DIFFUSE AXONAL INJURY AFTER TRAUMATIC BRAIN INJURY.

MAKALAH LENGKAP

DIFFUSE AXONAL INJURY AFTER
TRAUMATIC BRAIN INJURY

Oleh :
dr. I Komang Arimbawa, Sp.S

DISAMPAIKAN DALAM ACARA ILMIAH
SIMPOSIUM NEUROTRAUMA
PERTEMUAN ILMIAH NASIONAL PERDOSSI SOLO
NOPEMBER 2014

1

DIFFUSE AXONAL INJURY AFTER
TRAUMATIC BRAIN INJURY
dr. I Komang Arimbawa, Sp.S
Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar, Bali


Pendahuluan
Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat
yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam
kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila terjadi
kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala yang
terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga
(10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia
merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan
merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007). Secara umum, cedera otak dapat dibagi
menjadi cedera fokal dan difus. Salah satu tipe cedera otak difus yang banyak
ditemui pada cedera kepala terkait trauma adalah diffuse axonal injury (DAI).

Definisi DAI
DAI adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan kesadaran
setelah terjadinya trauma selama lebih dari enam jam, tanpa ditemukan adanya
penyebab yang jelas terjadinya penurunan kesadaran. Pemeriksaan histopatologis
dengan sampel dari biopsi otak kemudian akan menunjukkan adanya kerusakan

2


akson difus pada hemisfer serebri, serebelum, dan batang otak (Park et al., 2009,
Johnson et al., 2013).
Kasus DAI pertama kali dideskripsikan oleh Stritch, seorang patologis
tahun 1956 (Stritch, 1961). Pemeriksaan histopatologis dari pasien cedera kepala
setelah kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, menunjukkan
terjadinya degenerasi difus pada akson. Istilah difus sendiri sebenarnya kurang
tepat, karena kelainan sebenarnya terjadi pada substansia alba daerah tertentu dalam
otak, terutama di korpus kalosum, kapsula interna, batang otak, dan pedunkulus
serebri (Adams et al., 1991).

Epidemiologi DAI
Cedera otak merupakan penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, DAI diperkirakan terlibat pada 40-50% kasus cedera kepala
terkait trauma yang memerlukan perawatan di RS. Cedera kepala terkait DAI
menjadi permasalahan medis yang signifikan, bahkan dapat dibandingkan dengan
morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh HIV. DAI diperkirakan berperan
pada semua pasien yang mengalami penurunan pasca trauma (Meythaler et al.,
2001).


Patofisiologi DAI
DAI terjadi karena akson mengalami tarikan atau robekan pada daerah
perbatasan antara substansia alba dengan substansia grisea pada saat otak
mengalami akselerasi, deselerasi, atau rotasi. Perbatasan ini biasanya menjadi

3

tempat terjadinya trauma sebab dua lapisan tersebut berakselerasi dan
berdeselerasi secara berbeda tergantung dari kepadatan jaringan (Smith et al.,
2003).
Segera setelah trauma, terjadi depolarisasi diikuti cedera intraseluler
langsung akibat gangguan mekanik pada sitoskeleton dan sitoplasma sel, sehingga
terjadi gangguan fungsi transport aksonal. Proses ini diikuti serangkaian reaksi
biokimia yang berujung pada kerusakan sel lebih lanjut dan aksonotmesis. Efek
trauma terhadap mitokondria menimbulkan gangguan pada pembentukan ATP di
dalam sel, diikuti kegagalan dari pompa natrium, kalium, dan kalsium yang
menyebabkan gangguan homeostasis pada akson (Meythaler et al., 2001).
Kegagalan pompa ion kemudian diikuti pengeluaran neurotransmiter
eksitatorik (glutamat, aspartat), aktivasi NMDA, kanal kalsium, dan kanal natrium.
Influks dari natrium dan kalsium menyebabkan terjadinya proses katabolisme

intraselular. Kalsium menyebabkan aktivasi dari lipid peroksidase, protease, dan
fosfolipase. Selanjutnya aktivasi dari kaspase, translokase, dan endonuklease
menyebabkan perubahan struktur yang progresif dari membran nukleus dan DNA.
Bersama-sama kejadian ini menyebabkan terjadinya degradasi membran dari
struktur selular, yang berakhir dengan nekrosis atau apoptosis (Meythaler et al.,
2001).

Diagnosis DAI

4

Segera setelah terjadinya trauma, diagnosis pasti DAI dapat dilakukan
dengan metode imunohistokimia pada potongan otak pasien yang meninggal.
Pemeriksaan akan menunjukkan gambaran karakteristik berupa pengecatan
neurofibrilar untuk mendeteksi mikroglia yang banyak didapatkan pada
substansia alba yang mengalami degenerasi. Kemudian akan didapatkan
gambaran yang mengarah ke degenerasi aksonal tipe Wallerian seiring dengan
proses disintegrasi pada membran akson (Meythaler et al., 2001).
Penegakan diagnosis pada pasien yang hidup sulit untuk dikerjakan. Hal
ini terkait dengan pemeriksaan imajing konvensional yang umumnya

memberikan hasil normal, meskipun pada kondisi berat dapat tampak kelainan
yang mengarah ke DAI. Oleh karena itu, diagnosis DAI sampai saat ini lebih
merupakan diagnosis eksklusi. (Johnson et al., 2013). Berbagai penelitian untuk
menegakkan diagnosis DAI secara non invasif dengan pemeriksaan imajing
mutakhir disertai pemeriksaan elektrofisiologi dan biomarker masih terus
berjalan, meskipun hasil yang didapat sampai saat ini masih memiliki
keterbatasan untuk diaplikasikan secara klinis (Smith et al., 2013).

