Menelusuri Jejak Perkembangan dan Proble

Menelusuri Jejak Perkembangan dan Problematika Demokrasi
Oleh: Sutrisno, M.Si.*)
A. Prolog
Peradaban kontemporer pada dasarnya adalah kelahiran kembali suatu
peradaban karena kontribusi minoritas kreatif dalam merespon tantangan
lingkungan secara positif, demikian diungkapkan oleh Toynbee. 1 Demokrasi
sebagai sebuah konsep mengalami dialektika seiring dengan dinamika
intlektual dan perkembangan masyarakat. Demokrasi sebagai bangunan
peradaban lahir dan ditransmisikan melalui proses sosial dan kontribusi
sejumlah intlektual terkemuka. Gambaran ini tertuang dalam buku karya Leslie
Lipson, The Democratic Civilization (New York: Oxford University Press).
Perkembangan demokrasi secara spesifik tergambar pada bagian I dan II buku
tersebut. Bagian I The Criteria Of Democracy mengupas tentang Kriteria
demokrasi klasik dan modern (hal. 13-21). Bagian II The Democratic Society
membahas tentang Masyarakat Demokrasi, terutama dengan fokus kelebihan
dan kelemahan demokrasi. Secara lengkap pokok-pokok pemikiran tersebut
akan disajikan ulang. Kemudian, dalam kedudukannya sebagai bahan critical
review, tulisan Leslie Lipson ini akan dianalisis dari berbagai perspektif yang
relevan, dan diakhiri dengan kesimpulan (epilog).
Bagian I Kriteria Demokrasi
B. Tradisi Klasik

Kehadiran sebuah definisi di bagian awal kadang-kadang kurang berarti
ataupun tidak dibutuhkan di bagian akhir, sehingga dapat dihilangkan. Ini
sesuai dengan ungkapan Yunani Kuno “call no man happy until he is dead”
(tidak ada orang yang disebut bahagia hingga ajal menjemput), atau seorang
penulis mengingatkan dirinya sendiri dalam ungkapan “Define nothing, until
you have reached the last page” (Tidak ada definisi hingga anda menyelesaikan
halaman terakhir). Namun definisi dibutuhkan untuk suatu sketsa, suatu
*)

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI
Asumsi teoritis Toynbee ini dinamakan Teori Tantangan-Response (Challenge-response Theory),
dikutip dari Ahmad Suhelmy, Pemikiran Poltik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)
hal. 2
1

1

kerangka dasar atau seperangkat karakteristik. Ketika membahas demokrasi
yang dibutuhkan adalah suatu gagasan tentang arti demokrasi. Paling tidak
diawali dengan standar-standar yang plural, bukan tunggal karena demokrasi

adalah sesuatu yang kompleks yang tidak bisa direduksi dalam suatu prinsip
tunggal.
Masalah dalam bagian ini mudah dinyatakan tetapi sulit pecahkan.
Terdapat pertanyaan: apakah esensi dasar dari demokrasi? Cara terbaik untuk
menjawab pertanyaan ini adalah dengan memeriksa masyarakat yang
menganggap dirinya demokratis dan telah memperoleh pengakuan dari
masyarakat lainnya. Saat ini, cara terbaik untuk melacak praktik demokrasi
adalah dengan mempelajari catatan sejarah.
C. Rakyat Athena Kuno
Dasar-dasar demokrasi terbentuk di Yunani Kuno. Bukan hanya kata
demokrasi, tetapi sistem demokrasi juga terbangun di Yunani antara abad ke 6
hingga abad ke-4 sebelum masehi, terutama di Negara-Kota Athena. Tentu saja,
di negara-negara lain sebelum Athena terdapat demokrasi dengan ciri khasnya
sendiri. Hal itu karena di dalam politik tidak ada sesuatu yang sepenuhnya
baru. Praktik demokrasi di Athena selama dua setengah abad tersebut dianggap
lebih operasional dan membangun mesin demokrasi daripada yang terjadi di
negara lain sebelum abad ke-17 masehi.
Apa yang terjadi selama dua setengah abad mengenai demokrasi di
Athena sudah cukup untuk menggambarkan pemerintahan demokrasi
dibanding yang terjadi pada negara dan kota sebelum abad 17 Masehi. Prinsipprinsip dari masyarakat yang baik adalah hasil diskusi dari berbagai kelompok

masyarakat.
Hal yang terpenting adalah sebagian besar warga Athena (seniman,
intlektual, pemimpin politik, dan individu kreatif) terlibat aktif dalam
perdebatan mengenai prinsip-prinsip masyarakat ideal dan aplikasinya. Proses
diskusi yang berkelanjutan itu menjadi inti kehidupan politik Athena. Mereka
sangat sering berdiskusi, seperti layaknya dalam kehidupan politik Prancis
modern. Melalui diskusi ini terdapat usaha menggunakan logika untuk

