KONTESTASI MENGELOLA MEMORI internal dan

KONTESTASI MENGELOLA MEMORI
Catatan Aprinus Salam
Apa yang bisa kita lakukan, setelah sekian banyak peristiwa yang kita alami ternyata
masih mengganggu ingatan kita? Ingatan terhadap kisah sedih atau gembira, yang
membuat hati ngilu ataupun bergelora. Berbagai ingatan bertumpang tindih, bersaingan
merebut perhatian.
Kita pun merasakan, masa lalu terpecah dan terfragmentasi dalam berbagai kepentingan
dan saluran sejarah yang berbeda? Masa lalu yang berdarah, gelap, dan menggairahkan.
Masa lalu yang juga selalu memesona.
Maka yang terjadi adalah hari-hari ini kita menjalani hidup dengan perasaan bersalah,
penuh prasangka, niat-niat yang tak jelas sosoknya, termenung di kesunyian, atau bahkan
di keramaian. Pun sangat mungkin niat-niat mulia.
Itulah sebabnya, tak salah jika hal lain yang bisa kita lakukan adalah mengelola memori
tentang masa lalu itu sendiri. Bercerita kepada teman, sambil menikmati hari-hari
menjelang, sambil menikmati retorika kita masing-masing.
Joko Santoso, mengadaptasi puisi Rendra Maria Zaitun , er erita tentang seorang gadis
keturunan Cina Lin Ling, yang kemudian mengubah nama populernya menjadi Maria
Zaitun. Seorang gadis, anak manusia dan kemanusiaan kita bersama, yang terpaksa
mengalami hidup nista karena peristiwa Mei 1998.
Kita tahu, kisah apapun seperti yang dialami Maria Zaitun, kita sedih, kita marah, kita
kecewa, kita sakit hati.

Kemudian, dalam profesi yang berbeda-beda, setiap orang mengambil peran bagaimana
mengelola itu semua. Sebagai seorang sastrawan, Joko Santoso bercerita ulang tentang
itu, bukan dengan maksud menggaruk-garuk luka lama, tetapi lebih dimaksudkan sebagai
satu upaya rekonsiliasi terhadap momori dan masa lalu.
Persoalannya adalah rekonsiliasi apa yang ditawarkan oleh Joko Santoso dengan Maria
Zaitunnya?
Nah, dalam konteks ini saya akan memetakan beberapa kecenderungan.
Ahmad Tohari, seorang kiyai yang sholeh, dalam beberapa novelnya, seperti Trilogi
Dukuh Paruk, melihat masa lalu sebagai suatu yang kelam, nista, lugu, dan berbahaya.
Ingatan itu dibenamkan ke tokoh Rasus, sebagai seorang teman sejiwa Srintil. Dalam
beban psikologis itu, ia merangkakkan hidupnya ke depan.
Siapa yang mengatur hidup Rasus atau Srintil? Ini bukan soal cerita, bukan soal skenario.
Ini soal keyakinan. Ketika hidup dijahati, ketika alam dipecundangi, maka hidup dan alam

akan goncang. Dalam kegoncangan itu, dalam batas tertentu yang kita tidak tahu, ia akan
menuntut keseimbangan.

Dalam cara yang sedikit berbeda, Umar Kayam, seorang Guru Besar, bersama Para
Priyayi dan Sumarah Bawuk, ditemani ingatan yang bergentayangan tentang masa lalu,
memilih melembutkan masa lalu dengan perasaan-perasaan berterimakasih atas

kebaikan alam dan kehidupan itu sendiri. Pesan itu, Kayam titipkan kepada kisah hidup
Lantip, bahwa kesederhanaan hidup lambat laun bisa melenturkan dan membantu
terciptanya keseimbangan kehidupan. Tentu itu sebuah sikap dan pilihan hidup yang
berat karena harus menyangga struktur kuasa dan hasrat kemanusiaan yang timpang.
Beberapa novel Kutowijoyo, seorang yang sangat relijius dan sekaligus akademis, juga
demikian. Baik dalam Pasar, Mantra Pejinak Ular, maupun Wasripin dan Sakinah,
Kuntowijoyo memilih sudut pandang ceritanya berdasarkan orang-orang yang sadar akan
kekuatan harmonisasi alam semesta. Orang bersahaja, tanpa mimpi duniawi, harus ada
karena ada orang jahat yang celaka dan mencelakai.
Dengan posisi yang berbeda, sebagai seorang mistikus Jawa , Joko Santoso memilih
rekonsilisasi momori terhadap masa lalu dengan cara-cara yang popular. Artinya, dengan
takaran kesastraan yang sedikit longgar, kisa Maria Zaitun adalah kisah wanita moncer,
timbul tenggelam dalam kubang dan gemerlap duniawi.
Maria Zaitun adalah satu aspek simbolik bagaimana seseorang teguh dalam kepahitan
hidupnya, dalam sumpah serapah yang dialaminya, dan dia kukuh dalam penderitaan itu.
Hal itu hanya dimungkinkan karena Zaitun alias Ling Ling berkeyakinan bahwa toh suatu
ketika ia akan fana, bahwa hidup ini fana. Persoalannya adalah bagaimana seseorang
menjalani kefanaan itu.
Tentu selalu ada persaingan dalam mengelola memori dan masa lalu. Berbagai berita di
media massa kadang terlalu mengompori kita untuk memperbarui dendam-dendam dan

prasangka. Maka kehadian novel seperti yang ditulis oleh Joko Santoso ini menjadi sangat
penting, karena ia berusaha memadamkan atau menimal menyejukkan kompor-kompor
tersebut.
Sayang, dalam kontestasi tadi selalu ada celah berupa ritus-ritus politik, yang terus
menerus dimanfaatkan dan disalahgunakan untuk memperbarui ingatan untuk tujuantujuan duniawi sesaat. Alam semesta akan kembali dan selalu tergoncang.
Oh iya, kita tahu bahwa akhirnya kepasrahanlah yang menyelematkan hidup. Ketika
puncak kepahitan ataupun kenikmatan itu mencapai kulminasinya; antara alam nyata,
alam simbolik, dan alam yang terbayangkan, Ling Ling pun memasrahkan hidupnya pada
puncak titik kulminasi tersebut. Titik alam semesta, seperti Ruang Tak bertepi, adalah
Tuhan yang tak terperi.
Aprinus Salam; penggemar sastra, tinggal di Yogya.