Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Budaya Cina Terhadap Motif Batik Lasem T1 152008001 BAB II
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Batik
Asal kata Batik dari Bahasa Jawa yaitu Amba yang artinya menulis sedangkan
Tik artinya titik atau tetes. Jadi batik adalah gamabaran atau lukisan yang dibuat
pada kain dengan lilin atau malam dan pewarna, menggunakan alat canting dan
kuas serta teknik tutup celup. Kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan
‘malam’ yang diaplikasikan keatas kain, sehingga menahan masuknya bahan
pewarna. Batik dapat berupa gambar pola ragam hias atau lukisan yang ekspresif.
Menggambar atau melukis dengan bahan lilin atau malam yang dipanaskan dan
menggunakan alat canting atau kuas disebut membatik. Batik memiliki fungsi
ganda, yaitu fungsi pratis dan estetis.
1. Secara praktis, kain batik dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
akan pakaian, penutup tempat tidur, taplak meja, sarung bantal, dan lain
sebagainya.
2. Secara estetis, batik lukis bias dibingkai dan dijadikan perhiasan ruangan atau
hiasan dinding (Eni, 2009: 38).
Rembang memiliki sentra industri kerajinan yang sudah terkenal dan tercatat
dalam sejarah kota ini. Industri tersebut ialah kerajinan batik tulis. Kerajinan
batik tulis di kabupaten Rembang mempunyai ciri khas tersendiri yang terkenal
dengan nama batik Lasem. Ada beberapa tempat kerajinan batik tulis yang
terkenal di Rembang seperti di kecamatan Pancur dan kecamatan Lasem. Hasil
6
produksi batik tulis di samping dipasarkan di lokal, juga telah diekspor ke manca
negara. Lahirnya indutri batik Lasem ini pun sudah ada sejak ratusan tahun yang
lalu, bahkan sejak kedatangan orang Cina ke Rembang pada sekitar abad ke-13.
Komunitas Cina di Rembang sendiri semakin banyak dengan terjadinya eksodus
besar-besaran orang Cina dari Batavia pada sekitar tahun 1740 akibat
pemberontakan orang Cina di Batavia terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Sejak saat itu bangsa Cina seolah menjadi bagian dari Rembang dan hidup damai
dengan penduduk pribumi setempat.
Para pembantik (pengrajin atau pekerja batik) di Kabupaten Rembang sendiri
pada umumnya terdiri dari para perempuan yang berasal dari keluarga petani
gurem atau buruh tani di 25 desa (atau 4 kecamatan: Lasem, Pancur, Rembang
dan Pamotan) di Kabupaten Rembang yang memiliki angka kemiskinan cukup
tinggi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembatikan dilakukan oleh para
pembatik (pekerja batik) dengan memanfaatkan waktu luang di antara masa tanam
dan masa panen untuk menambah penghasilan keluarga. Dengan demikian,
industri batik Lasem memiliki peranan yang sangat penting untuk penciptaan
lapangan pekerjaan dan penanggulangan kemiskinan di daerah pedesaan
Kabupaten Rembang (Hempri, dkk, 2010: 31 - 32).
B. Budaya Cina
Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah”,
yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli
antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan
ilmiah adalah E.B. Tylor dalam buku yang berjudul “Primitive Culture”, bahwa
7
kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda, Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Sukidin, dkk, 2003: 4 - 5).
Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu
kelompok yang asal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa
suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung, yang
sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa
kebudayaan
suku
bangsanya
sendiri-sendiri
bersama
dengan
perbedaan
bahasanya. Para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16
sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, asal dari suku bangsa Hokkien.
Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku bangsa Hokkien
telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada orang
Tionghoa di Indonesia. Orang Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi
sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan pantai Barat Sumatra. Walaupun orang Tionghoa perantau itu,
terdiri dari paling sedikit empat suku bangsa, namun dalam pandangan orang
Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi ke dalam dua golongan ialah
Peranakan dan Totok. Peranakan itu, bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di
Indonesia, hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan orang
8
Indonesia, sedangkan orang Totok bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di
negara Tionghoa (Koentjaraningrat, 1971: 346 - 347).
