BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Potensi Pelet Biomassa dari Pemanfaatan Limbah Serbuk Kayu dan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Bahan Bakar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Energi
Energi merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia dewasa ini

dan akan mengambil peranan yang lebih besar diwaktu yang akan datang baik
dalam rangka penyediaan devisa, penyerapan tenaga kerja, pelesatarian sumber
daya energi, pembangunan nasional serta pembangunan daerah. Situasi energi di
Indonesia tidak terlepas dari situasi energi dunia. Konsumsi energi dunia yang
makin meningkat menimbulkan kesempatan bagi Indonesia untuk mencari sumber
energi silih (alternatif) untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Untuk itu perlu
untuk mengidentifikasi sektor mana yang dapat dimanfaatkan sumber daya energi
silih (Kadir, 1995).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), energi adalah tenaga
atau gaya untuk berbuat sesuatu. Definisi ini merupakan perumusan yang lebih
luas daripada pengertian-pengertian mengenai energi pada umumnya dianut di
dunia ilmu pengetahuan. Dalam pengertian sehari-hari energi dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan.

Seperti diketahui Indonesia sangat berkepentingan untuk menggantikan
sumber daya energi minyak dengan sumber daya energi lainnya karena minyak
merupakan sumber daya energi yang menghasilkan devisa selain gas alam. Oleh
karena itu, sektor-sektor perekonomian yang memanfaatkan minyak sedapat
mungkin menggantikannya dengan sumber daya lain seperti gas alam, batubara,
panas bumi, listrik tenaga air, dan biomassa yang tersedia dalam jumlah besar
(Reksohadiprojo, 1998).

6
Universitas Sumatera Utara

2.2

Bahan Bakar
Bahan bakar adalah istilah popular media untuk menyalakan api. Bahan

bakar dapat bersifat alami dan dapat juga bersifat buatan. Bahan bakar alami
misalnya, kayu bakar, batubara dan minyak bumi. Bahan bakar buatan misalnya,
gas alam cair dan listrik. Sebenarnya, listrik tidak dapat disebut sebagai bahan
bakar karena langsung mengahsilkan panas. Panas inilah yang sebenarnya

dibutuhkan manusia dari proses pembakaran, disamping cahaya akibat nyalanya
(Ismun, 1993).
Biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan bahan bakar makin lama
makin mahal. Makin tinggi teknologi yang digunakan untuk mengolah bahan
bakar, maka makin mahal harganya. Demikian pula, makin langka bahan baku
yang dipakai untuk menghasilkan bahan bakar. Maka harganya akan semakin
mahal. Akibat langsung jika menggunakan bahan bakar semacam ini adalah biaya
hidup tinggi sehingga tidak banyak orang yang mampu memanfaatkannya. Gas
alam yang dicairkan, misalnya LNG tidak banyak terjangkau oleh masyarakat
desa atau pedagang-pedagang kecil yang memerlukan bahan bakar (Anonimous,
2000).
Konsumsi energi bagi manusia merupakan suatu masalah besar dimana
sumber energi banyak digunakan sekarang yaitu minyak bumi dan batubara yang
cadangannya makin menipis. Oleh sebab itu, penghematan konsumsi energi bagi
umat manusia perlu ditanggulangi guna penyelamatan kebutuhan hidup masa
datang. Hal ini bisa terjadi terutama di negara-negara berkembang (Nusyirwan
dan Nuryetti, 1987).
Pengetahuan mengenai sifat bahan bakar membantu dalam memilih bahan
bakar yang benar untuk keperluan yang benar dan untuk penggunaan bahan bakar
yang efisien. Uji laboratorium biasanya digunakan untuk mengkaji sifat dan

kualitas bahan bakar (Reksohadiprojo, 1998). Jadi untuk melakukan pembakaran
diperlukan dua unsur, yaitu :
a. Bahan bakar
b. Oksigen

