makalah manajemen pesisir kelautan. docx

MAKALAH MANAJEMEN PESISIR KELAUTAN
‘’ Pembinaan Nelayan Sebagai Ujung Tombak
Pembangunan Perikanan Nasional’’

DI SUSUN OLEH :
Eli Putriani
Indah Rosalia P
Partedi

(F1C011021)
(F1C011027)
(F1C013034)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pemerintah

Indonesia,

melalui

Kementerian

Kelautan

dan

Perikanan

(KKP),mencanangkan program agar Indonesia mampu menjadi produsen ikan terbesar di
dunia. Pencanangan sebagai produsen terbesar di dunia ini mengharuskan Indonesia untuk
segera memacu produksi perikanannya hingga lebih dari 16 juta ton per tahun. Hal ini
tentu bukan persoalan yang mudah, mengingat pencapaian produksi perikanan Indonesia
saat ini masih sekitar 10,83 juta ton per tahun. Potensi lestari perikanan laut Indonesia
terhitung sebesar 6,4 juta ton per tahun, sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

adalah sebesar 5,12 juta ton per tahun (80% dari potensi lestari). Saat ini, Indonesia baru
mampu memanfaatkan potensi tangkapan tersebut sebesar 4,3 juta ton atau sekitar 83,98
persen dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan. Namun demikian, terdapat potensi
penangkapan illegal yang dilakukan oleh nelayan asing serta penangkapan yang tidak
dilaporkan kepada lembaga yang berwenang sebesar 1,5 juta ton per tahun, sehingga
bilamana ini ditambahkan dengan pemanfaatan aktual, maka sesungguhnya perikanan laut
Indonesia telah memasuki kriteria kelebihan penangkapan.
Menilik bahwa target produksi perikanan Indonesia harus melebihi 16 juta ton per
tahun, maka ada kecenderungan pemenuhan target produksi perikanan akan menemui
kegagalan, kendati saat ini potensi budidaya mampu memberikan peluang produksi yang
lebih besar dibandingkan dengan perikanan tangkap. Namun demikian, mengingat bahwa
karakteristik masyarakat pesisir cenderung melakukan perburuan (hunting), maka
diperlukan sistem pembinaan dan pendanaan yang akomodatif dan bersahabat dengan
nelayan.
Adanya sumber daya alam ikan yang begitu melimpah, dapat
perekonomian dengan cara meningkatkan ekspor

meningkatkan

perikanan dan Indonesia dapat


mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. akan tetapi hal tersebut masih jauh dari
sasaran, karena kurang optimalnya pengelolaan sumber daya alam ikan dan
pelestariannya.

Serta

masih

kurangnya

Perhatian

masyarakat

terhadap

upaya

perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan.

Padahal dalam UU Perikanan no. 31 th. 2004, pasal 11telah dijelaskan tentang
masalah pengelolaan perikanan. Akan tetapi masih banyak masyarakat khususnya nelayan

yang tidak memperhatikan hal tersebut, masih kita jumpai para nelayan menggunakan
bom ikan atau racun untuk menangkap ikan, serta pukat harimaupun digunakan, dan
masih banyak yang lainny. Padahal dengan cara itu mereka akan menghabiskan atau
membuat punah habitat perikanan. Karena ikan kecil –kecil yang seharusnya tidak
tertangkap akan ikut tertangkap bahkan jika menggunakan bom dia akan ikut mati, serta
dampak lainnya adalah laut akan ikut tercemar oleh kegiatan tersebut.
Sehingga dengan adanya hal tersebut, masyarakat dapat lebih memperhatikan
kembali dalam pengelolaan sumber daya alam perikanan, serta lebih menjaga kelestarian
perikanan dan habitatnya sehingga perikanan yang melimpah di perairan Indonesia tidak
menjadi punah, dan habitatnya dapat terus terjaga, agar dengan adanya sumber daya alam
peikanan dapat mencukupi kebutuhan lokal dan dapat menibgkatkan perekonomian
Negara Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan masyarakat pesisir ?
2.

Bagaimana karakteristik dari masyarakat pesisir?


3. Faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat pesisir miskin?
4. Me\ngapa masyarakat pesisir tidak dapat mengelola sumberdaya pesisir yang
ada?
5. Langkah dan usaha apa saja yang di lakukan dalam pembinaan masyarakat
pesisir?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui yang di maksud dengan masyarakat pesisir
2. Mengetahui karakteristik masyarakat pesisir
3. Mengetahui faktor penyebab masyarakat pesisir miskin
4. Mengetahui penyebab masyarakat pesisir tidak mampu mengelola sumberdaya
pesisir secara maksimal
5. Mengetahui langkah dan usaha yang perlu di lakukan dalam pembinaan
masyarakat pesisir

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke

arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut
(intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke
arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental
shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).
2.2. Definisi Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir secara harafiah diartikan sebagai masyarakat yang berdomisili di
wilayah pesisir. Namun pemahaman dalam konteks pengembangan masyarakat
(community development), “nomenklatur” masyarakat pesisir dipadankan dengan
kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir yang hidupnya masih
“tertinggal” (e.g. nelayan, pembudidaya ikan, buruh pelabuhan, dsb) dibandingkan dengan
kelompok masyarakat pesisir lainnya (e.g. pedagang, pengusaha perhotelan, dsb) yang
lebih sejahtera. Kebijakan sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur,
kelembagaan) dalam pengembanganmasyarakat pesisir yang “tertinggal” tersebut perlu
ditinjau kembali (revisited) dan direkayasa ulang (re-engineering) mengingat perbaikan
kehidupannya sangat lambat khususnya nelayan yang sebagian besar masuk kategori
miskin dari kelompok yang paling miskin (poor of the poorest) (Kusumastanto, 2010).
2.3. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang plural (merupakan akulturasi
budaya perkotaan dan pedesaan dari berbagai wilayah). Ada beberapa karakteristik
masyarakat pesisir yaitu :
(1) budaya terbuka
(2) sumber kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam
(3) aktivitas ekonominya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim

(4) peran pasar sangat menentukan dalam berkembangnya aktivitas masyarakat.
Sebagai ilustrasi : masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai
nelayan, sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang sangat rentan dari kerusakan,
seperti penghancuran terumbu karang (coral reef), mangrove, serta padang lamun
(seagrass), pencemaran, maupun bencana laut. Masyarakat pesisir sering disebut sebagai
masyarakat miskin, jika dilihat dari tingkat perekonomian.
2.4. Faktor Penyebab Masyarakat Pesisir Miskin
Kusumastanto (2006), mengemukakan faktor–faktor penyebab kemiskinan
masyarakat pesisir dapat diakibatkan oleh tiga hal yaitu :
1. Biaya tinggi yang harus dibayar sedangkan penerimaan rendah, hal ini terjadi
karena struktur pasar yang cenderung monopoli/oligopoli - monopsoni/oligopsoni
sehingga terjadi ekonomi biaya tinggi, tidak efisien dan eksploitatif (misal:
hubungan patron-client).

2. Penerimaan yang rendah disebabkan oleh volume hasil eksploitasi sumberdaya
berbanding terbalik dengan harga sehingga peningkatan eksploitasi tidak
berdampak pada peningkatan pendapatan.
3.

Struktur ekonomi pesisir yang tidak berkembang karena aspek pasar, kebijakan,
infrastruktur sosial ekonomi sangat terbatas sehingga penciptaan peluang sosial
dan ekonomi untuk memenuhi kehidupan yang layak sulit berkembang.

Beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa implikasi dari faktor-faktor diatas
membawa masyarakat pesisir tidak memperoleh pendapatan yang memadai sedangkan
kebijakan sosial ekonomi tidak memberikan solusi nyata maka akhirnya berdampak
kepada kemiskinan. Alasan utama kemiskinan dapat dibagi ke dalam empat hal, yaitu :
1. kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya pesisir dan laut.
2. kemiskinan karena kekurangan prasarana
3. kemiskinan karena kualitas sumber daya manusia yang rendah.
4.

kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dalam memberikan
insentif usaha.


