aparatur pemerintah dalam hal ini Satpol PP. Kondisi ini menunjukkan adanya Contextual/situational factors yang berpengaruh terhadap sikap responden dalam menjalankan pekerjaan, Contextual/ situational factors ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.


(3)

Jaenal Mutakim, 2013

Penerapan Prinsip-Prinsip Andragogi Dalam Pendidikan Dan Latihan (Diklat) Pengembangan Mutu SDM Satuan Polisi Pamong Praja

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. (1996). Strategi Membangun Motivasi Dalam Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung : AGTA Manunggal Utama.

______________, (2000). Metode Pembelajaran pada Orang Dewasa. Bandung : Cipta Intelektual

Ali, Muhammad dkk. (Eds). (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.

Arief, Zainudin (1981). Suatu Petunjuk Untuk Pelatih dalam Pendekatan Andragogi Konsep, Pengalaman dan Aplikasi”. BPKB Jayagiri : Unit Sumber Pendayagunaan Inovasi (USPI).

Danim, Sudarwan. (2004). Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ditjen PLS (2003). Program Life Skills Melalui Pendekatan Broad Based Education (BBE). Jakarta : Direktorat Tenaga Teknis Depdiknas.

Djamarah, Syaiful Bahri. (2002). Psikologi Belajar, Jakarta: Asdi Mahasatya. Echols, John M. dan Hassan Shadily (2005). Kamus Inggris Indoensia. Jakarta:

Gramedia.

Gagne, Robert M. Karel Medsker., (1996). The Condition of Learning Training Application, Tokyo: Harcourt Collage.

Griffin, Rocky W. (1987). Management. Boston: Houghton Miffin Company. Hamijoyo, Santoso. (1974). Beberapa catatan tentang partisipasi Masyarakat.

Prasarana Pada Seminar Peranan Lembaga Penndidikan dan Guru Dalam Pembangunan Masyarakat Desa di IKIP Bandung. Bandung: IKIP.

Hariandja, Marihot Tua Efendi. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasibuan, Malayu H.SP. (2003). Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.

Hatimah, Ihat dan Sardin. (2007). Modul Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, Bandung : Universitas Terbuka UPBJJ Bandung.


(4)

Husein, Umar. (2002). Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://www.lan.go.id/doc/001.pdf

http://sida.lan.go.id/attachment/PP%20101%202000.pdf.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/04/101025/Aktualisasi-Pelayanan-Satpol-PP.

http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/03/loyalitas-pada-profesi.

Hurlock, Elizabeth B. (1968). Developmental Psycology. New York: McGraw-Hill.

Imron, Ali. (1996). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kartasasmita, Ginanjar. (1997). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat. Yogyakarta : UGM. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1998). Jakarta : Balai Pustaka.

Krect et al. (1993). Individual In Society. New York : Mc. Graw Hill Book Company, Inc .

Linton, Ralph. (1968). The Study of Man: an Introduction. New York: Appleton-Century.

Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: Gramedia.

Luthan, Fred. (1995). Organizational Behavior. Singapore: McGraw Hill Co. Manullang, M. (1981), Manajemen Personalia, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Mangkunegara, Anwar P. (2005). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama.

Margono (1996). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rhimeka Cipta. Meriam, BS. (1989). Handbook of Adult and Continuing Education. San

Francisco : Jessey Bass Publisher.

Mondy, R. Wayne and Robert M. Noe. (1990). Human Resoure Management Ninth Edition. New Jersey: Person Prentiace Hall.

Musa, Safuri. (2005). Seni dan Teknik Fasilitasi Pendidikan Orang Dewasa. Bandung : Yayasan PIN Indonesia


(5)

Jaenal Mutakim, 2013

Penerapan Prinsip-Prinsip Andragogi Dalam Pendidikan Dan Latihan (Diklat) Pengembangan Mutu SDM Satuan Polisi Pamong Praja

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Ndraha, Taliziduhu. (2003). Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta: Asdi Mahasatya.

Nickson, Dennis. (2007). Human Resources Management for The Hospitaly and Tourism Industries. Burlington: Elsevier.

Notoatmodjo, Soekidjo (1992). Pengembangan SDM. Jakarta : Rhineka Cipta.

O’reilly, Charles. (1996). Corporation, Culture and Commitment: Motivation and

Social Control in Organization. New York: McGraw Hill.

Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991. (1991). Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta : Ekojaya

Rivai, Veithzel dan, Ahmad F.M. Basri (2005), Performance Appraisal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Saraka, (2001), Model Belajar Swaarah dalam Pengembangan Sikap Mental Wiraswasta, Bandung: PPS UPI.

Sarwono, Sarlito Wirawan (1999). Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka.

Siagian, Sondang P. (1995). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipata.

Singarimbun, Masri. editor: Sofian Efendi (1989). Metode Penelitian Survai (revisi). Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Soetomo, (1993). Dasar-Dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Sudjana, Djudju. (1991). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan Falsafah dan Fakta Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press.

Suharyanto, Hadrianus & Hadna, Heruanto. (2005). Manajemen Sumber daya Manusia. Yogyakarta: Media Wacana.

Sutiyono, Agus. (2010). Disertasi, Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (competence base education and training) dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Syah, Muhibbin. (2003). Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru (edisi revisi), Bandung: Alfabeta.


(6)

Tika, Moh. Pabundu. (2005). Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tilaar, H.A.R. (2001). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosadakarya. ________, (2000), Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan

Nonformal dan Pengembangan Sumber daya Manusia. Bandung: Fallah Production.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Wibowo. (2005). Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

William T McLoad, (edt). (1989). The New Collins Dictionary and Thesaurus. Glasgow: William Collins Sons and Co.Ltd.