7
Universitas Sumatera Utara

Berbagai jenis bahan bakar (seperti bahan bakar cair, padat, dan gas)
yang tersedia tergantung pada berbagai faktor seperti biaya, ketersediaan,
penyimpanan, handling, dan lain-lain.
1) Bahan bakar padat
Bahan bakar padat yang terdapat dibumi kita ini berasal dari zat-zat
organik. Bahan bakar padat mengandung unsur-unsur antara lain : Zat arang
atau Karbon (C), zat lemas atau Nitrogen (N), Hidrogen (H), Belerang (S), zat
asam atau Oksigen (O) Abu dan Air yang kesemuanya itu terikat dalam satu
persenyawaan kimia.
2) Bahan bakar cair
Bahan bakar cair berasal dari minyak bumi. Minyak bumi didapat dari
dalam tanah dengan jalan mengebornya pada ladang-ladang minyak, dan

memompanya sampai ke atas permukaan bumi, untuk selanjutnya diolah lebih
lanjut menjadi berbagai jenis minyak bakar.
3) Bahan bakar gas
Didalam tanah banyak terkandung : Gas Bumi (Petrol Gas) atau sering
disebut pula dengan gas alam, yang timbul pada saat proses pembentukan
minyak bumi, gas tambang, dan gas rawa CH4 (Methane). Seperti halnya
dengan minyak bumi, gas alam tersebut diperoleh dengan jalan pengeboran
dari dalam tanah, baik di daratan maupun pada lepas pantai terhadap lokasilokasi yang diduga terdapat kandungan gas alam.

2.3

Biomassa

2.3.1 Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa
Biomassa merupakan bahan yang potensial untuk menghasilkan
berbagai produk yang bermanfaat melalui suatu proses konversi baik secara
fisik, kimiawi, biologis, ataupun enzimatis untuk energi (bioetanol).
Ketersediaan biomassa yang merupakan bahan terbarukan cukup melimpah,
baik berupa hasil penanaman maupun berupa limbah. Sumber-sumber untuk
membuat energi biomassa itu sendiri bisa berasal dari tumbuh-tumbuhan yang


8
Universitas Sumatera Utara

mengandung selulosa, seperti kayu, cangkang sawit, sekam padi, tebu, dan
lain-lain (Erlich, 2005).
Suatu perubahan (konversi) dari suatu biomassa menjadi bentuk lainnya
yang melibatkan keadaan fisik dari bahan tersebut. Konversi fisika meliputi
penggerusan, penggerindaan, dan pengukusan untuk mengurai struktur
biomassa dengan tujuan meningkatkan luas permukaan sehingga proses
selanjutnya, kimia, termal, dan biologi bisa dipercepat. Proses ini juga meliputi
pemisahan, ekstraksi, penyulingan, dan sebagainya untuk mendapatkan bahan
berguna dari biomassa serta proses pemapatan, pengeringan, atau kontrol
kelembaban dengan tujuan membuat biomassa lebih mudah diangkut dan
disimpan. Teknologi konversi fisika sering digunakan pada perlakuan
pendahuluan untuk mempercepat proses utama (Ismun, 1993).
Pelet telah diproduksi sejak seabad yang lalu dengan menggunakan
panas dan tekanan sehingga pelet berbentuk silindris, dapat diproduksi dari
berbagai materi untuk tujuan yang berbeda-beda. Keuntungan yang diperoleh
dari penggunaan pelet adalah densitasnya yang maksimal sekitar 40 lbs/ft3,

mengalir seperti cairan dan ideal dipergunakan untuk sistem yang otomatis,
dapat digunakan pada kompor dan boiler, dapat digunakan dalam aplikasi
berskala kecil maupun besar, mudah untuk ditangani, disimpan, dan
ditransportasikan, serta meningkatkan karakteristik pembakaran dari bahan
baku yang dipergunakan (www.pelheat.com). Gambar pelet biomassa dapat
dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Pelet Biomassa
(Lit: 26)

9
Universitas Sumatera Utara

Peletisasi biomassa merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan
penanganan, transportasi, pengubahan yang lebih mudah, dan penyimpanan
sewaktu-waktu (Erlich, 2005). Untuk menghasilkan pelet biomassa yang
memiliki kualitas yang baik, tahapan prosesnya dideskripsikan dalam skema
pada Gambar 2.2 sebagai berikut:

Penyiapan

bahan baku

1

Pencampuran

3

Pembuatan
Pelet

Pengeringan

5

Pengujian

Pengayakan
2


4

Gambar 2.2 Skema proses produksi pelet biomassa
(Lit: 26)

