Budaya Stratejik Turki dan Reaksi Terhad
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
Budaya Stratejik Turki dan Reaksi Terhadap Konflik Irak
Abstrak
Sebagai salah satu negara yang tidak pernah dijajah, bukan berarti Turki tidak
memiliki pandangan mengenai ancaman yang mungkin muncul bagi negaranya.
Turki memiliki cara pandang yang berbeda mengenai ancaman yang dianggap
mampu mengganggu kepentingan dan stabilitas nasionalnya. Turki menganggap
ancaman dapat berasal dari dalam berupa konflik ideologi ataupun yang lainnya,
yang kemudian berpengaruh terhadap hubungan eksternal dimana pemilik ideologi
saling meminta bantuan dukungan dari pihak luar. Di sisi lain, Turki juga
menganggap bahwa negara tetangga dapat berubah menjadi ancaman. Turki
menganggap bahwa konflik yang ada di sekitar perbatasannya menjadi tanggung
jawab negaranya. Hal ini dikarenakan Turki memiliki ketakutan bahwa konflik yang
terjadi berkemungkinan meluas ke wilayah kedaulatannya dan menimbulkan
ketidakstabilan dalam pemerintahan. Pandangan ini menjadi dasar kuat atas
keterlibatan Turki dalam permasalahan yang ada di Irak. Lebih lanjut, Turki
menganggap bahwa homogenitas, baik etnis, agama, atau apapun menjadi salah satu
alasan bagi Turki untuk melakukan kerjasama. Anggapan ini mendorong Turki
untuk berasumsi bahwa pergerakan Kurdish Irak yang ada di Irak bagian utara akan
turut mempengaruhi Kurdish yang ada di Turki, sehingga Turki berhak untuk
melakukan intervensi terhadap Kurdish Irak.
Kata Kunci: budaya Stratejik, Turki, strategic depth, Irak, Kurdish
Abstract
As a country which never colonized does not mean that Turkey have no view about
the threats that may arise for the country. Turkey has a different view of threats
that are considered interfering its national interests and stability. Turkey considers
the threat may come from domestic case in the form of ideological conflict or the
others, which then affect the external relations where the ideologist seek of mutual
assistance through external support. On the other hand, Turkey also considers that
the neighboring countries could turn into some threats. Turkey considers that the
existing conflicts around its borders be the responsibility of Turkey. This
perspective came because Turkey has a fear about possibility for the conflict to
spread into its territory and lead to government’s instability. This view be the basic
argument on the Turkey’s involvement in the existing problems in Iraq.
Furthermore, Turkey considers that homogenity, whether ethnic, religious, etc can
be the reasons for Turkey to cooperate. This assumption encourages Turkey to
assume that the Iraqi Kurdish movement in northern Iraq will also influence
Kurdish in Turkey. Due to this assumption, it is proper for Turkey to intervene
against Kurdish Iraq.
Keywords: strategic culture, Turkey, strategic depth, Irak, Kurdish
Budaya Stratejik Turki
Budaya stratejik menjadi hal penting bagi sebuah negara. Budaya stratejik
muncul sebagai akibat dari kesalahan neorealis dalam memprediksi Perang Dingin.
Hal ini kemudian menuntut para peneliti untuk menemukan cara baru yang lebih
akurat dalam menganalisa perang. Tuntutan tersebut berhasil melahirkan budaya
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
stratejik sebagai alternatif baru bagi hubungan internasional yang memiliki
pandangan berbeda dengan realis ataupun neorealis. Budaya stratejik memasukkan
aspek baru ke dalam penelitian mengenai negara, seperti peranan budaya dalam
mempengaruhi state behavior yang sebelumnya tidak pernah dibahas. Berbeda
dengan neorealis yang melulu mengaitkan perilaku negara dengan constraint dan
peluang yang dipengaruhi oleh lingkungan negara. Pembahasan mengenai budaya
stratejik semakin kuat dilatarbelakangi oleh keadaan negara yang memiliki strategi
yang berbeda dalam menghadapi permasalahan domestik ataupun internasional
yang ada. Perbedaan tersebut berkaitan dengan bagaimana cara negara
menggabungkan grand strategy untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya.
Macmillan et al. (1999 dalam Glenn 2004, 10) menambahkan bahwa budaya stratejik
tidak dapat dipisahkan dari pergerakan negara. Budaya stratejik dengan demikian
memilki kaitan yang erat terhadap level of analysis, dikarenakan faktor yang ada
dalam budaya stratejik meliputi tingkatan-tingkatan pada level of analysis yang
meliputi elit politik, pengalaman sejarah, kemampuan sumber daya, dan sebagainya.
Dengan menggunakan budaya stratejik, penelitian terhadap negara satu dengan
negara lainnya yang memiliki pengalaman berbeda akan mudah untuk dilakukan.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa budaya stratejik Turki muncul diantara
masa gencatan senjata Mudros ( 30 Oktober 1918) dan Perjanjian Sevres (10 Agustus
1920) atau pada abad 18 ketika ditandatanganinya perjanjian damai antara
Kekaisaran Rusia dengan Kekaisaran Ottoman setelah konflik dari tahun 1768-1774
dalam Perjanjian Küçük Kaynarca pada 21 Juli 1774 (Templar 2015, 2). Pada masa
itu, Kekaisaran Ottoman mengalami intervensi penuh dari Great Powers yang
meliputi Inggris, Rusia, Perancis, Jerman, Austria-Hungaria, dan Italia. Keberadaan
negara-negara tersebut mengambil alih kekuasaan Ottoman mulai dari kebijakan
domestik hingga pembuatan kebijakan terhadap kedaulatan hingga di luar
kedaulatan. Hal ini kemudian mempengaruhi terbentuknya budaya stratejik Turki
yang secara garis besar disebut oleh Templar (2015, 3) sebagai culture of uncertainty
and insecurity, yang dapat dijabarkan sebagai (1) homogenitas, (2) insecurity, (3)
risk-avoidance, dan (4) denial and deception. Homogenitas menunjukkan bahwa
Turki sangat menghargai kesamaan sehingga kerjasama yang ditawarkan oleh
negara yang memiliki kesamaan budaya, etnis, agama, ataupun nilai-nilai terhadap
Turki akan lebih mudah terjalin. Insecurity ini mempengaruhi Turki dalam melihat
ancaman yang ada. Turki menganggap bahwa ancaman dari manapun akan selalu
berimbas terhadap keadaan domestik dan lebih jauh akan berdampak pada
disintegrasi negara. Poin ini pula yang menyebabkan Turki seringkali tidak percaya
dengan tetangga negaranya bahkan dengan negara aliansinya. Turki bahkan
melakukan pengamanan dengan jarak minimal 200km dari batas negara. Poin ketiga
menjelaskan bahwa pada dasarnya Turki tidak akan melakukan operasi militer
kecuali negara yakin akan memenangkannya. Sedangkan poin keempat menegaskan
tentang penggunaan diplomasi sebagai instrumen penyelesaian konflik.
Sebagai negara yang tidak pernah dijajah, budaya stratejik Turki tentu
berbeda dengan negara yang mengalami sejarah perjuangan merebut kemerdekaan.
Keadaan ini kemudian akan berimbas pada pandangan Turki terhadap negara lain
serta pandangan terhadap ancaman yang mungkin terjadi. Baran dan Lesser (2008,
3) menjelaskan tentang beberapa faktor yang dijadikan acuan Turki dan secara jelas
dapat diamati. Pertama adalah keterkaitan antara faktor domestik dan eksternal.
