BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Intern

BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang

  pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menenima upah.

  Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar

  

  upah.” Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang menyatakan: Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas

12 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hukum Perburuhan, ( Jakarta: PPAKRI Bhayangkari, 1968), hal. 9.

  (bahasa Belanda; dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah

   yang harus ditaati oleh pihak yang lain.

  Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut, ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk

  

  pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.” Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah

  13 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 63.

  14 Djumaidi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: RajaGrafindo

  Persada, 2008). hal. 31 diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja pada Pasal 1601a KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan dengan tegas tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah kepada orang lain, adalah pihak majikan atau pengusaha. Oleh karena itu “perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka ketentuannya kurang adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan

  

  didalamnya.” ”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar adanya pengaruh oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat manapun juga, yang memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan, terutama melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang yang derajatnya sangat rendah.”

  Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa yang terikat dalam perjanjian kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya

15 Ibid, hal. 31-32.

  untuk bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si majikan mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban

   untuk membayar upah.

  Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh A.

  Ridwan Halim, di bawah ini: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka

   masingmasing terhadap satu sama lainnya”.

  Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono, pengertian “perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh

  

  dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”. Dengan adanya pengertian tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di dalam perkembangannya masalah- masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan atau penerapan penjanjian kerja, perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi dan menjembatani kesenjangan tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga, guna pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika dalam suatu

  16 Iman Soepomo, Op. cit, hal. 57.

  17 A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal. 29.

  18 Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 9. perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah diuraikan sebelumnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak sama dan seimbang.

  Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang

   tugasnya mandiri.

2. Unsur-unsur perjanjian kerja

  Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa dinyatakan sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 1320 KUH Perdata. Demikian juga dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal

19 Djumialdi, Djumialdi, F.X., Perjanjian Kerja, (Jakarta: Bina Aksara, 1977), hal. 32. hal. 34-35.

  1320 KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ternyata masih ada unsur- unsur lain yang harus dipenuhi.

  Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaitu Mr. MG. Rood, ”bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu work, service,time and

   pay ". Berikut ini adalah penjabarannya: a.

  Adanya Unsur Pekerjaan (Work) Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja, pada pokoknya wajib untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas untuk melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 4 Peratuan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dinyatakan bahwa: ”Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan

20 Mr. MG. Rood, dalam Ibid., hal. 36

  pekerjaan”. Ketentuan tersebut di atas, bisa disebut when do not work, do

  

not get pay, maksudnya dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak

  mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk mendapatkan upah. Walaupun demikian di dalam pelaksanaannya, jika seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan melaksanakan pekerjaannya sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam perjanjian kerja, akan tetapi berhalangan. Ternyata ketentuan tersebut bisa dikesampingkan, yaitu dalam pelaksanaannya ternyata pekerjaan tersebut bisa diwakilkan atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain, yaitu majikan selaku pemberi kerja. Ketentuan ini bisa didapat dalam Pasal 1383 KUH Perdata jo 1603a KUHPerdata. Adapun bunyi dari ketentuan- ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 1383 KUH Perdata berbunyi: ”Suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang dan pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang, jika si berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh si berpiutang”. Dalam Pasal 1603a KUHPerdata adalah “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya (Pasal 1383 KUHPerdata)”.

  b.

  Adanya Unsur Pelayanan (Service) Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang Dokter misalnya dalam melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa dan atau mendiagnose pada pasiennya atau seorang Notaris yang melayani kliennya, dalam melakukan pekerjaannya tidak bisa disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja. Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan di bawah perintah orang lain, karena mempunyai keahlian tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien. Di samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerjaan itu harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu pekerjaan pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya sejak si pekerja bekerja memecah batu dan menghamparkannya di sepanjang jalan yang sedang diperkeras atau di aspal. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam unsure pelayanan adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja dan harus bermanfaat bagi pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di dalam isi perjanjian kerja. Oleh karena itu, “jika suatu pekerjaan yang

tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan pekerja itu sendiri. Maka tujuan pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan praktek seorang siswa atau mahasiswa, maka perjanjian tersebut jelas bukan merupakan

