Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU

PADA GALIH BAKERY, CILEDUG, TANGERANG, BANTEN

Asep Heruhidayat

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009 M/1430 H


(2)

1.1. Latar Belakang

Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu kekuatan pendorong bagi pembangunan perekonomian Indonesia. Sektor UKM memegang peranan yang sangat penting terutama bila dikaitkan dengan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh UKM. UKM ini selain memiliki arti strategis bagi pembangunan, juga sebagai upaya untuk meratakan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai (Anoraga dan Sudantoko, 2002: 224). Hal ini karena UKM cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Selain itu, UKM juga menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya. Eksistensi dan peran UKM yang pada tahun 2007 mencapai 49,84 juta unit usaha dan merupakan 99,9 persen dari pelaku usaha nasional, dalam tata perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi dengan melihat kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, nilai ekspor nasional, dan investasi nasional (Kusumo, 2008: i)

Perkembangan jumlah UKM periode 2006-2007 mengalami peningkatan sebesar 2,18 persen yaitu dari 48,7 juta unit pada tahun 2006 menjadi 49,8 juta pada tahun 2007. Kebanyakan usaha kecil ini terkonsentrasi pada sektor perdagangan, pangan, olahan pangan, tekstil dan garmen, kayu, dan produk kayu, serta produk mineral non-logam (Kusumo, 2008: 4). Salah satu sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor industri


(3)

pengolahan. Industri pengolahan memberikan nilai tambah (added value) pada produk primer, sehingga produk turunan yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang lebih dibandingkan dengan produk non-olahan. Begitu pula halnya dengan produk pertanian, apabila diolah lebih lanjut maka akan mempunyai nilai tambah yang lebih dibandingkan produk pertanian non-olahan. Salah satu produk turunan dari produk pertanian adalah roti.

Roti merupakan salah satu diantara berbagai macam produk turunan dari gandum. Secara sederhana roti dapat diartikan sebagai makanan yang berbahan dasar utama tepung terigu dan air yang difermentasikan oleh ragi, tetapi ada juga yang tidak menggunakan ragi. Namun kemajuan teknologi manusia membuat roti diolah dengan berbagai bahan seperti garam, minyak, mentega, ataupun telur untuk menambahkan kadar protein di dalamnya sehingga didapat tekstur dan rasa tertentu (Astawan, 2007: 1). Roti merupakan makanan yang sudah banyak dikonsumsi sebagai alternatif sumber kalori pengganti nasi maupun snack (kudapan) pengganjal perut ketika lapar.

Berdasarkan Tabel 1, pada tahun 1996 tingkat konsumsi rata-rata roti di Indonesia mencapai 628,3 juta bungkus kecil roti tawar dan 2.979,6 juta potong roti manis. Walaupun terjadi penurunan menjadi 366,7 juta bungkus kecil roti tawar dan 2.349,3 juta potong roti manis pada tahun 1999 karena terpaan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sehingga daya beli masyarakat berkurang, konsumsi rata-rata roti Indonesia kembali meningkat hingga mencapai angka 447,6 juta bungkus kecil roti tawar dan 2.920,6 juta potong roti manis pada tahun 2002.


(4)

Tabel 1. Konsumsi Roti Tawar dan Manis Per Kapita Per Tahun di Indonesia Tahun 1996, 1999, 2002

Tahun Konsumsi Rata-Rata Roti Tawar

(Juta Bungkus Kecil)

Konsumsi Rata-Rata Roti Manis (Juta Potong)

1996 628,3 2.979,6

1999 366,7 2.349,3

2002 447,6 2.920,6

Sumber: BPS dalam Badria (2005: 2)

Seiring dengan meningkatnya konsumsi roti, industri ini turut berkembang pesat. Berdasarkan Tabel 2, pada tahun 1997, jumlah industri roti di Indonesia berjumlah 331 unit, kemudian meningkat 48,04 persen menjadi 490 unit pada tahun 1998. Walaupun pada tahun-tahun berikutnya jumlah industri roti berfluktuasi pada kisaran 1 persen, tetapi hingga akhir tahun 2003, jumlah industri roti di Indonesia tercatat mencapai 506 unit atau meningkat 3,27 persen dibanding tahun 2002 yang mencapai 490 unit

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Industri Roti di Indonesia Tahun 1997-2003 Tahun Jumlah Perusahaan Perkembangan (%)

1997 331 -

1998 490 48,04

1999 489 - 0,21

2000 489 0

2001 494 1,02

2002 490 - 0,81

2003 506 3,27

Sumber: BPS dalam Badria (2005: 4)

Berdasarkan data di atas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa persaingan diantara para pengusaha pun semakin ketat pula. Hal tersebut menyebabkan perusahaan harus meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan agar dapat


(5)

tetap bersaing dengan perusahaan lain. Salah satunya adalah dengan menghasilkan produk yang bermutu.

Mutu mungkin merupakan cara yang paling baik untuk memastikan adanya kesetiaan pelanggan, pertahanan yang paling baik terhadap pesaing asing dan satu-satunya jalan untuk memantapkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan dalam keadaan pasar yang sulit (Faure dan Faure, 1996: 1-2). Kualitas yang tinggi menyebabkan perusahaan dapat mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pengerjaan kembali dan pemborosan, mengurangi pembayaran biaya garansi, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi inspeksi dan pengujian, mengurangi waktu pengiriman produk ke pasar, meningkatkan hasil (yield) dan meningkatkan utilisasi kapasitas produksi serta memperbaiki kinerja penyampaian produk atau jasa (Nasution, 2005: 12). Salah satu cara untuk menciptakan, mempertahankan, dan meningkatkan mutu adalah dengan menerapkan sistem Manajemen Mutu Terpadu.

Menurut Feigenbaum (1992: 5-6) sistem Manajemen Mutu Terpadu memberikan arahan dan panduan bagi pelaksanaan kegiatan peningkatan dan pengendalian mutu. Kendali mutu merupakan salah satu kekuatan perusahaan yang utama untuk mencapai peningkatan produktivitas total secara tepat. Disamping itu, dengan pengendalian mutu diharapkan manajemen perusahaan mampu menyelenggarakan usaha dagang berdasarkan kekuatan dan keyakinan atas mutu produk atau jasa mereka, dan memungkinkan manajemen perusahaan bergerak maju dalam volume pasar dan perluasan bauran dengan derajat penerimaan pelanggan yang tinggi, stabilitas keuntungan dan pertumbuhan


(6)

perusahaan yang pesat. Hal tersebut juga berlaku pula dalam perusahaan roti, dimana roti sebagai bahan makanan yang akan dikonsumsi langsung oleh manusia tentunya harus memenuhi tingkat keamanan pangan (food safety) produk untuk konsumsi. Kualitas dari produk roti haruslah diperhatikan dan dijaga oleh pihak produsen agar selalu dalam keadaan baik serta aman untuk dikonsumsi. Selain itu, mutu atau kualitas produk juga berperan dalam memenangkan persaingan serta merebut hati konsumen.

Galih Bakery merupakan salah satu dari ratusan perusahaan roti dan kue yang ada di Indonesia. Perusahaan roti yang berlokasi di Ciledug, Tangerang, Banten ini berhasil bertahan selama kurang lebih 20 tahun berdiri sejak tanggal 15 Juni 1986 dan telah mengalami pasang surut dalam menjalankan usahanya, selalu mempunyai kesadaran akan pentingnya menjaga mutu. Walaupun demikian, perusahaan roti ini mempunyai kendala dalam menjaga mutu rotinya yang terkadang berfluktuasi. Jika kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan Galih Bakery akan kehilangan konsumennya. Hal ini mengingat peta persaingan perusahaan roti di daerah Ciledug cukup ketat. Tedapat perusahaan-perusahaan sekelas Tan Ek Tjoan, Lauw, Swanish, maupun Sari Roti yang tentu saja kelasnya berada di atas Galih Bakery. Sedangkan perusahaan roti yang sekelas Galih seperti Duriana Bakery, Mariana Bakery, Agustini Bakery, dan Nathan Bakery.

Tingkat kelemahan yang dimiliki banyak perusahaan kecil seperti Galih Bakery dalam penerapan Manajemen Mutu Terpadu menyebabkan pihak perusahaan kurang tanggap dalam mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan Manajemen Mutu sehingga tindakan yang diambil seringkali tidak sesuai


(7)

dengan permasalahan yang dihadapi dan hanya mengandalkan kegiatan rutin saja. Penyusun tertarik untuk mengangkat permasalahan pada Galih Bakery ini ke dalam sebuah penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Galih Bakery”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana penerapan sistem Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu

pada Galih Bakery?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan penerapan sistem Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery.


(8)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

a. Perusahaan, diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan terutama dalam hal penetapan kebijakan penerapan Manajemen Mutu Terpadu.

b. Pembaca, sebagai bahan informasi, masukkan bagi penelitian selanjutnya, dan sebagai pelengkap literatur khususnya dalam bidang penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada industri kecil.

c. Peneliti, selain untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan sekaligus menerapkan apa yang sudah diajarkan selama di bangku kuliah, penelitian ini berguna untuk membandingkan teori yang dipelajari dalam perkuliahan dengan kenyataannya di lapangan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Galih Bakery yang merupakan industri kecil yang bergerak dalam bidang pembuatan roti. Penelitian ini meneliti tentang penerapan Manajemen Mutu Terpadu yang didasarkan atas unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu itu sendiri. Unsur-unsur tersebut meliputi fokus pada pelanggan, obsesi terhadap kualitas, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan sistem secara berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan, kebebasan yang terkendali, kesatuan tim, serta adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.