Secara garis besar, permasalahan yang ada di Turki muncul secara internal, seperti
permasalahan demokratisasi, hak asasi manusia, identitas politik, dan sebagainya
yang berujung pada perdebatan mengenai norma negara. Kedua, keinginan Turki
untuk terintegrasi secara penuh dengan institusi-institusi internasional namun
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
memiki sensitifitas tinggi terhadap pelanggaran kedaulatan nasional. Turki memiliki
kekhawatiran tinggi terhadap ancaman yang mungkin masuk melalui kedualatan
dan integritas teritorialnya. Ketiga, Turki memiliki ambiguitas tentang stakeholder
yang berada di pihaknya. Hubungan Turki dengan Amerika Serikat misalnya,
meskipun Amerika Serikat menunjukkan ketertarikan kuat terhadap Turki namun
masih sulit bagi Amerika Serikat untuk mendapatkan kepercayaan dari Turki. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa 70% orang Turki
menganggap Amerika Serikat sebagai musuh dan hanya 7% yang menganggapnya
sebagai partner (Baran dan Lesser 2008, 7). Pengalaman kekalahan Kekaisaran
Ottoman juga turut berpengaruh dalam perilaku Turki menghadapi konflik, bahkan
konflik yang ada di sekitarnya. Trauma kekalahan Turki dan hubungan buruk
dengan Kekaisaran Rusia juga masih meninggalkan efek yang nyata. Meskipun telah
memulai hubungan bilateral, namun masyarakat Turki belum sepenuhnya
menganggap Rusia sebagai partner, sebagaimana anggapan terhadap Amerika
Serikat.
Jika ditinjau dari international behavior, Turki termasuk ke dalam negara
yang konservatif dan mengemukakan status quo, Turki akan mempertimbangkan
dengan matang sebelum melakukan tindakan unilateral dan mengedepankan normanorma internasional. Hal ini berkaitan dengan ketergabungan Turki terhadap
leading Western organizations seperti NATO, OECD, dan Council of Europe.
Namun, beberapa tahun terakhir terlihat adanya pergantian pandangan dalam
kebijakan luar negeri Turki, yang kemudian disebut dengan pendekatan ‘neoOttoman’. Dalam pendekatan ini, identitas Islam dan kepentingan Timur Tengah
memiliki peran yang lebih besar. Keadaan ini dibuktikan dengan aktifnya Turki
dalam organisasi non-Western seperti Organization of the Islamic Conference (OIC)
yang terdiri dari 57 negara berpenduduk mayoritas Islam (Baran dan Lesser 2008,
4). Evans (2014) menambahkan bahwa secara jelas budaya stratejik neo-Ottoman
dapat digambarkan dengan beberapa cirri khusus, yaitu (1) menerima perbedaan
yang ada dalam internal Turki, termasuk perbedaan etnis dan juga agama khususnya
Islam, (2) melakukan perimbangan orientasi terhadap Timur dan Barat, (3)
keinginan untuk menjadi yang utama dalam politik, militer, dan juga ekonomi
regional, (4) meningkat peran aktif dalam ranah internasional dan bahkan
melakukan intervensi terhadap permasalahan khususnya di wilayah Timur Tengah,
dan (5) meningkatkan integritas di luar batas teritori.
Beberapa ahli berpendapat bahwa budaya stratejik Turki mengalami
perubahan setelah Perang Dingin berakhir (post-Cold War era), dimana Turki mulai
mengambil perannya sebagai regional power. Akhir Perang Dingin juga turut
mempengaruhi ideologi yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan kebijakan
luar negeri. Muncul dua ideologi yang berperan penting, yaitu Kemalism dan
nasionalism, atau ada pula yang memisahkannya menjadi Kemalism, liberalism, dan
Islamism (Renda 2013, 14). Kemalism menegaskan adanya sekularisme dengan
kebijakan luar negeri pasif defensif, sedangkan liberalism dan Islamism menuntut
adanya pendekatan aktif dan kebijakan luar negeri yang terintegrasi terhadap negara
tetangga. Pada masa pemerintahan Justice and Development Party (AKP), Ahmet
Davutoglu menerapkan Strategic Depth Doctrine, yaitu Turki memberlakukan
kebijakan luar negeri multi-dimensional dan ikut bereran dalam politik global.
Keijakan ini meningkatkan hubungan antara Amerika Serikat dan Turki pasca
terjadinya serangan 9/11. Dari sisi lain berakhirnya Perang Dingin, Turki juga turut
merasakan adanya ancaman baru yang lahir dari kekuatan politik berbasis Islam dan
juga nasionalis Kurdish yang dianggap akan merusak sekularitas dan juga kesatuan
negara. Ancaman domestik ini dianggap oleh Turki sebagai ancaman yang ke
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
depannya akan turut melibatkan pihak eksternal untuk mendapatkan dukungan.
Sedangkan permasalahan internasional lahir atas perdebatan yang muncul atas
status Turki sebagai bagian dari negara Barat atau bukan (Altunisik 2007, 72).
Menurut strategic depth, kekalahan Kekaisaran Ottoman pada tahun 1918
dan munculnya Arab nation-states merupakan alasan utama disintegrasi ekonomi
dan politik dalam dunia Islam. Lebih jauh, Davutoglu melihat bahwa ke depannya
negara-negara diktator seperti Mesir, Suriah, Libia, dan negara monarki seperti
Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara Teluk akan menjadi kurang stabil karena
minimnya dukungan yang diperoleh. Hal ini harus dimanfaatkan oleh Turki untuk
meningkatkan hubungan dengan negara-negara tersebut. Turki bahkan mulai
meningkatkan bantuan kepada negara-negara di Timur Tengah secara signifikan
sejak tahun 2009. Dari perilaku pemerintahan Turki saat ini, terlihat bahwa Turki
masih menggunakan pandangan Davutoglu dalam menjalankan kebijakan luar
negerinya, terutama kebijakan terhadap Timur Tengah. Melalui kebijakan ini, Turki
memiliki landasan untuk bergabung menyelesaikan konflik yang ada di Timur
Tengah (Ozel dan Ozkan 2015).
Pendapat konvensial mengatakan bahwa parameter terhadap budaya stratejik
Turki dapat dilihat dari geopolitik dan dominasi realpolitik dalam elit pemerintah.
Dengan membawa budaya stratejik parabellum, Turki tetap mengesampingkan
penggunaan militer. Sejarah realpolitik tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
Kekaisaran Ottoman, namun lahirnya Republik Turki merubah keadaan dari ofensif
menjadi lebih defensif. Kekaisaran Ottoman juga meninggalkan asumsi mengenai
ancaman terhadap Turki, yaitu (1) ancaman untuk tertinggal yang melahirkan
ketakutan terhadap eksternal, (2) ketakutan akan wilayah teritori, yang
menunjukkan bahwa sejarah kekalahan kekaisaran di masa lalu masih terus menjadi
ancaman, (3) dominasi defensif realpoitik dan determinisme (Renda 2013, 7).
Beberapa budaya stratejik tersebut memiliki kaitan erat dengan perilaku yang
ditunjukkan Turki terhadap negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Rusia, Irak,
dan sebagainya. Ketakutan Turki atas rusaknya stabilitas domestik Turki mendorong
Turki untuk aktif dalam konflik yang ada di sekitar negaranya. Turki memiliki
pandangan bahwa konflik yang ada di sekitar batas negara memiliki kemungkinan
besar untuk turut mengganggu keadaan domestik negaranya.