Klasifikasi DAI
DAI diklasifikasikan

oleh Adams

(1991)

berdasarkan

gambaran

histopatologisnya.

1.

Pada derajat 1, terlihat lesi pada daerah parasagital dari lobus frontalis,
daerah periventrikuler dari lobus temporalis, kapsula eksterna dan interna,
serta serebelum.

5

2.

Pada derajat 2, terlihat lesi seperti pada derajat 1, ditambah kerusakan pada
korpus kalosum.

3.

Pada derajat 3, terlihat lesi seperti derajat 2, ditambah daerah kuadran
dorsolateral dari batang otak.

Pemeriksaan Penunjang
Sekitar 50-80% pasien yang menderita DAI menunjukkan hasil CT sken

normal. Pada kasus lebih berat yang menunjukkan kelainan, dapat ditemukan
gambaran klasik berupa bercak perdarahan pada korpus kalosum, perbatasan antara
subtansia alba dan grisea, serta perbatasan pons dengan mesensefalon yang
berkaitan dengan pedunkulus serebri superior (Meythaler et al., 2001).
MRI merupakan pemeriksaan imajing yang lebih sensitif pada pasien DAI,
terutama jika dikerjakan dengan teknik yang lebih mutakhir seperti diffusion
weighted imaging (DWI), atau susceptibility weighted imaging (SWI) (Kinoshita,
2005; Tong et al., 2008).

Penatalaksanaan DAI
Pemahaman tentang patofisiologi yang lebih baik seiring dengan kemajuan
pemeriksaan penunjang membantu perkembangan penatalaksanaan DAI menjadi
lebih spesifik. Meskipun demikian, penelitian-penelitian yang menunjang untuk
penggunaan secara klinis terapi-terapi baru ini masih belum cukup kuat. Beberapa
diantaranya bekerja melalui proses sebagai berikut (Smith et al., 2013):
1.

Stabilisasi sitoskeleton

6


2.

Homeostasis ion

3.

Inhibisi protease

4.

Proteksi mitokondria

5.

Hipotermia

Simpulan
DAI adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan kesadaran setelah
terjadinya trauma selama lebih dari enam jam, tanpa ditemukan adanya penyebab

yang jelas terjadinya penurunan kesadaran. Penegakan diagnosis pada pasien yang
masih hidup sulit dikerjakan. Hal ini terkait dengan pemeriksaan imajing
konvensional yang umumnya memberikan hasil normal. Berbagai penelitian untuk
menegakkan diagnosis DAI secara non invasif dengan pemeriksaan imajing
mutakhir disertai pemeriksaan elektrofisiologi dan biomarker masih terus berjalan.
Perkembangan ini turut membantu penatalaksanaan DAI menjadi lebih spesifik,
sesuai dengan patofisiologi terjadinya penyakit, sehingga diharapkan memberikan
hasil yang lebih optimal.

Daftar Pustaka

7

Adams, J.H., Graham, D.I., Gennarelli, T.A., and Maxwell, W.L. (1991). Diffuse
axonal injury in non-missile head injury. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 54, 481483.

Johnson, V.E., Stewart, W., Smith, D.H. (2013). Axonal pathology in traumatic
brain injury. Experimental Neurology 246, 35-43.

Kinoshita, T. (2005). Conspicuity of diffuse axonal injury lesions on diffusion

weighted MR imaging. European Journal of Radiology 56(1): 5-11.

Meythaler, J.M., Peduzzi, J.D., Eleftheriou, E., Novack, T.A. (2001). Current
Concepts: Diffuse Axonal Injury–Associated Traumatic Brain Injury. Arch Phys
Med Rehabil 82, 11461-1471.

Park S.J., Hur, J.W., Kwon, K.Y., Rgee, J.J., Lee, J.W. Lee, H.K. (2009). J Korean
Neurosurg Soc 46: 205-209.

Strich, S.J. (1961). Shearing of the nerve fibers as a cause of brain damage due to
head injury: a pathological study of 20 cases. Lancet 278, 443–448.

Smith, D. H. (2003). Diffuse axonal injury inhead trauma. The Journal of Head
Trauma Rehabilitation 18(4): 307-16.
Smith, D.H., Hicks, R., Polivshock, J.T. (2013). Therapy Development for
Diffuse Axonal Injury. Journal Of Neurotrauma 30:307-323.

Tong, K. A., Ashwal, S. (2008). Susceptibility-weighted MR imaging: a review of
clinical applications in children. American Journal of Neuroradiology 29(1): 9-17.


8

Toyama, Y. (2005). "CT for acute stage of closed head injury." Radiation medicine
23(5): 309-316.