2.3.2 Serbuk Kayu
Serbuk kayu adalah serbuk kayu dari jenis kayu yang sembarang
diperoleh dari limbah ataupun sisa yang terbuang dari jenis kayu dan dapat
diperoleh ditempat pengolahan kayu ataupun industri kayu. Serbuk ini biasanya
terbuang percuma ataupun dimanfaatkan untuk bahan pembuatan obat nyamuk.
Maka dicari alternatif untuk membuat limbah gergaji kayu lebih bermanfaat
dalam penggunaannya (Effendi, 2005).

10
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Serbuk Kayu

Limbah pengolahan kayu dapat digunakan untuk beberapa keperluan
dan dapat dibedakan menjadi : kulit kayu, potongan kayu, serpihan dan serbuk

hasil gergaji. Limbah kayu dapat terjadi di industri penggergajian, yang terdiri
atas kayu-kayu dari berbagai bentuk dan ukuran yang pemanfaatannya belum
secara optimal, pada umumnya banyak dimanfaatkan sebagai kayu bakar.
Berdasarkan Departemen Kehutanan (2000) produksi kayu gergajian di
Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 66.616 m3. Dengan asumsi bahwa
produksi limbah kayu gergajian sebesar 50% dan serbuk gergajian sebesar 15%
(Departemen Kehutanan 1998/1999, dalam Pari, 2002) maka besarnya limbah
kayu gergajian yang dihasilkan adalah sebesar 33.308 m3 dan produksi serbuk
gergajian yang dihasilkan sebesar 9.992,4 m3

2.3.3 Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu limbah
industri minyak sawit yang jumlahnya cukup banyak dan mengandung serat
yang cukup banyak serta sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Menurut, hasil penelitian, 1 hektar kebun kelapa sawit bisa menghasilkan 1,5
ton TKS kering atau 2,64 TKS (kadar air 50%) per tahun (Anonim, 2005).

11
Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4 Tandan Kosong Kelapa Sawit

Pemanfaatan TKS sebagai sumber energi berupa pelet biomassa akan
memberikan keuntungan secara finansial dan juga akan membantu di dalam
pelestarian lingkungan.
Ditinjau dari karakteristik bahan baku, jika dibandingkan dengan
cangkang kelapa sawit, cangkang kelapa sawit memiliki banyak kemiripan.
Perbedaan yang mencolok yaitu pada kadar abu yang biasanya mempengaruhi
kualitas produk yang dihasilkan oleh cangkang kelapa sawit.
Tabel 2.1 Kandungan proksimat cangkang kelapa sawit (Lit: 22)
Parameter

Hasil (%)

Kadar air (moisture in analysis)

7.8

Kadar abu (ash content)


2.2

Kadar yang menguap (volatile matter)

69.5

Karbon aktif murni (fixed carbon)

20.5

(Sumber: Nugraha dan Rahmat, 2008)

2.3.4 Briket Arang
Briket arang adalah arang yang diolah lebih lanjut menjadi bentuk
briket (penampilan dan kemasan yang lebih menarik) yang dapat digunakan
untuk keperluan energi sehari-hari. Pembuatan briket arang dari limbah industri
pengolahan kayu dilakukan dengan cara penambahan perekat tapioka, dimana
12
Universitas Sumatera Utara

bahan baku diarangkan terlebih dahulu kemudian ditumbuk, dicampur perekat,
dicetak dengan sistem hidrolik manual selanjutnya dikeringkan (Pari, 2002).