Charles (2001), mengemukakan bahwa keberlanjutan sistem pesisir ditopang beberapa
dimensi, yaitu :
1. Dimensi

ekologi

(ecological

sustainability)

yang

mencakup

kelestarian

sumberdaya, kelestarian spesies, serta kelestarian ekosistem.
2. Dimensi sosialekonomi (socio-economic sustainablity), yang berarti kelestarian
kesejahteraan sosialekonomi para pelakunya, yang basisnya adalah keberlanjutan

keuntungan dan distribusinya kepada seluruh pelaku, serta keberlanjutan sistem
sumberdaya pesisir, baik di tingkat ekonomi lokal maupun global.
3. Dimensi

masyarakat

(community

sustainaibility)

yang

berorientasi

pada

keberlanjutan masyarakat sebagai sebuah sistem, yang di dalamnya mencakup
nilai budaya, aturan lokal, pengetahuan, dan kohesivitas.
4. Dimensi kelembagaan (institutional sustainablity), yakni kesinambungan kapasitas
finansial, administrasi, dan organisasi, yang menjaga keberlanjutan tiga dimensi

sebelumnya.
Kebijakan sosial ekonomi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir harus
didasarkan kepada kondisi sosial, kearifan dan budaya masyarakat pesisir yang tumbuh
dan berkembang di akar rumput. Kebijakan yang diambil harus integratif sehingga tidak
bias sektoral, wilayah serta kepentingan dan dapat diimplementasikan dalam rangka
pengentasan kemiskinan. Kebijakan tersebut harus diarahkan untuk mengantisipasi
kerusakan, daya dukung maupun ketidakseimbangan sumber daya pesisir, yang akhirnya
akan berakibat kepada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberpihakan
kebijakan yang secara adil (fair) memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat
yang yang lemah,tertindas dan rawan perlu diberikan prioritas khususnya pemenuhan
basic need melalui kerja produktif bukan belas kasihan.
Kebijakan ekonomi seperti insentif, nilai tambah, kelembagaan ekonomi yang
mendorong kemandirian masyarakat berbasis desa seyogyanya menjadi pilar penting bagi
tumbuhnya kesejahteraan yang lestari. Pemahaman dan komitmen seluruh stakeholders
terhadap kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir secara
berkelanjutan menjadi syarat keberhasilan pengembangan masyarakat pesisir yang lebih
sejahtera dan dapat menjadi mesin utama pertumbuhan pembangunan nasional.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembinaan Nelayan Dengan Pendekatan Social Engineering Yang Tepat,
Efektif dan Efisien
Mengingat bahwa nelayan merupakan masyarakat yang unik yang cenderung
bersifat subsisten, maka pembinaannya perlu dibangun dan dipersiapkan secara khusus
melalui reengineering kebijakan pengembangan sosial ekonomi dalam rangka
pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Terdapat 3 (tiga) kebijakan utama yang perlu
dilakukan, yaitu :
1. Perlunya penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya
sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya.
2. Perlu dilakukannya pembinaan dan pembinaan masyarakat pesisir secara kontinu.
3. Perlu dikembangkannya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir
sebagai social engineering model dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
B. Penetapan Jumlah Pemanfaat (users) dan Daya Dukung Lingkungannya
Sesuai Dengan Karakteristik Sumberdaya dan Pemanfaatannya
Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya pesisir, terdapat tiga kategori
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir, yaitu :
1. Sumberdaya dapat pulih (renewable resources) terdiri dari berbagai jenis ikan,
udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut
(mariculture).
2. Sumberdaya tidak dapat pulih (nonrenewable resources) meliputi mineral, bahan
tambang/galian, minyak bumi dan gas.
3. Jasa-jasa lingkungan pesisir (environmental services) seperti

pariwisata,

transportasi laut, perdagangan dan sebagainya.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir khususnya sumberdaya perikanan, meskipun oleh
banyak pihak masih dikatakan belum optimal (sekitar 60%) dan masih dapat ditingkatkan

hingga hingga 40%, namun kenyataannya di berbagai wilayah perairan telah mengalami
overeskploitasi dan berbagai permasalahan pengelolaan lingkungan lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar jumlah nelayan optimum yang dapat
memanfaatkan sumberdaya perikanan di suatu kawasan perairan? Hal ini penting, karena
kita menginginkan masyarakat pesisir umumnya dan nelayan khususnya memiliki tingkat
kesejahteraan tertentu, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
Demikian juga, jumlah petani tambak harus mempertimbangkan karakteristik biofisik,
teknologi, sosial, ekonomi dan budaya sehingga tidak melampaui daya dukung alami
kawasan pesisir. Dengan demikian upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir
harus didasarkan pada daya dukung kawasan.
Upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan diversifasi pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan peningkatan nilai tambah melalui pemanfaatan teknologi sehingga beban
terhadap sumberdaya dapat memberikan kontribusi langsung kepada peningkatan
pendapatan dan bukannya hanya menambah produksi tetapi kondisi kesejahteraan tidak
berkembang. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang dapat menetapkan berapa
jumlah pemanfaat sumberdaya pulih yang optimum sehingga dapat didorong kebijakan
pengembangan alternatif pendapatan dari sumberdaya tidak pulih yang diperlukan bagi
pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir.
C. Penguatan dan Pembinaan Masyarakat Pesisir
Penguatan dan pembinaan sumberdaya manusia pesisir juga menjadi factor yang
menentukan dalam upaya meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya pesisir bagi mereka yang kemudian
diaktualisasikan dalam upaya-upaya pemanfaatan sehari-hari singga sumberdaya tersebut
tetap lestari. Dalam kerangka penguatan dan pembinaan faktor-faktor penentu dalam
pembinaan

