Kesultanan dan Aceh dan Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam
Disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia

Oleh:
1. DIMAS SATRIO ANUGRAH (9)

Ketua kelompok

2. M.ALFI FAJAR ANHARI

(22)

Anggota

3. SYAIFUL ANWAR

(37)

Anggota

X-MIA 2

MADRASAH ALIYAH MA’ARIF UDANAWU BLITAR
Febuari 2017

Lembar Pengesahan

Nama nama dibawah ini:
1. Dimas Satrio Anugrah (9) ketua kelompok
2. M.Alfi Fajar Anhari (22) anggota
3. Syaiful Anwar
(37) anggota

Telah menyusun karya ilmiah dengan judul “Kesultanan Aceh Darussalam” , yang telah
diketahui,diperiksa dan diterima di MA MA’ARIF UDANAWU hari Selasa,tanggal 28
Febuari 2017 oleh:

Guru Mapel

Eko Hadi Susilo, S.Pd

Ketua Kelompok


Dimas Satrio Anugrah

Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana
tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan
sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang
berakhirnya abad ke-14 M, Kesultanan Aceh Darussalam telah berdiri tepatnya pada tahun
1541 yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra yang dekat dengan jalur pelayaran dan
perdagangan Internasional pada saat itu .Dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat
Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M,
Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya
kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa,
sebenarnya kesultanan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk
membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai
sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar
yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta

menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh
dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M,
kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di
Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah
berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada
Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan
Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari
penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Rumusan masalah:
 Siapa silsilah raja, raja terkenal dan raja terakhir?
 Bagaimana kehidupan masyarakat (kondisi ekonomi sosial politik) di kerajaan
tersebut?
 Pada masa pemerintahan siapakah kesultanan Aceh mengalami puncak kejayaan ?
 Padamasa pemerintahan siapakah Kesultanan Aceh Darussalam mengalami
kemunduran dan apa saja sebabnya?
 Apa sajakah tindakan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat
kesultanan aceh sebagai pusat perdagangan ?


Tujuan:
 Untuk mengetahui siapakah raja-raja yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh
Darussalam.
 Untuk mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat (kondisi ekonomi sosial politik)
di Kesultan Aceh Darussalam.
 Untuk mengetahui pada masa pemerintahan siapakah kesultanan Aceh mengalami
puncak kejayaan.
 Untuk mengetahui pada masa pemerintahan siapakah Kesultanan Aceh Darussalam
mengalami kemunduran dan apa saja sebabnya.
 Untuk mengetahui apa sajakah tindakan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda
untuk memperkuat kesultanan aceh sebagai pusat perdagangan

Bab II
Kajian Pustaka
 Silsilah raja
Berikut ini merupakan silsilah para sultan yang pernah berkuasa di kesultanan Aceh
Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).

4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam/Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Shah
Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota
Alam Shah(1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam/Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah/Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah(1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din/Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)

22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)

33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode
yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).
 Kondisi Ekonomi dan Kehidupan Sosial Politik
Sultan pertama yg telah memerintah dan sekaligus menjadi sebagai pendiri dari
kerajaan Aceh Darussalam ialah Sultan Ibrahim atau Sultan Ali Mughayat Syah pada

tahun 1514 sampai 1528. Kerajaan Aceh Darussalam itu berusaha dlm memperluas
pengaruh dgn mulai merebut beberapa daerah yg ada disekitarnya. Di tahun 1524,
Samudra Pasai dan Pedir mulai ditaklukkan. Sesudah Sultan Ali Mughayat Syah akhirnya
wafat maka tahta kerajaan Aceh Darussalam secara berturut-turut mulai digantikan oleh
Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar pd tahun 1537 sampai 1571, selanjutnya Sultan
Alaudin Mansur Syah pd tahun 1571 sampai di tahun 1585, Kemudian dipimpin oleh
Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Ibn Sultan Munawar Syah yg telah memerintah sampai pd
tahun 1588, dan Sultan Alaudin Riayat Syah Ibn Firman Syah. Di masa kepemerintahan
Sultan Alaudi Riayat Syah Ibn Firman Syah, orang inggris dan belanda kemudian
diterima dgn baik sebagai suatu mitra perdagangan lada. Sesudah Sultan Alaudin Riayat
Syah Ibn Firman Syah akhirnya wafat, maka sultan yg akan memerintah selanjutnya ialah
Sultan Muda dgn lama sampai pd tahun 1607. Kemudian, tahta selanjutnya diambil alih
oleh Sultan Iskandar Muda yg sudah lama memerintah selama 29 tahun yaitu dari tahun
1607 sampai pd tahun 1636
Kehidupan ekonomi yg utama dari masyarakat Aceh adalah pelayaran dan
perdagangan. Pada masa kejayaan aceh, perekonomian aceh berkembang pesat. Penguasaan
Aceh atas daerah daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada.
Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hal ini menjadi bahan ekspor
penting bagi Aceh, sehingga perdagangan Aceh maju dengan pesat.
Dalam kehidupan sosial, di Aceh muncul dua golongan yg saling berebut pengaruh,