Reaksi Turki terhadap Konflik Irak
Turki, sebagaimana negara-negara lain yang berada di sekitar Irak, memiliki
kepentingan yang mendasar terhadap konflik yang terjadi di Irak. Sejak lebih dari
tiga dekade, pergerakan yang ada di Irak turut berpengaruh dalam stabilitas ataupun
peluang bagi Turki. Dimulai dari masa Gulf War, Turki menjadi bagian penting bagi
pesawat-pesawat Inggris dan Amerika serikat yang ingin melakukan operasi dan
patroli di wilayah utara Irak. Hal ini dikarenakan wilayah utara Irak menerapkan
zona bebas terbang (no-fly zone). Keadaan tersebut dapat dinilai sebagai awal
keterlibatan Turki di Irak hingga saat ini. Secara lebih jauh, baik Turki ataupun
Amerika Serikat pada dasarnya memiliki kepentingan masing-masing di Irak. Kedua
negara menginginkan Irak menjadi negara yang stabil baik dalam bidang politik
ataupun ekonomi, dengan demikian Irak kedepannya dapat diharapkan menjadi
counterweight bagi Iran di wilayah regional (Barkey 2005, 2). Berbeda dengan
Amerika Serikat, hal paling mendasar yang mendorong Turki untuk turut menjaga
stabilitas Irak adalah ketakutan akan kemungkinan politisasi dari Kurdish Turki. Hal
ini dapat dijabarkan menjadi dua kemungkinan, (1) munculnya pemberontak
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
Kurdish seperti Kurdish Working Party (PKK) dengan markas di utara Irak dan (2)
adanya contagion effect yang disebabkan oleh aktifitas politik Kurdish Irak
Awal mula keterlibatan Turki dengan Gulf War tahun 1991 adalah ketika
Saddam melakukan kampanye militer untuk mengusik pemberontak Kurdish keluar
dari utara Irak. Hal ini menyebabkan Kurdish Irak mengungsi di perbatasan IrakTurki. Turki memiliki peran inti dalam permasalahan ini dimana Incirlik dijadikan
sebagai markas udara dalam upaya penyelesaian konflik. Di sisi lain, ketakutan Turki
atas adanya konflik di perbatasan menjadi nyata. Pembuat kebijakan mulai menaruh
fokus terhadap perkembangan Kurdish yang mungkin terjadi di Turki (Altunisik
2007, 70). Di bawah perlindungan Amerika Serikat dan Inggris, Irak bagian utara
berhasil menjadi wilayah yang almost independent dan bahkan mampu melakukan
pemilihan untuk kemudian menciptakan federated state pada Oktober 1992. Tidak
dapat dipungkiri bahwa perkembangan ini turut mempengaruhi politik dan militer
di Turki. Keadaan tersebut dinilai mampu mempengaruhi populasi Kurdish yang ada
di Turki. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh adanya pemberontakan oleh Kurdish
Working Party (PKK) di Turki pada tahun 1984. Keterlibatan Turki terhadap Irak
dilakukan sebatas pada isu Kurdish dan Irak utara yang dianggap akan
mempengaruhi stabilitas negaranya. Ketakutan terbesar Turki dari permasalahan ini
adalah kemungkinan lahirnya negara Kurdish yang secara otomatis akan menarik
orang-orang Kurdish yang ada di Turki. Tanggapan yang sedemikian rupa
menunjukkan bahwa Turki memiliki budaya stratejik berupa konsistensi yang kuat
untuk mempertahankan status quo dari ancaman eksternal ataupun internal.
Dalam menghadapi permasalahan tersebut, Turki menggunakan cara-cara
militer dan diplomatik. Cara militer dilakukan Turki dengan melangsungkan
beberapa serangan militer ke Irak utara dan membangun kontingen militer secara
eventual. Sedangkan secara diplomatik, Turki berusaha untuk mendapatkan
bantuan dukungan dari Amerika Serikat serta meningkatkan hubungan dengan
kelompok Kurdish Irak. Dukungan tersebut diarahkan untuk meminta bantuan
dalam melawan PKK dengan cara tetap menjalin hubungan baik dengan komunitas
Irak dan Kurdish (Altunisik 2007, 76). Pada tahun 2002, Turki mulai melihat adanya
pergerakan Amerika Serikat untuk melakukan perang. Di sisi lain, Turki menimbang
konsekuensi atas perang yang mungkin terjadi terhadap teritori Irak. Sebagaimana
dijelaskan oleh pandangan Davutoglu (dalam Grigoriadis 2010, 4), sejarah dan posisi
geografis memberikan Turki hak untuk melakukan strategic depth untuk
menjalankan kebijakan luar negeri yang muti-dimensional. Strategi ini juga
diterapkan Turki dalam menangai masalah Irak, yaitu dengan mengeluarkan
kebijakan yang disebut sebagai two-tier policy. Melalui kebijakan ini, Turki
menginisiasi adanya diplomasi antara Irak dengan Amerika Serikat dengan
penawaran penyelesaian tanpa menggunakan perang. Turki juga mencoba membawa
negara-negara regional lainnya seperti Suriah dan Iran untuk menurunkan rezim
Saddam. Namun di sisi lain, Turki juga turut bernegosiasi dengan Amerika Serikat
untuk memberikan peran apabila Amerika Serikat tetap melancarkan perang
melawan Irak (Altunisik 2007, 76).
Negosiasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Turki tidak diterima
baik oleh masyarakat Turki. Sebanyak 90% dari populasi Turki menolak keterlibatan
Turki terhadap perang melawan Iraq. Parlemen juga menyatakan penolakan untuk
membentuk northern front dan hasil polling menunjukkan bahwa dari 533 anggota
paremen, 250 menyatakan penolakan, 19 tidak memilih, dan 264 menyatakan setuju
(Altunisik 2007, 77). Jika menurut pada pandangan realpolitik, keterlibatan Turki
terhadap perang Irak dengan Amerika Serikat guna mengamankan kepentingan
nasionalnya di Irak merupakan hal yang sudah sepatutnya dilakukan. Masyarakat
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
yang memilih Turki untuk terlibat mengatasnamakan status quo Turki sebagai great
power dalam wilayah regional, meskipun mereka sadar bahwa perang yang
dilakukan tidaklah win-win scenario melainkan sebatas untuk mengurangi
kekalahan atau dampak buruk yang mungkin didapat Turki apabila perang terjadi.
Sedangkan dari pihak yang melawan keterlibatan Turki menyatakan bahwa hal ini
tidak sesuai dengan budaya stratejik Turki karena melakukan perang yang dianggap
sebagai unjust war dan Turki tidak pernah menginginkan keterlibatannya dalam
konflik di Timur Tengah. Pada akhirnya, ketidak-terlibatan Turki dalam invasi
Amerika Serikat di Irak justru melahirkan kekhawatiran baru. Setelah adanya invasi
di Irak, PKK tetap menjadi ancaman bagi Turki dimana sekitar 5000 militan PKK
berada di Irak bagian utara, termasuk para pemimpinnya. Situasi seperti ini
mempengaruhi hubungan antara Turki, Amerika Serikat, dan pemerintah Irak.
Amerika Serikat yang melihat PKK sebagai teroris kemudian meminta Turki untuk
turut membantu dalam memerangi terorisme di Irak. Keadaan menjadi semakin
serius ketika PKK kembali mengumumkan genjatan senjata sepihak pada September
2004 yang menandai semakin meningkatnya aktivitas PKK di Turki (Altunisik 2007,
78).