Gambar 2.5 Briket Arang
Briket arang juga disebut arang kayu yang diubah bentuk, ukuran, dan
kerapatannya dengan cara mengempa campuran serbuk dengan bahan perekat.
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan briket adalah arang kayu atau
kayu yang berukuran kecil yang diperoleh dari limbah industri penggergajian
tau industri perkayuan. Tsoumis (1991), mengemukakan bahwa briket juga
terbuat dari residu berkarbon, dan digunakan untuk pembakaran dan kegunaan
lain yang berhubungan. Pada beberapa produk, bahan tambahan diperlukan,
seperti lilin untuk menambah pembakaran, dan substansi lainnya untuk
memberikan bau yang menyenangkan dan warna yang seragam.
Arang dalam bentuk briket memiliki kelebihan dibandingkan dalam
bentuk arang, yakni :
1. Memperbesar rendemen pada pembuatan arang karena arang yang
diperoleh dapat dipergunakan dalam pembuatan briket arang.
2. Bentuknya

seragam

dan

lebih

padat

atau

memperkecil

tempat

penyimpanan dan transportasi.
3. Kualitas pembakaran lebih baik apabila digunakan tambahan yang sesuai
4. Lebih menguntungkan karena pada umumnya 40% terdiri dari bahan baku
arang yang nilainya lebih rendah dari arang.
5. Bahan baku tidak terikat pada satu jenis kayu, hampir segala jenis kayu
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan briket arang.
13
Universitas Sumatera Utara

Karakteristik briket arang yang terbuat dari Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS) dan cangkang sawit sangat berbeda. Briket arang TKKS
memiliki kadar abu yang lebih tinggi, sedangkan kadar kalor dan karbon
terikatnya lebih rendah. Ditinjau dari segi kalor, kedua briket arang tersebut
telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk briket arang kayu
yaitu minimal 5000 kalori/gram.
Tabel 2.2 Kandungan proksimat briket dari tandan kelapa sawit dan cangkang
kelapa sawit (Lit: 22)
Karakteristik

Briket Arang Tandan Briket Arang Cangkang
Kosong Kelapa Sawit

Kelapa Sawit

Kadar air, %

9,77

8,47

Kadar abu, %

17,15

9,65

Kadar yang menguap, %

29,03

21,10

Karbon aktif murni, %

53,82

69,25

Nilai kalor, kal/g

5578

6600

(Sumber: Nugraha dan Rahmat, 2008)

2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelet

2.4.1 Lama Penyalaan Pelet
Kecepatan pembakaran dipengaruhi oleh struktur bahan, kandungan
karbon terikat dan tingkat kepadatan bahan. Jika pelet memiliki kandungan
senyawa volatile (zat yang mudah menguap) yang tinggi, maka pelet akan
mudah terbakar dengan kecepatan pembakaran yang tinggi (Jamilatun, 2008).

2.4.2 Kadar Air
Kadar air pelet adalah perbandingan berat air yang terkandung dalam
pelet dengan berat kering pelet tersebut. Kadar air berhubungan langsung
dengan nilai kalor. Kadar air tinggi mengakibatkan penurunan nilai kalor. Hal

14
Universitas Sumatera Utara

ini diakibatkan oleh panas yang dihasilkan terlebih dahulu digunakan untuk
mengeluarkan air dalam bahan bakar (Gandhi, 2010).
Pengeringan adalah suatu proses penurunan kadar air suatu material
sampai batas tertentu hingga dapat memperlambat laju kerusakan bahan akibat
aktivitas biologis dan kimia sebelum material itu digunakan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dapat dikategorikan pada faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya adalah kadar air awal material
yang akan dikeringkan, sedangkan faktor eksternal dapat berupa suhu,
kelembaban dan kecepatan aliran udara pengering. Temperatur atau suhu
menyatakan kemampuan suatu benda untuk memberi atau menerima panas.
Semakin tinggi suhu dan semakin rendah kelembaban udara pengering maka
semakin besar kemampuan pengeringnya. Bila suhu pengering dinaikkan maka
panas yang dibutuhkan untuk penguapan air material menjadi berkurang.
Semakin tinggi udara pengering, semakin banyak uap air yang dapat
dikeluarkan sebelum kejenuhan terjadi dan semakin banyak uap air yang dapat
diangkut, maka proses pengeringan akan lebih cepat (Gandhi,2010).
Suatu cara untuk menentukan kadar air dari material adalah metode
oven. Prosedur yang biasa adalah dengan menimbang berat sejumlah material
dan menempatkan material didalam satu set oven. Prosedur ini adalah
dirancang untuk mengeluarkan seluruh kandungan air dalam sampel sama
dengan berat mula-mula berat sampel akhir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penguapan adalah :
1. Laju

pemanasan

yaitu

waktu

yang

diperlukan

untuk

memindahkan panas pada material.
2. Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan tiap pound
gram air.
3. Suhu maksimum pada material.
4. Tekanan pada saat terjadinya penguapan.
5. Perubahan lain yang mungkin terjadi didalam material selama
proses penguapan berlangsung.