(9)

Zat Gizi Roti Putih Nasi Mie Basah

Energi (kkal) 248 178 86

Protein (g) 8,0 2,1 0,6

Lemak (g) 1,2 0,1 3,3

Karbohidrat (g) 50,0 40,6 14,0

Kalsium (mg) 10 5 14

Fosfor (mg) 95 22 13

Besi (mg) 1,5 0,5 0,8

Vitamin A (SI) 0 0 0

Vitamin B1 (mg) 0,10 0,02 0

Vitamin C (mg) 0 0 0

Air (g) 40 57 80

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Roti

Roti diartikan sebagai makanan yang berbahan dasar utama tepung terigu dan air yang difermentasikan oleh ragi, tetapi ada juga yang tidak menggunakan ragi. Secara umum roti dibedakan atas roti tawar dan roti manis. Roti tawar dapat dibedakan lagi atas roti putih (white bread) dan roti gandum (whole wheat bread). Sedangkan roti manis sendiri dibedakan atas dasar bahan pengisinya, seperti roti isi pisang, nenas, kelapa, daging sapi, daging ayam, sosis, coklat, keju, dan lain- lain. Dibandingkan dengan 100 gram nasi putih atau mie basah, maka 100 gram roti memberikan energi, karbohidrat, protein, fosfor dan besi yang lebih banyak (Astawan, 2007: 1). Secara rinci komposisi gizi roti tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Gizi Roti Dibanding Nasi dan Mi Basah per 100 gram


(10)

Berdasarkan Tabel 3, 100 gram roti menghasilkan 248 kkal, sedangkan nasi 178 kkal, dan mie basah hanya menghasilkan 86 kkal. Roti juga menghasilkan lebih banyak protein yaitu sebesar 8 gram, lebih banyak dari nasi dan mie basah yang hanya menghasilkan protein sebesar 2,1 gram dan 0,6 gram. Roti merupakan produk yang paling pertama dikenal dan paling populer di dalam kelompok bakery hingga saat ini (Astawan, 2007: 1).

Selanjutnya dikatakan bahwa komposisi roti tawar umumnya terdiri dari: 57 persen tepung terigu; 36 persen air; 1,6 persen gula; 1,6 persen shortening (mentega atau margarin); 1 persen tepung susu; 1 persen garam dapur; 0,8 persen ragi roti (yeast); 0,8 persen malt dan 0,2 persen garam mineral. Gula, walaupun dalam jumlah sedikit perlu ditambahkan ke dalam adonan roti. Hal ini karena gula berperan sebagai bagi pertumbuhan ragi roti (Saccharomyces cereviseae) untuk dapat menghasilkan gas karbondioksida (CO2) dalam jumlah yang cukup untuk

mengembangkan adonan secara optimal.

2.1.2. Mutu

Banyak sekali definisi kualitas yang sebenarnya definisi kualitas yang satu hampir sama dengan definisi yang lain. Definisi kualitas menurut beberapa ahli antara lain:

1. Stevenson (2005: 381) ”quality refers to the ability of a product or service to consistently meet or exceed customer expectations” atau ”kualitas berarti kemampuan produk atau jasa untuk secara berkesinambungan menyesuaikan dengan harapan konsumen”.


(11)

2. Schroeder (2004: 169) “mutu didefinisikan sebagai kecocokan penggunaan. Ini berarti bahwa produk atau jasa memenuhi kebutuhan pelanggan”

3. Render and Heizer (2001: 92) “mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi”

4. Gaspersz (2005: 5) “kualitas diartikan sebagai sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan dan upaya perubahan ke arah perbaikan terus-menerus sehingga dikenal istilah Q-MATCH (Quality = Meets Agreed Terms and

Changes)

Menurut Feigenbaum (1992: 7) mutu adalah keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan- harapan pelanggan. Feigenbaum (1992: 54-56) menambahkan terdapat sembilan dasar yang mempengaruhi mutu baik produk ataupun jasa, kesembilan bidang dasar tersebut, yaitu:

1. Market (pasar), keinginan dan kebutuhan konsumen pada masa sekarang ini memperoleh produk dengan mutu yang baik untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bahwasanya pasar memiliki ruang lingkup yang luas secara fungsional.

2. Money (uang), biaya-biaya mutu yang dikaitkan dengan perbaikan mutu telah mencapai ketinggian yang tak terduga, kenyataan ini menekankan bahwa biaya mutu sebagai salah satu “titik lunak” tempat biaya operasi dan kerugian yang dapat diturunkan untuk mendapatkannya.


(12)

3. Management (manajemen), adanya koordinasi antar divisi memungkinkan tidak terjadinya kesalahan operasi perencanaan produk yang dihasilkan sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh konsumen.

4. Men (manusia), merupakan faktor terpenting yang harus dimiliki oleh perusahaan karena merupakan sumber daya dengan spesialisasi yang khusus. 5. Motivation (motivasi), para pekerja saat ini memerlukan sesuatu yang

memperkuat rasa keberhasilan dalam pekerjaan mereka dan secara pribadi mereka memberikan sesuatu atas tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini membimbing ke arah yang tidak ada sebelumnya yaitu pendidikan mutu yang lebih ketat, maka spesifikasi bahan menjadi lebih baik.

6. Materials (bahan), dikarenakan persyaratan mutu yang lebih ketat, maka spesifikasi bahan menjadi lebih baik.

7. Machines and mechanization (mesin dan mekanisasi), mutu yang baik menjadi sebuah faktor yang kritis dalam memelihara waktu kerja mesin agar fasilitasnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya.

8. Modern information methods (metode informasi modern), teknologi yang berkembang pada saat ini sangat cepat yang memungkinkan perusahaan dapat mengumpulkan, memanipulasi, serta mengendalikan proses selama produksi bahkan hingga mencapai pada konsumen.

9. Mounting product requirements (persyaratan proses produksi), meningkatnya kerumitan persyaratan-persyaratan prestasi yang lebih tinggi bagi produk telah menekan pentingnya keamanan dan kehandalan produk.


(13)

Russel dalam Ariani (2002: 9) mengidentifikasikan tujuh peran kualitas, yaitu: (1) meningkatkan reputasi perusahaan, (2) menurunkan biaya, (3)

meningkatkan pangsa pasar, (4) dampak internasional, (5) adanya

pertanggungjawaban produk, (6) penampilan produk, (7) mewujudkan kualitas yang dirasa penting.

2.1.3. Pengendalian Mutu

Pengendalian mutu adalah fungsi manajemen dimana kualitas material, proses, keahlian, dan produk dikontrol dengan tujuan mencegah rusaknya keluaran (Lockyer dkk, 1994: 93). Tujuan pengendalian mutu adalah untuk menjamin produk, alat maupun sumberdaya lainnya yang digunakan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan sehingga dapat menghasilkan produk yang memenuhi keinginan pelanggan atau pembeli atau yang disyaratkan. Tiga kondisi yang harus mendapat perlakuan tersebut adalah bahan yang masuk, selama proses, dan proses pengeluaran (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996: 82).

2.1.4. Manajemen Mutu Terpadu

Menurut Nasution (2005: 22) Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya. Sedangkan menurut Brocka dan Brocka dalam Suwatno dan Rasto (2003: 174-175) Total Quality Management dapat didefinisikan sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kinerja secara


(14)

berkelanjutan pada setiap tingkat operasi, dalam setiap fungsi organisasi, dengan menggunakan seluruh sumber daya manusia dan modal yang tersedia.

Menurut Ariani (2002: 35) Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) merupakan suatu penerapan metode kuantitatif dan sumber daya manusia untuk memperbaiki dalam penyediaan bahan baku maupun pelayanan bagi organisasi, semua proses dalam organisasi pada tingkatan tertentu dimana kebutuhan pelanggan terpenuhi sekarang dan di masa mendatang. Total Quality Management lebih merupakan sikap dan perilaku berdasarkan kepuasan atas pekerjaannya dan kerja tim atau kelompoknya. Total Quality Management menghendaki komitmen total dari manajemen sebagai pemimpin organisasi dimana komitmen ini harus disebarluaskan pada seluruh karyawan dan pada semua level atau departemen dalam organisasi. Total Quality Management bukan merupakan program atau sistem, tapi merupakan budaya yang harus dibangun, dipertahankan, dan ditingkatkan oleh seluruh anggota organisasi atau perusahaan bila organisasi atau perusahaan tersebut berorientasi pada kualitas dan menjadikan kualitas sebagai the way of life. Prawirosentono (2004: 5) secara sistematis, Manajemen Mutu Terpadu meliputi:

a. Merancang produk (product designing)

b. Memproduksi secara baik sesuai dengan rencana

c. Mengirimkan produk ke konsumen dalam kondisi baik (to deliver) d. Pelayanan yang baik kepada konsumen (good consumer service)

Menurut Hensler dan Brunell dalam Nasution (2005: 30-31) ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu:


(15)

1. Kepuasan Pelanggan

Kualitas tidak hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu, tetapi kualitas tersebut ditentukan pelanggan. Pelanggan itu sendiri meliputi pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek, termasuk di dalamnya harga, keamanan, dan ketepatan waktu. Kualitas yang dihasilkan suatu perusahaan sama dengan nilai yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup para pelanggan. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin besar pula kepuasan pelanggan.

2. Respek Terhadap Setiap Orang

Setiap karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas yang khas. Dengan demikian, karyawan merupakan sumberdaya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambilan keputusan.

3. Manajemen Berdasarkan Fakta

Setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan (feeling). Ada dua konsep pokok yang berkaitan dengan hal ini. Pertama, prioritas (prioritization), yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada. Oleh karena itu, dengan menggunakan data, maka manajemen dan tim dalam organisasi dapat memfokuskan usahanya pada situasi tertentu yang vital. Konsep kedua, variasi atau variabilitas kinerja


(16)

manusia. Data statistik dapat memberikan gambaran mengenai variabilitas yang merupakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi. Dengan demikian, manajemen dapat memprediksikan hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.