Hubungan antara Turki dengan Irak semakin konfliktual ketika status wilayah
Kirkuk mulai menegang pada tahun 2007. Konstitusi Irak yang mengeluarkan
resolusi terkait masalah isu tersebut dianggap justru semakin membuat keadaan
tegang, termasuk hubungan Turki dengan kelompok Kurdish Irak. Permasalahan ini
menjadi salah satu agenda utama Turki dengan Irak, yaitu menentang integrasi
wilayah Kirkuk dengan Pemerintah Wilayah Kurdish. Banyak usaha yang telah
dilakukan Turki sebagai upaya untuk menahan Kirkuk dari integrasi Kurdish Irak,
salah satunya adalah dengan memintakan hak khusus bagi Kirkuk sebagai wilayah
multi-etnis, hal ini diupayakan agar keinginan untuk melakukan kebijakan Arabisasi
oleh Kirkuk dapat dilakukan dengan tanpa Kurdifikasi atau menjadi bagian dari
Kurdish Irak (Altunisik 2007, 78). Selain itu, Turki juga mulai menjalin hubungan
baik dengan Turcomen yang menjadi populasi Kirkuk untuk dijadikan sebagai
bargaining chip (Turunc 2011, 40). Turki bahkan mengumumkan akan melakukan
pengurangan kerjasama ekonomi dan perdagangan terhadap Irak apabila
pemerintah pusat tidak mengambil tindakan untuk mengusir PKK yang berada di
wilayah perbatasan. Turki kemudian secara resmi mengembargo makanan dan
energi terhadap Irak dan melakukan serangan militer selama delapan hari di Irak
bagian utara untuk melawan PKK pada Februari 2008. Hal ini mencerminkan
tindakan unilateral Turki dikarenakan Irak memilih untuk diam.
Keterlibatan Turki dalam permasalahan yang ada di Irak tergolong cukup
signifikan. Sebelum permasalahan mengenai Kirkuk menegang, Turki turut terlibat
dalam upaya rekonsiliasi yang terjadi antara Sunni Arab Party dengan Duta Besar
Amerika Serikat di Istanbul pada Desember 2005. Turki menjadi aktif dalam
menunjukkan perannya terhadap Irak, salah satunya adalah dengan memberikan
program pelatihan terkait dengan demokratisasi dan good governance kepada partai
politik Irak dari seluruh etnis dan sektarian yang didatangi oleh lebih dari 500
politisi Irak. Turki juga menginisiasi adanya Ministerial Consultations yang
membawa Irak bersama dengan negara-negara tetangga dalam Neighbouring
Countries Process. Keterlibatan Turki dalam berbagai aspek di lingkungan Irak
kemudian mendapatkan tentangan dari pemimpin Syi’ah Irak dengan beberapa
alasan. Pertama, militer Turki telah berkali-kali melakukan serangan terhadap Irak
bagian utara dengan membawa PKK sebagai alasan. Kedua, Turki adalah negara
dengan mayoritas penduduk Sunni. Ketiga, mengingat kembali hubungan antara
Turki dengan rezim Saddam Hussein meskipun sebatas perdagangan dan bisnis
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
(Turunc 2011, 41). Meskipun demikian, Turki tetap menjadi patner utama bagi Irak
dalam mengembangkan dan meningkatkan stabilitas negaranya, khususnya di
bidang ekonomi dan infrastruktur.
Ketegangan Turki dengan Kurdistan Regional Government (KRG) mulai
menyurut ketika pada tahun 2011 Turkish National Security Council mengadakan
pertemuan resmi dengan seluruh kelompok politik Irak untuk melemahkan KRG.
Sejalan dengan upaya tersebut, State of Force Agreement Amerika Serikat juga
memutuskan untuk menarik kembali pasukannya dari Irak utara yang sekaligus
melemahkan posisi KRG. Hal tersebut menuntuk KRG untuk semakin bergantung
dengan Turki dalam hal perekonomian. Kesempatan ini dijadikan Turki sebagai
peluang untuk memulai kerjasama dengan KRG. Semakin KRG bergantung dengan
Turki, maka posisi PKK di dalam Turki dapat dijangkau sehingga stabilitas internal
dan kesatuan antara Irak, Sunni Arab, dan Syi’ah Arab dapat terwujud (Turunc 2011,
43). Keadaan tersebut sekaligus merubah hubungan antara Turki dengan
pemerintahan pusat Irak. Setelah Turki menjalin kerjasama dengan KRG, hubungan
Turki dengan Irak justru terlihat semakin menjauh. Keadaan ini terlihat pada akhir
September 2012, ketika Turki perdana menteri Turki Recep Tayyip Erdogan
mengundang pemimpin Irak, Nouri al Maliki untuk datang ke konvensi partai
dengan tujuan untuk memperbaiki hubungannya dengan Irak yang dinilai semakin
memburuk. Namun, tamu dari Irak datang bukan dari pemerintahan pusat
melainkan dari KRG (Cagaptay dan Evans 2012, 1).
Sebagaimana disampaikan Turki dalam budaya strategiknya, Turki tidak akan
ikut campur dalam banyaknya konflik yang terjadi di Timur Tengah. Namun hal
tersebut diangap berbeda apabila konflik terjadi di wilayah perbatasan Turki.
Terbentuknya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) secara resmi pada tahun 2014
menjadi ancaman besar bagi Turki yang berbatasan langsung dengan Irak. Tidak
dapat dipungkiri, serangan terhadap Mosul yang mulai dilakukan oleh pasukan Irak
dan Kurdistan serta organisasi-organisasi internasional guna mengepung ISIS pada
16 Oktober 2016 kembali menarik perhatian Turki. Operasi militer yang disebut
dengan Qodimun Ya Naynawa berupaya untuk merebut kembali wilayah Mosul
yang berada di bawah kendali ISIS sejak 2014. Alasan Turki untuk bergabung salah
satunya dilatarbelakangi oleh pasukan Turki yang berada di Irak. Turki bersikeras
untuk bergabung meskipun pemerintahan Irak secara tegas menolak keterlibatan
Turki. Erdogan menjelaskan bahwa keikutsertaan Turki tidak lain adalah untuk
mengantisipasi jatuhnya Mosul ke dalam kekuasaan ISIS yang ke depannya dianggap
akan mengancam stabilitas Turki. Di sisi lain, Mosul merupakan bagian dari
Kekaisaran Ottoman pada masanya dan akan memberikan pengaruh kuat terhadap
perpolitikan negara. Perdana menteri Irak, Haider al Abadi bahkan mengemukakan
dengan tegas akan terjadinya perang regional apabila Turki tetap melibatkan diri
dalam Pertempuran Mosul (bbc.com 2016). Alasan lain Turki untuk tetap bergabung
adalah upaya untuk membantu Irak, karena pasukan yang dibentuk oleh Irak dinilai
akan menimbulkan perpecahan antara Sunni dan Syi’ah yang lebih jauh lagi justru
akan melahirkan perpecahan sektarian (Aljazeera.com 2016).
Perseteruan antara Turki dengan Irak tidak terlepas dari hubungannya
dengan Amerika Serikat. Erdogan bahkan secara langsung meminta kepada Obama
untuk memberikan peran terhadap Turki atas upaya pembebasan Mosul. Banyak
yang kemudian berargumen bahwa hal tersebut berhubungan dengan keinginan
untuk membangkitkan kembali Kekaisaran Ottoman. Tidak dapat dipungkiri bahwa
saat ini Turki memiliki kekuatan besar dalam regional dan sedang mencari
kesempatan untuk menyebarkan pengaruhnya. Meskipun demikian, Erdogan
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
membantah asumsi Irak yang menilai Turki ingin melakukan agresi dengan adanya
militer di wilayah utara Irak (Morgan 2016).
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya stratejik negara
Turki memiliki kaitan yang erat dengan pengalaman negaranya. Turki yang tidak
pernah dijajah mendapat pandangan mengenai ancaman dari pengalaman kekalahan
Kekaisaran Ottoman. Kekalahan itu membuat Turki lebih berhati-hati dengan
kondisi lingkungan sekitarnya. Turki menganggap ancaman sekitar perbatasan
negaranya sebagai ancaman yang mungkin dapat dengan mudah masuk ke dalam
wilayah teritorinya. Dengan anggapan tersebut, Turki akan selalu berupaya untuk
melakukan intervensi terhadap negara yang sedang berkonflik. Turki pun
menganggap intervensinya wajar untuk dilakukan karena Turki melihat dirinya
sebagai leader power dalam regional Timur Tengah.