  

  perjanjian kerja.” c. Adanya Unsur Waktu Tertentu (Time)

  Melakukan hubungan kerja haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak boleh melakukan sekehendak dari majikan dan juga boleh dilakukan dalam kurun waktu seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari pekerja tersebut, di sini pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut di samping harus sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja, juga majikan. Dengan kata lain dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya, “buruh tidak boleh bekerja dalam waktu yang seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan ketentuan

  

  perundangundangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum.” d. Adanya Unsur Upah (Pay)

  21 Ibid., hal. 38-39.

  22 Ibid., hal. 39-40.

  Menurut Djumaldi, jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.

  Selanjutnya jika “seseorang bekerja bertujuan untuk mendapatkan manfaat bagi diri pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah. Maka unsur keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak

  

  terpenuhi.” Contoh dari ketentuan tersebut, misalnya dalam hal perjanjian kerja praktek dari seorang pelajar atau mahasiswa. Mereka dalam melaksanakan masa prakteknya, misalnya mahasiswa dari Akademi Perhotelan dan Pariwisata, maka sewaktu mahasiswa tersebut berpraktek di suatu hotel, walaupun mereka telah bekerja dan di bawah perintah orang lain serta dalam waktu-waktu tertentu pula. Akan tetapi karena tujuan untuk melakukan pekerjaan bukan untuk mencari upah, namun untuk menimba ilmu dan meningkatkan pengetahuan serta mencani pengalaman dan juga untuk mendapatkan tanda kelulusan praktek di suatu hotel dan sekali lagi bukan mencari pemenuhan tentang upah. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan, walaupun ketiga unsur telah terpenuhi, akan tetapi karena unsur yang keempat tidak terpenuhi, yaitu unsur pay atau upah, maka hubungan tersebut bukan merupakan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian kerja. Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang

   wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan itu.

  Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di bawah perintah orang lain yaitu majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas upah. Dalam hal menguraikan tentang upah, adalah kewajiban essensial dan hubungan kontraktual antara penerima kerja, yaitu buruh dengan majikan. Pemberian majikan, yang sifatnya tidak wajib, sesuai dengan

  23 Ibid., hal. 41

  24 Ibid., hal. 41. yang ditentukan di dalam perjanjian kerja atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya tidak mengikat untuk dilaksanakan, maka pemberian tersebut tidak bisa dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai upah, misalnya berupa bonus, persenan dan tunjangan hari raya dan lain sebagainya. Hal ini menurut Djumialdi “yang disebut dengan upah adalah imbalan yang diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.”

   B.

   Jenis-jenis Perjanjian Kerja

  Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), menyebutkan, berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

  Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan penjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.

  a.

  Isi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)

25 Ibid., hal. 41.

  Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

  

  yang berlaku. Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.

  b.

  Persyaratan pembuatan PKWT ”Merujuk ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pembuatan

  PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. 2) Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia. 3) Tidak boleh ada masa percobaan. 4)

  Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu.

  

  5) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.”

  Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang

  26 Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54. ayat (2) UU

  Ketenagakerjaan

27 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 6.

  sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.

  c.

  Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun (PKWT I) dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (perpanjangan PKWT pertama atau PKWT kedua). Dalam hal pengusaha ingin melakukan perpanjangan PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum PKWT berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis maksud mengenai perpanjangan PKWT tersebut kepada pekerja yang bersangkutan.

  Pembaruan PKWT (PKWT ketiga) hanya boleh dilakukan 1 kali paling lama 2 tahun dan pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Dalam masa tenggang waktu tiga puluh hari ini tidak boleh ada hubungan kerja apa pun antara pengusaha dan pemberi kerja.

  d.

  PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara Menurut Keputusan Menteri perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya maksudnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama tiga tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu

   pekerjaan dinyatakan selesai.

  Perjanjian kerja waktu tertentu, dalam hal dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaruan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak

   boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.

  e.

  PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman.

  28 Pasal 3 ayat (1), (2), dan ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

  Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Pasal 3 ayat (5), (6) dan ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

  “Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis

  

  pekerjaan pada musim tertentu.” “Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan

  

  pekerjaan tambahan.” “Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman

  

  ini tidak dapat dilakukan pembaruan.” f.

  PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru “Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang

  

  masih dalam percobaan atau penjajakan.” “Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 tahun tetapi tidak dapat

  30 Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 31 Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

  Tertentu 32 Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

  

  dilakukan pembaruan.” Kemudian juga, “perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan

  

  yang biasa dilakukan perusahaan.” g.

  Perjanjian kerja harian lepas “Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat perjanjian

  

  kerja harian lepas.” “Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak

  

  tertentu.” “Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu

  34 Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.

  Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 35 Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 36 Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

  Tertentu Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

38 PKWT pada umumnya.” Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka

  waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan sebagaimana perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya.

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

  “Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.”77 Menurut Pasal 1603 I KUH Perdata, jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, selama waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemberitahuan penghentian. Menurut Pasal 60 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan masa percobaan selama tiga bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku. Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa syarat masa percobaan kerja dalam penjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan.

  Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (1) ditentukan, penjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat

Pasal 11 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

  surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat: a. nama dan alamat pekerja; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah C.

   Pihak-pihak dalam Perjanjian Kerja

  Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kerja adalah: 1.

   Pekerja/ buruh/ karyawan

  Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan : buruh, karyawan atau pegawai.

  Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan Prints menyatakan bahwa maksud dari semua peristilahan tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang

   bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya.

  Melihat pernyataan di atas, maka termasuk sebagai pekerja/ karyawan/ buruh atau pegawai itu mencakup pegawai swasta maupun pegawai negeri (sipil dan militer). Akan tetapi dalam praktik dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai negeri. Terdapatnya berbagai sebutan atau istilah ini kelihatan mengikuti sebutan atau nama dari Departemen yang membidanginya, yang semula bernama Departemen Perburuhan dan sekarang Departemen Tenaga Kerja.

39 Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 20.

  Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja) menggunakan istilah buruh. Namun setelah Undang- undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah “pekerja/buruh” begitu pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja/buruh.

  Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan orang-orang ini disebutnya sebagai “ pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai

  White Collar”). Pembedaan yang membawa konsekuensi “Karyawan/Pegawai” ( pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang- orang pribumi.

  Setelah merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni Buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dan menerima upah” (Pasal 1 ayat 1 a).

  Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) pada waktu kongres FBSI II tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan

  

berada di bawah pihak lain yakni majikan.

  Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut di atas, menurut penulis istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sektor formal seperti Bank, Hotel dan lain-lain. Karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah pekerja.

  Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang membedakan antara pekerja dengan tenaga kerja. Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa:

  “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Dari pengertian ini jelaslah bahwa pengertian tenaga kerja sangat luas yakni mencakup semua penduduk dalam usia kerja baik yang sudah bekerja maupun yang mencari pekerjaan (menganggur). Usia kerja dalam Undang-

40 Lalu Husni, Op. cit, hal. 22.

  undang No. 13 Tahun 2003 minimal berumur 15 tahun (Pasal 69). Sedangkan pengertian pekerja/buruh adalah “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, (lihat pula Pasal 1 butir 9 Undang- undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Jadi pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam hal ini yang sudah mendapat pekerjaan.

  Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan Undang- undang No. 3 tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk: a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak; b. mereka yang menborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan; c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa istilah buruh telah digantikan istilah pekerja yaitu orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam hal ini pekerja adalah orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena tenaga kerja meliputi pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan kejra), ibu rumah tangga dan orang lain yang belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap.