4. Perbaikan Berkesinambungan

Setiap perusahaan perlu melakukan proses sistematis dalam melaksanakan perbaikan secara berkesinambungan agar dapat sukses. Konsep yang berlaku di sini adalah siklus PDCAA (plan-do-check-act-analyze), yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan dan melakukan tindakan kreatif terhadap hasil yang diperoleh

Sedangkan unsur-unsur Total Quality Management menurut Goetsch dan Davis dalam Nasution (2005: 22-24) antara lain:

1. Fokus Terhadap Pelanggan

Pelanggan internal maupun eksternal merupakan driver dalam TQM. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.

2. Obsesi Terhadap Kualitas

Pelanggan internal dan eksternal menentukan kualitas dalam organisasi yang menerapkan TQM. Pelanggan internal adalah orang yang berada dalam perusahaan dan memiliki pengaruh pada performansi (performance) pekerjaan (atau perusahaan) kita. Bagian-bagian pembelian, produksi, penjualan,


(17)

pembayaran gaji, rekrutmen, dan karyawan, merupakan contoh rari pelanggan internal. Pelanggan eksternal adalah pembeli atau pemakai akhir produk itu, yang sering disebut sebagai pelanggan nyata (real customer). Pelanggan eksternal merupakan orang yang membayar untuk menggunakan produk yang dihasilkan itu (Gaspersz, 2005: 34). Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan mereka.

3. Pendekatan Ilmiah

Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan TQM, terutama untuk mendesain pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain tersebut.

Data diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok duga

(benchmarking), memantau prestasi, dan melaksanakan perbaikan. 4. Komitmen Jangka Panjang

Komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan sukses.

5. Kerjasama Tim

Kerja sama tim, kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina dalam organisasi yang menerapkan TQM, baik antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok, lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat sekitarnya.

6. Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan

Setiap produk dan jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu di dalam suatu sistem atau lingkungan. Sistem yang ada perlu


(18)

diperbaiki secara terus-menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin meningkat.

7. Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor fundamental dalam organisasi yang menerapkan TQM. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa belajar merupakan proses yang tidak ada akhirnya dan tidak mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya.

8. Kebebasan yang Terkendali

Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam TQM. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Selain itu, unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang terlibat lebih banyak. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik.

9. Kesatuan Tim

Perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan agar TQM dapat diterapkan dengan baik. Dengan demikian, setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama.


(19)

10. Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan

Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang penting dalam penerapan TQM. Usaha untuk melibatkan karyawan membawa dua manfaat utama. Pertama, akan meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang baik, atau perbaikan yang lebih efektif, karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua, keterlibatan karyawan juga meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus melaksanakannya. Pemberdayaan bukan sekedar melibatkan karyawan, tetapi juga melibatkan mereka dengan memberikan pengaruh yang sungguh-sungguh berarti. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun pekerjaan yang memungkinkan para karyawan untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan proses pekerjaannya dalam parameter yang ditetapkan dengan jelas.

Menurut Oakland dalam Ariani (2002: 50) Manajemen Mutu Terpadu (TQM) akan dapat tercapai bila perusahaan atau organisasi dapat melaksanakan kegiatannya dengan berpedoman pada atribut efisiensi, yaitu:

1. Dukungan (commitment)

Organisasi atau perusahaan harus mendukung pada penyediaan produk dan jasa untuk mengembangkan organisasi. Manajemen harus mendukung pada penyediaan produk dan jasa tersebut secara efisien dan menguntungkan.


(20)

2. Konsistensi (consistency)

Produk dan jasa bukan merupakan jenis usaha yang semata-mata hanya dipengaruhi permintaan pelanggan dan menyesuaikan dengan karakteristik pelanggan. Produk dan jasa harus mempunyai konsistensi dalam kinerja, misalnya ketepatan waktu, kebersihan ruangan, kesabaran dan memberikan pelayanan, dan sebagainya.

3. Kemampuan (competence)

Organisasi atau perusahaan memang sangat membutuhkan karyawan yang ahli sebagai organisasi dimana kualitas produk atau jasa yang ditawarkan sangat dipengaruhi keahlian karyawan.

4. Hubungan (contact)

Organisasi atau perusahaan yang mengutamakan kebutuhan dan harapan pelanggan dalam membuat produk atau jasanya, harus mengadakan hubungan atau kontak langsung dengan pelanggan. Masalah menjaga hubungan yang baik dengan pelanggan perlu mendapatkan prioritas.

5. Komunikasi (communication)

Spesifikasi produk atau jasa yang diinginkan pelanggan yang perlu dicapai untuk dapat mewujudkan kualitas produk atau jasa tersebut harus didukung dengan komunikasi yang baik antar pelanggan dengan pihak pemberi jasa. Hal ini disebabkan kualitas produk dan jasa yang ditawarkan juga sangat tergantung dari spesifikasi pelanggan tersebut


(21)

6. Kepercayaan (credibility)

Organisasi atau perusahaan harus dapat dipercaya, dan antara pihak organisasi atau perusahaan dengan pelanggan juga harus ada rasa saling percaya. Hal ini akan memperlancar komunikasi dan menjalin hubungan baik yang akan memudahkan organisasi atau perusahaan merealisasikan keinginan atau harapan pelanggan tersebut.

7. Perasaan (compassion)

Perasaan yang dimaksud di sini adalah perasaan simpati akan kebutuhan dan harapan pelanggan, selain juga perasaan dari pihak manajemen kepada karyawan organisasi yang memberikan produk atau jasa secara langsung pada pelanggan.

8. Kesopanan (courtesy)

Hubungan langsung antar personil organisasi atau perusahaan dengan pelanggan tersebut menuntut adanya sikap sopan santun dari pihak organisasi atau perusahaan. Pelanggan akan lebih menyukai produsen yang memperhatikan sopan santun dalam memberikan pelayanan.

9. Kerjasama (co-operation)

Kerjasama dengan pelanggan akan membantu organisasi atau perusahaan untuk dapat menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan pelanggan. Kerja sama ini juga perlu dibina secara terus menerus antar personil organisasi atau perusahaan dengan pelanggan dan antar para personil dalam organisasi atau perusahaan tersebut.


(22)

10. Kemampuan (capability)

Capability disini diartikan bahwa organisasi atau perusahaan harus mempunyai kemampuan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang berkaitan dengan produk atau jasa.

11. Kepercayaan (confidence)

Kepercayaan disini berarti rasa percaya diri dari organisasi atau perusahaan bahwa organisasi atau perusahaan tersebut mampu memberikan jasa yang terbaik bagi pelanggan.

12. Kritikan (criticism)

Kritikan dalam hal ini berarti bahwa organisasi atau perusahaan tidak boleh menghindari kritikan yang bersifat membangun, apalagi kritikan itu berasal dari pelanggan.

2.1.3.1. Hambatan dalam Penerapan Manajemen Mutu Terpadu

Menurut Hessel dalam Nasution (2005: 366-367), ada beberapa hambatan dalam melaksanakan Total Quality Management, antara lain:

1. Kurangnya komitmen manajemen puncak

Hal ini ditunjukkan dengan dukungan manajemen puncak hanya berpengaruh signifikan pada ”manajemen arus proses”. Hal ini menggambarkan manajemen belum menganggap proses produksi merupakan proses yang berhubungan dengan proses-proses lain yang mengakibatkan berbagai proses dalam perusahaan yang belum terpadu.


(23)

2. Kurangnya dukungan infrastruktur untuk implementasi TQM

TQM bergerak pada lima dimensi infrastruktur, yaitu hubungan dengan pelanggan (customer chain), dukungan manajemen puncak, manajemen sumber daya manusia, hubungan dengan pemasok (supply chain) dengan sikap kerja karyawan. Kelima dimensi infrastruktur tersebut harus dibenahi dengan sebaik-baiknya.

3. Partial quality management

Implementasi Manajemen Mutu Terpadu masih bersifat parsial yang berorientasi hanya pada little quality, yaitu hanya di bidang produksi saja. Hal ini menunjukkan implementasi Manajemen Mutu Terpadu baru terbatas pada bagian produksi saja dan tidak keseluruhan sistem organisasi yang ada. Manajemen Mutu Terpadu harus diintegrasikan ke dalam strategi yang lebih dalam. Organisasi bersifat lintas fungsional, melibatkan seluruh karyawan, serta pelanggan dan pemasok yang berorientasi pada big quality secara total. 4. Kurangnya pengetahuan tentang konsep TQM

Kurangnya pengetahuan tentang konsep TQM akan mempersulit karyawan untuk menerima dan menerapkan konsep TQM

5. Budaya organisasi kurang mendukung implementasi TQM

Budaya organisasi yang belum sepenuhnya berfokus pada kepuasan pelanggan. Organisasi belum menganggap perlu untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan pelanggan dan pemasok. Kemudian belum menerapkan budaya kualitas di dalam organisasi.


(24)

6. Ketidaksempurnaan implementasi TQM

Ini disebabkan adanya kekhawatiran karyawan mengenai adanya kemungkinan diberentikan. Jika implementasi TQM karena karena adanya kekhawatiran pekerja kemungkinan adanya down-sizing, dimana pekerja yang tidak memiliki kompetensi akan diberentikan organisasi.

2.1.3.2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Mutu Terpadu

Suwatno dan Rasto (2003: 192) menyatakan bahwa Total Quality Management pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan suatu produk atau jasa dengan kualitas yang dirancang, dipadukan, dan dipertahankan pada tingkat biaya yang paling ekonomis sehingga memungkinkan tercapainya kepuasan konsumen. Implementasi Total Quality Management memusatkan perhatiannya pada usaha perbaikan dalam proses produksi barang atau jasa, yang berimplikasi pada kepuasan konsumen, produktivitas, dan keuntungan.

