Masalah Kuasa dan Kontroversi dalam Hist
Masalah Kuasa dan Kontroversi
dalam Historiografi
Tsabit Azinar Ahmad
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
Permasalahan sejarah kontroversial ditinjau dari aspek keilmuan merupakan
permasalahan yang sampai saat ini senantiasa berkembang dan menjadi hal yang jamak
dalam pergulatan keilmuan, terutama dalam proses tersusunnya historiografi. Menurut E.H.
Carr (1987) sejarah merupakan proses berkesinambngan dari interaksi antara sejarawan dan
fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa sekarang
dengan masa lampau, sehingga tidak ada tulisan yang bersifat benar-benar final. Dengan
demikian, kemungkinan munculnya fakta dan interpretasi baru senantiasa berkembang.
Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena dalam
penulisan sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan pendekatan yang
dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta sejarah. Dengan demikian,
penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam penulisan sejarah tidak lepas dari
permasalahan subjektivitas dalam historiografi.
Subjektivitas vs Subjektivisme
Permasalahan subjektivitas dalam historiografi diulas dalam sebuah buku karangan
Poespoprodjo (1987) berjudul Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis
Validitas Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Sejarah dalam pengertian histoire
recité (kisah tentang peristiwa) merupakan hasil historiografi yang dipandang serba subjektif
karena sudah dipakai interpretasi dan seleksi sejarah yang melibatkan pendirian pribadi
sejarawan, tidak seperti histoire réalité (kejadian sebenarnya sebagai peristiwa) yang bersifat
objektif (Poespoprodjo, 1987: 1-2; Soedjatmoko, 1995: 360). Terkait hal tersebut, E.H. Carr
(dalam Poespoprodjo: 1985: 2) menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat murni objektif
karena menjadi fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh sejarawan”. Kemudian,
Bambang Purwanto (2008: xxii) menyatakan bahwa dalam historiografi nasional terdapat
pesan normatif dan pesan ideologis sebagai hasil dari subjektivitas personal dan generasi,
maupun subjektivitas rezim.
Permasalahan subjektivitas pada dasarnya wajar dalam sejarah, jika subjektivitas
masih ditempatkan pada kerangka pemikiran bahwa fokus ilmu sejarah adalah apa yang
sesungguhnya terjadi (wie es eigenlich gewesen) dan didukung oleh sumber-sumber primer
yang memiliki eksistensi di luar pemikiran manusia (Poespoprodjo, 1987: 18-19).
Permasalahan subjektivitas yang terkandung dalam historiografi menjadi pemicu munculnya
kontroversi sejarah adalah ketika subjektivitas tersebut berubah menjadi subjektivisme.
Subektivisme merupakan kewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dan
menyusun periodisasi, dan sebagainya, yang terjadi karena tidak bertumpu pada dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan-permasalahan di atas merupakan alasan
metodologis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial.
Kepentingan dalam Historiografi
Permasalahan tentang subjektivitas makin memberikan kerumitan apabila terdapat
kepentingan pada tataran sumber. Permasalahan terjadi terutama dalam sejarah kontemporer.
Ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang
dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini. Kepentingan itu bisa datang dari pihakpihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin
memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang
dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan
dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Selain itu hal yang menyebabkan
kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih belum
selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sampai saat ini masih banyak terjadi
perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada
pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman
masyarakat yang berkembang selama ini.
Selain ditinjau dari aspek filosofis dan metodologis, ada faktor lain yang
menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari
aspek kepentingan yang lekat dalam setiap penulisan sejarah. Sejarah senantiasa digunakan
sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan, baik oleh kalangan mayoritas dan minoritas
(Bambang Purwanto, 2005: 14). Dengan demikian, ada kecenderungan masing-masing
kelompok untuk menulis sejarah yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan masingmasing. Kecenderungan yang tampak di Indonesia adalah bahwa masing-masing kelompok
berupaya untuk mengunggulkan dan membenarkan tindakan-tindakannya melalui sejarah.
Tidak jarang pembelaan-pembelaan baik individu atau institusional terjadi, seperti pembelaan
yang dilakukan di kalangan Angkatan Udara dengan penulisan buku “Menyingkap Kabut
Halim”, selain itu ada pula pembelaan dari keluarga dari D.N. Aidit tentang kiprah Aidit di
dalam PKI. Pembelaan-pembelaan yang merujuk pada pertentangan pendapat muncul pula
pada kasus reformasi, seperti terjadinya pertentangan pendapat antara Habibie-PrabowoWiranto. Masing-masing saling membenarkan dirinya dalam perang wacana antara ketiganya
yang sempat merebak pada tahun 2007.
Apabila kecenderungan untuk berbeda pendapat dalam historiografi dianggap wajar,
pertanyaannya adalah mengapa hanya sejarah versi pemerintah yang berkembang?
Permasalahan tersebut terjawab dengan alasan bahwa pemerintahlah yang memiliki akses
untuk melakukan distribusi secara formal dan masif terhadap masyarakat. Dengan demikian,
akses masyarakat terhadap sejarah-sejarah alternatif yang ditulis dengan perspektif berbeda
sangat terbatas. Sementara itu para sejarawan terjebak dalam menara gading keilmuannya.
Dengan demikian, kepentingan pemerintahlah yang akan dimenangkan dalam perang wacana
pada konteks seperti itu.
Aspek kepentingan yang beperan dalam menciptakan sejarah kontroversial tampak
dalam perkembangan historiografi Indonesia. Tradisi historiografi merupakan suatu hal yang
masih baru, sehingga sampai saat ini belum berada pada tempat yang mapan, dan masih
mencari formatnya untuk terus berkembang (Mc Gregor, 2008: 72). Sejak adanya Seminar
Sejarah Nasional I pada tahun 1957, penulisan sejarah Indonesia mengalami perubahan
orientasi menuju arah Indonesiasentris. Akan tetapi seminar tersebut juga membawa
kontroversi, antara pandangan dari Moh. Yamin dengan Soedjatmoko (Nordholt, 2004: 4).
Yamin melihat bahwa penelitian keilmuan seyogyanya mengarahkan pada penafsiran tentang
nasionalisme dan digunakan untuk menguatkan kesadaran nasional. Namun, Soedjatmoko
berbeda pandangan dan lebih banyak melakukan kritik terhadap “utopia masa lalu” beserta
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dia lebih mendukung adanya tanggung jawab
individu dan menyatakan bahwa nasionalisme bukan termasuk dalam sebuah penelitian
ilmiah. Namun demikian pemkiran Soedjatmoko tersebut tidak sesuai dengan konteks
Indonesia pada tahun 1950-an ketika masyarakat tengah mencari identitas jati dirinya
(Nordholt, 2004: 5).
Pertentangan kepentingan yang ada dalam penulisan sejarah seperti dijelaskan oleh
Mohammad Ali (1995: 3) yang menyatakan bahwa ada dilema terhadap sejarah.
Permasalahan tersebut yang pertama adalah demi kepentingan nasional, terdapat permasalan
politls untuk menentukan dan mengembangkan kepribadian bangsa. Selain itu juga terdapat
permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin
bertentangan dengan kepentingan politis. Namun demikian, dalam perkembangannya
kecenderungan historiografi yang muncul dan disepakati adalah tentang bagaimana
menumbuhkan rasa cinta dan semangat nasionalisme melalui penulisan sejarah dalam
perspektif Indonesia.
Kritik Historiografi Indonesia
Perkembangan historiografi dengan demikian masih belum mapan, sehingga
senantiasa mencari format idealnya. Harapan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif melalui
historiografi justru berlawanan dengan kenendak politik pada masa demokrasi terpimpin, di
mana sejarah Indonesia menjadi alat ideologis untuk memobilisasi massa (Nordholt, 2004: 4).
Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari
sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat
ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Mc Gregor (2008: 73) menyatakan bahwa
pada masa demokrasi terpimpin sejarah digunakan untuk memajukan keseragaman ideologi
dan persamaan misi tetang masa lalu masional yang digunakan untuk pembinaan bangsa. Hal
itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi sejarawan awal pascakolonial
seperti M. Yamin, Sukanto, dan Sanusi Pane (Bambang Purwanto, 2001b: 32).
Kritik yang muncul dalam tradisi historiografi Indonesiasentris adalah bahwa
historiografi itu dalam kenyataannya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu
daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya, keberadaan validitas normatif dalam
kebenaran naratif tidak didukung oleh validitas empirik (Bambag Purwanto, 2001b: 33).
Faktor inilah yang dalam perkembangannya memunculkan kontroversi ketika tradisi
keilmuan dan metodologi sejarah telah berkembang.
Kemudian dalam perkembangannya muncul anggapan bahwa Indonesiasentrisme
yang menjadi dasar penulisan sejarah nasional ternyata tidak relevan bagi praktik penulisan
sejarah nasional. Sejarah struktural atau penulisan sejarah dengan pendekatan
multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selanjutnya
(Bambang Purwanto, 2001b: 35). Pendekatan ini secara akdemis menguntungkan karena
meningkatkan kualitas penulisan sejarah. Akan tetapi perkembangan sejarah dalam perspektif
ini mendapatkan kritik karena hanya berada di menara gading. Sejarah menjadi bersikap
netral terhadap penguasa, bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial (Asci Warman Adam,
2007: 9). Permasalahan yang muncul ketika sejarawan sibuk dengan permasalahan
internalnya, hal yang terjadi adalah upaya pembentukan sejarah yang dilakukan oleh
penguasa. Di satu sisi ketika pnulisan sejarah mulai diambil alih oleh penguasa, sejarawan
cenderung untuk memilih sikap berhati-hati dalam melakukan penelitian.
Pada masa itu pemerintahan di bawah Soeharto melakukan upaya mengendalikan dan
mengkoordinasi alur-alur kebenaran tertentu (Nordholt, Ratna Saprati, dan Bambang
Purwanto, 2009: 3). Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998)
diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan otoriter yang bertujuan mencapai
pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik. Negara dilihat sebagai
satu-satunya pelaksana yang sah dari proses terkendali yang akan membawa Indonesia pada
sebuah era baru ke arah kemajuan dan kemakmuran. Secara ekstrem Nordholt (2004: 5)
menyatakan bahwa mimpi dari Orde Baru adalah mencapai “akhir sejarah” dengan
mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang mengganggu.
Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang juga sentralistis dan eskatologis
(Nordholt, 2004: 5).
Ciri historiografi nasional yang dibentuk selama Orde Baru adalah sentralitas negara
yang di-ejawantah-kan oleh militer. Sejarah nasional menurut Nordholt (2008: xviii)
disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikenalikan oleh negara dan militer.
Contohnya adalah menurut pandangan sejarah ini, sepanjang tahun 1950-an militerlah yang
menyelamatkan bangsa dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer
memainkan peran penting dalam pemberontakan di daerah-daerah. Akibatnya muncul
historiografi yang seragam sebagai produk dari interpretasi tunggal atas masa lalu, sehingga
menuju pada arah mempertahankan dominasi penguasa dan cenderung merugikan rakyat dan
bangsa secara umum (Bambang Purwanto, 2008: xx).
Asvi Warman Adam (1999: 567-576) menjelaskan bahwa fenomena tersebut
merupakan pengendalian sejarah. Pengendalian sejarah tersebut dilakukan melalui dua cara,
yakni dengan penambahan unsur tertentu dalam sejarah dan menciptakan kebisuan sejarah (le
silence de l’histoire). Kebisuan sejarah menyangkut beberapa hal, yakni aspek legitimasi,
kondisi masyarakat, dan hal-hal yang memalukan di masa lampau (Ferro dalam Asvi
Warman Adam, 1999: 568-569). Pada masa Soeharto, pengendalian sejarah tampak dengan
upaya untuk mereduksi peran Sukarno dan membesar-besarkan peran Soeharto. Hal ini
tampak dari adanya penulisan buku ajar yang mengangkat peran Soeharto dalam berbagai
peristiwa, seperti Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan 30 September. Selain itu ada pula
pembuatan film-film seperti Serangan Fajar yang menonjolkan peran Soeharto.
Pengendalian sejarah yang dilakuan oleh Orde Bau dijalankan melalui instansi militer.
Mc Gregor (2009: 303) menjelaskan bahwa sejak Orde Baru militer memperkuat
pengendaliannya atas sejarah resmi. Pada saat itu, sejarah menjadi alat legitimasi bagi
penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan (Asvi Warman
Adam, 2007: 9). Sejarah digunakan sebagai sebuah sarana untuk legitimasi atas dalih
persatuan (Wood, 2005: 209). Lebih lanjut lagi Wood (2005: 9) menyatakan bahwa ada
beberapa peristiwa yang dimanfaatkan Orde Baru dalam menjaga integritas dan harmoni,
seperti menangkat keunggulan Majapahit, Kesultanan Islam, kejayaan masa revolusi, serta
peristiwa Gerakan 30 September yang secara terus menerus dikomunikasikan melalui media,
seperti monumen-monumen, buku teks, film, televisi, surat kabar, novel, dan berbagai karya
sastra.
Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian cukup banyak pada saat ini adalah
tentang historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Historiografi tentang peristiwa
tersebut sangat beragam bahkan mengarah kepada kecarutmarutan. Bambang Purwanto
(2006: 230) menjelaskan bahwa carut marut tersebut terjadi salah satunya karena politik
historiografi. Politik historiografi tersebut kemudian ditransmisikan dalam praksis pendidikan
melalui pembelajaran sejarah di kelas-kelas lewat materi-materi yang telah memiliki muatan
hidden curriculum.
Kontroversi:Antara Metodologis dan Politis
Dari pelbagai penjelasan tentang faktor yang menyebabkan munculnya sejarah
kontroversial dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial muncul karena dua hal, yakni
sejarah kontroversial karena permasalahan metodologis dan sejarah kontroversial karena
permasalahan politis. Permasalahan metodologis menyangkut ketidakmampuan secara
historiografis dan metodologis untuk melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas masa lalu
dengan muatan subjektivitas yang rendah yang tercipta karena keterbatasan wawasan,
penguasaan ilmu, dan keterampulan para sejarawan yang membangun tradisi historiografi,
para penulis buku ajar sejarah, dan para guru sejarah. Kemudian, permasalahan kontroversial
politis menyangkut tiga hal, yaitu peristiwa politis itu sendiri, akibat politis yang ditimbulkan
oleh peristiwa sejarah, dan kepentingan politis yang mengikuti interpretasi dan penjelasan
dalam menyusn kurikulum dan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai materi ajar. Bambang
Purwano (2009: 2) menambahkan bahwa secara teoretis, sejarah dan pembelajarannya
menjadi kontroversial ketika penulisan sejarah, penyusunan kurikulum sejarah, dan proses
pembelajaran sejarah menjadi bagian yang integral dari politik kekuasaan sebuah rezim.
Kontroversi biasanya diproduksi dan direproduksi dari sebuah subjektivitas esktrem politik
kekinian negara atau rezim yang mendikte tradisi keilmuan sejarah, penyusunan kurikulum,
materi ajar, dan proses pembelajarannya (Bambang Purwano, 2009: 2).
Aspek metodologis dan politis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial
menjadi penyebab adanya permasalahan dalam pembelajaran sejarah. Permasalahan tersebut
tampak dari adanya lemahnya penguasaan guru terhadap materi-materi sejarha kontroversial.
Selain itu faktor politis yang melahirkan kebijakan dalam pembelajaran sejarah menyebabkan
adanya keengganan di kalangan guru untuk melakukan upaya mendekonstruksi
pemahamannya tentang sejarah kontroversial, terutama dalam perspektif critical pedagogy.
Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat dipahami ulang sebagai pertentangan
antara pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang dimiliki/dibentuk dengan fakta-fakta
sejarah baru/berbeda yang tidak sevisi dengan pengetahuan sejarah yang dimiliki masyarakat.
Oleh karena sejarah kontroversial erat kaitannya dengan masalah pertentangan, peneliti
memberikan titik tekan kepada beberapa pertentangan yang muncul. Pertentangan tersebut
menyangkut (1) pertentangan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi, (2)
pertentangan antara sesuatu yang empiris dan normatif, (3) pertentangan antara fakta dan
mitos atau sesuatu yang direkayasa, (4) pertentangan antara sejarah resmi/accepted
history/grand naration dengan sejarah alternatif, dan (5) pertentangan antara yang berjasa
dan yang berdosa. Pertentangan pertama dan keempat terkait dengan masalah peristiwa,
sedangkan pertentangan terakhir terkait dengan posisi dan peran tokoh sejarah dalam
peristiwa.
Pertentangan pertama adalah pertentangan antara sejarah yang tampak dan sejarah
yang tersembunyi. Pertentangan ini disebabkan oleh adanya pengungkapan beberapa fakta
sejarah yang baru dalam penulisan sejarah. Pertentangan antara faktor tampak dan
tersembunyi terjadi ketika di satu sisi masyarakat belum memiliki pemahaman terhadap
sebuah peristiwa yang pada awalnya tidak diketahuinya. Kecenderungan kontroversial yang
muncul adalah ketika dalam masyarakat terjadi cultural shock dengan adanya sesuatu yang
baru. masyarakat menjadi tahu apa yang semula tidak diketahuinya. Pertentangan dalam
aspek ini dapat bersifat metodologis ketika sebuah peristiwa sejarah memang berangkat dari
sumber-sumber yang baru. Akan tetapi, pertentangan ini dapat pula bersifat politis jika fakta
yang baru diketahui oleh masyarakat adalah fakta yang keberadaannya sengaja untuk tidak
diberitahukan untuk alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, proses untuk menyembunyikan
sebuah peristiwa telah termasuk dalam menciptakan kebisuan sejarah. Permasalahan dalam
kategori ini adalah bahwa adanya keterbatasan di kalangan masyarakat luas untuk
mendapatkan informasi tentang sebuah peristiwa sejarah. Akibatnya, sejarah hanya diketahui
oleh kalangan terbatas, sehingga peran sejarah sebagai sarana untuk membangkitkan
kesadaran menjadi terkendala.
Salah satu contoh peristiwa yang termasuk dalam kategori pertentangan ini adalah
tentang pertentangan tentang penemuan fakta-fakta baru terkait dengan manusia purba di
daerah flores yang disebut homo fleresiensis. Permasalahan kontroversial yang juga termasuk
dalam kategori ini adalah tentang mitos penjajahan 350 tahun. Pemahaman tentang mitos
penjajahan 350 tahun masih terbatas pada mereka yang mempelajari sejarah, sementara
pemahaman di kalangan masyarakat masih terbatas. Kemudian kasus yang belum lama ini
marak adalah tentang munculnya pengakuan orang di daerah Semarang bernama Andaryoko
Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi, seorang tokoh pemberontakan peta.
Andaryoko mengaku sebagai Supriyadi dan hadir pada peristiwa-peristiwa besar, seperti
sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, menjadi pengibar bendera bersama Latif
Hendraningrat pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, dan yang tidak kalah menghebohkan
adalah ia juga hadir di Istana Bogor saat tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan
Amir Machmud mendatangi Sukarno untuk keperluan pembuatan Surat Perintah Sebelas
Maret (Baskara T. Wardaya, 2008: 76-122). Munculnya Andaryoko yang mengaku sebagai
Supriyadi secara tiba-tiba memunculkan kontroversi dalam masyarakat tentang kebenaran
pengakuannya tersebut.
Contoh yang menandakan sesuatu yang belum ditampakkan adalah tentang
historiografi etnis Tionghoa. Selama lebih dari empat dekade lalu, penulisan sejarah tentang
etnis Tionghoa dalam konteks sejarah nasional mengalami kendala. Secara politis
permasalahan langkanya tulisan sejarah tentang Tionghoa karena adanya upaya yang represif
terhadap etnis Tionghoa oleh penguasa. Setelah reformasi muncul tulisan-tulisan tentang
peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang bermuara pada munculnya kontroversi,
seperti ketika muncul tulisan Slamatmulyana yang sempat ditarik pada tahun 1960-an tentang
peran Tionghoa sebagai penyebar agama Islam. Fakta sejarah tentang peran etnis Tionghoa
selama ini telah disembunyikan, sehingga ketika fakta tersebut muncul ke permukaan banyak
melahirkan pertentangan.
Pertentangan kedua menyangkut pertentangan antara sesuatu yang empiris dan yang
normatif. Sesuatu yang normatif biasanya merupakan peristiwa yang ditujuan untuk
pendidikan nilai yang bekerja melalui sistem kepercayaan. Sesuatu yang normatif ini bisa
berupa nilai budaya dan nilai keagamaan. Pesan-pesan moral atau ajaran tertentu menjadi
titik tekan dari peristiwa yang bersifat normatif. Permasalahan normativisme menjadi
permasalahan ketika disatu sisi dipertentangkan dengan sesuatu yang berangkat dari
empirisme. Ada kecenderungan pertentangan ketika sebuah peristiwa semata-mata hanya
digunakan untuk memberikan penanaman nilai bagi masyarakat tanpa memeprhatikan fakor
empirisme dari peristiwa tersebut. Ketika normativisme terkait dengan nilai budaya tertentu,
ada kecenderungan muncul kontroversi ketika dalam masyarakat ternyata penulisan sejarah
dengan kaidah ilmiah masih merupakan sesuatu yang ahistoris, sehingga apabila muncul
penulisan sejarah yang bertentangan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat maka
kontroversi dalam sejarah tidak dapat dielakkan. Contoh dari kasus ini adalah ketika muncul
gugatan terhadap mitos-mitos yang selama ini dipercayai oleh masyarakat, seperti upaya
untuk mempertanykan kembali apakah benar kemampuan atau kesaktian yang dimiliki oleh
para pemimpin kerajaan tradisional, apakah benar Jaka Tingkir menaiki perahu yang ditarik
oleh buaya.
Pertentangan antara hal yang normatif dengan yang empiris terjadi pula ketika ada
upaya untuk membandingkan antara nilai-nilai yang ada dalam agama dengan kenyataan
empiris. Contohnya adalah ketika muncul pertanyaan tentang apakah benar Adam sebagai
manusia pertama, bagaimana Adam dilihat dari perspektif sejarah dan teori evolusi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan terjawab secara tuntas karena memperbadingkan
antara sesuatu yang normatif, yang keberadaannya diperkuat melalui kepercayaan, dengan
sesuatu yang empiris, di mana keberadaannya diperoleh melalui penelusuran peninggalan-
peninggalan masa lampau. Upaya mempertentangkan antara sesuatu yang normatif dan yang
empiris merupakan permasalahan dalam filsafat ilmu, karena mempertentangkan antara
kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan maka
kontroversi sejarahlah yang akan muncul.