2

mengatasi kebuntuan kebijakan dan kecerdasan untuk mengambil keputusan
praktis. Diskusi ini merupakan warisan budaya Athena kepada generasi penerus
hingga sekarang ini. Tidak ada pencapaian atas nama demokrasi sejak Abad Ke
Empat sebelum masehi yang tidak berutang utang kepada rakyat Athena. Oleh
karena itu, perhatian khusus perlu diberikan kepada para penulis Yunani kuno.
D. Analisis Demokrasi Di Athena
Cara untuk membahas demokrasi Athena adalah dengan mempelajari
gagasan dan penyelidikan sistematis para filsuf Yunani abad ke-4 sebelum
masehi. Karya Plato dan Aristoteles mengambil manfaat dari observasi yang
dilakukan oleh Herodotus dan Thucydides. Herodotus fokus pada tiga bentuk

pemerintahan dengan bersandar pada pertanyaan: berapa banyak lembaga yang
harus memegang kedaulatan? Herodotus memberikan beberapa jawaban, yaitu
bisa tunggal, beberapa atau banyak pihak. Kemudian masing-masing disebut
monarki, aristokrasi dan demokrasi. Dalam pembahasan mengenai demokrasi
diidentifikasi tiga prinsip, yaitu: persamaan dalam penerapan hukum;
partisipasi warga negara dalam administrasi dan pembuatan hukum; persamaan
(kebebasan) berpendapat. Herodotus adalah intelektual Yunani yang secara
jelas memberikan pendapat tentang bentuk pemerintahan demokratis.
Ilmuwan lainnya adalah Thucydides yang merupakan ahli sejarah
Perang Pelonnesia (431-404 s.m.), perang sengit antara Athena dan Sparta.
Catatan sejarahnya menggambarkan penurunan atas pencapaian demokrasi
gemilang Athena. Pujian terhadap esensi demokrasi dapat kita jumpai dalam
laporan Thucydides tentang ucapan seorang negarawan besar Athena abad 431
s.m., Pericles. Pericles mengidntifikasi demokrasi sebagai pemerintahan oleh
banyak pihak bukan beberapa. Dalam ranah privat, hukum berlaku sama untuk
semua orang. Namun dalam urusan negara, tidak peduli seberapa miskin
seseorang, sepanjang dia memiliki kontribusi untuk kota, maka partisipasinya
tidak dapat dilarang. Kami mengatur urusan publik dalam semangat manusia
bebas, demikian seru Pericles2.


2

Kutipan aslinya, “We govern our common affairs in the spirit of free men”. Hal. 15

3

Setelah Pricles meningal dunia, kepemimpinan Athena mengalami
penurunan drastis menuju level terendah dari segi bakat dan karakter.
Akhirnya, keutamaan Athena dihancurkan oleh kecamuk perang. Kehancuran
Athena lebih banyak disebabkan karena kesalahan sendiri daripada keutamaan
musuh. Kondisi itu kadang dijadikan alasan untuk menggambarkan demokrasi
Athena. Konsep demokrasi sebagai dokumen juga dicela pada era tersebut.
Kritikan lengkap atas demokrasi tersebut diberikan oleh filsuf besar Plato.
Asumsi filsafat politik Plato sederhana tetapi penting. Plato
mengungkapkan, “apakah lebih baik kita memiliki musuh jahat yang tangguh
di kota yang mempersatukan kita? Ataukah orang baik yang membuat kita
bersatu? Bukan, itu bukan pilihan kita.” Di dalam demokrasi, kondisi yang
mempersatukan bukanlah dicapai dengan cara demikian, tetapi pada prinsipnya
bersandar pada sistem. Sebagai contoh, pada demokrasi yang berpusat pada
kebebasan ala Plato, merupakan serangkaian konsekuensi yang tidak