Tujuan dari Total Quality Management yang lebih luas adalah untuk menjamin kepemimpinan dengan menempatkan proses dan sistem yang meningkatkan keberhasilan perusahaan, mencegah kesalahan dan pemborosan usaha, dan meyakinkan hubungan dengan kebutuhan konsumen. Hal ini pada akhirnya dapat menghasilkan kemampuan perusahaan untuk menyelenggarakan produksinya secara kompetitif, tepat waktu, efisien dan efektif yang menjadi tujuan perusahaan. Manfaat utama yang paling mendasar dari penerapan Total Quality Management menurut para ahli adalah sebagai berikut:


(25)

2. Meningkatkan efisiensi proses kerja 3. Meningkatkan produktivitas

4. Mengurangi persaingan antar karyawan

5. Meningkatkan mutu barang atau jasa yang dihasilkan 6. Menurunkan harga

7. Meningkatkan kepuasan konsumen 8. Meningkatkan keuntungan perusahaan.

2.2. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian Nurlaela (2006), mengenai Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Pasar Ikan Higienis (PIH), Pejompongan menyebutkan bahwa hasil perhitungan tentang faktor-faktor permasalahan yang berkaitan dengan penerapan MMT berdasarkan metode Analisis Hirarki Proses (AHP) diperoleh hasil sebagai berikut: masalah mutu (0,59), biaya (0,29), dan waktu (0,12). Bahan baku merupakan prioritas utama dalam subfaktor masalah mutu dengan bobot 0,44, biaya penanganan menempati urutan pertama dalam subfaktor masalah biaya, dengan bobot 0,14. Sedangkan subfaktor masalah waktu merupakan prioritas utama adalah waktu pengadaan (0,06), faktor masalah dalam subfaktor masalah diatas dapat terjadi disebabkan oleh faktor sarana (0,52), sistem (0,28), dan keuangan (0,19). Pelaku yang mempunyai pengaruh penting agar penerapan MMT di PIH Pejompongan berjalan maksimal adalah pimpinan (0,43).


(26)

Sedangkan Nirang (1997) mengkaji mengenai Manajemen Mutu Terpadu pada Produk Sapi Perah di KPBS Pangalengan dengan metode Analisis Hirarki Proses (AHP) sebagai metode penelitian yang dipakai. Berdasarkan identifikasi permasalahan di KPBS tersebut, diketahui bahwa terdapat tiga masalah utama yang dihadapi KPBS, yaitu masalah mutu, biaya, dan jumlah. Mutu serta jumlah susu segar sangat dipengaruhi oleh manajemen peternakan yang dilakukan. Sedangkan berdasarkan hasil analisis kerjanya, diketahui bahwa bagian dari KPBS yang berkinerja paling buruk adalah di peternak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa KPBS Pangalengan belum menerapkan Manajemen Mutu Terpadu.

2.3. Kerangka Pemikiran

Galih Bakery merupakan salah satu usaha kecil yang menghasilkan roti, baik roti manis maupun roti tawar sebagai produk utamanya. Perusahaan ini telah bertahan kurang lebih 20 tahun sejak didirikan pada tanggal 15 Juni 1986. Seiring dengan meningkatnya konsumsi roti, industri roti pun banyak bermunculan, baik industri kecil, menengah, maupun besar. Sehingga persaingan pun semakin ketat. Ditengah persaingan yang ketat tersebut, Galih Bakery mengalami masalah dengan pengendalian mutu karena mutu roti yang dihasilkan terkadang tidak sesuai dengan atribut mutu yang telah ditetapkan. Disisi lain, mutu produk perusahaan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan daya saing. Apabila kondisi ini berlangsung terus, dikhawatirkan Galih Bakery akan kehilangan konsumennya secara bertahap. Oleh karena itu, penerapan konsep Manajemen


(27)

Mutu Terpadu pada Galih Bakery perlu dianalisis, agar dapat dievaluasi sehingga penerapan Manajemen Mutu Terpadu dapat berjalan dengan baik yang dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan.

Analisis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu, yaitu merupakan pendekatan yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia untuk mampu bertahan dan berkembang. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu berkaitan pada teknik pengendalian mutu serta unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery dengan Metode DELPHI.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery dengan Metode AHP.


(28)

Kualitas

Penerapan Manajemen Mutu

Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran Penelitian

Unsur-Unsur Manajemen Mutu Terpadu:

• Fokus Pada Pelanggan

• Obsesi Terhadap Kualitas

• Pendekatan Ilmiah

• Komitmen Jangka Panjang

• Kerjasama Tim

• Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan

• Pendidikan dan Pelatihan

• Kebebasan yang Terkendali

• Kesatuan Tim

• Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan

Galih Bakery

Memenangkan Persaingan

Kualitas

Penerapan Manajemen Mutu Terpadu

Pengendalian Mutu:

• Pengendalian Mutu Bahan Baku

• Pengendalian Mutu Proses Pengolahan

• Pengendalian Mutu Produk Akhir

Deskriptif Kualitatif

Optimal/ Belum Optimal

DELPHI

Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu

AHP

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu

Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran Penelitian


(29)

Mulai

Langkah 1. Input data:

• Responden

Langkah 2. Proses:

• Wawancara

Langkah 4. Proses:

• Pembuatan Kuesioner

Langkah 5. Proses:

• Pengisian Kuesioner

Hasil.

• Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery

Langkah 3. Proses:

• Pembuatan Kerangka AHP Konsisten? Ya Langkah 4. Proses:

• Penghitungan dengan software Expert Choice

Tidak

Sesuai? Tidak

Hasil.

• Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery

Ya Langkah 4.

Proses:

• Pembuatan Kuesioner


(30)

2.4. Definisi Operasional

1. Manajemen Mutu Terpadu adalah suatu konsep penciptaan, pemeliharaan, dan peningkatan kualitas dengan cara perbaikan berkesinambungan atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya dan menjadikan kualitas sebagai budaya seluruh anggota perusahaan (Nasution, 2005: 22).

2. Manajemen pemasaran merupakan kegiatan analisis, perencanaan,

pelaksanaan, dan pengendalian program-program yang dibuat untuk

membantu, membangun, dan memelihara, keuntungan dari pertukaran melalui sasaran pasar guna mencapai tujuan organisasi (perusahaan) dalam jangka panjang (Assauri, 2007: 12).

3. Lingkungan usaha atau industri lebih mengarah pada aspek persaingan dimana bisnis perusahaan berada. Aspek-aspek tersebut antara lain ancaman masuk pendatang baru, persaingan sesama perusahaan di dalam industrinya, ancaman dari produk pengganti, kekuatan tawar-menawar pembeli (buyers), kekuatan tawar-menawar pemasok (suppliers), dan pengaruh stakeholder lainnya (Umar, 2005: 268).

4. Manajemen produksi merupakan usaha-usaha pengelolaan secara optimal penggunaan sumberdaya-sumberdaya (atau sering disebut faktor-faktor produksi) tenaga kerja, mesin, peralatan, bahan mentah, dan sebagainya dalam proses transformasi bahan mentah dan tenaga kerja menjadi berbagai produk atau jasa (Handoko, 2000: 25).


(31)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Galih Bakery yang berlokasi di Komplek Taman Asri Blok F1/1, Ciledug, Tangerang, Banten. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa Galih Bakery merupakan salah satu usaha kecil yang mempunyai masalah dengan kualitas produk roti yang dihasilkannya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2008 – Mei 2009.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif, sedangkan sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari pihak perusahaan, literatur-literatur, dan berbagai situs internet.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan melalui wawancara, kuesioner, dan observasi yang dilakukan dengan berbagai pihak yang terkait dalam topik penelitian ini. Wawancara dilakukan kepada pimpinan Galih Bakery dan 3 (tiga) orang pakar mutu. Wawancara kepada pimpinan Galih bakery dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang kondisi perusahaan dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada Galih Bakery


(32)

serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan wawancara kepada 3 (tiga) orang pakar mutu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada industri kecil. Sebelum melakukan wawancara, para pakar terlebih dahulu diberikan gambaran tentang Galih Bakery baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini dimaksudkan agar jawaban yang diperoleh dari para pakar dapat relevan atau sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

Kuesioner diberikan kepada pimpinan dan manajer harian Galih Bakery serta 3 (tiga) orang pakar mutu (Tabel 4) yang berasal dari instansi pemerintah maupun swasta untuk mengetahui faktor-faktor yang paling dominan dalam penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery. Sedangkan pengamatan langsung di lapangan (observasi) dilakukan untuk mengetahui kegiatan perusahaan dalam proses produksi mulai dari pengadaan bahan baku sampai pemasaran. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur-literatur dan dari internet (website-website) yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

Tabel 4. Daftar Responden

No. Nama Pekerjaan

1. Suprapto, MPS* Ketua Sistem Penerapan Standar BSN

2. Chris Hardijaya* Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia (APEBI)

3. Heru Laksana* Pimpinan Maison Weiner Cake Shop

4. Usman Pimpinan Galih Bakery

5. Jamil Manajer Harian Galih Bakery

Keterangan: *Pakar


(33)

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tulisan, tabulasi data, serta gambar yang sesuai dengan konteks permasalahan yang dibahas. Analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery adalah dengan menggunakan Metode Delphi dan Metode Analisis Hirarki Proses (AHP). Metode Delphi digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery. Sedangkan Analisis Hirarki Proses (AHP), digunakan untuk menganalisis faktor- faktor tersebut.

Metode Delphi digunakan u n t u k m e m p e r o l e h k ons ens u s para pa kar berkenaan den ga n fakt or-fa kt or ri sik o proyek yang dipertimbangkan. Metode ini bertujuan untuk menentukan sejumlah alternatif program, mengeksplorasi asumsi-asumsi atau fakta yang melandasi “judgments” tertentu dengan mencari informasi yang dibutuhkan untuk mencapai suatu konsensus.

Biasanya metode ini dimulai dengan melontarkan suatu masalah yang bersifat umum untuk diidentifikasi menjadi masalah yang lebih spesifik. Partisipan dalam metode ini biasanya orang yang dianggap ahli dalam disiplin ilmu tertentu.