Pertentangan ketiga adalah pertentangan antara realitas dan mitos. Mitos yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah tentang segala sesuatu yang keberadaannya sengaja untuk
diciptakan dan tanpa adanya dukungan yang kuat dari sumber-sumber primer. Dalam
tulisannya, Bambang Purwanto (2001a) memberikan gambaran tentang permasalahan mitos
dan realitas yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Permasalahan ini kemudian mengerucut
pada permasalahan kontroversi sejarah, sehingga memunculkan sejarah kontroversial. Sejarah
yang lebih menempatkan landasan pada aspek ideologi menjadi sarana untuk menciptakan
mitos-mitos (Bambang Purwanto, 2001a: 116). Mitos yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah mitos yang bersifat politis dan sengaja untuk diciptakan sebagai sarana legitimasi, dan
berbeda dengan mitos yang dipercayai oleh masyarakat melalui sarana folklore. Akibatnya
historiografi terjebak pada penciptaan mitos baru atau reinterpretasi atas mitos lama yang
menguatkan mitos tersebut. Dibandingkan dengan aspek normatif dan empiris, aspek mitos
dan realitas lebih cenderung politis daripada metodologis. Contoh mitos yang menjadi satu
hal yang sengaja untuk diciptakan adalah seperti penulisan sejarah pada masa Orde Baru
lebih menekankan peran sentral Soeharto dalam revolusi dan pengendalian keamanan,
sehingga muncullah mitos bahwa “Soeharto sebagai pahlawan”. Selain itu dalam
perkembangannya banyak pendapat yang mengunggulkan Soeharto dalam aspek ekonomi,
sehingga terciptalah mitos “Bapak Pembangunan”.
Pertentangan keempat terkait dengan permasalahan antara kemunculan sejarah resmi
dengan sejarah alternatif. Pertentangan antara keduanya menjadi permasalahan yang
menyebabakan munculnya sejarah kontroversial karena ketika sejarah yang dipahami oleh
masyarakat adalah sejarah yang termasuk dalam sejarah resmi mendapatkan tentangan dari
sejarah dengan versi yang lain, maka muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat
tentang “apa yang sebenarnya terjadi” serta “mana yang benar dari sejarah itu”. Permasalahan
ini sangat mungkin muncul karena dalam sekian waktu masyarakat hanya disodori oleh versiversi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Kemudian karena sejarah resmi
dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, maka mereka melakukan upaya secara masif untuk
melakukan sosialisasi dan indoktrinasi melalui sejarah versi resmi tersebut. Hal ini
mengakibatkan pembentukan pengetahuan sejarah sesuai dengan harapan penguasa dan
adanya pembatasan terhadap munculnya sejarah dalam versi yang berbeda. Sejarah dalam arti
alternatif ini dapat berasal dari penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda melalui
penelusuran data dari sumber-sumber yang berbeda pula. Contoh dari sejarah alternatif yang
banyak bekembang pada setelah reformasi adalah munculnya tulisan-tulisan dari perspektif
korban.
Contoh sejarah resmi yang berkembang di Indonesia adalah tentang peristiwa Gerakan
30 September 1965. Pemerintah mengeluarkan versi resmi dari perstiwa tersebut dalam
sebuah buku putih yang terbit pada tahun 1994. Sementara itu di satu sisi muncul upaya
untuk membatasi peredaran historiografi alternatif. Contohnya adalah ketika terjadi
pelarangan buku-buku yang memiliki kaitan dengan ideologi “kiri”, seperti tulisan
Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-tulisan alternatif yang telah berkembang dengan pesatnya
pada dasarnya menjadi hal yang justru menyemarakkan penulisan sejarah di Indonesia dan
memberi dampak positif sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran multikultural pada
masyarakat Indonesia yang plural.
Ditinjau dari aspek konteks, adanya pertentangan-pertentangan dalam sejarah
kontroversial disebabkan kondisi pada masa peralihan dari rezim otoriter menuju demokrasi
yang ditunjang dengan adanya kemberdekaan pers. Pada kondisi seperti itu muncul kritik
terhadap monopoli kebenaran sejarah yang dimiliki penguasa (Asvi Warman Adam, 2009: 1).
Pertentangan kelima tentang persamsalahan posisi dan peran tokoh dalam sebuah
peristiwa. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa.
tidak jarang dalam diri satu tokoh ada beberapa pandangan sekaligus, dianggap sebagai
pahlawan atau penjahat. Tokoh-tokoh sejarah sangat sering memunculkan kontroversi. Dalam
historiografi tradisional peran tokoh menjadi penggerak utama dalam jalannya sejarah,
sehingga keberadaannya menjadi kunci sifat kontroversial dalam sebuah peristiwa. Mulai dari
zaman klasik posisi tokoh sejarah sering berada di dua sisi, seperti kontroversi tentang Ken
Arok atau Ken Angrok. Di satu sisi ia disebut sebagai penjahat karena menggulingkan
kekuasaan yang sah, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan yang mendirikan kerajaan
Singhasari.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada beberapa tokoh yang kontroversial. Dalam
kisah suksesi Demak, ada tokoh bernama Arya Penangsang. Keberadaan Arya Penangsang
dianggap oleh masyarakat Demak dan Jepara sebagai penjahat karena melakukan
pembunuhan terhadap Hadlirin dan saudaranya. Akan tetapi di kawasan Rembang ia
dianggap sebagai tokoh yang berjasa.
Pada sejarah kontemporer, posisi tokoh sejarah tidak luput dari permasalahan
kontroversi, salah satunya tentang peran Soeharto dalam sejarah Indonesia. Pada masa
pemerintahannya, penulisan sejarah diarahkan untuk menampilkan Soeharto sebagai tokoh
sentral dalam sejarah Indonesia.
Epilog
Pemasalahan kontroversi hendaknya mampu membuka mata kita bahwa terdapat
ragam yang begitu semaraknya dalam sebuah karya sejarah. Sekilas permasalahn ini seolah
menjadi chaos yang menambah runyam negara yang tengah bemasalah ini. Namun demikian,
di tengah perdebatan yang muncul satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa penulisan
sejarah adalah menyangkut masalah selera dan kepentingan. Siapa yang berpengaruh
memaksakan selera dan kepentingannya, sejarah miliknyalah yang berkembang dan dikenal.
Daftar Pustaka
Asvi Warman Adam. 1999. “Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru”. Dalam Chambert-Loid,
Henri dan Hasan Muarif Ambary (ed). 1999. Panggung Sejarah: Persembahan
kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: YOI.
--------. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Bambang Purwanto. 2001a. “Reality and Myth in Contemporary Indonesian History”.
Humaniora. Volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.
---------. 2001b. “Historisisme dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajin Kritis terhadap
Historiografi Indonesiasentris”. Humaniora. Volume XIII, No. 1/2001. Hlm. 29-44.
---------. 2005. “Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik”.
Dalam Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto. 2005. Menggugat Hisoriografi
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
---------. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
---------. 2008. “Kata Pengantar” dalam Mc Gregor, Katharine. 2008. Ketika Sejarah
Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia.
Yogyakarta: Syarikat.
---------. 2009. “Sejarah, Kurikulum, dan Pembelajaran Kontroversial: Sebuah Catatan
Diskusi”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah
Kontroversial: Problem dan Soslusi. Prodi Pendidikan Sejarah PPs UNS. Surakarta,
29 Mei 2009.
Baskara T. Wardaya. 2008. Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.
Yogyakarta: Galang Press.
Carr, E.H. 1987. What is History. New York. Alfred A Knoff.
Mc Gregor, Katharine. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer
dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.
Mohammad Ali. 1995. “Beberapa Masalah dalam Historiografi Indonesia” dalam Dalam
Soedjatmoko dkk. (ed). 1995. Historiografi Indonesia sebuah Pengantar.
Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pusta Utama.
Nordholt, Henk Schulte. 2004. De-colonising Indonesian Historiography. Sweden: Centre for
East and South-East Asian Studies, Lund University.
Poespoprodjo, W. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis Validitas
Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Bandung: Remadja Karya.
Soedjatmoko. 1995. “Sejarawan Indonesia dan Zamannya”. Dalam Soedjatmoko dkk. (ed).
1995. Historiografi Indonesia sebuah Pengantar. Terjemahan. Jakarta: Gramedia
Pusta Utama.