Intervensi Turki ke wilayah konflik Irak merupakan aplikasi dari pandanganpandangan Turki terhadap negaranya. Intervensi pada konflik di wilayah utara Irak
didasarkan pada anggapan dan kekhawatiran terhadap PKK atau Kurdish Turki.
Turki khawatir kemunculan KRG di wilayah utara Irak akan berdampak pada
semakin aktifnya PKK di Turki. Asumsi ini didasarkan pada peristiwa
pemberontakan PKK yang dilakukan di Turki pada sekitar tahun 1980-an.
Pengalaman ini menimbulkan trauma bagi Turki atas kesatuan negaranya. Turki
kemudian bertindak secara unilateral dalam penyerangan di utara Irak karena
mendapatkan respon negatif dari pemerintah pusat Irak atas tawarannya untuk
melakukan serangan ke utara Irak.
Sedangkan intervensi di Mosul dalam penyerangan terhadap ISIS dilakukan
oleh Turki dengan alasan bahwa Turki berhak turut aktif dalam menjaga stabilitas di
Timur Tengah. Hal ini sesuai dengan prinsip strategic depth yang dikemukakan oleh
Davutoglu. Beberapa ahli bahkan prinsip tersebut mendorong Turki untuk kembali
membangkitkan Kekaisaran Ottoman, dimana Mosul merupakan wilayah di bawah
Kekaisaran Ottoman. Selain itu, Turki melihat bahwa upaya Irak untuk melawan
ISIS dinilai salah karena secara tidak langsung justru mempertarungkan Sunni dan
Syi’ah dalam satu negara, yang lebih jauh memungkinkan terjadinya perang
regional. Di sisi lain, justru Irak menilai bahwa campur tangan Turki lah yang akan
memicu terjadinya perang regional. Turki bahkan meminta Amerika Serikat untuk
memberikan posisi dalam penyerangan Mosul. Penolakan Irak terhadap Turki dapat
diasumsikan sebagai akibat dari bentuk hubungan Turki dengan Irak yang mulai
memburuk sejak Turki menjalin hubungan dengan KRG, dimana Turki berharap
hubungannya dengan KRG mampu membantu stabilitas domestic Turki, khususnya
dengan PKK.
Referensi :
Aljazeera, 2016. Iraq-Turkey Tension Raises Amid Battle for Mosul. Tersedia dalam
http://www.aljazeera.com/news/2016/11/iraq-turkey-tension-rises-battlemosul-161102062236590.html. Diakses pada 31 Desember 2016.
Altunisik, Meliha Benli, 2007. “Turkey Security Culture and Policy Towards Iraq”,
dalam Perception [pdf].
Baran, Zeyno dan Lessre, Ian O., 2008. “Turkey’s Identity and Strategy – A Game of
Three-Dimensional Chess”, dalam Power and Principle: International
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
Leadership in a Shrinking World. Stanley Foundation’s Power and Principle
Project.
British Broadcasting Corporation, 2016. Kehadiran Milisi Syiah dan Kurdi di Mosul,
Turki ‘tidak bias tinggal diam’ [online]. Tersedia dalam
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/10/161023_dunia_turki_mosul.
diakses pada 31 Desember 2016.
Cagaptay, Soner dan Evans, Tyler, 2012. “Turkey’s Changing Relations with Iraq:
Kurdistan Up, Baghdad Down”, dalam Policy Focus 122. The Washington
Institute for Near East Policy.
Evans, Ryan, 2016. “Turkey’s Shifting Strategic Culture: Part 3 – From Republican to
Neo-Ottoman”, dalam Geopoliticus: The FPRI Blog [online]. Tersedia dalam
http://www.fpri.org/2014/10/turkeys-shifting-strategic-culture-part-3-fromrepublican-to-neo-ottoman/. Diakses pada 31 Desember 2016.
Glenn, John, Darryl Howlett, and Stuart Poore, eds. (2004). Neorealism Versus
Strategic Culture. London: Ashgate. Ch 1, 2, 3.
Grigoriadis, Ioannis N., 2010. “Working paper No 8/2010: The Davutoglu Doctrine
and Turkish Foreign Policy”, dalam Middle Eastern Studies Programme.
Hellenic Foundation for European and Foreign Policy (ELIAMEP).
Morgan, Scott, 2016. “Erdogan’s Gambit for Mosul”, dalam Assyrian International
News Agency: News and Analysis of Assyrian and Assyrian-Related Issues
Worldwide
[pdf].
Tersedia
dalam
http://www.aina.org/guesteds/20161102175816.htm.
Ozel, Soli dan Ozkan Behlul, 2015. “Illusions Versus Reality : Turkey’s Approach to
the Middle East and North Africa”, dalam Policy Brief no 200 – April 2015.
Fride : A European Think Tank for Global Action.
Renda, Kadri Kaan, 2013. Discursive Change in Turkish strategic Culture:
Changing
Narratives, Roles and Values. King’s College London.
Templar, Marcus A., 2015. Turkey: Conceptual Framework. Ideology, Strategic
Culture, and National Security.
Wiwit Tri R. 071311233082
Budaya Stratejik Turki dan Reaksi Terhadap Konflik Irak
Abstrak
Sebagai salah satu negara yang tidak pernah dijajah, bukan berarti Turki tidak
memiliki pandangan mengenai ancaman yang mungkin muncul bagi negaranya.
Turki memiliki cara pandang yang berbeda mengenai ancaman yang dianggap
mampu mengganggu kepentingan dan stabilitas nasionalnya. Turki menganggap
ancaman dapat berasal dari dalam berupa konflik ideologi ataupun yang lainnya,
yang kemudian berpengaruh terhadap hubungan eksternal dimana pemilik ideologi
saling meminta bantuan dukungan dari pihak luar. Di sisi lain, Turki juga
menganggap bahwa negara tetangga dapat berubah menjadi ancaman. Turki
menganggap bahwa konflik yang ada di sekitar perbatasannya menjadi tanggung
jawab negaranya. Hal ini dikarenakan Turki memiliki ketakutan bahwa konflik yang
terjadi berkemungkinan meluas ke wilayah kedaulatannya dan menimbulkan
ketidakstabilan dalam pemerintahan. Pandangan ini menjadi dasar kuat atas
keterlibatan Turki dalam permasalahan yang ada di Irak. Lebih lanjut, Turki
menganggap bahwa homogenitas, baik etnis, agama, atau apapun menjadi salah satu
alasan bagi Turki untuk melakukan kerjasama. Anggapan ini mendorong Turki
untuk berasumsi bahwa pergerakan Kurdish Irak yang ada di Irak bagian utara akan
turut mempengaruhi Kurdish yang ada di Turki, sehingga Turki berhak untuk
melakukan intervensi terhadap Kurdish Irak.
Kata Kunci: budaya Stratejik, Turki, strategic depth, Irak, Kurdish
Abstract
As a country which never colonized does not mean that Turkey have no view about
the threats that may arise for the country. Turkey has a different view of threats
that are considered interfering its national interests and stability. Turkey considers
the threat may come from domestic case in the form of ideological conflict or the
others, which then affect the external relations where the ideologist seek of mutual
assistance through external support. On the other hand, Turkey also considers that
the neighboring countries could turn into some threats. Turkey considers that the
existing conflicts around its borders be the responsibility of Turkey. This
perspective came because Turkey has a fear about possibility for the conflict to
spread into its territory and lead to government’s instability. This view be the basic
argument on the Turkey’s involvement in the existing problems in Iraq.