Tahapan Metode Delphi yang digunakan pada penelitian ini antara lain: 1. Menentukan masalah yang akan diidentifikasi. Masalah yang akan

diidentifikasi pada penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery.


(34)

2. Menentukan pakar yang akan dijadikan sebagai partisipan. Pakar yang digunakan yaitu Suprapto, MPS (Ketua Sistem Penerapan Standar BSN), Chris Hardijaya (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia), Heru Laksana (Pimpinan Maison Weiner Cake Shop), Usman (Pimpinan Galih Bakery).

3. Memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery dari para partisipan.

4. Membagi faktor yang diperoleh dari satu partisipan ke partisipan lain hingga terjadi kesepakatan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery.

Tahap selanjutnya setelah selesai menggunakan Metode Delphi adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery dengan menggunakan Metode AHP. Pada dasarnya Metode AHP ini memecah-mecah suatu situasi atau masalah yang kompleks tidak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel, mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut.

AHP digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery. Analisis ini dimulai dengan pengumpulan data dan informasi yang digunakan untuk menyusun struktur hirarki yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh Galih Bakery. Hasil perolehan data diproses dan dianalisis serta disajikan dalam bentuk


(35)

uraian dan tabel. Metode pemecahan masalah dalam penelitian dengan metode AHP dapat dijelaskan pada langkah-langkah berikut (Saaty, 1991: 102-103): Tahap 1: mendefinisikan masalah dan menentukan secara spesifik solusi yang

diinginkan. Fokus permasalahan dalam analisis ini adalah identifikasi permasalahan mutu roti pada Galih Bakery. Untuk mengetahuinya dilakukan wawancara dengan responden. Setelah fokus analisis

ditentukan kemudian menentukan komponen-komponen

pendukungnya.

Tahap 2: membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajemen secara menyeluruh. Setelah komponen dari fokus analisis diketahui, kemudian dilakukan pembuatan struktur hirarki. Pembuatan hirarki bertujuan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan analisis. Pada fokus identifikasi permasalahan tersusun beberapa tingkatan, seperti tingkat 2 (dua), adalah faktor masalah, tingkat 3 (tiga) subfaktor masalah, tingkat 4 (empat) faktor penyebab, tingkat 5 (lima) subfaktor penyebab, dan tingkat 6 (enam) pelaku. Tidak ada aturan khusus dalam menyusun struktur hirarki suatu sistem, jumlah tingkatan struktur keputusan yang terstratifikasi dan variabel pada setiap tingkat keputusan. Struktur hirarki pada penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan hirarki. Tingkat 1 (satu) adalah tujuan dari penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery. Tingkat 2 (dua) yaitu faktor masalah, tingkat 3 (tiga) pelaku, dan yang terakhir adalah tingkat 4 (empat)


(36)

yaitu penyebab. Tingkatan hirarki pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

G Tingkat 1: Fokus

F1 F2 F3 Fn Tingkat 2: Faktor masalah

SC1 SC2 SC3 SCn Tingkat 3: Pelaku

A1 A2 A3 An Tingkat 4: Penyebab

Gambar 3. Kerangka AHP Sederhana Sumber: Saaty, 1991: 84

Tahap 3: menyusun matriks banding berpasangan. Matriks banding berpasangan adalah matriks yang memperbandingkan bobot unsur dalam suatu hirarki dengan unsur-unsur dalam hirarki, diantaranya matriks ini disusun sesuai dengan tujuan penelitian dan struktur hirarki analisis. Matriks ini dimulai dari puncak hirarki untuk fokus identifikasi

permasalahan sebagai dasar untuk melakukan perbandingan

berpasangan antar variabel yang terkait yang ada di bawahnya.

Tahap 4: melakukan perbandingan berpasangan antara setiap variabel pada baris ke-i yang berhubungan dengan fokus G atau identifikasi masalah. Pengisian nilai-nilai dalam matriks banding tersebut digunakan angka- angka tertentu, seperti pada Tabel 5.


(37)

Tabel 5. Skala Banding Secara Berpasangan Intensitas

kepentingan

Definisi Penjelasan

1 Pentingnya sama Dua elemen mempunyai

kontribusi yang sama besar pada sifat itu

2 Lemah

3 Pentingnya moderat

(sedang)

Pengalaman dan penilaian sedikit lebih memihak pada satu elemen dibandingkan dengan

pasangannya

4 Moderat plus

5 Pentingnya kuat Pengalaman dan penilaian

dengan kuat memihak pada satu elemen dibandingkan dengan

pasangannya

6 Kuat plus

7 Pentingnya sangat kuat Satu elemen lebih disukai

dengan sangat kuat dibandingkan pasangannya;

dominasinya terlihat dalam praktek

8 Sangat, sangat kuat

Kebalikan dari nilai- nilai di atas

Jika untuk aktivitas i mendapat suatu nilai di atas

dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikan

dibandingkan i

Asumsi yang beralasan

Rasional Rasio atau perbandingan,

timbul dari skala

Jika konsistensi diupayakan dengan cara mendapatkan nilai

numerik untuk menjangkau seluruh matriks Sumber: Saaty (1991: 85-86)

Tahap 5: memasukkan bilangan satu (1) sepanjang diagonal utama dalam matriks banding berpasangan dari kiri ke kanan bawah. Bagian di bawah diagonal tersebut diisi dengan nilai-nilai kebalikan dari nilai- nlai di atas diagonal.


(38)

Tahap 6: melakukan langkah 3, 4, dan 5 kembali untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut. Perbandingan dilakukan untuk semua variabel pada tingkat keputusan yang ada dalam hirarki.

Ada 2 (dua) macam matriks pembanding yang digunakan dalam AHP, yaitu: a. Matriks Pendapat Individu (MPI). Variabelnya disimbolkan dengan Aij,

artinya variabel matriks baris ke-i dan kolom ke-j

Tabel 6. Matriks Pendapat Individu

G A1 A2 A3 ... An

A1 A11 A12 A13 ... A1n

A2 A21 A22 A23 ... A2n

A3 A31 A32 A33 ... A3n

... ... ... ... ... ...

An An1 An2 An3 ... Ann

Sumber: Saaty (1991: 87)

b. Matriks Pendapat Gabungan (MPG), merupakan matriks yang variabelnya berasal dari rata-rata geometrik pendapat individu yang rasio konsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10%. Variabel pada matriks ini disimbolkan sebagai Gij.


(39)

Tabel 7. Matriks Pendapat Gabungan

G G1 G2 G3 ... Gn

G1 G11 G12 G13 ... G1n

G2 G21 G22 G23 ... G2n

G3 G31 G32 G33 ... G3n

... ... ... ... ... ...

Gn Gn1 Gn2 Gn3 ... Gnn

Sumber: Saaty (1991: 88)

Rumus matematis untuk rata-rata geometrik adalah:

Gij =

Keterangan:

m m Π a(ij)k

k =1

G(ij) = variabel MPG baris ke-i kolom ke-j

a(ij) = variabel baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-i

k = indeks MPI dari individu ke-k yang memenuhi syarat

m = jumlah MPI yang memenuhi syarat.

Tahap 7: mensintesis prioritas untuk pembobotan vektor-vektor prioritas. menggunakan komposisi secara hirarki. Untuk membobot vektor- vektor prioritas dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya, demikian seterusnya. Ada dua tahap yang harus dilakukan dalam mengelola MPI dan MPG tersebut, yaitu:


(40)

1. pengolahan horizontal, meliputi penentuan vektor prioritas (vektor eigen), uji konsistensi dan revisi pendapat bila dibutuhkan

2. pengolahan vertikal, meliputi penyusunan prioritas pengaruh setiap variabel pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus

Tahap 8: mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas utama kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks inkonsistensi acak yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama pada setiap indeks inkonsistensi acak juga dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Untuk memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi hirarki harus bernilai kurang dari atau sama dengan 10 persen.


(41)

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

4.1. Sejarah Perusahaan

Galih Bakery pertama kali didirikan oleh H. Usman pada tanggal 15 Juni 1986 dengan modal awal sebesar Rp. 5 juta. Galih Bakery berlokasi di komp. Taman Asri, Blok F1/1, Ciledug, Tangerang, Banten. Galih Bakery menempati areal seluas lebih kurang 100 m2 yang sebelumnya digunakan sebagai garasi mobil. Pertama kali berproduksi, Galih Bakery hanya mempunyai 4 (empat) orang karyawan, yaitu 2 (dua) orang karyawan produksi dan 2 (dua) orang karyawan penjualan. Selain itu, Galih Bakery juga belum mempunyai mesin produksi sehingga proses pencampuran bahan baku menjadi adonan roti dilakukan menggunakan tangan dengan cara ditonjok (dipukul) hingga adonan menjadi kalis. Oleh karena itu, roti yang dihasilkan disebut dengan nama roti tonjok.

Berdirinya perusahaan ini tidak terlepas dari beberapa hal yang melatarbelakanginya, selain sebagai usaha tambahan, perusahaan ini diharapkan dapat membantu mengurangi angka pengangguran dengan cara penyerapan tenaga kerja disamping prospek usaha ini yang cukup cerah karena roti telah menjadi makanan pokok pengganti nasi.

Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, Galih Bakery digolongkan ke dalam perusahaan kecil dengan jumlah tenaga kerja 18 (delapan belas) orang. Kedelapanbelas orang tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bidang, yaitu produksi dan penjualan. Karyawan produksi terdiri atas 5 (lima) orang, sedangkan bagian penjualan terdiri atas 13 (tiga belas) orang.


(42)

Perusahaan memproduksi berbagai varian produk roti yang dibedakan atas keragaan bentuk, bahan tambahan dan proses pembuatan, yaitu mulai dari roti tawar, roti manis, donat, dan roti burger. Hingga saat ini Galih belum memiliki visi, misi, dan tujuan yang tertulis secara jelas.