2. Majikan/ pengusaha

  Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah “orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.

  Sama halnya dengan istilah Buruh, istilah Majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama, karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah Pengusaha. Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang- undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan, Undang- undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut dan diganti dengan Undang-undang No.

  13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 (lihat pula Pasal 1 butir 6 Undang- undang No. 2 Tahun 2004) menjelaskan pengertian Pengusaha yakni: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

  Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

  Sedangkan pengertian Perusahaan (Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.

  13 Tahun 2003, lihat pula Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004) adalah: a.

  Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

  b.

  Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjuk pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau organnya.

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja 1. Hak dan kewajiban pekerja a. Hak pekerja

  Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau

   jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya.

  Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut:

41 Darwan Prints, Op. cit, hal. 22-23.

  1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97

  Undang-undang No. 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah); 2)

  Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

  3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya

  (Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003); 4)

  Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan lagi ( Pasal 9-30 Undang-undang-undang No.

  13 Tahun 2003); 5)

  Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek);

  6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal 104 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 jo. Undang-undang No. 21 Tahun

  2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh); 7)

  Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

  8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan ( Pasal 88-98 Undang- undang No. 13 Tahun 2003);

  9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit- dikitnya enam bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir; yaitu dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh, atau oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh Majikan (Pasal 150-172 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

  10) Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian melalui pengadilan (Pasal 6-115 Undang-undang No. 2 Tahun 2004); Menurut Konvensi ILO 1948 ada empat macam hak tenaga kerja yaitu hak berserikat; hak berunding kolektif; hak mogok, dan hak mendapat upah.

b. Kewajiban pekerja

  Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas, tenaga kerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut: 1)

  Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan; 2)

  Wajib mematuhi peraturan perusahaan; 3)

  Wajib mematuhi perjanjian kerja; 4)

  Wajib mematuhi perjanjian perburuhan; 5)

  Wajib menjaga rahasia perusahaan; 6)

  Wajib mematuhi peraturan majikan;

  7) Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal

   ada banding yang belum ada putusannya.

2. Hak dan kewajiban pengusaha a. Hak pengusaha

  Hak pengusaha adalah sesuatu yang harus diberikan kepada pengusaha sebagai konsekuensi adanya pekerja yang bekerja padanya atau karena kedudukannya sebagai pengusaha. Adapun hak-hak dari pengusaha itu sebagai

  

  berikut: 1)

  Boleh menunda pembayaran tunjangan sementara tidak mampu bekerja sampai paling lama lima hari terhitung mulai dari kecelakaan itu terjadi, jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan tidak dengan perantaraan perusahaan atau kalau belum memperoleh surat keterangan dokter yang menerangkan, bahwa buruh tidak dapat beketja karena ditimpa kecelakaan;

  2) Dengan persetujuan sebanyak-banyaknya 50% apabila kecelakaan terjadi sedang di bawah pengaruh minuman keras atau barang-barang lain yang memabukkan;

  3) Boleh mengajukan permintaan kepada pegawai pengawas, untuk menetapkan lagi jumlah uang tunjangan yang telah ditetapkan, jikalau dalam keadaan selama-lamanya tidak mampu bekerja itu terdapat perubahan yang nyata;

  4) Dapat mengajukan keberatan dengan surat kepada Menteri Tenaga Kerja, apabila permintaan izin atau permintaan untuk memperpanjang waktu

  42 Ibid, hal. 23.

  43 Ibid, hal. 36-37. berlakunya izin ditolak dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung mulai tanggal penolakan; 5)

  Pengusaha berhak untuk:

  a) Mendapat pelayanan untuk memperoleh calon tenaga kerja Indonesia yang akan dikirim ke luar negeri dari Kandepnaker.

b) Mendapat informasi pasar kerja.

  6) Mewakili dan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asing di Luar

  Negeri yang menunjuknya (Pasal 7 Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. Per.01/Men/1983).