Furthermore, Turkey considers that homogenity, whether ethnic, religious, etc can
be the reasons for Turkey to cooperate. This assumption encourages Turkey to
assume that the Iraqi Kurdish movement in northern Iraq will also influence
Kurdish in Turkey. Due to this assumption, it is proper for Turkey to intervene
against Kurdish Iraq.
Keywords: strategic culture, Turkey, strategic depth, Irak, Kurdish
Budaya Stratejik Turki
Budaya stratejik menjadi hal penting bagi sebuah negara. Budaya stratejik
muncul sebagai akibat dari kesalahan neorealis dalam memprediksi Perang Dingin.
Hal ini kemudian menuntut para peneliti untuk menemukan cara baru yang lebih
akurat dalam menganalisa perang. Tuntutan tersebut berhasil melahirkan budaya
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
stratejik sebagai alternatif baru bagi hubungan internasional yang memiliki
pandangan berbeda dengan realis ataupun neorealis. Budaya stratejik memasukkan
aspek baru ke dalam penelitian mengenai negara, seperti peranan budaya dalam
mempengaruhi state behavior yang sebelumnya tidak pernah dibahas. Berbeda
dengan neorealis yang melulu mengaitkan perilaku negara dengan constraint dan
peluang yang dipengaruhi oleh lingkungan negara. Pembahasan mengenai budaya
stratejik semakin kuat dilatarbelakangi oleh keadaan negara yang memiliki strategi
yang berbeda dalam menghadapi permasalahan domestik ataupun internasional
yang ada. Perbedaan tersebut berkaitan dengan bagaimana cara negara
menggabungkan grand strategy untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya.
Macmillan et al. (1999 dalam Glenn 2004, 10) menambahkan bahwa budaya stratejik
tidak dapat dipisahkan dari pergerakan negara. Budaya stratejik dengan demikian
memilki kaitan yang erat terhadap level of analysis, dikarenakan faktor yang ada
dalam budaya stratejik meliputi tingkatan-tingkatan pada level of analysis yang
meliputi elit politik, pengalaman sejarah, kemampuan sumber daya, dan sebagainya.
Dengan menggunakan budaya stratejik, penelitian terhadap negara satu dengan
negara lainnya yang memiliki pengalaman berbeda akan mudah untuk dilakukan.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa budaya stratejik Turki muncul diantara
masa gencatan senjata Mudros ( 30 Oktober 1918) dan Perjanjian Sevres (10 Agustus
1920) atau pada abad 18 ketika ditandatanganinya perjanjian damai antara
Kekaisaran Rusia dengan Kekaisaran Ottoman setelah konflik dari tahun 1768-1774
dalam Perjanjian Küçük Kaynarca pada 21 Juli 1774 (Templar 2015, 2). Pada masa
itu, Kekaisaran Ottoman mengalami intervensi penuh dari Great Powers yang
meliputi Inggris, Rusia, Perancis, Jerman, Austria-Hungaria, dan Italia. Keberadaan
negara-negara tersebut mengambil alih kekuasaan Ottoman mulai dari kebijakan
domestik hingga pembuatan kebijakan terhadap kedaulatan hingga di luar
kedaulatan. Hal ini kemudian mempengaruhi terbentuknya budaya stratejik Turki
yang secara garis besar disebut oleh Templar (2015, 3) sebagai culture of uncertainty
and insecurity, yang dapat dijabarkan sebagai (1) homogenitas, (2) insecurity, (3)
risk-avoidance, dan (4) denial and deception. Homogenitas menunjukkan bahwa
Turki sangat menghargai kesamaan sehingga kerjasama yang ditawarkan oleh
negara yang memiliki kesamaan budaya, etnis, agama, ataupun nilai-nilai terhadap
Turki akan lebih mudah terjalin. Insecurity ini mempengaruhi Turki dalam melihat
ancaman yang ada. Turki menganggap bahwa ancaman dari manapun akan selalu
berimbas terhadap keadaan domestik dan lebih jauh akan berdampak pada
disintegrasi negara. Poin ini pula yang menyebabkan Turki seringkali tidak percaya
dengan tetangga negaranya bahkan dengan negara aliansinya. Turki bahkan
melakukan pengamanan dengan jarak minimal 200km dari batas negara. Poin ketiga
menjelaskan bahwa pada dasarnya Turki tidak akan melakukan operasi militer
kecuali negara yakin akan memenangkannya. Sedangkan poin keempat menegaskan
tentang penggunaan diplomasi sebagai instrumen penyelesaian konflik.
Sebagai negara yang tidak pernah dijajah, budaya stratejik Turki tentu
berbeda dengan negara yang mengalami sejarah perjuangan merebut kemerdekaan.
Keadaan ini kemudian akan berimbas pada pandangan Turki terhadap negara lain
serta pandangan terhadap ancaman yang mungkin terjadi. Baran dan Lesser (2008,
3) menjelaskan tentang beberapa faktor yang dijadikan acuan Turki dan secara jelas
dapat diamati. Pertama adalah keterkaitan antara faktor domestik dan eksternal.
Secara garis besar, permasalahan yang ada di Turki muncul secara internal, seperti
permasalahan demokratisasi, hak asasi manusia, identitas politik, dan sebagainya
yang berujung pada perdebatan mengenai norma negara. Kedua, keinginan Turki
untuk terintegrasi secara penuh dengan institusi-institusi internasional namun
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
memiki sensitifitas tinggi terhadap pelanggaran kedaulatan nasional. Turki memiliki
kekhawatiran tinggi terhadap ancaman yang mungkin masuk melalui kedualatan
dan integritas teritorialnya. Ketiga, Turki memiliki ambiguitas tentang stakeholder
yang berada di pihaknya. Hubungan Turki dengan Amerika Serikat misalnya,
meskipun Amerika Serikat menunjukkan ketertarikan kuat terhadap Turki namun
masih sulit bagi Amerika Serikat untuk mendapatkan kepercayaan dari Turki. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa 70% orang Turki
menganggap Amerika Serikat sebagai musuh dan hanya 7% yang menganggapnya
sebagai partner (Baran dan Lesser 2008, 7). Pengalaman kekalahan Kekaisaran
Ottoman juga turut berpengaruh dalam perilaku Turki menghadapi konflik, bahkan
konflik yang ada di sekitarnya. Trauma kekalahan Turki dan hubungan buruk
dengan Kekaisaran Rusia juga masih meninggalkan efek yang nyata. Meskipun telah
memulai hubungan bilateral, namun masyarakat Turki belum sepenuhnya
menganggap Rusia sebagai partner, sebagaimana anggapan terhadap Amerika
Serikat.
Jika ditinjau dari international behavior, Turki termasuk ke dalam negara
yang konservatif dan mengemukakan status quo, Turki akan mempertimbangkan
dengan matang sebelum melakukan tindakan unilateral dan mengedepankan normanorma internasional. Hal ini berkaitan dengan ketergabungan Turki terhadap
leading Western organizations seperti NATO, OECD, dan Council of Europe.
Namun, beberapa tahun terakhir terlihat adanya pergantian pandangan dalam
kebijakan luar negeri Turki, yang kemudian disebut dengan pendekatan ‘neoOttoman’. Dalam pendekatan ini, identitas Islam dan kepentingan Timur Tengah
memiliki peran yang lebih besar. Keadaan ini dibuktikan dengan aktifnya Turki
dalam organisasi non-Western seperti Organization of the Islamic Conference (OIC)
yang terdiri dari 57 negara berpenduduk mayoritas Islam (Baran dan Lesser 2008,
4). Evans (2014) menambahkan bahwa secara jelas budaya stratejik neo-Ottoman
dapat digambarkan dengan beberapa cirri khusus, yaitu (1) menerima perbedaan
yang ada dalam internal Turki, termasuk perbedaan etnis dan juga agama khususnya
Islam, (2) melakukan perimbangan orientasi terhadap Timur dan Barat, (3)
keinginan untuk menjadi yang utama dalam politik, militer, dan juga ekonomi
regional, (4) meningkat peran aktif dalam ranah internasional dan bahkan
melakukan intervensi terhadap permasalahan khususnya di wilayah Timur Tengah,
dan (5) meningkatkan integritas di luar batas teritori.