masyarakat

meliputi,

Pembinaan

Manusia,

Pembinaan

Lingkungan,

Pembinaan Sumberdaya dan Pembinaan Usaha. Pembinaan manusia adalah strategi
pemberdayaan dan pembinaan masyarakat kecil melalui pengembangan SDM. Strategi ini
meliputi :
1. Investasi pada modal manusia dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
2. Peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok baik formal maupun informal.
3. Memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga
efisiensi dapat tercapai

4. Memperbaiki budaya/etos kerja.
5.

Menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan
menghambat pembangunan.

Pembinaan lingkungan merupakan strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat
pesisir melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana produksi serta
meningkatkan peran masyarakat dalam menata dan mengelola lingkungan hidupnya.
Strategi ini mencakup hal-hal berikut:
1. Meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan hidup,
baik tempat tinggal mereka maupun habitat atau kawasan tempat kegiatan
ekonomi produktif dijalankan.
2. Membangun infrastruktur terutama yang menyangkut dengan kebutuhankebutuhan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.
3. Meningkatkan perencaaan dan pembangunan secara spasial di wilayah pesisir
dengan mempertimbangkan kompatabilitas wilayah pesisir dan daya dukungnya.
4. Mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya.
5. Memperkaya sumberdaya melalui kegiatan pengkayaan stok ikan dan habitatnya,
rehabilitasi, mitigasi bencana, dan mengendalikan pencemaran.
Pembinaan sumberdaya adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat
pesisir melalui pelibatan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
alam pesisir. Bina sumberdaya meliputi strategi berikut :
1. Memberikan konsesi pengelolaan dan pemanfaatan laut dan pesisir.
2.

Menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal.

3. Menerapkan MCS dengan prinsip partisipasi masyarakat lokal.
4.

Menerapkan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi
asli (indigenous technology).

5. Membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi generasi
kini dan yang akan datang,.
6. Merehabilitasi habitat dan memperkaya sumberdaya pulih (restocking dll).
Pembinaan usaha meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap permodalan yang
dapat ditempuh melalui hubungan langsung antara masyarakat dengan sumber modal,
hubungan secara kelompok antara masyarakat dengan sumber modal dengan atau tanpa

jaminan dari pihak ketiga, hubungan antara pengusaha skala kecil secara inividu atau
secara kelompok dengan pengusaha skala besar atau BUMN, serta penyatuan kekuatan
modal dimiliki rakyat kecil secara individu.
Bina usaha meliputi strategi
1. Meningkatkan ketrampilan usaha, pengelolaan bisnis skala kecil dan penguasaan
teknologi.
2. meningkatkan dan mempermudah akses terhadap teknologi, modal, pasar, dan
informasi pembangunan.
3. membangun kemitraan mutualistis diantara sesama pelaku ekonomi rakyat dan
melalui kerjasama perusahaan skala besar.
4. membangun sistem insentif administrasi serta pendanaan formal dan informal.
5. menyediakan peraturan perundangan yang menjamin berjalannya proses
pengentasan kemiskinan.
D. Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
Kendala keterbatasan sumberdaya pesisir khsususnya pada kawasan yang telah
overeksploitasi menuntut perlunya terobosan-terobosan dalam mencari sumber-sumber
mata pencaharian alternatif. Konsep pengembangan mata pencaharian alternatif ini, juga
sedang dikembangkan bagi masyarakat pesisir yang selama ini mengembangkan praktekpraktek pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak ramah lingkungan, seperti
penggunaan bom dan zat kimia khususnya dalam perikanan terumbu karang. Ketika
mengembangkan mata pencaharian alternatif, hendaknya dilakukan dengan perencanaan
yang tepat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pengembangan mata
pencaharian alternatif, yaitu :
1. Keseimbangan antara pasokan (supply based) dan permintaan (demand based) dari
barang atau jasa yang dihasilkan dari mata pecaharian alternatif yang akan
dikembangkan harus seimbang dan berkelanjutan. Jangan sampai mata
pencaharian yang dikembangkan tidak memiliki pasar yang akan menampung,
sehingga produk yang dihasilkan menjadi mubazir.
2. Mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mudah diadopsi oleh
masyarakat yang akan melaksanakannya dan sesuai dengan karakteristik
masyarakat setempat seperti adat istiadat, sosial budaya, kebiasaan, tatanan
kemasyarakatan dan lain-lain.

3. Mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mempunyai resiko
kegagalan kecil, waktu yang cepat dan modal terjangkau.
4. Apabila dalam pengembangan mata pencaharian alternatif dibutuhkan bantuan
dana atau subsidi untuk keperluan hidup sebelum mata pencaharian alternatif
tersebut menghasilkan, maka bantuan dana tersebut harus memperhatikan:
kategori penerima subsidi, besarnya subsidi sama dengan kebutuhan hidup
minimum (sesuai pendapatan awal atau lebih kecil dari pendapatan yang akan
didapat dari hasil mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan), jangka
waktu pemberian subsidi dibatasi sampai dengan hasil mata pencaharian alternatif
menghasilkan, kesepakatan bersama dan sebagainya.
5. Mata pencaharian yang akan dikembangkan harus tetap memperhatikan aspek
pelestarian lingkungan secara umum (daya dukung, karakterisitk, dsb).
6. Mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan harus dapat berjalan secara
berkelanjutan.
Oleh karena itu, menetapkan mata pencaharian alternatif, maka beberapa
langkahlangkah yang dapat dilakukan unttuk memperoleh hasil yang optimal diantaranya
adalah :


Mengidentifikasi jenis-jenis/bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif yang akan
dikembangkan yang disesuaikan dengan syarat syarat di atas.



Melakukan uji keberhasilan dari mata pencaharian tersebut sebelum diterapkan.



Menyiapkan perangkat baik teknis maupun non teknis dalam perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

E. Penanganan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Tercatat dan Tidak Diatur
Penanganan praktik-praktik IUU fishing bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan,
diantaranya yaitu hukum dan ekonomi. Untuk hukum, ada beberapa aturan-aturan
internasional yang harus Indonesia perhatikan. Adapun beberapa aturan internasional yang
terkait dengan pemberantsan IUU fishing, antara lain:
 Hukum yang sifatnya mengikat atau legal binding, yaitu Konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982, the UN Fish Stock Agreement 1995, dan FAO Compliance
Agreement 1993.

 Hukum yang tidak mengikat atau not legally binding, yaitu Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995, dan International Plan of Action
(IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
(IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan IUU fishing.
Untuk itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA IUU
fishing ini kedalam suatu rencana aksi nasional atau National Plan of Action (NPOA)
(Adrianto, 2005).
Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumberdaya ikan melimpah
seperti Indonesia, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang termaktub dalam CCRF
dapat dijadikan panduan penting bagi implementasi perikanan yang bertanggung jawab
pada level lokal dan nasional. Upaya ini diperlukan dalam konteks bahwa Indonesia
berkontribusi dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan perikanan global berkelanjutan,
seperti halnya amanat Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Namun demikian, dalam adopsi CCRF tersebut perlu dilakukan modifikasi atau
penyesuaian karena perikanan di negara berkembang adalah multi dan kompleks, tidak
hanya melibatkan aspek teknologi, namun juga eksosistem sistem sosial ekonomi
masyarakat perikanan.
Secara ekonomi, untuk mengatasi IUU fishing adalah penguatan armada tangkap
nasional. Berdasarkan data statistik perikanan DKP tahun 2004, jumlah armada perikanan.
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam
Perspektif Negara Berkembang”, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta,
Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481. tangkap Indonesia adalah
549.100 unit, didominasi oleh perahu tanpa motor, yaitu 256.830 unit (46,78%), motor
tempel 165.337 unit (30,11%), dan kapal motor 126.933 unit (23,11%). Sementara itu,
kapal motor yang berjumlah 126.933 unit didominasi oleh kapal motor yang berukuran di
bawah 5 GT, yaitu 90.148 unit (71,02%)2.
Dengan demikian, sekitar 76% armada tangkap nasional didominasi oleh armada
tangkap skala kecil yang hanya beroperasi di sekitar pesisir pantai, yaitu perahu tanpa
motor dan motor tempel. Dengan kata lain, daya jangkau armada tangkap nasional ke
zona ekonomi eksklusif Indonesia (200 mil) sangat rendah, apalagi untuk memasuki
perairan internasional atau laut lepas. Oleh karena itu sangat wajar, bila kapal ikan asing
berkeliaran secara leluasa di perairan Indonesia. Untuk mengatasi “kekosongan” armada

tangkap nasional di perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), maka perlu
dilakukan penguatan armada tangkap nasional.
Dengan demikian, armada tangkap nasional tidak akan menjadi tamu di wilayah
negaranya sendiri, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Beberapa hal yang patut
diperhatikan dalam penguatan armada tangkap nasional, diantaranya yaitu:
1. Modernisasi armada “semut” nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar
pesisir pantai. Dengan kuatnya armada tangkap nasional di ZEEI, maka dengan
sendirinya menjadi pesaing dan bahkan menjadi informan bila terjadi praktikpraktik IUU fishing.
2. Modernisasi armada tangkap nasional dapat dilakukan dengan cara pemberian
kebijakan bantuan modal.
F. Dukungan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap
Besarnya potensi sumberdaya ikan di Indonesia, seharusnya dapat meningkatkan
perekonomian nasional. Namun demikian, yang terjadi adalah sebaliknya, negara
dirugikan triliunan rupiah dan sumberdaya ikan mengalami penurunan yang disertai
semakin miskinnya masyarakat nelayan. Beberapa kebijakan yang saat ini urgen untuk
dilakukan guna menyelamatkan dan mengembangkan perikanan tangkap di Indonesia,
adalah:



Subsidi BBM untuk nelayan.
Regulasi terhadap permasalahan-permasalahan mendasar seperti Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing, serta persoalan yang menyangkut perijinan
terhadap operasi penangkapan ikan.



Kebijakan yang terkait dengan dukungan (supporting) pendanaan dan investasi.



Advokasi dan diplomasi perikanan; seperti Peningkatan partisipasi Indonesia
dalam perikanan regional, utamanya sebagai anggota (contracting party) dari
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for Conservation of
Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Kebijakan ini untuk membuka akses Indonesia
sebagai pemanfaat sumberdaya ikan (utamanya tuna) di perairan internasional 2
DKP, Statistik Kelautan dan Perikanan tahun 2006, hlm 16. (high seas), dan
membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan kuota pasar internasional serta
menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo produk perikanan-nya.



Kebijakan pengembangan perikanan terpadu lintas sektoral yang sustainable,
hulu-hilir. Dimulai dari fishing ground-Pelabuhan Perikanan-Pasar. Terkait dengan
dukungan infrastruktur dan kebijakan.

G. Dukungan Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya
Keberhasilan pengembagan bisnis budidaya di Indonesia sangat memerlukan empat
prasyarat yang harus dilaksanakan secara integral dan simultan (Mahifal dan Wahyudin,
2011).


Pertama, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan kebijakan
makro yang efektif dan efisien terutama untuk menempatkan pengembangan bisnis
ini sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi sektor kelautan dan
perikanan di Indonesia. Oleh karena itu, disain kebijakan ekonomi makro
Indonesia seoptimal mungkin harus berpihak pada proses pengembangan bisnis
budidaya

ini

untuk

memberikan

keleluasaan

ruang

pertumbuhan

dan

pengembangan bisnis. Salah satu kebijakan makro yang dapat diberikan, misalnya,
proteksi terhadap datangnya (impor) komoditas kelautan (price protection, tax, dan
sebagainya) dan menjaga supply produk lokal agar tetap kontinu. Pemerintah
selaku pembuat kebijakan diwajibkan memberikan perhatian yang lebih besar lagi
terhadap pengembangan bisnis ini. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan
keleluasaan kepada masyarakat Indonesia untuk menggarap dan memproduksi
komoditas budidaya secara bebas dengan perhitungan tanpa takut mengalami
kerugian. Kebebasan tersebut harus dibarengi dengan adanya pemberian property
right yang efisien secara ekonomi. Efisien secara ekonomi akan terwujud jika
property right yang dimiliki masyarakat menunjukkan sifat universal, eksklusif,
dapat diperjualbelikan secara sah dan memperoleh jaminan keamanan. Selain itu,
pemerintah diharapkan memberikan insentif, berupa pemberian kredit lunak yang
diintegrasikan dengan sistem pembinaan berkala dan kontinu, sehingga pemberian
kredit tidak hanya dijadikan sebagai charity saja, melainkan lebih ditujukan untuk
memberikan stimulasi kepada pada pembudidaya agar dapat meningkatkan
kemampuan produksinya. Pemerintah diharapkan mampu memberikan jaminan
keamanan kepada para pembudidaya berupa jaminan pasar yang kontinu dan
stabilitas harga jual. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat menetapkan
harga dasar atau harga break even point yang ditetapkan berdasarkan harga
minimal pembelian dan mempertimbangkan costbenefit usaha budidaya tersebut.