diinginkan. Plato berargumentasi bahwa semua kebebasan itu terdiri dari
berbagai jenis pola kepribadian yang berkembang. Keragaman ini, atau variasi,
dan pembagian akan tampak jelas dalam politik, dengan hasil bahwa persatuan
tidak akan pernah tercapai.
Plato menambahkan bahwa demokrasi terpengaruh dengan penyakit
kesetaraan. Prinsip-prinsip kesetaraan berarti bahwa masyarakat miskin akan
membunuh beberapa orang kaya dan mengusir orang lain. Kondisi tersebut
menunjukkan suatu anarki atau dengan kata lain ketiadatertiban. Akibatnya
akan membuat kecenderungan untuk memilih Tiran. Padahal dalam catatan
sejarah, pemberontakan melawan oligarki kaya, biasanya didahului tirani,
daripada pengenalan demokrasi.
Plato menerima klasifikasi pemerintahan Heroditus yang terdiri dari
Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi. Aristotoles sebagai murid Plato
melengkapi gagasan tersebut dengan secara lebih rinci menyebutkan 6
klasifikasi sistem politik dan deviasinya. Monarki, Aristokrasi dan Polity atau
pemerintahan yang menegakkan konstitusi. Gagasan aristoteles ini bila
dibuat formulasinya, maka akan tergambar sebagai berikut:

Kategori pemimpin
Dipimpin satu orang


Bentuk dasar
Monarki

Deviasi
Tirani
4

Dipimpin beberapa orang
Dipimpin banyak orang

Aristokrasi
Polity

Oligarki
Demokrasi

Bagi Aristoteles, demokrasi adalah bentuk deviasi dari polity.
Kelompok penguasa menurut Aristoteles adalah rakyat miskin. Dengan
alasan jumlah mereka banyak. Ini menunjukkan bahwa demokrasi

berbeda dengan oligarki. Rakyat miskin memiliki sejumlah keutamaan,
antara lain: persamaan, kebebasan dan aturan mayoritas. Dengan
mendasarkan pada konteks sosial, sistem pemerintahan dan filsafat,
maka dapat diidentifikasi kriteria demokrasi yang berlaku di Yunani
Kuno sebagai berikut:

Konteks sosial

Sistem
Pemerintahan

Cita-cita
filosofis

 Aturan oleh Masyarakat Miskin
 Eksploitasi kaya
 Penghapusan perbudakan utang dan kualifikasi properti
untuk jabatan politik
 Peluang untuk bakat individu, tanpa memperhatikan status
keluarga, atau kekayaan.

 Musyawarah umum dan keputusan oleh semua warga
negara, sehingga kekuasaan mayoritas
 Mayoritas kantor diisi oleh banyak, atau secara kebetulan
 Semua pejabat bertanggung jawab
 juri warga Besar
 Kesetaraan
 Kesetaraan (kebebasan) berbicara; dipandang negatif
sebagai dominasi ketidaktahuan
 Kebebasan dan kemampuan beradaptasi, dipandang negatif
sebagai kebebasan yang berlebihan dan gangguan,
 Ketaatan kepada otoritas hukum dan pejabat publik
 Partisipasi terus menerus dalam kegiatan sipil

E. Demokrasi Oleh Hobbes dan Rousseau
Teori demokrasi Athena lebih terfokus pada konsep ideal bagaimana
menjadi demokrasi, tidak tertuju pada keadaan tertentu. Namun kondisi itu
berguna dalam memperluas teori demokrasi. Perubahan konsep demokrasi
terlihat 2000 tahun kemudian dengan hadirnya pemikir Inggris Thomas Hobbes
dan Filsuf Prancis Rousseau. Hobbes menyumbangkan pemikirannya tentang
demokrasi melalui sebuah buku Leviatan. Hobbes masih teerpengaruh dengan

