Makalah Hubungan Islam and Negara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang
memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan
senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah,
atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman.
Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui
pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan
hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau
implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan mainjudi). Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam
arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilainilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu
mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka saya merumuskan masalah tentang dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa Hubungan Islam dan Negara Dilihat secara ideologis?
2.
Bagaimana Kekuatan Politik Islam dengan Negara Era Orde Baru?
3.
Dimana Perubahan Posisi dan Ekspresi Kekuatan Politik Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas
maka, tujuan penulisan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah :
1.
Memberitahukan Hubungan Islam dan Negara Dilihat secara ideologis?
2.
Memberitahukan Kekuatan Politik Islam dengan Negara Era Orde Baru?
3.
Memberitahukan Perubahan Posisi dan Ekspresi Kekuatan Politik Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HUBUNGAN ISLAM & NEGARA
Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada
proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang
kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa
yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan
antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya.
Ideologi yang ada di dunia ada tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah),
Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar
tentang kehidupan pun ada tiga macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah
Kapitalisme dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan
pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang
kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.
Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang menyatakan segala sesuatu
yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek
kegaiban lainnya. Ide materialisme ini dibangun oleh dua ide pokok dalam
Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu
Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme.
Agama tidak mempunyai tempat didalam Sosialisme. Sebab agama
berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh
ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang
negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan
pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama
merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan. Aqidah
ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil
hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun
hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama
memang diakui walaupun hanya secara formalitas namun agama tidak boleh
mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya,
sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri.
Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia
dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama
manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau
perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individuindividu pelaku politik.
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini
merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan
hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan
bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang
cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian
saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan
dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap
perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)“Barangsiapa yang tidak
memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
B.
KEKUATAN POLITIK ISLAM DENGAN NEGARA (ORDE BARU)
Untuk memperoleh gambaran mengenai konfrontasi negara ORBA dengan
kekuatan politik Islam pada dua dekade pertama periode ORBA berikut faktorfaktor penyebabnya, pada poin ini, dengan cara pemaparan historis, akan
dibicarakan tiga kelompok fenomena. Pertama, Setting politik menjelang
berakhirnya demokrasi terpimpin dan masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
Dalam usaha menekan kekuatan politik PKI dan para simpatisannya, kekuatan
politik Islam tampil sebagai partner utama ABRI. Peran umat Islam sebagai
pelaku paling menentukan dalam grand coalition “Pengganyangan” PKI antara
lain terlihat dari hampir keseluruhan kesatuan-kesatuan aksi seperti KAP Gestapu,
KAMI dan KAPI yang pucuk pimpinannya dipegang oleh tokoh-tokoh organisasi
Islam. Partnership militer dengan kekuatan politik Islam terus berlanjut setelah
pembubaran PKI, karena lagi-lagi militer amat membutuhkan kekuatan umat
Islam untuk menekan Soekarno turun dari kekuasaannya. Militer tidak bisa
berharap banyak untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan politik non-Islam,
apalagi PNI, untuk meng hadapi Soekarno.
Kekuatan-kekuatan politik non-Islam yang anti komunis umumnya cukup
senang melihat PKI lumpuh dan siap mengajak presiden Soekarno ke meja
prundingan untuk melakukan kerangka perimbangan kekuasaan politik baru.
Namun kekuatan-kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan unsur-unsur
kekuatan politik Islam di partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi akhirnya
berhasil memaksa Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Besarnya pengaruh
dan peranan umat Islam dalam “Pengganyangan “ PKI dan meruntuhkan Orde
Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dalam proses kelahiran
Orde Baru, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam
menentukan strategi selanjutnya.
Bagi mereka, memasuki era ORBA merupakan momentum yang tepat untuk
mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan politik Islam melalui pembangunan
kembali partai-partai Islam, karena jasa kaum muslimin dalam melahirkan ORBA
dan naiknya pamor politik Islam setelah lenyapnya PKI dari papan percaturan
politik kepartaian tanah air. Namun, sementara kekuatan –kekuatan plitik Islam
sangat bersemangat mengkonsolidasikan partai-partai Islam, kelompok koalisi
ORBA justru memandang perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara
ketat. Para anggota koalisi utama ORBA yang berkuasa, dalam menghadapi krisis
politik dan ekonomi yang parah warisan ORLA, memutuskan untuk menerapkan
strategi stabilitas politik yang ketat dengan “menghapuskan” politik kepartaian.
Dengan demikian, teramat jelas antara strategi revitalitas partai Islam oleh para
pemimpin Islam dengan strategi deparpolisasi negara ORBA berbanding terbalik.
Kenyataan perbedaan logika strategi politik tersebut yang jatuh berimpit dengan
latar belakang kultural para aktor koalisi inti ORBA di sekitar Jendral Soeharto
yang didominasi oleh kalangan sekuler {abangan} dan primordial Kristen/Katolik
secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas
dasar itu, tak mengherankan bila partnership yang terbina antara umat Islam
dengan militer yang merupakan pilar utama rezim ORBA pada masa transisi Orde
Lama mulai berubah menjadi penuh pertentangan dan kecurigaan hingga
menjelang penghujung dekade 1980-an. Kedua, kasus-kasus konfrontasi atau
pertentangan antara kekuatan politik Islam dan negara Orde Baru. Secara umum,
konfrontasi dan pertentangan antara kekuatan pollitik Islam dan negara Orde Baru
bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok:
{1} Petentangan politik partisan dan;
{2} Pertentangan terkait dengan isu-isu kebijakan publik.
Konfrontasi yang masuk dalam klasifikasi pertama adalah ketegangan soal tidak
diizinkan berdirinya partai-partai Islam oleh negara, seperti: rehabilitasi Masyumi,
Kongres Umat Islam Indonesia {KUII}, berdirinya Partai Demokrasi Islam
Indonesia {PDII}, dan sejenisnya. Termasuk juga, persaingan tajam antara Golkar
dengan partai-partai Islam dalam pemilu 1971 sampai 1982, di mana dalam
persaingan tersebut selama masa kampanye acapkali diwarnai bentrokanbentrokan fisik. Sedangkan konfrontasi yang masuk kategori kedua, antra lain:
masalah RUU Perkawinan 1973, Aliran Kepercayaan dalam GBHN {SU
MPR1978}, masalah perjudian {Porkas, SDSB}, larangan libur sekolah di bulan
romadhon, dan sebagainya. Ketiga , upaya negara untuk menciptakan tatanan
politik
yang
bisa
menopang
mekanisme
minimalisasi
konflik
untuk
memaksimalkan produktifitas ekonomi melalui rekayasa penyederhanaan partaipartai politik, terutama partai Islam, serta upaya korporatisasi politik umat Islam
melalui Majelis Ulama’ Indonesia {MUI}.
C.
PERUBAHAN POSISI, EKSPRESI KEKUATAN POLITIK ISLAM
Menjelang kejatuhan Soeharto dari jabatan kepresidenan terdapat perubahan yang
cukup fundamental menyangkut posisi dan ekspresi kekuatan-kekuatan politik
Islam di tanah air. Dua perubahan penting itu antara lain:
{1} Mainstream para pemimpin kekuatan Islam yang memasuki dekade 1990-an
menerapkan strategi akomodasi dengan pemerintah “menolak” melanjutkan
politik akomodasi dengan presiden Soeharto. Menjelang kejatuhan Soeharto,
nampak sekali para pemimpin Islam dari “sayap modernis” menerapkan kembali
“strategi oposisi” terhadap pemerintah;
{2} Seiring dengan berhembusnya angin kencang reformsi untuk menggulingkan
Soeharto, kekuatan-kekuatan Islam terlihat berusaha merevitalisasi perjuangan
Islam melalui gelanggang poltik partisan.
Menarik disimak bahwa menjelang lengsernya Soeharto dari puncak piramida
politik Indonesia pada Mei 1998, dia sesunggguhnya berusaha mempertahankan
gripnya terhadap kekuatan Islam melalui politik akomodasinya. Beberapa indikasi
kuat political will Soeharto untuk merangkul kekuatan Islam itu antara lain:
Pertama, masih banyaknya pemimpin Islam yang terepresentasikan dalam fraksifraksi yang mewakili kelompok koalisi pemerintah di DPR/MPR-RI dalam Sidang
Umum 1998.
Kedua, kelompok koalisi pemerintah di MPR-RI dalam Sidang Umumnya 1998
melakukan terobosan akomodasi baru terhadap tuntutan umat Islam menyangkut
status aliran kepercayaan dalam GBHN.
Ketiga, terepresentasikan elite muslim ke dalam struktur kabinet pembangunan
VII.
Kendati Soeharto waktu itu masih terlihat berupaya menjalankan poltik
akomodasi dengan kekuatan Islam, dari kalangan kekuatan Islam sebagean besar
nampaknya menolak melanjutkan proyek politik “simbolis mutualisme “dengan
rezim Orde Baru. Gejala awal mengayunnya bandul poltik konfrontasi elite Islam
pada tahun 1995 ketika Dr.Sri Bintang Pamungkas, salah satu pendiri ICMI,
melakukan serangkaian kritikan keras terhadap pemerintah yang berujung pada
penangkapan dirinya oleh pihak keamanan karena dituduh mempermalukan
presiden Soeharto saat kunjungan kenegaraannya ke Dresden, Jerman. Beberapa
bulan kemudian Dr. M. Amien Rais semakin lantang menyerukan suksesi
kepemimpinan nasional pada tahun 1998. Dalam berbagai kesempatan, intelektual
muslim dari Yogya itu semakin tajam menyorot korupsi, kolusi,dan nepotisme
dalam pemerintahan Orde Baru.Rangkaian kritikan Amien Rais tersebut kabarnya
membuat berang Soeharto yang menemukan bentuknya lebih jelas pada kritikan
intelektual itu terhdap skandal tambang emas busang awal tahun 1997. Presiden
Soeharto selaku dewan pembina ICMI waktu itu melalui BJ. Habibie menekannya
untuk mundur dari jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI pada Maret 1997.
Reaksi dari Soeharto semacam itu tidak melunakkan sikap para pemimpin muslim
dalam menyerang pemerintahan Soeharto.
Dalam perjalanan selanjutnya malahan Amien Rais nyaris menjadi simbol
determinasi dalam gerakan “penggusuran” Soeharto dari panggung kekuasaaan
pada Mei 1998. Munculnya radikalisasi beberapa tokoh kunci elite Islam terhadap
pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya wktu itu merupakan persoalan yang
layak untuk dikaji. Karena rezim ORBA itu hingga hari-hari terakhir turunnya
dari papan atas percaturan politik Indonesia terlihat semakin memperjelas
identifikasi kedekatannya dengan kekuatan Islam melalui komite reformasi yang
hendak dibentuknya. Dalam proses perencanaan pembentukan komite reformasi
dan kabinet reformasi Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998 mengundang para
tokoh-tokoh masyarakat terkemuka.
Menariknya, para pemimpim-pemimpin masyarakat yang diajak berembuk
Soeharto itu seluruhnya berasal dari kekuatan-kekuatan besar sayap Islam, dari
kelompok radikal hingga yang moderat. Unsur-unsur penting faksi muslim
tersebut antara lain, dari unsur NU KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ma’aruf Amin,
Ahmad Bagja, KH. Ali Yafie. Dari kalangan Masyumi terdapat Anwar Haryono,
Yusril Ihza Mahendra. Dari kalangan Muhammadiyah terdapat nama Malik Fajar,
Sutrino Muhdam serta dari tokoh muslim populer lain adalah Emha Ainun Nadjib
dan Nurcholis Madjid serta beberapa nama lainnya. Dalam team yang diundang
Soeharto itu yang kemudian di media massa disebut team “sembilan wali” tak ada
satupun dari elemen kekuatan non-islam. Dari sini sebenarnya terlihat sekali
Soeharto ingin mempertegas kedekatannya dengan kalangan Islam. Dengan
predisposisi politik Soeharto seperti itu lantas mengapa beberapa tokoh sentral
Islam tetap mengambil sikap konfrontasi dengan pemerintahan Soeharto? Ada
beberapa penjelasan untuk menjawab teka-teki itu:
Pertama, adanya sumber ketegangan menyangkut visi masa depan
pemerintah Soeharto dengan para pemimpin Islam menyangkut persoalan
pertaruhan prinsip kekuasaan yang demokratis dan hampir tidak lagi masalah
perselisihan pure agama.
Kedua, Soeharto dianggap telah melakukan politicking terhadap kelompok
ICMI dalam proses rekruitmen di parlemen dan penyusunan kabinet setelah SU
MPR Maret 1998. Tak disangkal lagi bahwa ketidakpuasan masalah disribusi
politik itu menjadi salah satu pendorong sikap konfrontatif elite islam terhadap
pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya. Demikianlah hubungan Islam dan
negara dalam politik di Indonesia pada zaman kekuasaan ORBA yang akhirnya
dapat menjadi salah satu faktor tumbangnya pemerintahan ORBA.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada
proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang
kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa
yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan
antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. Agama
hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya,
atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama
tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara,
namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
B.
Saran
Hubungan Islam dan Negara harus seimbang .Supaya terjaminnya
perlindungan pada masyrakat karena Hukum Islam bisa di pakai aturan-aturan
Negara
yang
memiliki
sifat
memaksa
dan
mengatur
akan
masyarakat,karen Islam menginginkan kedamaian di umat Manusia.
kedamain
DAFTAR PUSTAKA
https://docs.google.com/document/d/
19m7C_Bw2I2rMHsJiB959SXxk6io_hKmXGv3YzurfWlI/edit?hl=in
https://www.google.co.id/webhp?
hl=id&tab=ii&ei=OefAUvepHcW3rgfg5YHgBQ&ved=0CBMQ1S4&gws_rd=cr
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_menurut_negara
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang
memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan
senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah,
atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman.
Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui
pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan
hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau
implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan mainjudi). Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam
arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilainilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu
mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka saya merumuskan masalah tentang dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa Hubungan Islam dan Negara Dilihat secara ideologis?
2.
Bagaimana Kekuatan Politik Islam dengan Negara Era Orde Baru?
3.
Dimana Perubahan Posisi dan Ekspresi Kekuatan Politik Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas
maka, tujuan penulisan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah :
1.
Memberitahukan Hubungan Islam dan Negara Dilihat secara ideologis?
2.
Memberitahukan Kekuatan Politik Islam dengan Negara Era Orde Baru?
3.
Memberitahukan Perubahan Posisi dan Ekspresi Kekuatan Politik Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HUBUNGAN ISLAM & NEGARA
Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada
proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang
kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa
yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan
antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya.
Ideologi yang ada di dunia ada tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah),
Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar
tentang kehidupan pun ada tiga macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah
Kapitalisme dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan
pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang
kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.
Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang menyatakan segala sesuatu
yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek
kegaiban lainnya. Ide materialisme ini dibangun oleh dua ide pokok dalam
Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu
Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme.
Agama tidak mempunyai tempat didalam Sosialisme. Sebab agama
berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh
ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang
negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan
pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama
merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan. Aqidah
ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil
hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun
hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama
memang diakui walaupun hanya secara formalitas namun agama tidak boleh
mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya,
sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri.
Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia
dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama
manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau
perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individuindividu pelaku politik.
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini
merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan
hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan
bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang
cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian
saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan
dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap
perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)“Barangsiapa yang tidak
memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
B.
KEKUATAN POLITIK ISLAM DENGAN NEGARA (ORDE BARU)
Untuk memperoleh gambaran mengenai konfrontasi negara ORBA dengan
kekuatan politik Islam pada dua dekade pertama periode ORBA berikut faktorfaktor penyebabnya, pada poin ini, dengan cara pemaparan historis, akan
dibicarakan tiga kelompok fenomena. Pertama, Setting politik menjelang
berakhirnya demokrasi terpimpin dan masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
Dalam usaha menekan kekuatan politik PKI dan para simpatisannya, kekuatan
politik Islam tampil sebagai partner utama ABRI. Peran umat Islam sebagai
pelaku paling menentukan dalam grand coalition “Pengganyangan” PKI antara
lain terlihat dari hampir keseluruhan kesatuan-kesatuan aksi seperti KAP Gestapu,
KAMI dan KAPI yang pucuk pimpinannya dipegang oleh tokoh-tokoh organisasi
Islam. Partnership militer dengan kekuatan politik Islam terus berlanjut setelah
pembubaran PKI, karena lagi-lagi militer amat membutuhkan kekuatan umat
Islam untuk menekan Soekarno turun dari kekuasaannya. Militer tidak bisa
berharap banyak untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan politik non-Islam,
apalagi PNI, untuk meng hadapi Soekarno.
Kekuatan-kekuatan politik non-Islam yang anti komunis umumnya cukup
senang melihat PKI lumpuh dan siap mengajak presiden Soekarno ke meja
prundingan untuk melakukan kerangka perimbangan kekuasaan politik baru.
Namun kekuatan-kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan unsur-unsur
kekuatan politik Islam di partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi akhirnya
berhasil memaksa Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Besarnya pengaruh
dan peranan umat Islam dalam “Pengganyangan “ PKI dan meruntuhkan Orde
Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dalam proses kelahiran
Orde Baru, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam
menentukan strategi selanjutnya.
Bagi mereka, memasuki era ORBA merupakan momentum yang tepat untuk
mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan politik Islam melalui pembangunan
kembali partai-partai Islam, karena jasa kaum muslimin dalam melahirkan ORBA
dan naiknya pamor politik Islam setelah lenyapnya PKI dari papan percaturan
politik kepartaian tanah air. Namun, sementara kekuatan –kekuatan plitik Islam
sangat bersemangat mengkonsolidasikan partai-partai Islam, kelompok koalisi
ORBA justru memandang perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara
ketat. Para anggota koalisi utama ORBA yang berkuasa, dalam menghadapi krisis
politik dan ekonomi yang parah warisan ORLA, memutuskan untuk menerapkan
strategi stabilitas politik yang ketat dengan “menghapuskan” politik kepartaian.
Dengan demikian, teramat jelas antara strategi revitalitas partai Islam oleh para
pemimpin Islam dengan strategi deparpolisasi negara ORBA berbanding terbalik.
Kenyataan perbedaan logika strategi politik tersebut yang jatuh berimpit dengan
latar belakang kultural para aktor koalisi inti ORBA di sekitar Jendral Soeharto
yang didominasi oleh kalangan sekuler {abangan} dan primordial Kristen/Katolik
secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas
dasar itu, tak mengherankan bila partnership yang terbina antara umat Islam
dengan militer yang merupakan pilar utama rezim ORBA pada masa transisi Orde
Lama mulai berubah menjadi penuh pertentangan dan kecurigaan hingga
menjelang penghujung dekade 1980-an. Kedua, kasus-kasus konfrontasi atau
pertentangan antara kekuatan politik Islam dan negara Orde Baru. Secara umum,
konfrontasi dan pertentangan antara kekuatan pollitik Islam dan negara Orde Baru
bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok:
{1} Petentangan politik partisan dan;
{2} Pertentangan terkait dengan isu-isu kebijakan publik.
Konfrontasi yang masuk dalam klasifikasi pertama adalah ketegangan soal tidak
diizinkan berdirinya partai-partai Islam oleh negara, seperti: rehabilitasi Masyumi,
Kongres Umat Islam Indonesia {KUII}, berdirinya Partai Demokrasi Islam
Indonesia {PDII}, dan sejenisnya. Termasuk juga, persaingan tajam antara Golkar
dengan partai-partai Islam dalam pemilu 1971 sampai 1982, di mana dalam
persaingan tersebut selama masa kampanye acapkali diwarnai bentrokanbentrokan fisik. Sedangkan konfrontasi yang masuk kategori kedua, antra lain:
masalah RUU Perkawinan 1973, Aliran Kepercayaan dalam GBHN {SU
MPR1978}, masalah perjudian {Porkas, SDSB}, larangan libur sekolah di bulan
romadhon, dan sebagainya. Ketiga , upaya negara untuk menciptakan tatanan
politik
yang
bisa
menopang
mekanisme
minimalisasi
konflik
untuk
memaksimalkan produktifitas ekonomi melalui rekayasa penyederhanaan partaipartai politik, terutama partai Islam, serta upaya korporatisasi politik umat Islam
melalui Majelis Ulama’ Indonesia {MUI}.
C.
PERUBAHAN POSISI, EKSPRESI KEKUATAN POLITIK ISLAM
Menjelang kejatuhan Soeharto dari jabatan kepresidenan terdapat perubahan yang
cukup fundamental menyangkut posisi dan ekspresi kekuatan-kekuatan politik
Islam di tanah air. Dua perubahan penting itu antara lain:
{1} Mainstream para pemimpin kekuatan Islam yang memasuki dekade 1990-an
menerapkan strategi akomodasi dengan pemerintah “menolak” melanjutkan
politik akomodasi dengan presiden Soeharto. Menjelang kejatuhan Soeharto,
nampak sekali para pemimpin Islam dari “sayap modernis” menerapkan kembali
“strategi oposisi” terhadap pemerintah;
{2} Seiring dengan berhembusnya angin kencang reformsi untuk menggulingkan
Soeharto, kekuatan-kekuatan Islam terlihat berusaha merevitalisasi perjuangan
Islam melalui gelanggang poltik partisan.
Menarik disimak bahwa menjelang lengsernya Soeharto dari puncak piramida
politik Indonesia pada Mei 1998, dia sesunggguhnya berusaha mempertahankan
gripnya terhadap kekuatan Islam melalui politik akomodasinya. Beberapa indikasi
kuat political will Soeharto untuk merangkul kekuatan Islam itu antara lain:
Pertama, masih banyaknya pemimpin Islam yang terepresentasikan dalam fraksifraksi yang mewakili kelompok koalisi pemerintah di DPR/MPR-RI dalam Sidang
Umum 1998.
Kedua, kelompok koalisi pemerintah di MPR-RI dalam Sidang Umumnya 1998
melakukan terobosan akomodasi baru terhadap tuntutan umat Islam menyangkut
status aliran kepercayaan dalam GBHN.
Ketiga, terepresentasikan elite muslim ke dalam struktur kabinet pembangunan
VII.
Kendati Soeharto waktu itu masih terlihat berupaya menjalankan poltik
akomodasi dengan kekuatan Islam, dari kalangan kekuatan Islam sebagean besar
nampaknya menolak melanjutkan proyek politik “simbolis mutualisme “dengan
rezim Orde Baru. Gejala awal mengayunnya bandul poltik konfrontasi elite Islam
pada tahun 1995 ketika Dr.Sri Bintang Pamungkas, salah satu pendiri ICMI,
melakukan serangkaian kritikan keras terhadap pemerintah yang berujung pada
penangkapan dirinya oleh pihak keamanan karena dituduh mempermalukan
presiden Soeharto saat kunjungan kenegaraannya ke Dresden, Jerman. Beberapa
bulan kemudian Dr. M. Amien Rais semakin lantang menyerukan suksesi
kepemimpinan nasional pada tahun 1998. Dalam berbagai kesempatan, intelektual
muslim dari Yogya itu semakin tajam menyorot korupsi, kolusi,dan nepotisme
dalam pemerintahan Orde Baru.Rangkaian kritikan Amien Rais tersebut kabarnya
membuat berang Soeharto yang menemukan bentuknya lebih jelas pada kritikan
intelektual itu terhdap skandal tambang emas busang awal tahun 1997. Presiden
Soeharto selaku dewan pembina ICMI waktu itu melalui BJ. Habibie menekannya
untuk mundur dari jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI pada Maret 1997.
Reaksi dari Soeharto semacam itu tidak melunakkan sikap para pemimpin muslim
dalam menyerang pemerintahan Soeharto.
Dalam perjalanan selanjutnya malahan Amien Rais nyaris menjadi simbol
determinasi dalam gerakan “penggusuran” Soeharto dari panggung kekuasaaan
pada Mei 1998. Munculnya radikalisasi beberapa tokoh kunci elite Islam terhadap
pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya wktu itu merupakan persoalan yang
layak untuk dikaji. Karena rezim ORBA itu hingga hari-hari terakhir turunnya
dari papan atas percaturan politik Indonesia terlihat semakin memperjelas
identifikasi kedekatannya dengan kekuatan Islam melalui komite reformasi yang
hendak dibentuknya. Dalam proses perencanaan pembentukan komite reformasi
dan kabinet reformasi Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998 mengundang para
tokoh-tokoh masyarakat terkemuka.
Menariknya, para pemimpim-pemimpin masyarakat yang diajak berembuk
Soeharto itu seluruhnya berasal dari kekuatan-kekuatan besar sayap Islam, dari
kelompok radikal hingga yang moderat. Unsur-unsur penting faksi muslim
tersebut antara lain, dari unsur NU KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ma’aruf Amin,
Ahmad Bagja, KH. Ali Yafie. Dari kalangan Masyumi terdapat Anwar Haryono,
Yusril Ihza Mahendra. Dari kalangan Muhammadiyah terdapat nama Malik Fajar,
Sutrino Muhdam serta dari tokoh muslim populer lain adalah Emha Ainun Nadjib
dan Nurcholis Madjid serta beberapa nama lainnya. Dalam team yang diundang
Soeharto itu yang kemudian di media massa disebut team “sembilan wali” tak ada
satupun dari elemen kekuatan non-islam. Dari sini sebenarnya terlihat sekali
Soeharto ingin mempertegas kedekatannya dengan kalangan Islam. Dengan
predisposisi politik Soeharto seperti itu lantas mengapa beberapa tokoh sentral
Islam tetap mengambil sikap konfrontasi dengan pemerintahan Soeharto? Ada
beberapa penjelasan untuk menjawab teka-teki itu:
Pertama, adanya sumber ketegangan menyangkut visi masa depan
pemerintah Soeharto dengan para pemimpin Islam menyangkut persoalan
pertaruhan prinsip kekuasaan yang demokratis dan hampir tidak lagi masalah
perselisihan pure agama.
Kedua, Soeharto dianggap telah melakukan politicking terhadap kelompok
ICMI dalam proses rekruitmen di parlemen dan penyusunan kabinet setelah SU
MPR Maret 1998. Tak disangkal lagi bahwa ketidakpuasan masalah disribusi
politik itu menjadi salah satu pendorong sikap konfrontatif elite islam terhadap
pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya. Demikianlah hubungan Islam dan
negara dalam politik di Indonesia pada zaman kekuasaan ORBA yang akhirnya
dapat menjadi salah satu faktor tumbangnya pemerintahan ORBA.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada
proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang
kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa
yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan
antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. Agama
hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya,
atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama
tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara,
namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
B.
Saran
Hubungan Islam dan Negara harus seimbang .Supaya terjaminnya
perlindungan pada masyrakat karena Hukum Islam bisa di pakai aturan-aturan
Negara
yang
memiliki
sifat
memaksa
dan
mengatur
akan
masyarakat,karen Islam menginginkan kedamaian di umat Manusia.
kedamain
DAFTAR PUSTAKA
https://docs.google.com/document/d/
19m7C_Bw2I2rMHsJiB959SXxk6io_hKmXGv3YzurfWlI/edit?hl=in
https://www.google.co.id/webhp?
hl=id&tab=ii&ei=OefAUvepHcW3rgfg5YHgBQ&ved=0CBMQ1S4&gws_rd=cr
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_menurut_negara