  7) Dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Tenaga Kerja atas pencabutan izin usahanya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) dari setelah keputusan izin usaha dikeluarkan (Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/Men/1983).

  8) Menetapkan saat dimulainya istirahat tahunan dengan memperhatikan kepentingan buruh;

  9) Mengundurkan saat istirahat tahunan untuk selama-lamaya 6 (enam) bulan terhitung mulai saat buruh berhak atas istirahat tahunan berhubung dengan kepentingan perusahaan yang nyata-nyata;

  10) Dapat memperhitungkan upah buruh selama sakit dengan suatu pembayaran yang diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan perundangan/peraturan perusahaan/suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu pertanggungan (Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981);

  11) Menjatuhkan denda atas pelanggaran sesuatu hal apabila hal itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan

  (Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981). 12)

  Minta ganti rugi dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya (Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981).

  13) Memperhitungkan upah dengan :

  a) Denda, potongan dan ganti rugi.

  b) Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian tertulis.

  c) Uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh terhadap pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis (Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  b. Kewajiban pengusaha

  Kewajiban pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh pengusaha, bagi kepentingan tenaga kerjanya. Adapun pengusaha itu adalah

  

  sebagai berikut: 1)

  Wajib menjaga agar di perusahaannya tidak dilakukan pekerjaan yang bertentangan dengan ditetapkan dalam Pasal 4 Stb. 647 Tahun 1925.

  2) Wajib memberikan keterangan yang diminta oleh pejabat yang berwenang;

44 Ibid, hal. 39-45.

  3) Wajib memberikan upah buruh:

  a) Jika buruh sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya, dengan ketentuan:

  (1) Untuk tiga bulan pertama dibayar 100%

  (2) Untuk tiga bulan kedua dibayar 75%

  (3) Untuk tiga bulan ketiga dibayar 50%

  (4) Untuk tiga bulan keempat dibayar 25%

  b) Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal:

  (1) Buruh sendiri kawin dibayar untuk selama dua hari. (2) Menyunatkan anaknya dibayar untuk selama satu hari. (3) Membabtiskan anaknya dibayar untuk selama satu hari. (4) Mengawinkan anaknya dibayar untuk selama dua hari. (5)

  Anggota keluarga meninggal dunia, yaitu suami/istri, orang tua/mertua atau anak dibayar untuk selama dua hari.

  (6) Istri melahirkan anak dibayar untuk selama satu hari (Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  4) Wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban negara, jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak mendapat upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah, tetapi tidak melebihi satu tahun (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  5) Wajib membayarkan kekurangan atas upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang menjalankan kewajiban negara, bilamana jumlah upah yang diterimanya kurang dari upah yang biasa diterima tetapi tidak melebihi satu tahun (Pasal 6 ayat (20 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  6) Wajib membayarkan upah kepada buruh yang tidak dapat bekerja karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya, akan tetapi tidak melebihi tiga bulan (Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  7) Wajib membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun karena halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya dapat dihindari (Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  8) Membayar upah buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  9) Harus membayar seluruh jaminan upah pada tiap pembayaran (Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

  10) Wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Kakandep Tenaga Kerja setempat) selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah :

  a) Mendirikan perusahaan;

  b) Menjalankan kembali 1 (satu) perusahaan; c) Memindahkan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1981).

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Internusa Indonesia.

0 54 102

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara

0 6 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang

0 0 67

BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit - Aspek Hukum yang Harus Dipenuhi dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hak Tanggungan Studi pada Bank Danamon Simpan Pinjam Unit Petisah)

0 0 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Sejarah Bank 1. Pengertian Bank - Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Atas Pemberian Perjanjian Kredit (Studi Pada Bank BNI 46 Medan)

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Internusa Indonesia.

0 0 17

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA A. Pengertian Perlindungan Hukum - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Internusa Indonesia.

0 2 40

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Internusa Indonesia.

0 0 17