konsep Yunani Kuno membuat klasifikasi tentang cabang-cabang keuasaan,

5

antara lain raja, parlemen dan warga negara. Kedaulatan yang dipegang oleh
warga negara disebut demokrasi. Ide ini kemudian diikuti oleh John Locke dan
Montesqueau.
Agak berbeda dengan Hobbes, Rousseau mendefinisikan demokrasi
sebagai kondisi dimana rakyat memerintah melalui wakil-wakilnya. Dia
berkesimpulan bahwa rakyat berkuasa atas dirinya sendiri. James Madison
perumus Konstitusi Amerika 1787, sebagaimana Rousseau memperkenalkan
istilah demokrasi dan republik. Demokrasi adalah pemerintahan secara
langsung, sementara republik adalah pemerintahan dengan sistem perwakilan.
Demokrasi berlaku pada area yang sempit, sementara republik berlaku untuk
area yang luas.
F. Kelahiran Kembali Modernitas
Hadirnya

revolusi Amerika dan Perancis di pengujung abad ke-18


menjadikan definis dan interprestasi demokrasi pada waktu sebelumnya
kehilangan makna. Dua peristiwa itu memberikan semangat dan vitalitas
makna demokrasi. Dengan landasan filsafat baru, esensi demokrasi hadir dalam
pertanyaan: bagaimana dan dari mana memulainya?
G. Otoritas Individu
Antara abad ke 17-20 tidak ada filsuf yang secara khusus
mengidentifikasi mengenai demokrasi. Salah satu poin pentingnya adalah
mengenai otoritas individu. Pokok analsisinya adalah: (1) persatuan
masyarakat berisi individu-individu, (2) indivudu menciptakan masyarakat
secara bersama-sama. Kedua hal itu menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Dalam era Yunani Kuno, individu adalah bagian dari masyarakat, tidak
dipertentangkan. Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa masyarakat adalah
unit, dasarnya adalah warga bukan individu.
Pengaruh kejayaan Yunani Kuno, masih terasa di Eropa dengan
menempatkan komunitas lebih penting daripada individu. Imperium Roma,
Gereja Kristen dan penyebaran feodalisme menunjukkan hal itu. Partisipasi
individu di bidang politik dan hukum sangat terbatas. Feodalisme menjadikan

6

tuan tanah sebagai penentu kebijakan. Era ini berlalau dengan berkembangnya
nasionalisme, perubahan teknologi dan perubahan metode kerja serta
persaingan agama dan aristokrasi. Kondisi ini mendorong kewenangan
menyampaikan protes. Inilah titik tolak kewenangan individu memilih
pangeran atau ratu.
H. Individu Dalam Teori Hobbes Dan Rousseau
Hobbes berpandangan bahwa diperlukan aturan yang ketat untuk
melindungi warga negara. Asumsinya, pemerintah akan mampu melindungi
warganya apabila pemerintah dipatuhi warganya, tetapi individu hilang dalam
kepatuhan. Pertanyaannya adalah siapa yang mampu memberikan perlindungan
secara memadai? Kesimpulannya adalah individu sebagai warga negara. Teori
Hobbes, dimulai dengan kebutuhan untuk mengontrol warga negara dan
diakhiri dengan penilaian kelayakan pemerintah.
Berbeda dengan Hobbes, Rousseau berpendapat bahwa partisipasi
langsung di era baru dengan cakupan bangsa yang besar mustahil melakukan
partisipasi

langsung.

Solusinya

adalah

membangun

lembaga-lembaga

demokrasi. Hal itu berkaitan dengan karakteristik abad ke-19 dan 20 yang
ditandai dengan kondisi perubahan masyarakat. Perubahan itu sistemik,
beragam, cepat dimulai dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Terjadi pergulatan
ideologi,

liberalisme

berhadapan

dengan

konservatisme,

kapitalisme

berhadapan dengan sosialisme, imperalisme diserang nasionalisme, dan
nasionalisme oleh internasionalisme. Tema sentral filsafat politik adalah
kedudukan individu

di masyarakat, dan hubungan individu dengan

pemerintahnya dan pemerintah negara lain, juga fungsi pemerintah dalam
memperjuangkan kepentingan umum.
I. Demokrasi, Liberalisme dan Nasionalisme
Pada abad ke-19 terdapat banyak pertimbangan untuk membangun
pemerintahan antara demokrasi dengan oligarki, antara kebebasan dan
kesetaraan. Gerakan liberalisme dan demokrasi lebih terfokus pada kebebasan.
Kebebasan dalam realitanya memberikan ruang untuk kontroversi dan

7

kompetisi. Konsekuansinya adalah munculnya pemerang dan yang kalah.
Dalam pandangan ekonomi klasik, kebasan ini akan menghadirkan perluasan
produktivitas. Demokrasi mempengaruhi munculnya gagasan nasionalisme.
Dengan melihat dunia luar, maka akan terasa sentarlisasi kekuasaan nasional.
Kolonalisme tidak menjamin kebebasan. Oleh karena itu muncul gagasan
untuk memerdekaan diri.
Bagian II Masyarakat Demokrasi
J. Kelemahan dan Kelebihan Demokrasi
Demokrasi adalah salah satu konsep penting dalam sistem politik.
Untuk memahami demokrasi, diperlukan pembelajaran terhadap konsep dan
lembaga-lembaga demokrasi yang sudah lama terbangun. Hal itu dibutuhkan
untuk memperoleh gambaran utuh mengenai sejarah aktual pencapaian dan
kemunduran demokrasi. Pada bagian berikut ini akan diuaraikan mengenai
lingkungan sosial negara demokrasi.
K. Dari Revolusi Menuju Evolusi
Dalam demokrasi modern, revolusi yang mengandung kekerasan tidak
dibutuhkan, karena perubahan sudah diatur secara konstitusional. Perubahan
secara damai terakomodasi dalam sistem demokrasi. Kebutuhan para intlektual
terwadahi di dalamnya. Hal itu dibuktikan pada Yunani Kuno era Solon, atau
pada abad ke-17 dan 18 saat Belanda melawan Spanyol, Perang Sipil di
Inggris, Perang Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis. Hanya dengan
tegaknya prinsip-prinsip demokrasi, maka kekerasan dapat dikurangi. Ciri khas
dari demokrasi adalah partisipasi massa di bidang politik. Dimulai pada abad
ke 19 hingga 20 baik pria maupun wanita dewasa memiliki suara yang sama.
L. Perubahan Bertahap Inggris Sebagai Contoh
Britania Raya adalah contoh yang tepat untuk perubahan bertahap dan
aktual dari kerajaan absolut menjadi aristokrasi dan berubah demokrasi massa.
Menurut catatan Sir Lewis Namier, pada tahun 1761 hanya tercatat 245 orang
Ingris yang memiliki suara untuk memilih Majelis Rendah. Perubahan sosial

8

tepatnya liberalisme dan demokrasi pada abad ke-18 Inggris telah berubah
menjadi demokrasi massa. Terjadi tiga kali perubahan undang-undang (1832,
1867, 1884) yang memberikan kewenangan memilih bagi laki-laki dewasa.
Dua undang-undang lagi (1867 dan 1884) memperluas hak pilih bagi warga
dewasa Inggris. Ini menggambarkan perkembangan demokrasi di Inggris.
M. Demokrasi Sebagai Suatu Phenomena
Kecenderungan demokrasi massa di Eropa Kontinental marak sejak
berakhirnya perang Napoleon 1815 dan Perang Dunia I. Hal itu dikarenakan
perbedaan sistem sosial dan konstitusi tiap-tiap negara. Amerika adalah contoh
keberhasilan penerapan demokrasi yang dapat bertahan hingga hari ini.
Demokrasi di Amerika diawali dengan revolusi yang kemudian diikuti oleh
evolusi politik secara gradual. Adopsi institusi baru dan prosedurnya,
penerimaan terhadap kelompok baru dan kelas-kelas dalam masyarakat
berhasil dilakukan dengan perlahan dan terencana.
N. Keterkaitan Demokrasi dengan Imperialisme

Fakta sosial lain yang perlu diingat adalah hubungan dekat antara
demokrasi dan imperalisme setidaknya hingga Perang Dunia II, antara
demokrasi internal dan imperlaisme eksternal. Imperialisme telah menjajah
teritori dan penduduknya dengan aturan sendiri. Hal itu berbeda dengan aturan
dan kebebasan pemerintahannya sendiri. Sebagai suatu indikator hubungan
antara demokrasi dan imperialisme ditunjukkan antara lain oleh Belgia,
Perancis, Inggris dan Belanda.
O. Survey Demokrasi Pada Tahun 1939
Ketika Jerman menyerbu Polandia pada tahun 1939 dan dibandingkan
dengan periode 1960, pada tahun 1939 terdapat beberapa pemerintah yang
menerapkan demokrasi:
1.

di Amerika Utara

: Canada dan Amerika Serikat

2.

di Amerika Tengah dan Selatan

: Costa Rica

3.

di Eropa

: Belgia, Ireland, Perancis, Inggris,

9

Belanda, Norwegia, Swedia dan
Swiss
4.
P.