Beberapa ahli berpendapat bahwa budaya stratejik Turki mengalami
perubahan setelah Perang Dingin berakhir (post-Cold War era), dimana Turki mulai
mengambil perannya sebagai regional power. Akhir Perang Dingin juga turut
mempengaruhi ideologi yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan kebijakan
luar negeri. Muncul dua ideologi yang berperan penting, yaitu Kemalism dan
nasionalism, atau ada pula yang memisahkannya menjadi Kemalism, liberalism, dan
Islamism (Renda 2013, 14). Kemalism menegaskan adanya sekularisme dengan
kebijakan luar negeri pasif defensif, sedangkan liberalism dan Islamism menuntut
adanya pendekatan aktif dan kebijakan luar negeri yang terintegrasi terhadap negara
tetangga. Pada masa pemerintahan Justice and Development Party (AKP), Ahmet
Davutoglu menerapkan Strategic Depth Doctrine, yaitu Turki memberlakukan
kebijakan luar negeri multi-dimensional dan ikut bereran dalam politik global.
Keijakan ini meningkatkan hubungan antara Amerika Serikat dan Turki pasca
terjadinya serangan 9/11. Dari sisi lain berakhirnya Perang Dingin, Turki juga turut
merasakan adanya ancaman baru yang lahir dari kekuatan politik berbasis Islam dan
juga nasionalis Kurdish yang dianggap akan merusak sekularitas dan juga kesatuan
negara. Ancaman domestik ini dianggap oleh Turki sebagai ancaman yang ke
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
depannya akan turut melibatkan pihak eksternal untuk mendapatkan dukungan.
Sedangkan permasalahan internasional lahir atas perdebatan yang muncul atas
status Turki sebagai bagian dari negara Barat atau bukan (Altunisik 2007, 72).
Menurut strategic depth, kekalahan Kekaisaran Ottoman pada tahun 1918
dan munculnya Arab nation-states merupakan alasan utama disintegrasi ekonomi
dan politik dalam dunia Islam. Lebih jauh, Davutoglu melihat bahwa ke depannya
negara-negara diktator seperti Mesir, Suriah, Libia, dan negara monarki seperti
Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara Teluk akan menjadi kurang stabil karena
minimnya dukungan yang diperoleh. Hal ini harus dimanfaatkan oleh Turki untuk
meningkatkan hubungan dengan negara-negara tersebut. Turki bahkan mulai
meningkatkan bantuan kepada negara-negara di Timur Tengah secara signifikan
sejak tahun 2009. Dari perilaku pemerintahan Turki saat ini, terlihat bahwa Turki
masih menggunakan pandangan Davutoglu dalam menjalankan kebijakan luar
negerinya, terutama kebijakan terhadap Timur Tengah. Melalui kebijakan ini, Turki
memiliki landasan untuk bergabung menyelesaikan konflik yang ada di Timur
Tengah (Ozel dan Ozkan 2015).
Pendapat konvensial mengatakan bahwa parameter terhadap budaya stratejik
Turki dapat dilihat dari geopolitik dan dominasi realpolitik dalam elit pemerintah.
Dengan membawa budaya stratejik parabellum, Turki tetap mengesampingkan
penggunaan militer. Sejarah realpolitik tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
Kekaisaran Ottoman, namun lahirnya Republik Turki merubah keadaan dari ofensif
menjadi lebih defensif. Kekaisaran Ottoman juga meninggalkan asumsi mengenai
ancaman terhadap Turki, yaitu (1) ancaman untuk tertinggal yang melahirkan
ketakutan terhadap eksternal, (2) ketakutan akan wilayah teritori, yang
menunjukkan bahwa sejarah kekalahan kekaisaran di masa lalu masih terus menjadi
ancaman, (3) dominasi defensif realpoitik dan determinisme (Renda 2013, 7).
Beberapa budaya stratejik tersebut memiliki kaitan erat dengan perilaku yang
ditunjukkan Turki terhadap negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Rusia, Irak,
dan sebagainya. Ketakutan Turki atas rusaknya stabilitas domestik Turki mendorong
Turki untuk aktif dalam konflik yang ada di sekitar negaranya. Turki memiliki
pandangan bahwa konflik yang ada di sekitar batas negara memiliki kemungkinan
besar untuk turut mengganggu keadaan domestik negaranya.
Reaksi Turki terhadap Konflik Irak
Turki, sebagaimana negara-negara lain yang berada di sekitar Irak, memiliki
kepentingan yang mendasar terhadap konflik yang terjadi di Irak. Sejak lebih dari
tiga dekade, pergerakan yang ada di Irak turut berpengaruh dalam stabilitas ataupun
peluang bagi Turki. Dimulai dari masa Gulf War, Turki menjadi bagian penting bagi
pesawat-pesawat Inggris dan Amerika serikat yang ingin melakukan operasi dan
patroli di wilayah utara Irak. Hal ini dikarenakan wilayah utara Irak menerapkan
zona bebas terbang (no-fly zone). Keadaan tersebut dapat dinilai sebagai awal
keterlibatan Turki di Irak hingga saat ini. Secara lebih jauh, baik Turki ataupun
Amerika Serikat pada dasarnya memiliki kepentingan masing-masing di Irak. Kedua
negara menginginkan Irak menjadi negara yang stabil baik dalam bidang politik
ataupun ekonomi, dengan demikian Irak kedepannya dapat diharapkan menjadi
counterweight bagi Iran di wilayah regional (Barkey 2005, 2). Berbeda dengan
Amerika Serikat, hal paling mendasar yang mendorong Turki untuk turut menjaga
stabilitas Irak adalah ketakutan akan kemungkinan politisasi dari Kurdish Turki. Hal
ini dapat dijabarkan menjadi dua kemungkinan, (1) munculnya pemberontak
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
Kurdish seperti Kurdish Working Party (PKK) dengan markas di utara Irak dan (2)
adanya contagion effect yang disebabkan oleh aktifitas politik Kurdish Irak
Awal mula keterlibatan Turki dengan Gulf War tahun 1991 adalah ketika
Saddam melakukan kampanye militer untuk mengusik pemberontak Kurdish keluar
dari utara Irak. Hal ini menyebabkan Kurdish Irak mengungsi di perbatasan IrakTurki. Turki memiliki peran inti dalam permasalahan ini dimana Incirlik dijadikan
sebagai markas udara dalam upaya penyelesaian konflik. Di sisi lain, ketakutan Turki
atas adanya konflik di perbatasan menjadi nyata. Pembuat kebijakan mulai menaruh
fokus terhadap perkembangan Kurdish yang mungkin terjadi di Turki (Altunisik
2007, 70). Di bawah perlindungan Amerika Serikat dan Inggris, Irak bagian utara
berhasil menjadi wilayah yang almost independent dan bahkan mampu melakukan
pemilihan untuk kemudian menciptakan federated state pada Oktober 1992. Tidak
dapat dipungkiri bahwa perkembangan ini turut mempengaruhi politik dan militer
di Turki. Keadaan tersebut dinilai mampu mempengaruhi populasi Kurdish yang ada
di Turki. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh adanya pemberontakan oleh Kurdish
Working Party (PKK) di Turki pada tahun 1984. Keterlibatan Turki terhadap Irak
dilakukan sebatas pada isu Kurdish dan Irak utara yang dianggap akan
mempengaruhi stabilitas negaranya. Ketakutan terbesar Turki dari permasalahan ini
adalah kemungkinan lahirnya negara Kurdish yang secara otomatis akan menarik
orang-orang Kurdish yang ada di Turki. Tanggapan yang sedemikian rupa
menunjukkan bahwa Turki memiliki budaya stratejik berupa konsistensi yang kuat
untuk mempertahankan status quo dari ancaman eksternal ataupun internal.