15
Universitas Sumatera Utara

Kadar air pelet diharapkan serendah mungkin agar nilai kalornya tinggi
dan mudah dinyalakan. Kadar air mempengaruhi kualitas pelet yang
dihasilkan. Semakin rendah kadar air maka semakin tinggi nilai kalor dan daya
pembakarannya. Sebaliknya, kadar air yang tinggi menyebabkan nilai kalor
yang dihasilkan akan menurun, karena energi yang dihasilkan banyak terserap
untuk menguapkan air (Jamilatun, 2008).
Perhitungan kadar air menggunakan standar ASTM D 1762-84 dengan
rumus :
Kadar Air =

π‘Š1βˆ’π‘Š2
π‘Š1

π‘₯ 100%.............................................................(2.1)

Dimana : W1 = Berat mula-mula (gr)

W2 = Berat setelah dikeringkan (gr)

2.4.3 Nilai Kalor
Nilai kalor adalah jumlah panas yang dihasilkan saat bahan menjalani
pembakaran sempurna atau dikenal sebagai kalor pembakaran. Nilai kalor
ditentukan melalui rasio komponen dan jenisnya serta rasio unsur didalam
biomassa itu sendiri (Jamilatun, 2008).
Nilai kalor sangat menentukan kualitas pelet. Semakin tinggi nilai kalor
maka semakin baik kualitas pelet yang dihasilkan. Kadar air, kadar abu,
volatile matter yang rendah dapat meningkatkan nilai kalor. Kandungan kadar
karbon yang tinggi dapat meningkatkan nilai kalor. Pengujian terhadap nilai
kalor bertujuan untuk mengetahui sejauh mana nilai panas pembakaran yang
dihasilkan pelet.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gandhi (2010), yaitu
semakin banyak komposisi perekat, nilai kalornya semakin rendah. Ini
dikarenakan bahan perekat memiliki sifat termoplastik serta sulit terbakar dan
membawa lebih banyak air, sehingga panas yang dihasilkan terlebih dahulu
digunakan menguapkan air dalam pelet. Semakin tinggi nilai kalor, semakin

16
Universitas Sumatera Utara

baik kualitas pelet yang dihasilkan. Semakin besar nilai kalor maka kecepatan
pembakaran semakin lambat.
Penelitian ini menggunakan Oxygen Bomb Calorimeter

yang

dilakukan di Laboratorium Motor Bakar, Departemen Teknik Mesin, Fakultas
Teknik,USU. Setelah diketahui besar kadar air lalu diukur kualitas nilai bakar
dari pelet tersebut dengan Oxygen Bomb Calorimeter.
Cara pengujian kualitas nilai bakar dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Tabung bomb dibersihkan terlebih dahulu sebelum dan sesudah
pengujian dilakukan.
2. Pelet biomassa ditimbang sebesar 0,20 gram.
3. Siapkan kawat untuk penyala dengan menggulungnya dan memasangnya
pada tangkai penyala yang terpasang pada penutup bomb.
4. Lalu tempatkan cawan berisi bahan bakar pada ujung tangkai penyala.
5. Kemudian tutup bomb dengan kuat, setelah dipasang ring-o dengan
memutar penutup tersebut.
6. Lalu oksigen diisikan ke dalam bomb dengan tekanan 30 bar.
7. Kemudian tempatkan bomb yang telah terpasang didalam kalorimeter.
8. Setelah itu masukkan air pendingin sebanyak 1250 mL.
9. Kemudian tutup kalorimeter dengan alat penutupnya.
10. Pengaduk air pendingin dihidupkan selama 5 menit sebelum penyalaan
dilakukan, baca dan catat temperatur air pendingin.
11. Kemudian hidupkan penyalaan (gunakan tombol yang kanan), air
pendingin terus diaduk selama 5 menit setelah penyalaan berlangsung.
12. Kemudian baca dan catat kembali temperatur akhir air pendingin, lalu
matikan pengaduk.
13. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali berturut-turut untuk suatu bahan
bakar yang diuji dan diukur, dimana hasil pengujiannya adalah harga
rata-rata dari hasil ketiga pengukuran yang dilakukan.
Perhitungan :
Temperatur air pendingin sebelum penyalaan = T1