Asia dan Afrika

: Tidak ada

Perkiraan Kontemporer
Terdapat dua perbedaan mendasar sistem politik hari ini dan dan 30
tahun lalu. Pertama, terjadi peningkatan jumlah negara yang diperintah oleh
partai Komunis Eropa Timur dan Asia Timur. Tidak satupun negara-negara
tersebut yang menggambarkan secara absolut hilangnya demokrasi, kecuali
Cekoslovakia yang kurang beruntung mendapat serangan bertubi-tubi dari
Hitler pada 1938-39 dan Uni Soviet pada 1948 dan 1949. Kedua, beberapa
negara lembaga demokrasinya masih lemah. Negara-negara baru dia Asia dan
Afrika banyak yang melakukan pembenahan internal berhadapan dengan
kekuatan tradisional, biasanya menggunakan metode otoriter.

Q. Lingkungan Sosial dari Sistem Politik
Sebuah sistem politik tidak akan demokratis bila karakter tatanan
sosialnya tidak mendukung. Terdapat tiga karakteristik dasar yang berkaitan
dengan demokraisi. Pertama adalah rakyat yang menyangkut ras, agama,
bahasa yang harus diperhitungkan. Kedua adalah masyarakat yang
terorganisasi yang menyangkut masalah geografi. Ketiga adalah situasi
ekonomi menyangkut ketersediaan sumber daya alam dan teknologi.
Perpaduan masing-masing karakter berbeda untuk tiap-tiap negara.
Bagian III
Q. Analisis
Koeksistensi manusia sebagai insan politik dalam sebuah negara bangsa
dimaksudkan untuk mencapai kebaikan bersama (bonum comune). Dengan
kata lain, setiap sistem politik memiliki deskripsi yang meyakinkan mengenai
negara dan masyarakat yang terbaik (the best regime). Rejim terbaik dapat
diartikan sebagai keseluruhan tata masyarakat, politik, ekonomi dan sosial

10

budaya, yang dianggap terbaik bagi negara bangsa. 3Dalam konteks
pembahasan ini kita kembali kepada pertanyaan dasar yang hendak dijawab
oleh Leslie Lipson, yaitu: apakah esensi dasar dari demokrasi? Pada bagian
berikutnya, Lipson berkesimpulan bahwa demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan yang dapat meningkatkan martabat manusia, menjamin
keberlanjutan pendidikan kewargaan dan membantu manusia menjadi lebih
beradab. Berikut kutipan lengkapnya:
Finally, there strong argument in favor of democracy: it is form of
goverments that has a claim to our allegiance for the reasons that it
heightens human dignity, supplies a continuing civic education and, by
that education helps humanity in becoming more civilezed.4
Persoalannya apakah demokrasi ini merupakan rejim terbaik yang
berlaku universal untuk semua masyarakat? Lipson menjawab tidak, dengan
mengajukan

tiga

variabel

lingkungan

demokrasi.

Namun

Lipson

menggambarkan optimisme demokrasi dalam membangun masyarakat.
Padahal, dalam perspektif postmarxis-Postmodern Ernesto Laclau dan Cantal
Mouffe, demokrasi liberal dianggap gagal dalam memahami realitas sosial
politik yang plural dalam masyarakat kontemporer. Demokrasi liberal bersifat
paradoks, yaitu di satu sisi memperjuangkan persamaan dan keadilan, namun
di sisi lain mengeklusi nilai-nilai plural dalam artikulasi politik. Kebijakankebijakan politik liberal belum spenuhnya menjamin persamaan politik bagi
kelompok-kelompok minoritas.5 Untuk itu, Will Kymlica menawarkan
gagasan tentang politik multikulturalisme. Hadirnya partai lokal Aceh,
misalnya perlu dikaji dalam konteks ini, ataupun juga tentang substitusi
perwakilan golongan dengan DPD di legislatif.
Dalam melihat perkembangan demokrasi Huntington berbeda dengan
Lipson. Huntington mempercayai bahwa demokrasi akan menyebar ke
seluruh dunia melalui proses ‘gelombang demokratisasi’. Gelombang
pertama, masa revolusi Perancis dan Revolusi Amerika 1928. Gelombang
3