4.2. Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan 4.2.1. Struktur Organisasi

Galih Bakery mempunyai struktur organisasi yang sederhana. Struktur organisasi Galih Bakery terdiri dari pemilik, manajer, dan karyawan yang terbagi menjadi karyawan produksi dan karyawan penjualan. Struktur organisasi Galih Bakery terdapat pada Gambar 3.

Pimpinan

Manajer Operasional

Karyawan Produksi Karyawan Penjualan

Gambar 4. Struktur Organisasi Galih Bakery

Struktur organisasi perusahaan dikendalikan oleh pemilik selaku pimpinan Galih Bakery. Karyawan Galih Bakery terbagi ke dalam bidang kerja tertentu


(43)

dalam perusahaan, diantaranya adalah manajer operasional, karyawan produksi, dan karyawan penjualan. Setiap bidang kerja memiliki fungsi atau tugasnya masing-masing. Fungsi dari beberapa bidang yang ada di Galih Bakery adalah sebagai berikut:

1. Manajer operasional: manajer operasional Galih Bakery membawahi karyawan produksi maupun karyawan penjualan. Tugas manajer operasional dalam lingkup bagian penjualan antara lain menerima dan mencatat pesanan roti serta menerima pembayaran atas pesanan roti dari karyawan penjualan. Tugas manajer opersional dalam lingkup karyawan produksi merangkap sebagai kepala juru masak yang bertugas untuk menentukan kuantitas komposisi bahan baku yang akan digunakan dan pekerjaan-pekerjaan lain layaknya karyawan produksi yang bertujuan untuk menghasilkan roti.

2. Karyawan produksi: karyawan produksi terdiri dari 5 (lima) orang yang bertugas untuk memproduksi roti yang telah dipesan oleh karyawan penjualan. Kelima orang karyawan ini memiliki tugas berbeda-beda. Kepala koki bertugas untuk menentukan komposisi bahan baku, mengawasi proses pencampuran adonan, dan membagi adonan roti sesuai dengan peruntukkannya, yaitu roti tawar dan roti manis. Sedangkan karyawan lainnya bertugas untuk mencampur adonan awal, membulatkan, menggulung, memipihkan, menaruh ke dalam loyang cetakkan, memanggang, termasuk membersihkan peralatan dan mesin setelah selesai berproduksi. Khusus untuk proses pemanggangan, karyawan yang bertanggung jawab hanya berjumlah 1 (satu) orang. Karyawan ini


(44)

bertugas untuk memanaskan oven, memasukkan dan menyusun adonan roti di dalam oven, serta mengeluarkan roti yang telah matang dari oven.

3. Karyawan penjualan: karyawan penjualan terdiri dari 13 (tiga belas) orang. Karyawan penjualan ini bertugas menjual berbagai varian produk roti Galih Bakery yaitu roti tawar, roti manis, dan donat ke daerah penjualan masing- masing.

4.2.2. Ketenagakerjaan

Hingga kini tenaga kerja yang dimiliki Galih Bakery berjumlah 18 orang yang terdiri dari 5 orang bagian produksi dan 13 orang bagian penjualan (sales). Perusahaan lebih mementingkan karyawan yang mempunyai komitmen usaha, sehingga rata-rata pendidikan tenaga kerjanya berasal dari latar belakang pendidikan setingkat sekolah dasar (SD).

Karyawan yang dipekerjakan Galih Bakery berasal dari Purwakarta untuk karyawan produksi dan Bogor untuk karyawan penjualan. Pemilihan daerah asal yang sama bertujuan untuk mempermudah pimpinan Galih Bakery untuk mengontrol karyawannya. Apabila ada karyawannya yang pulang kampung dan tidak kembali dalam jangka waktu tertentu, pimpinan mudah untuk mencari tahu penyebabnya dan mencari penggantinya dari daerah yang sama.

Karyawan produksi mendapatkan upah harian yang besarannya berkisar antara Rp 15.000,00–Rp 33.000,00 disesuaikan dengan keahlian yang dimiliki. Karyawan produksi juga mendapatkan fasilitas berupa ruang mess dan uang


(45)

makan harian sebesar Rp 12.000,00-Rp 15.000,00. Selain itu, karyawan juga memperoleh tunjangan kesehatan maupun tunjangan hari raya.

Khusus untuk karyawan penjualan, perusahaan memberikan fasilitas berupa mess, gerobak sepeda, dan peralatan pendukung penjualan roti. Karyawan penjualan tidak mendapatkan upah harian, sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari selisih (margin) harga antara harga pabrik dengan harga jual yang mereka tentukan sendiri. Selain itu, pedagang juga diberi kompensasi tambahan yang akan diberikan apabila pedagang (sales) berjualan yaitu berupa uang sebesar Rp 6.000,00 yang pembayarannya ditangguhkan sebagai tabungan yang dapat diambil sewaktu-waktu dibutuhkan. Pedagang juga tidak menanggung biaya apabila terjadi kerusakan pada gerobak sepeda karena semua itu ditanggung oleh Galih Bakery.

4.3. Kegiatan Perusahaan 4.3.1. Pengadaan Bahan Baku

Bahan baku utama dalam pembuatan roti adalah tepung terigu, garam, ragi, dan air. Tepung terigu yang digunakan oleh Galih Bakery adalah tepung terigu Cakra Kembar yang diproduksi oleh Bogasari. Tepung terigu Bogasari dipilih karena selain mudah didapat, roti yang dihasilkannya pun baik. Galih Bakery hanya melakukan kerjasama dengan CV. Lautan Aroma sebagai pemasok utama untuk pasta makanan yaitu pasta pandan dan moka. Sedangkan untuk bahan baku pembantu dan bahan baku tambahan lainnya seperti margarin, pengempuk,


(46)

gula, telur, susu, pengawet, dan bahan isian Galih Bakery membelinya dengan sistem putus dari pemasok yang berada tidak jauh dari lokasi perusahaan.

Galih Bakery tidak mempunyai gudang penyimpanan, sehingga Galih Bakery hanya membeli dalam jumlah banyak untuk bahan-bahan baku yang ukuran kemasannya kecil, itupun disimpan di sudut ruangan, laci, maupun di bawah meja produksi tanpa perlakuan khusus. Bahan-bahan baku tersebut hanya disimpan sesuai dengan jenisnya, seperti bahan baku dan bahan isian. Sedangkan bahan baku utama seperti tepung terigu dibeli sesaat sebelum proses produksi dimulai.

4.3.2. Kegiatan produksi

Galih Bakery memulai kegiatan produksinya pada pukul 08.00-14.00 WIB, sedangkan pada saat bulan Ramadhan, kegiatan produksi dimulai setelah menunaikan shalat Tarawih yaitu sekitar pukul 21.00 WIB. Galih Bakery memproduksi berbagai macam varian roti tawar dan roti manis, walaupun terkadang perusahaan menerima pesanan roti burger dan roti hotdog. Rata-rata Galih Bakery menghasilkan 300 roti tawar dan 250 roti manis per hari. Varian roti tawar dan roti manis antara lain roti tawar besar, roti tawar kotak, roti tawar kotak pandan, dan roti tawar tabung. Sedangkan varian roti manis Galih Bakery antara lain roti manis isi coklat, coklat keju, coklat susu, coklat kacang, susu, kelapa, nanas, pisang coklat, moka dan donat. Perbedaan mendasar yang membedakan antara roti tawar dengan roti manis adalah penambahan isian pada roti manis, sedangkan proses pembuatannya hampir sama.


(47)

Proses pembuatan roti dimulai dengan mencampur bahan-bahan kering seperti tepung terigu, margarin, garam, ragi, pengawet, dan gula dengan air ke dalam wadah pencampur. Setelah semua bahan tercampur rata, adonan tersebut dimasukkan ke dalam mesin pencampur (mixer) hingga kalis. Kemudian adonan dibentuk menjadi bulatan-bulatan dan didiamkan hingga mengembang. Tahap selanjutnya adalah menggulung adonan dengan mesin penggulung adonan (dough moulder) hingga adonan tersebut menjadi lebih panjang, yang kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dan ditunggu hingga mengembang optimal dan siap untuk dipanggang.

Perbedaannya, untuk roti manis, setelah dibulatkan adonan langsung dimasukkan adonan isian yang telah disiapkan sebelumnya, baru kemudian ditunggu hingga mengembang dan kemudian dipanggang. Sedangkan untuk roti manis isi coklat kacang dan coklat susu, adonan roti dipipihkan terlebih dahulu dengan mesin pemipih adonan (dough sheeter) setelah dibulatkan baru kemudian dimasukkan isian kedalamnya, didiamkan sejenak hingga mengembang baru dipanggang.

Berbeda dengan roti tawar dan roti manis, roti donat tidak melalui tahap pemanggangan, tetapi setelah dibulatkan, adonan langsung dibentuk donat, didiamkan sejenak hingga mengembang baru kemudian digoreng. Setelah matang roti didiamkan beberapa saat hingga dingin baru kemudian dikemas dan siap untuk dipasarkan. Khusus untuk proses pengirisan (roti tawar) dan pengemasan roti menjadi tanggung jawab sales. Secara sederhana, proses pembuatan roti pada Galih Bakery tersaji pada Lampiran 1.