Wood, Michael. 2005. Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and
Counterviews . Leiden & Boston: Brill.
dalam Historiografi
Tsabit Azinar Ahmad
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
Permasalahan sejarah kontroversial ditinjau dari aspek keilmuan merupakan
permasalahan yang sampai saat ini senantiasa berkembang dan menjadi hal yang jamak
dalam pergulatan keilmuan, terutama dalam proses tersusunnya historiografi. Menurut E.H.
Carr (1987) sejarah merupakan proses berkesinambngan dari interaksi antara sejarawan dan
fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa sekarang
dengan masa lampau, sehingga tidak ada tulisan yang bersifat benar-benar final. Dengan
demikian, kemungkinan munculnya fakta dan interpretasi baru senantiasa berkembang.
Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena dalam
penulisan sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan pendekatan yang
dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta sejarah. Dengan demikian,
penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam penulisan sejarah tidak lepas dari
permasalahan subjektivitas dalam historiografi.
Subjektivitas vs Subjektivisme
Permasalahan subjektivitas dalam historiografi diulas dalam sebuah buku karangan
Poespoprodjo (1987) berjudul Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis
Validitas Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Sejarah dalam pengertian histoire
recité (kisah tentang peristiwa) merupakan hasil historiografi yang dipandang serba subjektif
karena sudah dipakai interpretasi dan seleksi sejarah yang melibatkan pendirian pribadi
sejarawan, tidak seperti histoire réalité (kejadian sebenarnya sebagai peristiwa) yang bersifat
objektif (Poespoprodjo, 1987: 1-2; Soedjatmoko, 1995: 360). Terkait hal tersebut, E.H. Carr
(dalam Poespoprodjo: 1985: 2) menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat murni objektif
karena menjadi fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh sejarawan”. Kemudian,
Bambang Purwanto (2008: xxii) menyatakan bahwa dalam historiografi nasional terdapat
pesan normatif dan pesan ideologis sebagai hasil dari subjektivitas personal dan generasi,
maupun subjektivitas rezim.
Permasalahan subjektivitas pada dasarnya wajar dalam sejarah, jika subjektivitas
masih ditempatkan pada kerangka pemikiran bahwa fokus ilmu sejarah adalah apa yang
sesungguhnya terjadi (wie es eigenlich gewesen) dan didukung oleh sumber-sumber primer
yang memiliki eksistensi di luar pemikiran manusia (Poespoprodjo, 1987: 18-19).
Permasalahan subjektivitas yang terkandung dalam historiografi menjadi pemicu munculnya
kontroversi sejarah adalah ketika subjektivitas tersebut berubah menjadi subjektivisme.
Subektivisme merupakan kewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dan
menyusun periodisasi, dan sebagainya, yang terjadi karena tidak bertumpu pada dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan-permasalahan di atas merupakan alasan
metodologis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial.
Kepentingan dalam Historiografi
Permasalahan tentang subjektivitas makin memberikan kerumitan apabila terdapat
kepentingan pada tataran sumber. Permasalahan terjadi terutama dalam sejarah kontemporer.
Ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang
dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini. Kepentingan itu bisa datang dari pihakpihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin
memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang
dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan
dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Selain itu hal yang menyebabkan
kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih belum
selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sampai saat ini masih banyak terjadi
perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada
pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman
masyarakat yang berkembang selama ini.
Selain ditinjau dari aspek filosofis dan metodologis, ada faktor lain yang
menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari
aspek kepentingan yang lekat dalam setiap penulisan sejarah. Sejarah senantiasa digunakan
sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan, baik oleh kalangan mayoritas dan minoritas
(Bambang Purwanto, 2005: 14). Dengan demikian, ada kecenderungan masing-masing
kelompok untuk menulis sejarah yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan masingmasing. Kecenderungan yang tampak di Indonesia adalah bahwa masing-masing kelompok
berupaya untuk mengunggulkan dan membenarkan tindakan-tindakannya melalui sejarah.
Tidak jarang pembelaan-pembelaan baik individu atau institusional terjadi, seperti pembelaan
yang dilakukan di kalangan Angkatan Udara dengan penulisan buku “Menyingkap Kabut
Halim”, selain itu ada pula pembelaan dari keluarga dari D.N. Aidit tentang kiprah Aidit di
dalam PKI. Pembelaan-pembelaan yang merujuk pada pertentangan pendapat muncul pula
pada kasus reformasi, seperti terjadinya pertentangan pendapat antara Habibie-PrabowoWiranto. Masing-masing saling membenarkan dirinya dalam perang wacana antara ketiganya
yang sempat merebak pada tahun 2007.
Apabila kecenderungan untuk berbeda pendapat dalam historiografi dianggap wajar,
pertanyaannya adalah mengapa hanya sejarah versi pemerintah yang berkembang?
Permasalahan tersebut terjawab dengan alasan bahwa pemerintahlah yang memiliki akses
untuk melakukan distribusi secara formal dan masif terhadap masyarakat. Dengan demikian,
akses masyarakat terhadap sejarah-sejarah alternatif yang ditulis dengan perspektif berbeda
sangat terbatas. Sementara itu para sejarawan terjebak dalam menara gading keilmuannya.
Dengan demikian, kepentingan pemerintahlah yang akan dimenangkan dalam perang wacana
pada konteks seperti itu.
Aspek kepentingan yang beperan dalam menciptakan sejarah kontroversial tampak
dalam perkembangan historiografi Indonesia. Tradisi historiografi merupakan suatu hal yang
masih baru, sehingga sampai saat ini belum berada pada tempat yang mapan, dan masih
mencari formatnya untuk terus berkembang (Mc Gregor, 2008: 72). Sejak adanya Seminar
Sejarah Nasional I pada tahun 1957, penulisan sejarah Indonesia mengalami perubahan
orientasi menuju arah Indonesiasentris. Akan tetapi seminar tersebut juga membawa
kontroversi, antara pandangan dari Moh. Yamin dengan Soedjatmoko (Nordholt, 2004: 4).
Yamin melihat bahwa penelitian keilmuan seyogyanya mengarahkan pada penafsiran tentang
nasionalisme dan digunakan untuk menguatkan kesadaran nasional. Namun, Soedjatmoko
berbeda pandangan dan lebih banyak melakukan kritik terhadap “utopia masa lalu” beserta
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dia lebih mendukung adanya tanggung jawab
individu dan menyatakan bahwa nasionalisme bukan termasuk dalam sebuah penelitian
ilmiah. Namun demikian pemkiran Soedjatmoko tersebut tidak sesuai dengan konteks
Indonesia pada tahun 1950-an ketika masyarakat tengah mencari identitas jati dirinya
(Nordholt, 2004: 5).
Pertentangan kepentingan yang ada dalam penulisan sejarah seperti dijelaskan oleh
Mohammad Ali (1995: 3) yang menyatakan bahwa ada dilema terhadap sejarah.
Permasalahan tersebut yang pertama adalah demi kepentingan nasional, terdapat permasalan
politls untuk menentukan dan mengembangkan kepribadian bangsa. Selain itu juga terdapat
permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin
bertentangan dengan kepentingan politis. Namun demikian, dalam perkembangannya
kecenderungan historiografi yang muncul dan disepakati adalah tentang bagaimana
menumbuhkan rasa cinta dan semangat nasionalisme melalui penulisan sejarah dalam
perspektif Indonesia.
Kritik Historiografi Indonesia
Perkembangan historiografi dengan demikian masih belum mapan, sehingga
senantiasa mencari format idealnya. Harapan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif melalui
historiografi justru berlawanan dengan kenendak politik pada masa demokrasi terpimpin, di
mana sejarah Indonesia menjadi alat ideologis untuk memobilisasi massa (Nordholt, 2004: 4).
Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari
sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat
ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Mc Gregor (2008: 73) menyatakan bahwa
pada masa demokrasi terpimpin sejarah digunakan untuk memajukan keseragaman ideologi
dan persamaan misi tetang masa lalu masional yang digunakan untuk pembinaan bangsa. Hal
itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi sejarawan awal pascakolonial
seperti M. Yamin, Sukanto, dan Sanusi Pane (Bambang Purwanto, 2001b: 32).
Kritik yang muncul dalam tradisi historiografi Indonesiasentris adalah bahwa
historiografi itu dalam kenyataannya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu
daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya, keberadaan validitas normatif dalam
kebenaran naratif tidak didukung oleh validitas empirik (Bambag Purwanto, 2001b: 33).
Faktor inilah yang dalam perkembangannya memunculkan kontroversi ketika tradisi
keilmuan dan metodologi sejarah telah berkembang.
Kemudian dalam perkembangannya muncul anggapan bahwa Indonesiasentrisme
yang menjadi dasar penulisan sejarah nasional ternyata tidak relevan bagi praktik penulisan
sejarah nasional. Sejarah struktural atau penulisan sejarah dengan pendekatan
multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selanjutnya
(Bambang Purwanto, 2001b: 35). Pendekatan ini secara akdemis menguntungkan karena
meningkatkan kualitas penulisan sejarah. Akan tetapi perkembangan sejarah dalam perspektif
ini mendapatkan kritik karena hanya berada di menara gading. Sejarah menjadi bersikap
netral terhadap penguasa, bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial (Asci Warman Adam,
2007: 9). Permasalahan yang muncul ketika sejarawan sibuk dengan permasalahan
internalnya, hal yang terjadi adalah upaya pembentukan sejarah yang dilakukan oleh
penguasa. Di satu sisi ketika pnulisan sejarah mulai diambil alih oleh penguasa, sejarawan
cenderung untuk memilih sikap berhati-hati dalam melakukan penelitian.
Pada masa itu pemerintahan di bawah Soeharto melakukan upaya mengendalikan dan
mengkoordinasi alur-alur kebenaran tertentu (Nordholt, Ratna Saprati, dan Bambang
Purwanto, 2009: 3). Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998)
diperkenalkan sebuah pendekatan pembangunan otoriter yang bertujuan mencapai
pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik. Negara dilihat sebagai
satu-satunya pelaksana yang sah dari proses terkendali yang akan membawa Indonesia pada
sebuah era baru ke arah kemajuan dan kemakmuran. Secara ekstrem Nordholt (2004: 5)
menyatakan bahwa mimpi dari Orde Baru adalah mencapai “akhir sejarah” dengan
mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang mengganggu.
Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang juga sentralistis dan eskatologis
(Nordholt, 2004: 5).
Ciri historiografi nasional yang dibentuk selama Orde Baru adalah sentralitas negara
yang di-ejawantah-kan oleh militer. Sejarah nasional menurut Nordholt (2008: xviii)
disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikenalikan oleh negara dan militer.
Contohnya adalah menurut pandangan sejarah ini, sepanjang tahun 1950-an militerlah yang
menyelamatkan bangsa dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer
memainkan peran penting dalam pemberontakan di daerah-daerah. Akibatnya muncul
historiografi yang seragam sebagai produk dari interpretasi tunggal atas masa lalu, sehingga
menuju pada arah mempertahankan dominasi penguasa dan cenderung merugikan rakyat dan
bangsa secara umum (Bambang Purwanto, 2008: xx).
Asvi Warman Adam (1999: 567-576) menjelaskan bahwa fenomena tersebut
merupakan pengendalian sejarah. Pengendalian sejarah tersebut dilakukan melalui dua cara,
yakni dengan penambahan unsur tertentu dalam sejarah dan menciptakan kebisuan sejarah (le
silence de l’histoire). Kebisuan sejarah menyangkut beberapa hal, yakni aspek legitimasi,
kondisi masyarakat, dan hal-hal yang memalukan di masa lampau (Ferro dalam Asvi
Warman Adam, 1999: 568-569). Pada masa Soeharto, pengendalian sejarah tampak dengan
upaya untuk mereduksi peran Sukarno dan membesar-besarkan peran Soeharto. Hal ini
tampak dari adanya penulisan buku ajar yang mengangkat peran Soeharto dalam berbagai
peristiwa, seperti Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan 30 September. Selain itu ada pula
pembuatan film-film seperti Serangan Fajar yang menonjolkan peran Soeharto.
Pengendalian sejarah yang dilakuan oleh Orde Bau dijalankan melalui instansi militer.
Mc Gregor (2009: 303) menjelaskan bahwa sejak Orde Baru militer memperkuat
pengendaliannya atas sejarah resmi. Pada saat itu, sejarah menjadi alat legitimasi bagi
penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan (Asvi Warman
Adam, 2007: 9). Sejarah digunakan sebagai sebuah sarana untuk legitimasi atas dalih
persatuan (Wood, 2005: 209). Lebih lanjut lagi Wood (2005: 9) menyatakan bahwa ada
beberapa peristiwa yang dimanfaatkan Orde Baru dalam menjaga integritas dan harmoni,
seperti menangkat keunggulan Majapahit, Kesultanan Islam, kejayaan masa revolusi, serta
peristiwa Gerakan 30 September yang secara terus menerus dikomunikasikan melalui media,
seperti monumen-monumen, buku teks, film, televisi, surat kabar, novel, dan berbagai karya
sastra.
Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian cukup banyak pada saat ini adalah
tentang historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Historiografi tentang peristiwa
tersebut sangat beragam bahkan mengarah kepada kecarutmarutan. Bambang Purwanto
(2006: 230) menjelaskan bahwa carut marut tersebut terjadi salah satunya karena politik
historiografi. Politik historiografi tersebut kemudian ditransmisikan dalam praksis pendidikan
melalui pembelajaran sejarah di kelas-kelas lewat materi-materi yang telah memiliki muatan
hidden curriculum.
Kontroversi:Antara Metodologis dan Politis
Dari pelbagai penjelasan tentang faktor yang menyebabkan munculnya sejarah
kontroversial dapat disimpulkan bahwa sejarah kontroversial muncul karena dua hal, yakni
sejarah kontroversial karena permasalahan metodologis dan sejarah kontroversial karena
permasalahan politis. Permasalahan metodologis menyangkut ketidakmampuan secara
historiografis dan metodologis untuk melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas masa lalu
dengan muatan subjektivitas yang rendah yang tercipta karena keterbatasan wawasan,
penguasaan ilmu, dan keterampulan para sejarawan yang membangun tradisi historiografi,
para penulis buku ajar sejarah, dan para guru sejarah. Kemudian, permasalahan kontroversial
politis menyangkut tiga hal, yaitu peristiwa politis itu sendiri, akibat politis yang ditimbulkan
oleh peristiwa sejarah, dan kepentingan politis yang mengikuti interpretasi dan penjelasan
dalam menyusn kurikulum dan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai materi ajar. Bambang
Purwano (2009: 2) menambahkan bahwa secara teoretis, sejarah dan pembelajarannya
menjadi kontroversial ketika penulisan sejarah, penyusunan kurikulum sejarah, dan proses
pembelajaran sejarah menjadi bagian yang integral dari politik kekuasaan sebuah rezim.
Kontroversi biasanya diproduksi dan direproduksi dari sebuah subjektivitas esktrem politik
kekinian negara atau rezim yang mendikte tradisi keilmuan sejarah, penyusunan kurikulum,
materi ajar, dan proses pembelajarannya (Bambang Purwano, 2009: 2).
Aspek metodologis dan politis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial
menjadi penyebab adanya permasalahan dalam pembelajaran sejarah. Permasalahan tersebut
tampak dari adanya lemahnya penguasaan guru terhadap materi-materi sejarha kontroversial.
Selain itu faktor politis yang melahirkan kebijakan dalam pembelajaran sejarah menyebabkan
adanya keengganan di kalangan guru untuk melakukan upaya mendekonstruksi
pemahamannya tentang sejarah kontroversial, terutama dalam perspektif critical pedagogy.
Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat dipahami ulang sebagai pertentangan
antara pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang dimiliki/dibentuk dengan fakta-fakta
sejarah baru/berbeda yang tidak sevisi dengan pengetahuan sejarah yang dimiliki masyarakat.
Oleh karena sejarah kontroversial erat kaitannya dengan masalah pertentangan, peneliti
memberikan titik tekan kepada beberapa pertentangan yang muncul. Pertentangan tersebut
menyangkut (1) pertentangan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi, (2)
pertentangan antara sesuatu yang empiris dan normatif, (3) pertentangan antara fakta dan
mitos atau sesuatu yang direkayasa, (4) pertentangan antara sejarah resmi/accepted
history/grand naration dengan sejarah alternatif, dan (5) pertentangan antara yang berjasa
dan yang berdosa. Pertentangan pertama dan keempat terkait dengan masalah peristiwa,
sedangkan pertentangan terakhir terkait dengan posisi dan peran tokoh sejarah dalam
peristiwa.
Pertentangan pertama adalah pertentangan antara sejarah yang tampak dan sejarah
yang tersembunyi. Pertentangan ini disebabkan oleh adanya pengungkapan beberapa fakta
sejarah yang baru dalam penulisan sejarah. Pertentangan antara faktor tampak dan
tersembunyi terjadi ketika di satu sisi masyarakat belum memiliki pemahaman terhadap
sebuah peristiwa yang pada awalnya tidak diketahuinya. Kecenderungan kontroversial yang
muncul adalah ketika dalam masyarakat terjadi cultural shock dengan adanya sesuatu yang
baru. masyarakat menjadi tahu apa yang semula tidak diketahuinya. Pertentangan dalam
aspek ini dapat bersifat metodologis ketika sebuah peristiwa sejarah memang berangkat dari
sumber-sumber yang baru. Akan tetapi, pertentangan ini dapat pula bersifat politis jika fakta
yang baru diketahui oleh masyarakat adalah fakta yang keberadaannya sengaja untuk tidak
diberitahukan untuk alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, proses untuk menyembunyikan
sebuah peristiwa telah termasuk dalam menciptakan kebisuan sejarah. Permasalahan dalam
kategori ini adalah bahwa adanya keterbatasan di kalangan masyarakat luas untuk
mendapatkan informasi tentang sebuah peristiwa sejarah. Akibatnya, sejarah hanya diketahui
oleh kalangan terbatas, sehingga peran sejarah sebagai sarana untuk membangkitkan
kesadaran menjadi terkendala.
Salah satu contoh peristiwa yang termasuk dalam kategori pertentangan ini adalah
tentang pertentangan tentang penemuan fakta-fakta baru terkait dengan manusia purba di
daerah flores yang disebut homo fleresiensis. Permasalahan kontroversial yang juga termasuk
dalam kategori ini adalah tentang mitos penjajahan 350 tahun. Pemahaman tentang mitos
penjajahan 350 tahun masih terbatas pada mereka yang mempelajari sejarah, sementara
pemahaman di kalangan masyarakat masih terbatas. Kemudian kasus yang belum lama ini
marak adalah tentang munculnya pengakuan orang di daerah Semarang bernama Andaryoko
Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi, seorang tokoh pemberontakan peta.
Andaryoko mengaku sebagai Supriyadi dan hadir pada peristiwa-peristiwa besar, seperti
sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, menjadi pengibar bendera bersama Latif
Hendraningrat pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, dan yang tidak kalah menghebohkan
adalah ia juga hadir di Istana Bogor saat tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan
Amir Machmud mendatangi Sukarno untuk keperluan pembuatan Surat Perintah Sebelas
Maret (Baskara T. Wardaya, 2008: 76-122). Munculnya Andaryoko yang mengaku sebagai
Supriyadi secara tiba-tiba memunculkan kontroversi dalam masyarakat tentang kebenaran
pengakuannya tersebut.
Contoh yang menandakan sesuatu yang belum ditampakkan adalah tentang
historiografi etnis Tionghoa. Selama lebih dari empat dekade lalu, penulisan sejarah tentang
etnis Tionghoa dalam konteks sejarah nasional mengalami kendala. Secara politis
permasalahan langkanya tulisan sejarah tentang Tionghoa karena adanya upaya yang represif
terhadap etnis Tionghoa oleh penguasa. Setelah reformasi muncul tulisan-tulisan tentang
peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang bermuara pada munculnya kontroversi,
seperti ketika muncul tulisan Slamatmulyana yang sempat ditarik pada tahun 1960-an tentang
peran Tionghoa sebagai penyebar agama Islam. Fakta sejarah tentang peran etnis Tionghoa
selama ini telah disembunyikan, sehingga ketika fakta tersebut muncul ke permukaan banyak
melahirkan pertentangan.
Pertentangan kedua menyangkut pertentangan antara sesuatu yang empiris dan yang
normatif. Sesuatu yang normatif biasanya merupakan peristiwa yang ditujuan untuk
pendidikan nilai yang bekerja melalui sistem kepercayaan. Sesuatu yang normatif ini bisa
berupa nilai budaya dan nilai keagamaan. Pesan-pesan moral atau ajaran tertentu menjadi
titik tekan dari peristiwa yang bersifat normatif. Permasalahan normativisme menjadi
permasalahan ketika disatu sisi dipertentangkan dengan sesuatu yang berangkat dari
empirisme. Ada kecenderungan pertentangan ketika sebuah peristiwa semata-mata hanya
digunakan untuk memberikan penanaman nilai bagi masyarakat tanpa memeprhatikan fakor
empirisme dari peristiwa tersebut. Ketika normativisme terkait dengan nilai budaya tertentu,
ada kecenderungan muncul kontroversi ketika dalam masyarakat ternyata penulisan sejarah
dengan kaidah ilmiah masih merupakan sesuatu yang ahistoris, sehingga apabila muncul
penulisan sejarah yang bertentangan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat maka
kontroversi dalam sejarah tidak dapat dielakkan. Contoh dari kasus ini adalah ketika muncul
gugatan terhadap mitos-mitos yang selama ini dipercayai oleh masyarakat, seperti upaya
untuk mempertanykan kembali apakah benar kemampuan atau kesaktian yang dimiliki oleh
para pemimpin kerajaan tradisional, apakah benar Jaka Tingkir menaiki perahu yang ditarik
oleh buaya.
Pertentangan antara hal yang normatif dengan yang empiris terjadi pula ketika ada
upaya untuk membandingkan antara nilai-nilai yang ada dalam agama dengan kenyataan
empiris. Contohnya adalah ketika muncul pertanyaan tentang apakah benar Adam sebagai
manusia pertama, bagaimana Adam dilihat dari perspektif sejarah dan teori evolusi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan terjawab secara tuntas karena memperbadingkan
antara sesuatu yang normatif, yang keberadaannya diperkuat melalui kepercayaan, dengan
sesuatu yang empiris, di mana keberadaannya diperoleh melalui penelusuran peninggalan-
peninggalan masa lampau. Upaya mempertentangkan antara sesuatu yang normatif dan yang
empiris merupakan permasalahan dalam filsafat ilmu, karena mempertentangkan antara
kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan maka
kontroversi sejarahlah yang akan muncul.