17
Universitas Sumatera Utara

Temperatur air pendingin setelah penyalaan = T2
Dimana T2>T1
Panas Jenis Bomb Calorimeter = 73529,6 (Joule/g oC)
Kenaikan temperatur akibat kawat penyalaan = 0,05 oC
Kenaikan temperatur adalah = (T2 – T1 – 0,05) oC
Nilai panas (HHV) = (T2 – T1 – 0,05) x Cv (KJ/kg)
HHV = βˆ‘ HHVi (kJ/kg)
5
LHV = HHV - 2400 (M + 9H2) kJ/kg

LHV = Low Heating Value
HHV = High Heating Value
βˆ‘ HHVi = Jumlah pengukuran nilai kalor sebanyak ulangannya
2.4.4 Kadar Bahan Mudah Terbakar dan Menguap
Besarnya kadar bahan mudah terbakar dan menguap (volatile matter)
mempunyai hubungan terbalik dengan kadar karbon terikat. Semakin tinggi
kandungan volatile matter dalam pelet maka kadar karbon terikat semakin
rendah, sehingga menurunkan nilai kalor(Jamilatun, 2008).
Kadar bahan mudah terbakar dan menguap (volatile matter) atau sering
disebut dengan zat terbang, berpengaruh terhadap pembakaran pelet. Semakin
banyak kandungan kadar bahan mudah terbakar dang menguap pada pelet
maka pelet semakin mudah untuk terbakar (Jamilatun, 2008).
Perhitungan kadar bahan mudah terbakar dan menguap menggunakan
standar ASTM D 1762-84 dengan rumus :
VCm =

π·βˆ’πΆ
𝐷

π‘₯ 100%......................................................................(2.2)
𝐢 =π΄βˆ’π΅

18
Universitas Sumatera Utara

Dimana : VCm = Volatile Combustible Matter (%)
D = Berat sample (gr)
C = Berat zat sisa pembakaran (gr)
B = Berat crucible kosong (gr)
A = Berat zat sisa pembakaran + berat crucible (gr)

2.4.5 Kadar Abu
Abu adalah bahan yang tersisa apabila kayu dipanaskan hingga berat
konstan. Kadar abu ini sebanding dengan kandungan bahan anorganik didalam
kayu. Abu berperan menurunkan mutu bahan bakar karena menurunkan nilai
kalor (Onu, 2010).
Abu merupakan bagian yang tersisa dari proses pembakaran yang sudah
tidak memiliki unsur karbon lagi. Unsur utama abu adalah silika dan
pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Semakin tinggi
kadar abu maka semakin rendah kualitas pelet karena kandungan abu yang
tinggi dapat menurunkan nilai kalor pelet.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan
cara pengabuannya. Kadar abu dapat ditentukan dengan pengoksidasian zat
pada suhu yang tinggi. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi sebelum
pengabuan harus dikeringkan dahulu, karena jika kadar air tinggi, maka kadar
abunya akan tinggi juga. Bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah
khusus yang disebut krus yang terbuat dari porselin, silika, quart, nikel, atau
platina. Penggunaan krus porselin sangat luas, karena dapat mencapai berat
konstan yang cepat dan murah tetapi mempunyai kelemahan sebab mudah
pecah pada perubahan suhu yang mendadak. Wadah yang terbuat dari nikel
tidak dianjurkan karena dapat bereaksi dengan bahan membentuk nikelkarbonil bila produk banyak mengandung karbon. Pengabuan dilakukan
dengan muffle yang dapat diatur suhunya, tetapi bila tidak tersedia dapat
menggunakan pemanas bunsen.pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh

19
Universitas Sumatera Utara

sisa pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan
dengan selang waktu pengabuan 30 menit (Sudarmadji, 1989).
Perhitungan kadar abu pelet menggunakan standar ASTM D 1762-84
dengan rumus :
Kadar Abu =