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992) hal.
23-24
4
Leslie Lipson hal. 249
5
Boni Hargens, Demokrasi Radikal, Memahami Paradoks Demokrasi Modern Dalam Perspektif
Postmarxis-Post Dalam perspektif postmarxis-Postmodern Ernesto Laclau dan Cantal Mouffe
(Jakarta: Parrhesia, 2006), hal. 7

11

Kedua, terjadi sekitar masa perang Dunia II. Gelombang Ketiga, diawali
dengan runtuhnya kediktatoran Portugis tahun 1974 melalui ‘Revolusi Bunga’
yang kemudian diikuti negara di Eropa, Asia dan Amerika Latin.6
Namun Lipson dan Huntington memiliki persamaan, yaitu demokrasi
berkembang menurut alur sejarah dan memiliki sumber yang tunggal, yaitu
demokrasi liberal. Lipson mengajak mempelajari esensi demokrasi dengan
pelacakan sejarah. Kalau kita lacak dalam kenyataan sejarah Indonesia,
demokrasi Liberal ini tidak populer dan diidentikkan dengan Kapitalisme
yang tidak terkendali.7Selo Sumarjan, memberikan gambaran yang spesifik
tentang penolakan masyarakat atas demokrasi liberal karena dianggap tidak
sesuai dengan konteks kebudayaan juga pendidikan masyarakat. Mereka sulit
menyesuaikan diri dengan pemerintahan kolektif yang anggota-anggotanya
adalah wakil-wakil dari partai-partai. Partai-partai yang ada saat itu justru
menjadi sumber pertikaian. Sebab itu, masyarakat lebih mudah menerima
demokrasi terpimpin.8
Dengan menggunakan analisis Huntington, kita akan memahami tulisan
Lipson. Huntington juga percaya tentang pentingnya agen dalam setiap
transisi menuju demokrasi: "demokrasi diciptakan bukan oleh sebab (causes),
tetapi oleh causers (agen)". Bagi Huntington transisi demokrasi didasarkan
pada pilihan elit, persepsi, keyakinan dan tindakan, sementara konsolidasi
berikutnya didasarkan pada pakta elit dan konsensus.9 Ini pada akhirnya
membenarkan tesis bahwa demokrasi penuh dengan kontradiksi. Pertama,
keterlibatan elit akan memudahkan terjadinya oligarki (sebagian mewakili
semua). Kedua, adanya sumber-sumber kekuasaan menjadikan distrisbusi
kekuasaan yang tidak merata Michael Parenti menyebutnya Power dan
Powerless. Sumber keuasaan berasal dari kekayaan, kemakmuran, prestise
sosial,

legitimasi

sosial,

jumlah

pengikut,

pengetahuan,

kecakapan

6

Samuel P. Huntington, The Third Wave, Democratization in The Last Twetieth Century (Norman
dan London: University of Oklohama Press, 1991) hal. 3-30
7
Herberth Feith dan Lance Catles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3S,
1988) hal. 227
8
Selo Sumardjan, “Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan” dalam Herberth Feith dan
Lance Catles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3S, 1988) hal. 114
9
Samuel P. Huntington, “Democracy Third Wave” dalam The Journal Of Democracy, 1991, 2 (2),
hal. 107