Pertentangan ketiga adalah pertentangan antara realitas dan mitos. Mitos yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah tentang segala sesuatu yang keberadaannya sengaja untuk
diciptakan dan tanpa adanya dukungan yang kuat dari sumber-sumber primer. Dalam
tulisannya, Bambang Purwanto (2001a) memberikan gambaran tentang permasalahan mitos
dan realitas yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Permasalahan ini kemudian mengerucut
pada permasalahan kontroversi sejarah, sehingga memunculkan sejarah kontroversial. Sejarah
yang lebih menempatkan landasan pada aspek ideologi menjadi sarana untuk menciptakan
mitos-mitos (Bambang Purwanto, 2001a: 116). Mitos yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah mitos yang bersifat politis dan sengaja untuk diciptakan sebagai sarana legitimasi, dan
berbeda dengan mitos yang dipercayai oleh masyarakat melalui sarana folklore. Akibatnya
historiografi terjebak pada penciptaan mitos baru atau reinterpretasi atas mitos lama yang
menguatkan mitos tersebut. Dibandingkan dengan aspek normatif dan empiris, aspek mitos
dan realitas lebih cenderung politis daripada metodologis. Contoh mitos yang menjadi satu
hal yang sengaja untuk diciptakan adalah seperti penulisan sejarah pada masa Orde Baru
lebih menekankan peran sentral Soeharto dalam revolusi dan pengendalian keamanan,
sehingga muncullah mitos bahwa “Soeharto sebagai pahlawan”. Selain itu dalam
perkembangannya banyak pendapat yang mengunggulkan Soeharto dalam aspek ekonomi,
sehingga terciptalah mitos “Bapak Pembangunan”.
Pertentangan keempat terkait dengan permasalahan antara kemunculan sejarah resmi
dengan sejarah alternatif. Pertentangan antara keduanya menjadi permasalahan yang
menyebabakan munculnya sejarah kontroversial karena ketika sejarah yang dipahami oleh
masyarakat adalah sejarah yang termasuk dalam sejarah resmi mendapatkan tentangan dari
sejarah dengan versi yang lain, maka muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat
tentang “apa yang sebenarnya terjadi” serta “mana yang benar dari sejarah itu”. Permasalahan
ini sangat mungkin muncul karena dalam sekian waktu masyarakat hanya disodori oleh versiversi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Kemudian karena sejarah resmi
dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, maka mereka melakukan upaya secara masif untuk
melakukan sosialisasi dan indoktrinasi melalui sejarah versi resmi tersebut. Hal ini
mengakibatkan pembentukan pengetahuan sejarah sesuai dengan harapan penguasa dan
adanya pembatasan terhadap munculnya sejarah dalam versi yang berbeda. Sejarah dalam arti
alternatif ini dapat berasal dari penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda melalui
penelusuran data dari sumber-sumber yang berbeda pula. Contoh dari sejarah alternatif yang
banyak bekembang pada setelah reformasi adalah munculnya tulisan-tulisan dari perspektif
korban.
Contoh sejarah resmi yang berkembang di Indonesia adalah tentang peristiwa Gerakan
30 September 1965. Pemerintah mengeluarkan versi resmi dari perstiwa tersebut dalam
sebuah buku putih yang terbit pada tahun 1994. Sementara itu di satu sisi muncul upaya
untuk membatasi peredaran historiografi alternatif. Contohnya adalah ketika terjadi
pelarangan buku-buku yang memiliki kaitan dengan ideologi “kiri”, seperti tulisan
Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-tulisan alternatif yang telah berkembang dengan pesatnya
pada dasarnya menjadi hal yang justru menyemarakkan penulisan sejarah di Indonesia dan
memberi dampak positif sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran multikultural pada
masyarakat Indonesia yang plural.
Ditinjau dari aspek konteks, adanya pertentangan-pertentangan dalam sejarah
kontroversial disebabkan kondisi pada masa peralihan dari rezim otoriter menuju demokrasi
yang ditunjang dengan adanya kemberdekaan pers. Pada kondisi seperti itu muncul kritik
terhadap monopoli kebenaran sejarah yang dimiliki penguasa (Asvi Warman Adam, 2009: 1).
Pertentangan kelima tentang persamsalahan posisi dan peran tokoh dalam sebuah
peristiwa. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa.
tidak jarang dalam diri satu tokoh ada beberapa pandangan sekaligus, dianggap sebagai
pahlawan atau penjahat. Tokoh-tokoh sejarah sangat sering memunculkan kontroversi. Dalam
historiografi tradisional peran tokoh menjadi penggerak utama dalam jalannya sejarah,
sehingga keberadaannya menjadi kunci sifat kontroversial dalam sebuah peristiwa. Mulai dari
zaman klasik posisi tokoh sejarah sering berada di dua sisi, seperti kontroversi tentang Ken
Arok atau Ken Angrok. Di satu sisi ia disebut sebagai penjahat karena menggulingkan
kekuasaan yang sah, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan yang mendirikan kerajaan
Singhasari.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada beberapa tokoh yang kontroversial. Dalam
kisah suksesi Demak, ada tokoh bernama Arya Penangsang. Keberadaan Arya Penangsang
dianggap oleh masyarakat Demak dan Jepara sebagai penjahat karena melakukan
pembunuhan terhadap Hadlirin dan saudaranya. Akan tetapi di kawasan Rembang ia
dianggap sebagai tokoh yang berjasa.
Pada sejarah kontemporer, posisi tokoh sejarah tidak luput dari permasalahan
kontroversi, salah satunya tentang peran Soeharto dalam sejarah Indonesia. Pada masa
pemerintahannya, penulisan sejarah diarahkan untuk menampilkan Soeharto sebagai tokoh
sentral dalam sejarah Indonesia.
Epilog
Pemasalahan kontroversi hendaknya mampu membuka mata kita bahwa terdapat
ragam yang begitu semaraknya dalam sebuah karya sejarah. Sekilas permasalahn ini seolah
menjadi chaos yang menambah runyam negara yang tengah bemasalah ini. Namun demikian,
di tengah perdebatan yang muncul satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa penulisan
sejarah adalah menyangkut masalah selera dan kepentingan. Siapa yang berpengaruh
memaksakan selera dan kepentingannya, sejarah miliknyalah yang berkembang dan dikenal.
Daftar Pustaka
Asvi Warman Adam. 1999. “Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru”. Dalam Chambert-Loid,
Henri dan Hasan Muarif Ambary (ed). 1999. Panggung Sejarah: Persembahan
kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: YOI.
--------. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Bambang Purwanto. 2001a. “Reality and Myth in Contemporary Indonesian History”.
Humaniora. Volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.
---------. 2001b. “Historisisme dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajin Kritis terhadap
Historiografi Indonesiasentris”. Humaniora. Volume XIII, No. 1/2001. Hlm. 29-44.
---------. 2005. “Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik”.
Dalam Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto. 2005. Menggugat Hisoriografi
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
---------. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
---------. 2008. “Kata Pengantar” dalam Mc Gregor, Katharine. 2008. Ketika Sejarah
Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia.
Yogyakarta: Syarikat.
---------. 2009. “Sejarah, Kurikulum, dan Pembelajaran Kontroversial: Sebuah Catatan
Diskusi”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah
Kontroversial: Problem dan Soslusi. Prodi Pendidikan Sejarah PPs UNS. Surakarta,
29 Mei 2009.
Baskara T. Wardaya. 2008. Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.
Yogyakarta: Galang Press.
Carr, E.H. 1987. What is History. New York. Alfred A Knoff.
Mc Gregor, Katharine. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer
dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.
Mohammad Ali. 1995. “Beberapa Masalah dalam Historiografi Indonesia” dalam Dalam
Soedjatmoko dkk. (ed). 1995. Historiografi Indonesia sebuah Pengantar.
Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pusta Utama.
Nordholt, Henk Schulte. 2004. De-colonising Indonesian Historiography. Sweden: Centre for
East and South-East Asian Studies, Lund University.
Poespoprodjo, W. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis Validitas
Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Bandung: Remadja Karya.
Soedjatmoko. 1995. “Sejarawan Indonesia dan Zamannya”. Dalam Soedjatmoko dkk. (ed).
1995. Historiografi Indonesia sebuah Pengantar. Terjemahan. Jakarta: Gramedia
Pusta Utama.
Wood, Michael. 2005. Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and
Counterviews . Leiden & Boston: Brill.