π΄βˆ’π΅
𝐢

π‘₯ 100%.................................................................(2.3)

Dimana : A = bobot crucible + Abu

B = bobot crucible kosong
C = bobot pelet

2.4.6 Kadar Karbon Terikat
Kadar karbon terikat menunjukkan jumlah zat dalam biomassa
kandungan utamanya adalah karbon, hidrogen, oksigen, sulfur dan nitrogen
yang tidak terbawa dalam bentuk gas.
Kandungan selulosa dalam kayu akan mempengaruhi besarnya kadar
karbon terikat dalam pelet. Semakin besar kandungan selulosa menyebabkan
kadar karbon terikat semakin besar, hal ini dikarenakan komponen penyusun
selulosa adalah karbon. Kadar karbon pelet menentukan kualitas pelet. Kadar
karbon terikat yang tinggi menunjukkan kualitas yang baik. Semakin tinggi
kandungan kadar karbon terikat maka nilai kalor yang dihasilkan tinggi
(Saputro, 2008).
Perhitungan kadar karbon terikat pelet menggunakan standar ASTM D
3172-89 dengan rumus :
Rumus : FC + VCM + KA + Kab = 100%
FC = 100% - KA – Kab – VCM.......................................(2.4)
Dimana = FC = Kadar Karbon Terikat (%)
KA = Kadar Air (%)

20
Universitas Sumatera Utara

KAB = Kadar Abu (%)
VCM = Kadar Zat Mudah Menguap dan Terbakar (%)
2.4.7 Laju Pembakaran Pelet
Laju pembakaran pelet adalah kecepatan pelet habis sampai menjadi
abu dengan berat tertentu. Perhitungan laju pembakaran dengan menggunakan
rumus :
π‘Š

LP = 𝑑 .................................................................................(2.5)

Dimana : LP = Laju pembakaran (gr/detik)
W = Massa pelet (gr)

t = Waktu sampai pelet habis (detik)

2.4.8

Efisiensi
Efisiensi pelet diperoleh dengan menggunakan nilai kalori pada

masing-masing

perlakuan

komposisi.

Perhitungan

efisiensi

dengan

menggunakan rumus :

Ξ·=

Qout
𝑄𝑖𝑛

....................................................................(2.6)

Dimana : Qout = Jumlah total energi untuk memasak air (J)
Qin = Nilai kalor dari berat pelet yang digunakan (J)

Energi untuk memasak air merupakan nilai kalor atau panas yang
dihasilkan pelet sampai air mendidih atau sampai suhu tertentu dengan
menggunakan rumus :

𝑄 = π‘š . 𝑐 . βˆ†π‘‘
21
Universitas Sumatera Utara

Dimana : Q = Jumlah panas untuk mendidihkan air (Joule)
c = Panas jenis air (kJ/kg.K)
m = Massa pelet (kg)
βˆ†t = Kenaikan suhu (0C)
2.4.9

Konsumsi Bahan Bakar
Konsumsi bahan bakar adalah jumlah kebutuhan bahan bakar yang

digunakan selama proses pembakaran berlangsung. Perhitungan konsumsi
bahan bakar dengan menggunakan rumus :
𝑀 = 𝐿𝑃 π‘₯ 𝑑...........................................................................(2.7)

Dimana : w = Konsumsi bahan bakar (gr)

Lp = Laju pembakaran (gr/detik)
t = Waktu yang dibutuhkan (detik)

2.4.10 Kebutuhan Udara Pembakaran
Kebutuhan udara pembakaran didefinisikan sebagai kebutuhan oksigen
yang diperlukan untuk pembakaran 1 kg bahan bakar secara sempurna yang
meliputi :
a. Kebutuhan udara teoritis
Kebutuhan udara bahan bakar teoritis menunjukkan kebutuhan udara
minimum untuk pembakaran sempurna suatu bahan bakar. Kebutuhan ini
dapat ditentukan dengan analisis ultimate begitu terbakar. Kebutuhan ini
dapat dihitung sebagai berikut :
Ut = 11,5 C + 34,5 (H-O/8) + 4,32 S kg/kgBB

22
Universitas Sumatera Utara