Batik Lasem awalnya dikenal sebagai “batik encim”, yaitu batik yang dipakai
oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut. Encim adalah sebutan kaum
Tionghoa peranakan untuk wanita yang usianya telah lanjut (Sumijati dan Septi,
tt: 23). Pengaruh asing khususnya budaya Cina turut mewarnai corak, motif dan
ragam batik tulis Lasem. Melalui pengamatan terhadap sehelai batik Lasem kita
dapat mengenali hasil silang budaya tersebut, antara lain silang budaya melalui
motif. Secara umum pada batik Lasem kita jumpai kombinasi motif khas Cina dan
motif Jawa. Motif Cina disini dapat berupa fauna (burung hong atau phoenix,
kilin, liong atau naga, ikan mas, kelelawar, ayam hutan dan sebagainya), motif
flora (bunga seruni, delima, magnolia, peoni, sakura, dan sebagainya), motif
geometris (banji, swastika, dan lain-lain), motif benda alam (awan, gunung,
rembulan, dan sebagainya), serta motif Cina lainnya (mata uang, gulungan surat,
dan sebagainya). Sedangkan motif Jawa pada umumnya merupakan motif
geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Jogjakarta) seperti parang,
lereng, kawung, udan liris dan sebagainya.
Silang budaya lainya terjadi melalui warna. Warna dominan batik Lasem
adalah merah, niru, soga, hijau, ungu, hitam, krem (kuning muda) dan putih.
Pilihan warna ini terjadi sebagai akibat dari pengaruh budaya tersebut. Warna
merah darah menegaskan pengaruh budaya Cina. Warna Biru dipengaruhi oleh
budaya Belanda atau Eropa. Warna Soga mencerminkan pengaruh budaya Jawa,
yaitu diambil dari warna soga pada batik Surakarta. Sedangkan warna hijau
9
berasosiasi dengan komunitas Muslim. Batik Lasem kemudian berkembang
menjadi industri masyarakat lokal di mana sebagian besar perempuan Lasem
bekerja sebagai pembatik. Industri batik Lasem pernah mengalami masa kejayaan
pada periode akhir abad ke-19. Pada saat itu, industri batik Lasem termasuk salah
satu dari Enam Besar Industri Batik di Hindia Belanda yang terjadi dari Surakarta,
Jogjakarta, Pekalongan, Lasem, Banyumas dan Cirebon (Hempri, dkk, 2010: 3537).
C. Pengertian Motif
Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara
keseluruhan (Sewan Susanto, 1980 : 212). Batik Lasem merupakan seni batik tulis
gaya pesisiran yang kaya warna dan memiliki ciri multikultural, sebagai akibat
akulturasi banyak budaya, khususnya budaya Cina dan budaya Jawa. Dalam batik
Lasem mudah dikenali perpaduan warna dan motif hasil silang budaya. Misalnya,
motif fauna khas Cina (burung hong atau phoenix, kilin, liong atau naga, ikan mas
dan sebagainya) atau motif flora (bunga seruni, delima, magnolia, peoni, sakura
dan sebagainya) dikombinasikan dengan motif geometris khas batik pedalaman
seperti parang, kawung, jereng dan sebagainya. Silang budaya dalam bentuk
kombinasi warna, misal pada batik Tiga Negeri yang merupakan kombinasi warna
khas merah marun (pengaruh budaya Cina, proses pewarnaan di Lasem), biru
(pengaruh budaya Belanda atau Eropa, proses pewarnaan di Pekalongan) dan soga
(pengaruh budaya Jawa, proses pewarnaan di Surakarta atau Solo) William, dkk,
2010: 45 - 46.
10
D. Jenis Motif
Secara umum motif batik Lasem dibedakan dalam 2 (dua) jenis:
1. Motif Cina, yaitu motif yang dipengaruhi budaya Cina. Motif ini antara lain:
burung hong, lok can, banji, pat sian, dll
2. Motif non-Cina, antara lain: sekar jagad, gringsing, pasiran, bledak, kawung
mlati, dan lain-lain.