yaitu golongan teuku dan golongan tengku. Golongan teuk adalah kaum bangsawan yg
memegang kekuasaan sipil dan golongan, sedangkan tengku adalah kaum ulama yg
memegang peranan penting dalam bidang agama. Di bidang budaya, terlihat dari adanya
bangunan Masjid Baiturrohman yg di bangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda.
 Puncak kejayaan
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Untuk memperkuat kedudukan kesultanan aceh sebagai pusat perdangan,
Sultan Iskandar Muda melakukan beberapa tindakan sebagai berikut.

1) Merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur Sumatra, serta
pesisir barat semenajung Malaya.
2) Menyerang kedudukan portugis di Malaka dan kapal-kapalnya yang melalui
Selat Malaka. Aceh sempat menang melawan armada Portugis di sekitar Pulau
Bintan pada tahun 1641.
3) Bekerja sama dengan Inggris dan Belanda untuk memperlemah Portugis.Sultan
Iskandar Muda mengizinkan persekutuan dagang kedua,Negara itu untuk
membuka kantor di Aceh.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami kemajuan seperti
di susunya undang-undang tentang tata pemerintahan yang di sebut adat Makuta Alam.

Dibidang sasatra dan filsafat juga mengalami kemajuan. Pada Waktu itu muncul ulama besar
(Hamzah Fansuri) yang mengajarkan ilmu tasawuf dan mengarang buku tentang filsafat
agama Islam dan syair keagamaan.Setelah Hamzah Fansuri meningggal, ajaranya di
sebarluaskan oleh seorang muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai

 Kemunduran
Pada masa Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan
permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin
oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era
kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang
disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama
Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang
perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para
hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya
berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di
Aceh.
 Tindakan-Tindakan yang dilakukan Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat
kedudukan Aceh sebagai pusat perdagangan
1.Merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur Sumatra, serta pesisir barat
semenajung Malaya.

2. Menyerang kedudukan portugis di Malaka dan kapal-kapalnya yang melalui Selat Malaka.
Aceh sempat menang melawan armada Portugis di sekitar Pulau Bintan pada tahun 1641.
3.Bekerja sama dengan Inggris dan Belanda untuk memperlemah Portugis.Sultan Iskandar
Muda mengizinkan persekutuan dagang kedua,Negara itu untuk membuka kantor di Aceh.
Catatan: Berikut ini merupakan rincian dari kerja sama antara Kesultanan Aceh dengan
Inggris,Belanda ,Prancis, dan Usmaniyah Turki:

Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Ratu Elizabeth I juga mengirim
hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis
di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya
Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of
Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which

stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di
atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk
kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja
James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda.
Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.
Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia
dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar
Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka ia
dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam ia
terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard
suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap
Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah
sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga
mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka
hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah
itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang

untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan
nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah
bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja
Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga
bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari
benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki
Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut,
Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana
Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi
Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air
bersih dari sumber mata air di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh di mana kanal
tersebut melintasi istananya, sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang
di sekitar Meuligoe. Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Bab III
Penutup

Daftar Pustaka

Catatan :

Pertanyaan:

Lembar Konsultasi

N
O
1
2

Tanggal

Bahan Pertanyaan

Hasil Konsultasi

TTD Guru