(48)

Galih Bakery mempunyai beberapa alat dan mesin yang digunakan untuk mendukung kegiatan produksi roti mereka. Alat dan mesin tersebut antara lain mesin pencampur (mixer), mesin penggulung (roti tawar), mesin press (roti manis), dan oven. Alat dan mesin yang dimiliki oleh Galih Bakery telah tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Alat dan Mesin Produksi Roti pada Galih Bakery

No. Keterangan Jumlah (Buah/ Set)

1. Mesin pencampur (mixer) besar 1

2. Mesin pencampur (mixer) kecil 1

3. Mesin penggiling adonan (dough moulder) 1

4. Mesin pemipih adonan (dough sheeter) 1

5. Meja make-up 2

6. Oven gas 2

7. Kompor 1

8. Timbangan 1

9. Wajan 3

10. Cetakan (tawar besar) 165

11. Cetakan (tawar kotak) 86

12. Cetakan (tawar bundar) 24

13. Loyang besar 8

14. Loyang sedang 30

15. Loyang kecil 22

16. Ember 2

17. Pisau pipih 2

4.3.3. Penjualan

Galih Bakery menjual roti yang diproduksinya melalui sales yang berjumlah 13 orang. Sales tersebut menjual roti disekitar wilayah Ciledug dengan menggunakan gerobak sepeda. Wilayah penjualan Galih Bakery antara lain Kreo, Taman Asri, Inpres, Cipadu, Deplu, Petukangan, Mencong, Gaga, dan Taman Safari. Secara rinci, wilayah penjualan roti Galih Bakery tersaji pada Tabel 9.


(49)

Tabel 9. Wilayah Penjualan Roti Galih Bakery

No. Nama Pedagang Wilayah Penjualan

1. Fakih Kreo

2. Iwan Taman Asri

3. Umar Inpres

4. Asep Cipadu

5. Karyat Deplu

6. Acang Petukangan

7. Uding Mencong

8. Among Deplu

9. Pipih Ciledug

10. Hanim Ciledug

11. Ukat Gaga

12. Jepri Taman Safari

13. Sanan Petukangan

Sistem penjualan yang dilakukan oleh Galih Bakery adalah sistem putus, artinya sales mendapatkan roti untuk dijual dengan cara membeli. Apabila roti tidak habis dijual, resiko tersebut ditanggung oleh pihak sales. Selain dijual keliling, Galih Bakery juga menerima pesanan roti baik dari perusahaan maupun dari perorangan, salah satunya dari RS. Pelni, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Galih Bakery mengirim ke RS. Pelni sebanyak 90 buah roti setiap seminggu sekali dan 1160 buah setiap sebulan sekali. Galih Bakery pernah membuka toko roti yang lokasinya berdekatan dengan tempat produksi, tetapi tidak berlangsung lama karena tingkat penjualan yang kurang bagus.


(50)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Galih Bakery 5.1.1. Pengendalian Mutu

Galih Bakery telah menetapkan atribut mutu roti mereka walaupun atribut mutu yang diterapkan belum sesuai dengan syarat mutu roti sesuai dengan Standar Industri Indonesia (SII). Standar Industri Indonesia (SII) mensyaratkan mutu roti dalam 8 (delapan) parameter, mulai dari kadar air, kadar abu, hingga kandungan bahan pengawet yang terdapat pada roti. Secara rinci syarat mutu roti berdasarkan SII tersaji pada Lampiran 6.

Galih Bakery menerapkan atribut mutu roti mereka berdasarkan 3 (tiga) aspek yaitu rasa, aroma, dan penampilan. Roti yang diproduksi Galih Bakery harus memiliki rasa yang enak, empuk dengan aroma yang wangi serta dilengkapi dengan penampilan yang menarik, misalnya warna roti harus coklat keemasan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengendalian mutu agar atribut mutu yang telah ditetapkan sebelumnya dapat terpenuhi.

Pengendalian mutu produksi merupakan suatu hal yang sangat penting demi menjaga keberhasilan pencapaian mutu sesuai standar perencanaannya, mencegah serta memperkecil kerusakan produk. Proses pengendalian mutu pada Galih Bakery terdiri dari tiga tahap. Tahap yang pertama yaitu pengendalian mutu bahan baku, tahap yang kedua yaitu pengendalian mutu proses, dan tahap yang terakhir adalah pengendalian mutu produk akhir.


(51)

5.1.1.1. Pengendalian Mutu Bahan Baku

Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan proses pembuatannya. Jika bahan baku yang digunakan mempunyai kualitas yang baik dan proses pembuatannya benar maka roti yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik pula. Jenis dan mutu produk bakeri sangat bervariasi tergantung jenis bahan-bahan dan formulasi yang digunakan dalam pembuatannya. Variasi produk ini diperlukan untuk memenuhi adanya variasi selera dan daya beli konsumen (Wahyudi, 2003: 1).

Bahan baku yang digunakan Galih Bakery untuk membuat roti terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu, bahan baku utama, bahan baku pembantu, dan bahan baku tambahan. Bahan baku utama yaitu tepung terigu, ragi, garam, dan air. Bahan baku pembantu yaitu mentega, gula, susu, telur. Sedangkan bahan baku tambahan yaitu, pengempuk, benzoat, dan bahan isian seperti meises, susu, nanas, kelapa, keju, pisang, dan pasta moka. Sebagian besar bahan baku kecuali pasta dan air diperoleh dari toko kelontong yang terletak di dekat lokasi usaha. Jarak lokasi usaha dengan toko kelontong lebih kurang 1 (satu) km.

Berbeda dengan bahan baku lainnya, pasta diperoleh dari pemasok yaitu CV. Lautan Aroma yang dikirimkan sebulan sekali (pasta pandan) dan seminggu sekali (pasta moka). Sedangkan air, berasal dari sumur pompa milik Galih Bakery. Biasanya bahan baku disiapkan satu hari sebelum atau pada hari proses produksi akan dimulai. Bahan baku yang digunakan oleh Galih Bakery telah tersaji pada Tabel 13.


(52)

Tabel 10. Bahan Baku Roti Galih Bakery

No. Bahan Baku Jumlah Pembelian

1 Tepung terigu 5 karung @ 25 kg/hari

2 Margarin 15 kg/hari

3 Ragi 1 kg/2 minggu

4 Garam 20 pak/2 minggu

5 Gula 20 kg/hari

6 Telur 1,5 kg/hari

7 Pengempuk 5 kg/bulan

8 Benzoat 1 kg/2 minggu

9 Susu 2 kg/ hari

10 Meises coklat 2 kg/ hari

11 Pasta pandan 5 kg/ bulan

12 Pasta moka 2 kg/ minggu

13 Butter 0,5 kg/2 hari

14 Spong 0,5 kg/2 hari

15 Coklat bubuk 1 kg/ minggu

16 Pisang 1 sisir/2 hari

Tidak ada perlakuan khusus yang diberlakukan terhadap bahan baku tersebut karena jumlah bahan baku yang digunakan disesuaikan dengan jumlah permintaan roti yang dipesan oleh pedagang. Bahan baku utama seperti tepung terigu habis dalam sekali proses produksi. Bahan baku yang tidak habis, seperti margarin, telur, ragi, garam, gula, pengempuk, susu, benzoat, dan bahan isian seperti meises, susu, nanas, kelapa, keju, pisang, dan pasta, disimpan untuk proses produksi selanjutnya.

Pengendalian mutu bahan baku hanya dilakukan pada saat pembelian, yaitu hanya menggunakan bahan baku yang sudah diketahui baik kualitasnya, seperti tepung terigu cap Cakra Kembar dan margarin merk Simas. Tepung terigu cap Cakra Kembar merupakan tepung kuat yang dibuat dari gandum keras, dan sering digunakan dalam pembuatan roti (Wahyudi, 2003: 14). Tepung terigu ini


(53)

diproduksi oleh PT. ISM Bogasari Flour Mills. Penyimpanan bahan baku yang tidak habis terpakai hanya disimpan di sudut ruangan, laci, maupun di bawah meja produksi. Penyimpanannya dilakukan secara berkelompok berdasarkan jenisnya yang sebelumnya telah dikemas menggunakan plastik.

Konsistensi dari penggunaan bahan baku yang sudah diketahui kualitasnya (bermerk), merupakan hal yang sangat mempengaruhi optimalnya pengendalian mutu bahan baku pada Galih Bakery. Oleh karena itu, Galih Bakery harus tetap mempergunakan bahan baku yang berkualitas seperti tepung terigu cap Cakra Kembar, margarin merk Simas, dan keju merk Kraft untuk menjaga kualitas roti yang dihasilkan karena kualitas bahan baku sangat mempengaruhi kualitas roti yang dihasilkan.

5.1.1.2. Pengendalian Mutu Selama Proses Produksi

Proses produksi roti yang dilakukan di Galih Bakery sebagian besar dilakukan oleh manusia (hand made) sehingga kebersihan tenaga kerjanya harus sangat diperhatikan. Proses produksi yang dilakukan dengan menggunakan tangan yaitu pencampuran awal, pembentukan (make up), pengirisan, pemolesan, dan pengemasan. Penggunaan mesin hanya dilakukan saat pencampuran bahan, penggulungan, pemipihan dan pemanggangan.

Galih Bakery belum mempunyai Standard Operational Procedure (SOP) maupun standar komposisi bahan baku yang digunakan untuk memproduksi roti. Oleh karena itu, pembagian tugas dan besaran komposisi bahan baku menjadi tanggung jawab manajer operasional yang juga merangkap sebagai kepala koki.


(54)

Pengendalian mutu pada proses produksi dimulai pada saat penentuan besaran komposisi bahan baku roti yang dilakukan dengan timbangan manual. Penentuan besaran komposisi bahan baku hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang yaitu kepala juru masak, apabila juru masak berhalangan kerja, penentuan bahan baku digantikan oleh karyawan lainnya. Tujuan penentuan besaran bahan baku untuk mencegah perubahan rasa dari roti yang dihasilkan. Pengendalian mutu yang dilakukan oleh juru masak juga terjadi pada saat pencampuran dengan menggunakan mixer. Juru masak menjaga adonan agar teraduk dengan kecepatan yang tetap dengan waktu yang tepat agar adonan menjadi kalis dengan sempurna. Pengendalian mutu selanjutnya dilakukan pada saat pembagian adonan untuk dimake-up. Pengendalian mutu pada tahap ini juga dilakukan oleh juru masak. Juru masak membagi adonan roti sesuai dengan peruntukkannya yaitu untuk roti tawar dan roti manis. Juru masak membagi adonan dengan menggunakan timbangan. Pembagian adonan dimaksudkan agar adonan dapat terbagi dengan berat yang tepat untuk menghasilkan bentuk yang sesuai dengan harapan perusahaan. Berat adonan roti tawar kecuali jenis roti tawar kotak yaitu 500 g, sedangkan roti tawar kotak 300 g. Berat adonan roti manis untuk semua jenis kecuali roti coklat yaitu sebesar 67 g, sedangkan roti coklat sebesar 70 g.