Motif Laseman memiliki pengaruh yang sangat kuat pada batik Indramayu,
Jambi, Palembang, bahkan Pekalongan, Solo dan Yogya, sebagaimana halnya
pengaruh motif batik dari berbagai daerah tersebut dalam perkembangan dinamika
motif dalam batik Lasem. Semua motif dan warna khas Cina seharusnya memiliki
arti sosial-filosofi. Sebagai contoh: kupu-kupu artinya kesetiaan cinta kasih dan
kegembiraan, kilin artinya kebijaksanaan, naga artinya keagungan, burung hong
atau phoenix artinya kebajikan atau prestasi atau mempelai perempuan dan
keabadian, kelelawar artinya umur panjang, kebahagiaan, warna merah artinya
kebahagiaan, dan seterusnya. Demikian pula pada motif dan warna non Cina
(baca: Jawa), artinya simbolik kurang dikenal (kecuali motif yang dipengaruhi
oleh gaya batik pedalaman, seperti batik Solo dan batik Yogya, misalnya parang
rusak dan sido mukti). Jikapun ada pembatik yang mencoba memberi arti pada
suatu motif, inisiatif tersebut bersifat individual dan subyektif. Sebagai contoh:
motif ‘kendoro kendiri’ diartikan ‘majikan-bawahan’ oleh seorang pengamat batik
di Lasem, tetapi mungkin tidak memiliki arti apa-apa bagi para pengusaha
pembatik lainnya. Motif ‘kricak’ atau ‘watu pecah’ oleh seorang pembatik
diartikan sebagai ‘kenangan atas kricak sebagai bahan pembuatan jalan yang
11
membawa banyak korban pekerja paksa di Lasem’. Pembatik lain melihat ‘kricak’
sebagai ‘tanah bebatuan di Lasem yang kering dan sering tampak retak-retak’
(William, dkk, 2010: 46 - 52).
E. Penelitian yang Relevan
1. Hempri, dkk. tahun 2010 menulis tentang Potret Kehidupan Pembatik di
Lasem Rembang. Dalam buku tersebut penulis menjelaskan bagaimana awal
mula perkembangan batik di Lasem, pengaruh budaya Cina, serta potret
kehidupan para pembatiknya.
2. William, dkk. tahun 2010 menulis tentang Eksplorasi Sejarah Batik Lasem.
Dalam buku tersebut penulis menjelaskan gambaran sejarah Kota Lasem sejak
jaman dahulu sampai sekarang dan sejarah perkembangan budaya batik
Lasem.
3. Andri Susanto. tahun 2010. Skripsi: Potensi Batik Plumpungan bagi
Pengembangan Pariwisata di Kota Salatiga. Menulis tentang batik khas
Salatiga yaitu batik Plumpungan dimana nama Plumpungan diambil dari
sebuah nama Prasasti Plumpungan. Ciri-ciri Batik Plumpungan, bentuk dasar
bergambar dua bulatan besar dan kecil sedikit lonjong dalam satu kesatuan,
digambar dari gambar dua bongkahan batu besar dan kecil Prasati
Plumpungan, sehingga dilihat dari sudut pandang atas bentuknya menyerupai
Batu Prasasti Plumpungan.
12
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Batik
Asal kata Batik dari Bahasa Jawa yaitu Amba yang artinya menulis sedangkan
Tik artinya titik atau tetes. Jadi batik adalah gamabaran atau lukisan yang dibuat
pada kain dengan lilin atau malam dan pewarna, menggunakan alat canting dan
kuas serta teknik tutup celup. Kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan
‘malam’ yang diaplikasikan keatas kain, sehingga menahan masuknya bahan
pewarna. Batik dapat berupa gambar pola ragam hias atau lukisan yang ekspresif.
Menggambar atau melukis dengan bahan lilin atau malam yang dipanaskan dan
menggunakan alat canting atau kuas disebut membatik. Batik memiliki fungsi
ganda, yaitu fungsi pratis dan estetis.
1. Secara praktis, kain batik dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
akan pakaian, penutup tempat tidur, taplak meja, sarung bantal, dan lain
sebagainya.
2. Secara estetis, batik lukis bias dibingkai dan dijadikan perhiasan ruangan atau
hiasan dinding (Eni, 2009: 38).
Rembang memiliki sentra industri kerajinan yang sudah terkenal dan tercatat
dalam sejarah kota ini. Industri tersebut ialah kerajinan batik tulis. Kerajinan
batik tulis di kabupaten Rembang mempunyai ciri khas tersendiri yang terkenal
dengan nama batik Lasem. Ada beberapa tempat kerajinan batik tulis yang
terkenal di Rembang seperti di kecamatan Pancur dan kecamatan Lasem. Hasil
6
produksi batik tulis di samping dipasarkan di lokal, juga telah diekspor ke manca
negara. Lahirnya indutri batik Lasem ini pun sudah ada sejak ratusan tahun yang
lalu, bahkan sejak kedatangan orang Cina ke Rembang pada sekitar abad ke-13.
Komunitas Cina di Rembang sendiri semakin banyak dengan terjadinya eksodus
besar-besaran orang Cina dari Batavia pada sekitar tahun 1740 akibat
pemberontakan orang Cina di Batavia terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Sejak saat itu bangsa Cina seolah menjadi bagian dari Rembang dan hidup damai
dengan penduduk pribumi setempat.