Kedua, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan infrastruktur dan
fasilitas pendukung budidaya lainnya, karena infrastruktur dan fasilitas pendukung
ini merupakan hal yang sangat krusial bagi pengembangan bisnis budidaya.
Pemerintah diharapkan dapat menyediakan prasarana dan sarana jalan,
telekomunikasi, energi dan sebagainya. Bahkan pemerintah diharapkan dapat
membangun prasarana jalan yang mampu menghubungkan pusat-pusat produksi
kelautan dan perikanan dengan kapasitas jalan yang dapat dilalui kontainer. Selain
itu, sistem transportasi yang ramah terhadap pengembangan bisnis budidaya juga
diperlukan, dimana alat atau sarana dan prasarana transportasi tersebut terbilang
efektif dan efisien dalam mengangkut dan mendistribusikan komoditas yang
dihasilkan. Pengembangan infrastruktur hatchery udang, pabrik pengolah rumput
laut, pabrik pakan, dan sebagainya diharapkan dapat didorong pengembangannya
oleh pemerintah, melalui berbagai program pengembangan. Revitalisasi dan
peningkatan kapasitas dan kapabilitas balai budidaya yang tersebar di seluruh
Indonesia juga penting dilakukan agar supply bahan baku, benih, bibit dan
sebagainya terkait dengan pengembangan industri budidaya sangat perlu untuk
dilakukan.



Ketiga, pengembangan bisnis budidaya juga memerlukan dukungan penelitian dan
pengembangan

teknologi.

Pengembangan

teknologi

ini

diarahkan

untuk

menghasilkan teknologi tepat guna terutama bagi upaya pengembangan komoditas
yang bernilai jual tinggi (high value) dan mempunyai peluang untuk bersaing di
pasar domestik maupun internasional. Pengembangan teknologi dalam hal ini tidak
saja berkutat dalam pengembangan teknologi budidaya semata, melainkan juga
semua faktor terkait dalam hal teknologi pengolahan, teknologi distribusi atau
pengangkutan, dan teknologi-teknologi terkait lainnya. Hal terpenting lainnya
adalah adanya teknologi penanggulangan dan pencegahan penyakit serta
peningkatan kualitas produk, baik bagi produk mentah maupun produk olahan agar
kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing secara kompetitif di pasar lokal
dan internasional.


Keempat, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan pendekatan
pengembangan yang dapat mengakomodasi secara integral dan efisien setiap
aktivitas produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran, yaitu pendekatan sistem