12

memimpin, kontrol informasi, penguasaan teknologi, dan kemampuan
menggunakan kekuatan dan kekerasan. Jelas sumber-sumber ini dimiliki
elit.10Artinya terdapat peluang demokrasi menjadi elitis.
Dalam konteks itu, demokrasi sebagai suatu sistem tidak serta merta
menjamin kesetaraan dalam segala bidang. Hal itu dikarenakan pluralitas
merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihilangkan. Masalah lainnya
adalah bagaimana demokrasi mengelola pluralitas? Sejarah mencatat bahwa
tidak ada jaminan bahwa lembaga-lembaga demokrasi mampu menjamin
antagonisme (enemy relation) menjadi agonisme (friendly relation) dalam
masyarakat yang plural, sejarah Indonesia melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
telah membuktikan itu. DPR dan Dewan Konstituante sebagai lembaga
demokratis yang dipilih melalui Pemilu 1955, akhirnya kandas di tangan
pemilik power yaitu Sukarno. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa asumsi
teori modernisasi yang menyatakan negara hanyalah pelaksana dari
kepentingan warganya tidaklah benar.
Dengan memperlajari karya Lipson dan realitas demokrasi dalam
konteks kekinian, kiranya perlu diberikan beberapa catatan tambahan.
Pertama, demokrasi harus dilembagakan dalam konteks rejim terbaik dan
nilai-nilai kultural masyarakat yang bersangkutan. Ini dibutuhkan untuk
menjamin suksesnya konsolidasi demokrasi, sehingga sejarah demokrasi
dalam membangun peradaban berkembang dengan konteks kesejarahan,
filosofi, sosiologis dan psikologis yang bervariasi. Kedua, demokrasi sangat
rentan terhadap oligarki, karena itu ketergantungan massa terhadap elit harus
dalam hubugan simbiosis mutualisme. Konsep yang paling tepat adalah
masyarakat madani. Kondisi ini mensyaratkan adanya pendidikan politik
yang berkelanjutan. Ketiga, demokrasi meniscayakan partisipasi dan kontrol
masyarakat. Oleh karena itu perluasan partisipasi masyarakat melalui
infrasturktur politik perlu diupayakan hingga ke tingkat partisipan dalam level
budaya politik.
Tambahan catatan di atas dimaksudkan untuk mendukung pandangan
Lipson bahwa demokrasi adalah sistem terbaik untuk membangun peradaban
10

Micahel Parenti, “Power and Powerless” dalam Philip Green (Eds.), Key Concept in Critical
Theory Democracy (New Jersey: Humanities Press, 1993) hal. 185

13

manusia. Esensi peradaban adalah relasi manusia yang setara dan berkeadilan
sosial sebagai anak tangga mencapai kebahagiaan hidup. Sekalipun dalam
kebijaksanaan Yunani kebahagiaan itu ada setelah manusia meninggal, paling
perlu diupayakan secara dinamis dan dialektis. Setelah 49 tahun karya Lipson
ini, paling tidak telah terjadi banyak perubahan di bidang sosial dan politik.
Demokrasi perlu diberikan definisi baru dan indikator-indikatornya perlu
dirumuskan supaya menjadi lebih jelas dan terukur.
R. Epilog
Pelajaran dari penelusuran sejarah tentang demokrasi Lipson, ini
memberikan suatu ilham bahwa tidak ada suatu konsep yang paripurna.
Hanya saja dunia Barat dimulai dari Yunani memiliki keberanian menerapkan
ide dan gagasan mereka tentang masyarakat terbaik ke dalam tingkatan
realitas. Dalam konteks Indonesia, konsesus nasional Indonesia tentang
demokrasi Pancasila perlu direvitalisasi terus menerus secara lebih
operasional. Misalnya ide tentang persatuan, harus diterjemahkan dalam
kebijakan politik untuk mengelola perbedaan dalam membangun kesetaraan
dan keadilan sosial.

Daftar Pustaka
A. Utama

14

Lipson, Leslie. 19664. The Democratic Civilization. New York: Oxford
University Press.
B. Pendukung
Hargens, Boni. 2006. Demokrasi Radikal, Memahami Paradoks Demokrasi
Modern Dalam Perspektif Postmarxis-Post Dalam perspektif
postmarxis-Postmodern Ernesto Laclau dan Cantal Mouffe. Jakarta:
Parrhesia.
Herberth Feith dan Lance Catles (Ed.). 1988. Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965. Jakarta: LP3S.
Huntington, Samuel P. 1991. “Democracy Third Wave” dalam The Journal
Of Democracy, 2 (2), hal. 107
Huntington, Samuel P. 1991. The Third Wave, Democratization in The Last
Twetieth Century. Norman dan London: University of Oklohama
Press.
Parenti, Micahel. 1933. “Power and Powerless” dalam Philip Green (Eds.),
Key Concept in Critical Theory Democracy. New Jersey: Humanities
Press.
Suhelmy, Ahmad. 2007. Pemikiran Poltik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Sumardjan, Selo. 1988. “Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan”
dalam Herberth Feith dan Lance Catles (Ed.). 1988. Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3S.
Surbakti, Ramlan. 1992.

Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia.

15