Para pembantik (pengrajin atau pekerja batik) di Kabupaten Rembang sendiri
pada umumnya terdiri dari para perempuan yang berasal dari keluarga petani
gurem atau buruh tani di 25 desa (atau 4 kecamatan: Lasem, Pancur, Rembang
dan Pamotan) di Kabupaten Rembang yang memiliki angka kemiskinan cukup
tinggi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembatikan dilakukan oleh para
pembatik (pekerja batik) dengan memanfaatkan waktu luang di antara masa tanam
dan masa panen untuk menambah penghasilan keluarga. Dengan demikian,
industri batik Lasem memiliki peranan yang sangat penting untuk penciptaan
lapangan pekerjaan dan penanggulangan kemiskinan di daerah pedesaan
Kabupaten Rembang (Hempri, dkk, 2010: 31 - 32).
B. Budaya Cina
Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah”,
yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sedangkan ahli
antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan
ilmiah adalah E.B. Tylor dalam buku yang berjudul “Primitive Culture”, bahwa
7
kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Pada sisi yang agak berbeda, Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Sukidin, dkk, 2003: 4 - 5).
Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu
kelompok yang asal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa
suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung, yang
sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa
kebudayaan
suku
bangsanya
sendiri-sendiri
bersama
dengan
perbedaan
bahasanya. Para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16
sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, asal dari suku bangsa Hokkien.
Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku bangsa Hokkien
telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada orang
Tionghoa di Indonesia. Orang Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi
sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan pantai Barat Sumatra. Walaupun orang Tionghoa perantau itu,
terdiri dari paling sedikit empat suku bangsa, namun dalam pandangan orang
Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi ke dalam dua golongan ialah
Peranakan dan Totok. Peranakan itu, bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di
Indonesia, hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan orang
8
Indonesia, sedangkan orang Totok bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di
negara Tionghoa (Koentjaraningrat, 1971: 346 - 347).
Batik Lasem awalnya dikenal sebagai “batik encim”, yaitu batik yang dipakai
oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut. Encim adalah sebutan kaum
Tionghoa peranakan untuk wanita yang usianya telah lanjut (Sumijati dan Septi,
tt: 23). Pengaruh asing khususnya budaya Cina turut mewarnai corak, motif dan
ragam batik tulis Lasem. Melalui pengamatan terhadap sehelai batik Lasem kita
dapat mengenali hasil silang budaya tersebut, antara lain silang budaya melalui
motif. Secara umum pada batik Lasem kita jumpai kombinasi motif khas Cina dan
motif Jawa. Motif Cina disini dapat berupa fauna (burung hong atau phoenix,
kilin, liong atau naga, ikan mas, kelelawar, ayam hutan dan sebagainya), motif
flora (bunga seruni, delima, magnolia, peoni, sakura, dan sebagainya), motif
geometris (banji, swastika, dan lain-lain), motif benda alam (awan, gunung,
rembulan, dan sebagainya), serta motif Cina lainnya (mata uang, gulungan surat,
dan sebagainya). Sedangkan motif Jawa pada umumnya merupakan motif
geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Jogjakarta) seperti parang,
lereng, kawung, udan liris dan sebagainya.
Silang budaya lainya terjadi melalui warna. Warna dominan batik Lasem
adalah merah, niru, soga, hijau, ungu, hitam, krem (kuning muda) dan putih.
Pilihan warna ini terjadi sebagai akibat dari pengaruh budaya tersebut. Warna
merah darah menegaskan pengaruh budaya Cina. Warna Biru dipengaruhi oleh
budaya Belanda atau Eropa. Warna Soga mencerminkan pengaruh budaya Jawa,
yaitu diambil dari warna soga pada batik Surakarta. Sedangkan warna hijau
9
berasosiasi dengan komunitas Muslim. Batik Lasem kemudian berkembang
menjadi industri masyarakat lokal di mana sebagian besar perempuan Lasem
bekerja sebagai pembatik. Industri batik Lasem pernah mengalami masa kejayaan
pada periode akhir abad ke-19. Pada saat itu, industri batik Lasem termasuk salah
satu dari Enam Besar Industri Batik di Hindia Belanda yang terjadi dari Surakarta,
Jogjakarta, Pekalongan, Lasem, Banyumas dan Cirebon (Hempri, dkk, 2010: 3537).