agribisnis berbasis komoditas budidaya. Sesuai dengan sifat dan karakteristik
komoditas budidaya yang mempunyai tingkat rentanitas tinggi terhadap varibel
waktu, maka pengembangan teknologi produksi, pasca panen, strategi pemasaran,
sistem angkutan produk dan sebagainya menjadi bagian yang harus diperhatikan
sebagai prasyarat pengembangan bisnis budidaya di Indonesia ini. Sistem
agribisnis berbasis budidaya ini akan sangat tergantung pada seberapa besar
pemerintah mampu mendorong sektor swasta untuk dapat berpartisipasi dalam
pelaksanaannya. Aktivitas produksi yang dijalankan para pembudidaya akan
sangat membutuhkan modal dan pembinaan bisnis agar dapat berkembang,
mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah
menyiapkan agar kebijakan makro seperti yang digambarkan di muka dapat
diimplementasikan. Ketika produksi berjalan, maka produk atau komoditas yang
dihasilkan harus dijual dan dalam hal ini jelas ketersediaan pasar sangat
diperlukan. Dalam hal ini, penting dikembangkan agar pasar utama adalah industri
pengolahan dalam negeri. Diharapkan melalui stimulans terhadap berkembangnya
sektor industri pengolahan dapat mengatasi persoalan pentingnya penyediaan pasar
yang membutuhkan bahan mentah untuk diolah. Selanjutnya hasil olahan juga
perlu pasar agar produktivitas usaha pengolahannya dapat kontinu, maka yang
perlu dilakukan adalah memberikan jaminan bahwa produk olahan yang dihasilkan
mempunyai daya saing yang tidak kalah dengan produk olahan dari luar, sehingga
kembali lagi pasar lokal dapat diambil sebagai pasar utama penjualan produk
olahan dari hasil budidaya ini. Keberadaan pasar yang tidak berada langsung di
tempat atau sentra produksi budidaya tentunya memerlukan prasarana dan sarana
transportasi yang efektif dan efisien. Pemerintah juga dapat turut serta
mempromosikan komoditas budidaya yang dihasilkan melalui program-program
promosi, seperti himbauan cinta produksi dalam negeri, pameran internasional,
dan promosi terkait lainnya. Pada intinya adalah bagaimana produk yang
dihasilkan di dalam negeri dapat sejajar dan bersaing atau bahkan melebihi
kualitas dan kuantitas produk luar, minimal hal ini terjadi di bumi pertiwi tercinta
ini sendiri.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Masyarakat pesisir diharapkan memperoleh manfaat terbesar dalam pembangunan
wilayah pesisir. Dalam rangka mendukung pembangunan pesisir maka kebijakan sosial
ekonomi perlu direkayasa-ulang (re-engineering), yakni diarahkan untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya sehingga kegiatan sosial
ekonomi masyarakat pesisir dapat dipercepat serta dilakukan secara berkelanjutan.
Berbagai program pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dikembangkan saat ini, pada
intinya harus menjawab dua hal mendasar, yaitu:
1. kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan sumberdaya pesisir yang terancam
seperti tanah, air, pemandangan dan nilai-nilai estetika lainnya, serta komponenkomponen alamiah seperti pantai, bukit pasir, daerah estuari, pulau-pulau kecil dan
lain sebagainya.
2. kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir secara rasional,
mencari resolusi atas konflik pemanfaatan, dan mencapai keseimbangan rasional
antara pembangunan dan pelestarian sumberdaya.
Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir,
daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang
lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumberdaya alam yang unik; (2) optimalisasi
pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir dan lautan dengan mengitegrasikan segenap
informasi ekologis, ekonomis dan sosial; (3) peningkatan pendekatan multidisipliner dan
koordinasi antar sektoral dalam mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan
lautyang kompleks.
Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan hasil diantaranya, Yaitu :
(1) terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan lautan beserta sumberdaya di dalamnya
(2) membaiknya kondisi sosial ekonomi-budaya masyarakat pesisir.
4.2. Saran
Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat pesisir

agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera mengejar
ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam
Perspektif Negara Berkembang. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta,
Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical
Paper No 327. Rome. Italy.
_______, 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis/CRC Press, Boca Raton,
Florida.
Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri di Era Otonomi Daerah.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kusumastanto, T. 2005. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pesisir dan Lautan Terpadu
(Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management): Studi Kasus Pengelolaan
Teluk Jakarta. PKSPL-IPB Bogor.
Kusumastanto, T. 2006. Ekonomi Kelautan (Oceanomics). PKSPL-IPB. Bogor.
Kusumastanto,

T.

2007.

Pengelolaan

Sumberdaya

Perikanan

dalam

rangka

Pengembangan Ekonomi Masyarakat Secara Lestari. PKSPL IPB. Bogor.
Krom, M.D. 1986. An Evaluation of the Concept of Assimilative Capacity as Applied
to Marine Waters. Ambio 15 (4).
Pernetta , J. C. dan Elder, D. L. 1993. Cross-sectoral; Integrated Coastal Area Planning
(CICAP): Guidelines and Principles for Coastal Area Development. IUCN.
Switzerland.
Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA, Agustus 2012 | 16
16
Pernetta, J. C., dan J. D. Milliman, 1995. Land-Ocean Interactions in the Coastal Zone:
Implementation Plan. The International Geosphere-Biosphere Programme.
Stockholm.
Sorensen, J. C., dan Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing
Coastal Resources. University of California, Berkeley.
World Commission on Environment and Development (WCED), 1987. Our Common
Future. Oxford University Press., New York.