Tahap selanjutnya adalah pengendalian mutu pada saat fermentasi akhir. Adonan roti diletakkan pada rak susun dan dibiarkan beberapa saat (kurang lebih 1 jam) hingga adonan roti mengembang optimal. Apabila adonan roti terlalu mengembang maka bentuk roti yang dihasilkan kurang menarik.


(55)

Pengendalian mutu yang terakhir adalah pada saat pemanggangan adonan roti. Pemanggangan adonan roti dilakukan oleh karyawan bagian pemanggangan. Pemanggangan adonan roti dilakukan dengan cara menentukan suhu dan waktu yang tepat. Suhu yang digunakan untuk pemanggangan roti yaitu 340 0C dengan waktu pemanggangan 30 menit untuk roti tawar dan 15 menit untuk roti manis.

Selain itu, untuk menunjang pengendalian mutu pada proses produksi, kebersihan ruangan maupun alat produksi selalu dijaga dengan baik karena selalu dibersihkan setelah proses produksi selesai. Alat dan mesin yang telah selesai dipakai seperti mesin pencampur (mixer), mesin pemipih adonan (dough sheeter), mesin penggulung adonan (dough moulder), meja make-up, pisau, cetakan, dan loyang segera dibersihkan. Sedangkan lantai ruangan produksi dibersihkan dengan cara disapu dan dipel. Selain itu, selama proses produksi berlangsung, karyawan dilarang untuk merokok karena selain dapat mengotori tempat produksi, juga dapat mencemari adonan roti. Karyawan juga dilengkapi dengan celemek dan sarung tangan (karyawan pemanggangan) untuk membantu proses produksi.

Titik kritis yang mempengaruhi pengendalian mutu pada proses produksi yaitu pada saat penentuan besaran komposisi bahan baku, pembagian adonan, waktu fermentasi akhir, dan waktu pemanggangan. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi baik dari besaran komposisi bahan baku maupun adonan dan konsistensi waktu pada saat fermentasi akhir dan pemanggangan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Galih Bakery adalah dengan cara melakukan pendokumentasian terhadap standar yang telah ditetapkan pada masing-masing proses tersebut pada selembar kertas yang kemudian diletakkan ditempat yang


(1)

menempati urutan keempat, kelima, dan keenam dalam skala prioritas dengan nilai masing-masing 0.155, 0.122, dan 0.098. Urutan prioritas pada tingkat penyebab dapat dilihat secara rinci pada Tabel 16.

Tabel 14. Prioritas Pada Tingkat Penyebab

No. Faktor Penyebab Vektor

Prioritas Rating

1. Modal/ Dana 0.155 4

2. Komitmen 0.276 1

3. Informasi 0.122 5

4. Pengetahuan 0.166 3

5. Budaya 0.098 6

6. Awareness 0.183 2

Sumber: Data (diolah) dari Lampiran 4

Pimpinan Galih Bakery telah menunjukkan komitmennya terhadap mutu melalui upaya-upaya yang telah dilakukan perusahaan untuk perbaikan mutu. Upaya tersebut dimulai dengan melengkapi sarana dan prasarana produksi, merespon positif kritik dan saran dari konsumen, pelatihan bagi karyawan, hingga mengganti supplier pasta makanan karena kualitas pasta tidak sesuai dengan harapan perusahaan. Tetapi, upaya yang telah dilakukan selama ini masih kurang maksimal karena pimpinan Galih Bakery masih kurang melibatkan dirinya secara langsung dalam perbaikan kualitas tersebut.

Banyak pekerja ingin melakukan pekerjaan dengan baik, ingin hasilkan produk yang berkualitas, ingin memberikan pelayanan yang berkualitas, dan ingin menjadi bangga terhadap apa yang mereka kerjakan, tetapi “irama” harus ditentukan oleh pimpinan dalam perusahaan itu (Gaspersz, 2005: 13).


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab hasil dan pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan yaitu:

1. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery yang didasarkan atas unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu itu sendiri, yang terdiri dari

fokus pada pelanggan, obsesi terhadap kualitas, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan sistem secara berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan, kebebasan yang terkendali,

keatuan tim, serta keterlibatan dan pemberdayaan karyawan masih belum

sempurna. Hal ini dikarenakan unsur-unsur Manajemen Mutu Terpadu tersebut belum dilaksanakan secara optimal oleh Galih Bakery.

2a. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery ada 14 (empat belas) faktor. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan atau kelompok, yaitu: tingkat masalah, tingkat pelaku, dan tingkat penyebab. Tingkat masalah terdiri dari manajemen pemasaran, lingkungan usaha, manajemen produksi, evaluasi dan monitoring, serta sarana dan prasarana (teknologi). Tingkat pelaku terdiri dari pimpinan dan karyawan Galih Bakery, dan yang terakhir adalah tingkat penyebab yang terdiri dari modal/ dana, kompensasi, komitmen, informasi, pengetahuan, budaya, dan awareness (kesadaran).


(3)

2b. Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan software Expert Choice,

diperoleh bahwa lingkungan usaha menjadi faktor yang paling dominan pada kelompok masalah dengan nilai vektor prioritas sebesar 0.253, pimpinan menjadi faktor yang paling dominan pada kelompok pelaku dengan nilai vektor prioritas 0.750, dan komitmen yang menjadi faktor paling dominan yang mempengaruhi penerapan Manajemen Mutu Terpadu pada Galih Bakery dengan nilai vektor prioritas sebesar 0.276.

2. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diutarakan sebelumnya, penulis memberikan saran yaitu:

a. Manajemen Mutu Terpadu dapat diterapkan oleh Galih Bakery secara optimal apabila Galih Bakery mengoptimalkan sumberdaya yang ada. Sumberdaya tersebut seperti karyawan, sarana dan prasarana, budaya organisasi.

b. Galih Bakery harus menentukan terlebih dahulu konsumen untuk produk rotinya. Hal tersebut dilakukan agar Galih Bakery dapat menentukan mutu yang sesuai bagi konsumennya sehingga Galih Bakery dapat menetapkan harga jual yang sesuai dengan mutu yang ditawarkan. Pimpinan Galih Bakery juga harus lebih berperan aktif untuk menunjukkan komitmennya dalam hal mengutamakan kualitas sebagai daya saing usaha. Peran aktif tersebut dapat diwujudkan salah satunya dengan cara melibatkan diri dalam setiap upaya penciptaan, pengendalian, dan peningkatan kualitas.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. & Djoko Sudantoko. Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil

(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).

Ariani, D.W. Manajemen Kualitas: Pendekatan Sisi Kualitatif (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).

Assauri, S. Manajemen Pemasaran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007).

Astawan, M. Keunggulan Gizi Roti Dibanding Beras. 9 April, 2007: 1 hlm. http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-

indonesia@yahoogroups.com/msg00809.html, 16 Juli 2008, pk. 11.50 WIB.

Badria, L. Optimalisasi Produksi Roti di Ajimas Bakery, Jakarta [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian; 2005.

Faure, L.M. & Malcolm Munro Faure. Implementing Total Quality Management,

Menerapkan Manajemen Mutu Terpadu (Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo, 1996).

Feigenbaum, A.V. Kendali Mutu Terpadu (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992).

Gaspersz, V. ISO 9001: 2000 and Continual Quality Improvement (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).

. Total Quality Management (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2005).

Hadiwiardjo, B.H. dan Sulistijarningsih Wibisono. ISO 9000, Sistem Manajemen


(5)

Handoko, T.H. Dasar-Dasar Manajemen Produksi&Operasi (Yogyakarta: BPFE- Yogyakarta, 2000).

Kusumo, G. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2006-2007 (Jakarta: Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, 2008).

Kotler, P. & Kevin Lane Keller. Manajemen Pemasaran, Edisi 12, Jilid 1

(Jakarta: Indeks, 2007).

Lockyer, K., dkk. Seri Pedoman Manajemen, Manajemen Produksi dan Operasi

(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 1994).

Nasution, N. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005).

Nirang, Sylvia. Kajian Manajemen Mutu Susu Sapi Perah Pada Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Dati II Kab.

Bandung, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas

Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian; 1997.

Nur Laela, Siti. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu Pada Pasar Ikan Higienis, Pejompongan

[Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis; 2006.

Prawirosentono, S. Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, Total

Quality Management Abad 21, Studi Kasus & Analisis (Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2004).

Render, B. & Jay Heizer. Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi (Jakarta: Salemba Empat, 2001).

Saaty, T.L. Teknik Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1991).


(6)

Schroeder, R.G. Manajemen Operasi, Pengambilan Keputusan dalam Fungsi

Operasi, Edisi Ketiga, Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004).

Suwatno & Rasto. Manajemen Perusahaan, Suatu Pendekatan Operatif

dan Sistem Informasi (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, 2003).

Stevenson, W.J. Operations Management, 8th ed. (New York: McGraw-Hill/Irwin, 2005).

Tjiptono F. dan Anastasia Diana. Total Quality Management (TQM)-Edisi Revisi

(Yogyakarta: Andi, 2001).

Umar, H. Studi Kelayakan Bisnis, Teknik Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis

Secara Komprehensif (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005).

Wahyudi. Memproduksi Roti (Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah