BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan

1. Pengertian dan Hukum Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

  Untuk memahami tentang perjanjian perkawinan maka terlebih dahulu haruslah dipahami pengertian dan hukum perjanjian pada umumnya.dari perjanjian dan dari perkawinan itu sendiri. Jika diuraikan satu persatu maka sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian didefenisikan sebagai: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

  Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebagai “suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling

  57 mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

  R. Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu yang

  58 dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan”. 57 58 Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1992), hal. 78.

  R. Subekti, Op. Cit., hal. 1.

  

31 Dari pengertian perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan di antara dua pihak yang membuatnya. Perikatan dan perjanjian merupakan suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, di mana suatu perikatan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam fikiran kita, sedangkan perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan dapat didengar juga.

  Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak

  59 sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret.

  Hubungan hukum antara dua pihak yang terikat di dalam suatu perjanjian inilah yang juga terlihat dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan, di mana adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri setelah perkawinan mereka menjadi dasar hukum bagi suami istri tersebut untuk mematuhi isi perjanjian perkawinan yang mereka buat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sebagai undang- undang bagi keduanya dan juga bagi pihak ketiga yang terkait di dalam perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut.

b. Unsur-Unsur Perjanjian

  Dalam perkembangan ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal

  60

  1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata , di mana rumusan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk 59 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum , (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 129.

  Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat 60 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 84.

  hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”.

  Ketiga unsur-unsur pokok perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai

  61

  berikut : 1). Unsur Esensialia

  Unsur esensialia ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve

  62 oordeel ). Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya

  karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah conditio sine quanon dari suatu perjanjian, yaitu di mana tanpa adanya keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi demi hukum.

  Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan

  63 dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.

  Jadi jelaslah bahwa unsur esensialia ini adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian karena tanpa unsur ini maka perjanjian yang dibuat oleh para 61 62 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1994), hal. 65.

  Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 24. 63 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85. pihak menjadi berbeda dan tidak sejalan dengan kehendak para pihak, sehingga unsur ini dapat dianggap sebagai pembeda antara suatu perjanjian dengan

  64 perjanjian lainnya.

  2). Unsur Naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,

  65

  setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Unsur naturalia ini berbeda dengan unsur esensialia, di mana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur

  naturalia

  , maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsur naturalia berbentuk ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian sebagai optional law (hak opsi atau pilihan hukum).

  3). Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus

  66

  yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Unsur ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. 64 65 Ibid ., hal. 86.

  ., hal. 88. 66 Ibid Ibid., hal. 89.

c. Asas-Asas Hukum Perjanjian

  Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUHPerdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.

67 Asas-asas hukum perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

  68

  1). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) dinyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, yang dalam hal ini dapat diartikan bahwa setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.

  Asas kebebasan berkontrak ini tidak mempunyai arti tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, sehingga kebebasan berkontrak sebagai asas diberi sifat sebagai asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas ini mendukung kedudukan yang seimbang di antara para pihak,

  67 Ibid., hal. 14. 68 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 4-5. sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi

  69 kedua pihak.

  2). Asas Personalia Asas personalia ini diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata.

  Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa: “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada dirinya sendiri”, dan dalam Pasal 1340 KUHPerdata disebutkan bahwa : “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak- pihak yang membuatnya”. Dari rumusan itu dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya

  70

  sendiri. Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.

  3). Asas Konsensualisme (consensualism) Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. Perjanjian itu telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus. 69 70 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 45.

  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 15.

  4). Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang dan mengikat kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan pihak yang terkait di dalamnya.

  Di samping 4(empat) asas-asas umum hukum perjanjian yang disebut di atas,

  71

  juga masih terdapat asas-asas lain dalam hukum perjanjian, yaitu : 1). Asas Itikad Baik (good faith)

  Asas itikad baik ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu : “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut.

  Itikad baik ini ada bukan pada saat pelaksanaan perjanjian saja tetapi juga pada saat dibuat atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

  2). Asas Kepercayaan Asas ini mengandung arti bahwa seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya kepercayaan yang melandasi perjanjian yang dibuat tersebut.

  3). Asas Kekuatan Mengikat 71 Suharnoko, Op. Cit., hal. 4-5.

  Kekuatan mengikat dalam perjanjian maksudnya bahwa dengan adanya asas ini maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.

  4). Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati.

  5). Asas Keseimbangan Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, di mana hal ini berarti janji yang dibuat para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.

  6). Asas Kepatutan Asas kepatutan ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi :

  “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dari rumusan pasal ini jelaslah bahwa perjanjian itu haruslah dilaksanakan berdasarkan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, yaitu tidak melanggar batas-batas kesusilaan atau moral.

  7). Asas Kepastian Hukum Kepastian hukum disini maksudnya bahwa perjanjian itu tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal-hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum ini terlihat dari adanya kekuatan mengikat dari perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya guna menjamin adanya kepastian hukum dari perjanjian tersebut.

d. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

  Suatu perjanjian baru dapat berlaku dan mengikat bagi para pihak apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

  1). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2). kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3). suatu hal tertentu; 4). suatu sebab yang halal.

  Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang

  72

  dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu : 1). Syarat Subyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek perjanjian, terdiri dari : a). Kesepakatan.

  Kesepakatan merupakan penyesuaian kehendak antara para pihak di mana kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak

  73 lainnya.

  b). Kecakapan.

  Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan (perjanjian) apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331

74 KUHPerdata.

  2). Syarat Obyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek perjanjian, terdiri dari : a). Hal tertentu.

  72 73 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 93-94.

  Ahmadi Miru, Hukum Kontrak : Perancang Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 14. 74 Lihat Pasal 1329 – 1331 KUHPerdata. Mengenai syarat suatu hal tertentu telah ditegaskan dalam Pasal 1333

75 KUHPerdata , yang pada intinya menyatakan bahwa syarat itu tidak hanya

  mengenai objek yang jenisnya tertentu saja, tetapi juga meliputi benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya belum ditentukan, asalkan jumlah itu

  76 kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

  b). Sebab yang halal.

  Syarat perjanjian ‘sebab yang halal’ dalam KUHPerdata dijelaskan dalam

  77 Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337. Sebab yang halal maksudnya isi dari

  perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini karena undang-undang bersifat melindungi kepentingan

  78 umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.

e. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam masyarakat kita dikenal berbagai macam bentuk atau jenis perjanjian.

  79 Jenis-jenis perjanjian itu dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu:

  1) Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya: perjanjian jual beli.

  2). Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban 75 76 Lihat Pasal 1333 KUHPerdata. 77 R.M. Suryodiningrat, Asas-Asas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1982), hal. 18. 78 Lihat Pasal 1335-1337 KUHPerdata.

  Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 74. 79 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hal.19-22. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.

  3). Perjanjian bernama (benoemd, specified) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd, unspecified) Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

  Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari- hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUHPerdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Misalnya: Perjanjian sewa beli. 4). Perjanjian campuran (Contractus sui generis)

  Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya: pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. 5). Perjanjian obligatoir

  Perjanjian obligatoir adalah perjanjian perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Disebut perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan (levering).

  6). Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain.

  7). Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

  a). Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding), Pasal 1438 KUHPerdata.

  b). Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

  c). Perjanjian untung-untungan. Misalnya: perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata.

  d). Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu bertindak sebagai penguasa (pemerintahan). Misalnya: perjanjian ikatan dinas.

2. Pengertian dan Hukum Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

  Terdapat bermacam-macam rumusan pengertian yang terkait dengan istilah perkawinan yang dikemukakan oleh ahli-ahli di bidang hukum, di antaranya :

  1). Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual

  80 sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.

  2). Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang

  81 termasuk dalam peraturan.

  3). K. Wantjik Saleh mengungkapkan : perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas

  82 pertama dalam Pancasila.

  4). Ahmad Azhar Basyir dalam sebuah bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam berpendapat bahwa : perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa

  83 ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.

  5). Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau “miitsaaqon goliidhan” untuk mentaati perintah Allah dan

  84 melaksanakannya merupakan ibadah. 80 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) , (Jakarta: Bumi Aksara, 1966), hal. 1. 81 82 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3. 83 Ibid., hal. 6. 84 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hal. 14.

  (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Agama, 1992/1993).

  6). Ditinjau dari sudut pandang UU Perkawinan dalam Pasal 1 dirumuskan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 7). Sementara itu dalam KUHPerdata, tidak ada memberikan pengertian perkawinan secara rinci. Menurut Pasal 26 KUHPerdata dikatakan, “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal

  81 KUHPerdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”.

  Dari beberapa pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa perbedaan tentang rumusan pengertian perkawinan terutama terlihat jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut UU Perkawinan. Perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai ‘Perikatan Perdata’, sedangkan perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’.

85 Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan,

  tetapi terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan sekedar perjanjian seperti jual beli 85 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 7. atau sewa menyewa tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan

  86 seorang wanita.

  Adanya perbedaan di antara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Perkawinan tersebut haruslah diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, cara/prosedur melangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

b. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

  Untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan sebagaimana tercantum dalam pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU Perkawinan yaitu : ”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka sebuah perkawinan haruslah dilengkapi dengan syarat-syarat sahnya perkawinan untuk menjamin kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri.

  Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, 86 M. Idris Ramulyo, Op. Cit., hal. 1. Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

  Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan, yang menyatakan : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung daripada ketentuan agama dan kepercayaan dari masing- masing individu atau orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

  Syarat-syarat perkawinan ini merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut terbagi

  

87

  dua yaitu syarat materil dan syarat formil , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU Perkawinan, syarat-syarat materil sahnya perkawinan adalah sebagai berikut : 87 Menurut H.R. Sardjono, UU Perkawinan mengenal dua macam syarat perkawinan yaitu:

  Syarat Materiil : yaitu syarat-syarat yang menyangkut pribadi calon suami dan calon istri. Syarat materiil ini dibagi pula atas dua buah yaitu (a) syarat materiil umum yaitu syarat materiil yang berlaku untuk perkawinan pada umumnya, sedangkan (b) syarat materiil khusus hanya berlaku untuk suatu perkawinan tertentu, yaitu perkawinan yang dilarang. Syarat Formil : yaitu syarat yang menyangkut

  1). Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2).Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

  3).Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4).Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5).Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang- orang tersebut yang memberikan izin. 6).Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

  Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, yang secara formil diuraikan menurut Pasal 12 UU Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  Secara singkat syarat formil ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1).Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai

  Pencatat Perkawinan; 2). Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3).Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing; 4). Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

  Ketentuan mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan

  formalitas yang harus dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan dan pada saat dilangsungkan perkawinan. Lihat, Rusdi Malik, Op. Cit., hal. 32. dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah

  88 kawin.

  Dalam Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 PP No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan.

  Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

  Sementara itu untuk orang Tionghoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari kantor catatan sipil setempat, sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk dari Kantor

89 Urusan Agama.

  Dalam Pasal 7 UU Perkawinan juga disebutkan : 1).Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

  (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam 88 belas) tahun.

  Lihat Pasal 3, 4 dan 5 PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 89 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 9.

  2).Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 3).Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

  Sementara itu syarat-syarat sahnya perkawinan menurut KUHPerdata secara

  90

  ringkas adalah sebagai berikut : 1).berasas monogami (Pasal 27 KUHPerdata); 2).harus ada kata sepakat dan ada kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal

  29 KUHPerdata); 3).seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29

  KUHPerdata); 4).ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata); 5).anak-anak yang belum dewasa harus mendapat izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata); 6). tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata);

  Dalam hal ini asas monogami yang dimaksud dalam KUHPerdata adalah asas yang berlaku dalam perkawinan dalam KUHPerdata. Perkawinan monogami berarti setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula sebaliknya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 KUHPerdata.

  Berbeda dengan UU Perkawinan, maka menurut KUH Perdata perkawinan semata-mata dilihat dari hubungan keperdataan, tidak berhubungan dengan masalah religious/keagamaan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 26 KUHPerdata yang

90 Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri, (Jakarta: Rana Pustaka, 2012), hal. 6.

  menyatakan undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan

  91 perdata.

  Ke semua syarat-syarat sahnya perkawinan ini adalah demi terwujudnya tujuan dari perkawinan itu sendiri yang pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.

c. Akibat Hukum Perkawinan

  Sahnya suatu perkawinan sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum dari perkawinan tersebut yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan berumah tangga bagi kedua belah pihak. Di mana hak yang dimaksud adalah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak

91 Ibid ., hal. 5.

  rela haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain.

  KUHPerdata); 5). setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 ayat 3 KUHPerdata); 6). setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4

  95

  KUHPerdata); Dalam Pasal 111 KUHPerdata, kewajiban seorang suami dalam memberi bantuan kepada istrinya tidak diperlukan apabila :

  KUHPerdata); 11). setiap istri berhak membuat suart wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118

  9). setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2 KUHPerdata) 10). setiap suami wajib membantu istrinya di muka hakim (Pasal 110

  8). setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1 KUHPerdata);

  KUHPerdata); 7). suami tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya (Pasal 105 ayat 5 KUHPerdata);

  KUHPerdata); 4). suami wajib memberi bantuan kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2

  92 Sedangkan kewajiban yang

  KUHPerdata); 3). setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri (Pasal 105 ayat 1

  1). suami dan istri harus setia dan tolong menolong (Pasal 103 KUHPerdata); 2). suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104

  94

  sampai dengan Pasal 118, yang secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut :

  93 Menurut KUHPerdata, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 103

  dimaksud adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.

  1). istrinya dituntut di muka hakim karena sesuatu perkara pidana; 92 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kelima, 2004), hal. 87. 93 Ibid. 94 Libertus Jehani, Op. Cit., hal. 16-17. 95 Ibid ., hal. 17.

  2). istrinya mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian, pemisahan meja, dan ranjang, atau pemisahan harta kekayaan.

  Apabila dalam KUHPerdata masih terlihat ketidak seimbangan kedudukan antara suami istri dan hanya bertitik tolak dari hubungan perdata suami istri semata, maka lain halnya dengan UU Perkawinan yang sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan,

  96

  yang intinya adalah sebagai berikut : 1). Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; 2). hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

  3). masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; 4). suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga; 5). suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah/tempat kediaman ini ditentukan secara bersama-sama; 6). suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain; 7). suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; 8). istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; 9). jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

  Di samping hak dan kewajiban tersebut di atas, masih terdapat hak dan kewajiban lainnya yang juga merupakan akibat hukum dari perkawinan, yaitu

96 Ibid ., hal. 38-39.

  terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan, sebagaimana tercantum dalam

  Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, sebagai berikut :

  97

  1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat 1);

  2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat 2);

  3). Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat 1); 4). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

  (Pasal 36 ayat 2); 5). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. (Pasal 37).

  Akibat hukum yang lainnya juga diatur dalam UU Perkawinan adalah terhadap mereka berdua sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang berupa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Pasal 45 sampai dengan Pasal 49), tentang kedudukan anak (Pasal 42 sampai dengan Pasal 44), dan tentang perwalian atas anak (Pasal 50 sampai dengan 54).

  98

3. Pengertian dan Hukum Perjanjian Perkawinan

a. Pengertian Perjanjian Perkawinan

  Bila dilihat dari istilah katanya, maka “perjanjian perkawinan jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dua kata, perjanjian dan

  97 Mulyadi, Op. Cit., hal. 52. 98 Rusdi Malik, Op. Cit., hal. 52.

  99

  perkawinan”. Perjanjian perkawinan menurut asal katanya merupakan terjemahan

  100 dari kata “huwelijksvoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW).

  “Huwelijk” sendiri menurut bahasanya berarti perkawinan antara seorang laki-laki

  101 102

  dan seorang perempuan, sedangkan “voorwaard” berarti syarat. Istilah

  103

  perjanjian perkawinan ini juga terdapat di dalam KUHPerdata , Undang-Undang

  104 105 Nomor 1 Tahun 1974 , dan dalam Kompilasi Hukum Islam.

  Dalam UU Perkawinan tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk tentang isi dari perjanjian perkawinan. Hanya pada Pasal 29 ayat (2) diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan yaitu yang berbunyi : “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.

  Demikian juga dengan KUHPerdata yang tidak ada memberikan definisi tentang perjanjian perkawinan. Menurut Pasal 139 KUHPerdata, calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Dari pengertian Pasal 139 KUH Perdata tersebut dapat diuraikan, bahwa perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden) sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

  99 100 M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 138. 101 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1995), hal. 37.

  Martias Gelar Imam Radjo Mulano, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 107. 102 103 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hal. 771. 104 Bab VII dan Bab VIII, Pasal 139-185, KUHPerdata. 105 Bab V Pasal 29 UU Perkawinan.

  Bab VII Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak ditemukan defenisi perjanjian perkawinan dalam pasal-pasalnya. Namun dalam Pasal 45 KHI ditentukan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.

  Dalam Pasal 1 huruf e taklik talak diartikan sebagai perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji

  talak

  yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

  Dengan tidak adanya pengertian yang jelas tentang pengertian perjanjian perkawinan dalam ketentuan perundang-undangan, maka para ahli memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan yang pada umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Berikut beberapa pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli : 1). Menurut Gatot Supramono :

  Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan

  106 isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.

  2). Menurut R. Subekti, “Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas

  107 atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”. 106 107 Gatot Supramono, Op. Cit., hal. 39.

  R. Subekti, Op. Cit., hal. 9.

  3). Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan ‘perjanjian atau syarat kawin’ itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.

  108

  4). Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin mengatakan ”perjanjian perkawinan” adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

  109

  Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami istri dalam perkawinan saja, di mana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami atau calon istri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka jalani.

  Sebagaimana yang dinyatakan Martiman Prodjohamidjojo : “Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta kekayaan antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut”.

  110 108 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, 1990), hal 53. 109 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V

  (Bandung: Alumni, 1987), hal. 57. 110 Martiman Prodjohamidjodjo, Op. Cit., hal. 29.

  Adanya akta perjanjian perkawinan ini, akan menjamin calon suami isteri tersebut dari sifat-sifat negatif pasangannya. Misalnya calon suami bersifat boros, maka harta calon isteri akan terlindungi oleh sifat boros tersebut karena harta masing- masing calon suami isteri tersebut terpisah. Atau calon isteri mempunyai hutang dengan pihak ketiga, maka dalam hal pelunasan tersebut harta suami tidak dapat diikutsertakan, hanya dengan harta calon isteri saja pembayaran hutang dapat dilakukan dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut.

  Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya mengenai kepentingan para pihak dalam kepengurusan harta masing-masing pihak calon suami atau isteri. Bilamana salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, maka pihak lain dapat melakukan penuntutan ke Pengadilan atas pelanggaran isi perjanjian perkawinan yang telah dibuat.

b. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan

  Untuk dapat membuat perjanjian perkawinan, maka dalam KUHPerdata, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi.

  Perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian karenanya harus memenuhi persyaratan umum suatu perjanjian, kecuali dalam peraturan khusus ditentukan lain. Adapun persyaratan umum tersebut adalah tentang syarat-syarat

  111 sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

  Selain hal yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian perkawinan juga harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan Pasal 1338, karena perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun khususnya dalam pembuatan perjanjian perkawinan, undang-undang memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa untuk membuat perjanjian, dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 151 KUHPerdata : a). Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan. b).Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan.

  c). Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan. 2). Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian perkawinan.

  Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 KUHPerdata juga menyebutkan, perjanjian perkawinan harus 111

  Lihat Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

  b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan

  c. suatu hal tertentu

  d. suatu sebab yang halal dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan, dengan cara bagaimanapun, tidak dapat diubah.

Dokumen yang terkait

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara

0 6 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

0 0 56

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN” SELAMA BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian” - Tinjauan Yuridis Perjanjian Perc

0 0 30

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN I. Pengertian Dan Pengaturan Tentang Perjanjian Pemborongan 1. Pengertian Perjanjian - Analisa Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/PN.NIAGA.Mdn

0 0 24