C. Pengertian Motif
Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara
keseluruhan (Sewan Susanto, 1980 : 212). Batik Lasem merupakan seni batik tulis
gaya pesisiran yang kaya warna dan memiliki ciri multikultural, sebagai akibat
akulturasi banyak budaya, khususnya budaya Cina dan budaya Jawa. Dalam batik
Lasem mudah dikenali perpaduan warna dan motif hasil silang budaya. Misalnya,
motif fauna khas Cina (burung hong atau phoenix, kilin, liong atau naga, ikan mas
dan sebagainya) atau motif flora (bunga seruni, delima, magnolia, peoni, sakura
dan sebagainya) dikombinasikan dengan motif geometris khas batik pedalaman
seperti parang, kawung, jereng dan sebagainya. Silang budaya dalam bentuk
kombinasi warna, misal pada batik Tiga Negeri yang merupakan kombinasi warna
khas merah marun (pengaruh budaya Cina, proses pewarnaan di Lasem), biru
(pengaruh budaya Belanda atau Eropa, proses pewarnaan di Pekalongan) dan soga
(pengaruh budaya Jawa, proses pewarnaan di Surakarta atau Solo) William, dkk,
2010: 45 - 46.
10
D. Jenis Motif
Secara umum motif batik Lasem dibedakan dalam 2 (dua) jenis:
1. Motif Cina, yaitu motif yang dipengaruhi budaya Cina. Motif ini antara lain:
burung hong, lok can, banji, pat sian, dll
2. Motif non-Cina, antara lain: sekar jagad, gringsing, pasiran, bledak, kawung
mlati, dan lain-lain.
Motif Laseman memiliki pengaruh yang sangat kuat pada batik Indramayu,
Jambi, Palembang, bahkan Pekalongan, Solo dan Yogya, sebagaimana halnya
pengaruh motif batik dari berbagai daerah tersebut dalam perkembangan dinamika
motif dalam batik Lasem. Semua motif dan warna khas Cina seharusnya memiliki
arti sosial-filosofi. Sebagai contoh: kupu-kupu artinya kesetiaan cinta kasih dan
kegembiraan, kilin artinya kebijaksanaan, naga artinya keagungan, burung hong
atau phoenix artinya kebajikan atau prestasi atau mempelai perempuan dan
keabadian, kelelawar artinya umur panjang, kebahagiaan, warna merah artinya
kebahagiaan, dan seterusnya. Demikian pula pada motif dan warna non Cina
(baca: Jawa), artinya simbolik kurang dikenal (kecuali motif yang dipengaruhi
oleh gaya batik pedalaman, seperti batik Solo dan batik Yogya, misalnya parang
rusak dan sido mukti). Jikapun ada pembatik yang mencoba memberi arti pada
suatu motif, inisiatif tersebut bersifat individual dan subyektif. Sebagai contoh:
motif ‘kendoro kendiri’ diartikan ‘majikan-bawahan’ oleh seorang pengamat batik
di Lasem, tetapi mungkin tidak memiliki arti apa-apa bagi para pengusaha
pembatik lainnya. Motif ‘kricak’ atau ‘watu pecah’ oleh seorang pembatik
diartikan sebagai ‘kenangan atas kricak sebagai bahan pembuatan jalan yang
11
membawa banyak korban pekerja paksa di Lasem’. Pembatik lain melihat ‘kricak’
sebagai ‘tanah bebatuan di Lasem yang kering dan sering tampak retak-retak’
(William, dkk, 2010: 46 - 52).
E. Penelitian yang Relevan
1. Hempri, dkk. tahun 2010 menulis tentang Potret Kehidupan Pembatik di
Lasem Rembang. Dalam buku tersebut penulis menjelaskan bagaimana awal
mula perkembangan batik di Lasem, pengaruh budaya Cina, serta potret
kehidupan para pembatiknya.
2. William, dkk. tahun 2010 menulis tentang Eksplorasi Sejarah Batik Lasem.
Dalam buku tersebut penulis menjelaskan gambaran sejarah Kota Lasem sejak
jaman dahulu sampai sekarang dan sejarah perkembangan budaya batik
Lasem.
3. Andri Susanto. tahun 2010. Skripsi: Potensi Batik Plumpungan bagi
Pengembangan Pariwisata di Kota Salatiga. Menulis tentang batik khas
Salatiga yaitu batik Plumpungan dimana nama Plumpungan diambil dari
sebuah nama Prasasti Plumpungan. Ciri-ciri Batik Plumpungan, bentuk dasar
bergambar dua bulatan besar dan kecil sedikit lonjong dalam satu kesatuan,
digambar dari gambar dua bongkahan batu besar dan kecil Prasati
Plumpungan, sehingga dilihat dari sudut pandang atas bentuknya menyerupai
Batu Prasasti Plumpungan.
12