Dalam menghadapi permasalahan tersebut, Turki menggunakan cara-cara
militer dan diplomatik. Cara militer dilakukan Turki dengan melangsungkan
beberapa serangan militer ke Irak utara dan membangun kontingen militer secara
eventual. Sedangkan secara diplomatik, Turki berusaha untuk mendapatkan
bantuan dukungan dari Amerika Serikat serta meningkatkan hubungan dengan
kelompok Kurdish Irak. Dukungan tersebut diarahkan untuk meminta bantuan
dalam melawan PKK dengan cara tetap menjalin hubungan baik dengan komunitas
Irak dan Kurdish (Altunisik 2007, 76). Pada tahun 2002, Turki mulai melihat adanya
pergerakan Amerika Serikat untuk melakukan perang. Di sisi lain, Turki menimbang
konsekuensi atas perang yang mungkin terjadi terhadap teritori Irak. Sebagaimana
dijelaskan oleh pandangan Davutoglu (dalam Grigoriadis 2010, 4), sejarah dan posisi
geografis memberikan Turki hak untuk melakukan strategic depth untuk
menjalankan kebijakan luar negeri yang muti-dimensional. Strategi ini juga
diterapkan Turki dalam menangai masalah Irak, yaitu dengan mengeluarkan
kebijakan yang disebut sebagai two-tier policy. Melalui kebijakan ini, Turki
menginisiasi adanya diplomasi antara Irak dengan Amerika Serikat dengan
penawaran penyelesaian tanpa menggunakan perang. Turki juga mencoba membawa
negara-negara regional lainnya seperti Suriah dan Iran untuk menurunkan rezim
Saddam. Namun di sisi lain, Turki juga turut bernegosiasi dengan Amerika Serikat
untuk memberikan peran apabila Amerika Serikat tetap melancarkan perang
melawan Irak (Altunisik 2007, 76).
Negosiasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Turki tidak diterima
baik oleh masyarakat Turki. Sebanyak 90% dari populasi Turki menolak keterlibatan
Turki terhadap perang melawan Iraq. Parlemen juga menyatakan penolakan untuk
membentuk northern front dan hasil polling menunjukkan bahwa dari 533 anggota
paremen, 250 menyatakan penolakan, 19 tidak memilih, dan 264 menyatakan setuju
(Altunisik 2007, 77). Jika menurut pada pandangan realpolitik, keterlibatan Turki
terhadap perang Irak dengan Amerika Serikat guna mengamankan kepentingan
nasionalnya di Irak merupakan hal yang sudah sepatutnya dilakukan. Masyarakat
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
yang memilih Turki untuk terlibat mengatasnamakan status quo Turki sebagai great
power dalam wilayah regional, meskipun mereka sadar bahwa perang yang
dilakukan tidaklah win-win scenario melainkan sebatas untuk mengurangi
kekalahan atau dampak buruk yang mungkin didapat Turki apabila perang terjadi.
Sedangkan dari pihak yang melawan keterlibatan Turki menyatakan bahwa hal ini
tidak sesuai dengan budaya stratejik Turki karena melakukan perang yang dianggap
sebagai unjust war dan Turki tidak pernah menginginkan keterlibatannya dalam
konflik di Timur Tengah. Pada akhirnya, ketidak-terlibatan Turki dalam invasi
Amerika Serikat di Irak justru melahirkan kekhawatiran baru. Setelah adanya invasi
di Irak, PKK tetap menjadi ancaman bagi Turki dimana sekitar 5000 militan PKK
berada di Irak bagian utara, termasuk para pemimpinnya. Situasi seperti ini
mempengaruhi hubungan antara Turki, Amerika Serikat, dan pemerintah Irak.
Amerika Serikat yang melihat PKK sebagai teroris kemudian meminta Turki untuk
turut membantu dalam memerangi terorisme di Irak. Keadaan menjadi semakin
serius ketika PKK kembali mengumumkan genjatan senjata sepihak pada September
2004 yang menandai semakin meningkatnya aktivitas PKK di Turki (Altunisik 2007,
78).
Hubungan antara Turki dengan Irak semakin konfliktual ketika status wilayah
Kirkuk mulai menegang pada tahun 2007. Konstitusi Irak yang mengeluarkan
resolusi terkait masalah isu tersebut dianggap justru semakin membuat keadaan
tegang, termasuk hubungan Turki dengan kelompok Kurdish Irak. Permasalahan ini
menjadi salah satu agenda utama Turki dengan Irak, yaitu menentang integrasi
wilayah Kirkuk dengan Pemerintah Wilayah Kurdish. Banyak usaha yang telah
dilakukan Turki sebagai upaya untuk menahan Kirkuk dari integrasi Kurdish Irak,
salah satunya adalah dengan memintakan hak khusus bagi Kirkuk sebagai wilayah
multi-etnis, hal ini diupayakan agar keinginan untuk melakukan kebijakan Arabisasi
oleh Kirkuk dapat dilakukan dengan tanpa Kurdifikasi atau menjadi bagian dari
Kurdish Irak (Altunisik 2007, 78). Selain itu, Turki juga mulai menjalin hubungan
baik dengan Turcomen yang menjadi populasi Kirkuk untuk dijadikan sebagai
bargaining chip (Turunc 2011, 40). Turki bahkan mengumumkan akan melakukan
pengurangan kerjasama ekonomi dan perdagangan terhadap Irak apabila
pemerintah pusat tidak mengambil tindakan untuk mengusir PKK yang berada di
wilayah perbatasan. Turki kemudian secara resmi mengembargo makanan dan
energi terhadap Irak dan melakukan serangan militer selama delapan hari di Irak
bagian utara untuk melawan PKK pada Februari 2008. Hal ini mencerminkan
tindakan unilateral Turki dikarenakan Irak memilih untuk diam.
Keterlibatan Turki dalam permasalahan yang ada di Irak tergolong cukup
signifikan. Sebelum permasalahan mengenai Kirkuk menegang, Turki turut terlibat
dalam upaya rekonsiliasi yang terjadi antara Sunni Arab Party dengan Duta Besar
Amerika Serikat di Istanbul pada Desember 2005. Turki menjadi aktif dalam
menunjukkan perannya terhadap Irak, salah satunya adalah dengan memberikan
program pelatihan terkait dengan demokratisasi dan good governance kepada partai
politik Irak dari seluruh etnis dan sektarian yang didatangi oleh lebih dari 500
politisi Irak. Turki juga menginisiasi adanya Ministerial Consultations yang
membawa Irak bersama dengan negara-negara tetangga dalam Neighbouring
Countries Process. Keterlibatan Turki dalam berbagai aspek di lingkungan Irak
kemudian mendapatkan tentangan dari pemimpin Syi’ah Irak dengan beberapa
alasan. Pertama, militer Turki telah berkali-kali melakukan serangan terhadap Irak
bagian utara dengan membawa PKK sebagai alasan. Kedua, Turki adalah negara
dengan mayoritas penduduk Sunni. Ketiga, mengingat kembali hubungan antara
Turki dengan rezim Saddam Hussein meskipun sebatas perdagangan dan bisnis
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
(Turunc 2011, 41). Meskipun demikian, Turki tetap menjadi patner utama bagi Irak
dalam mengembangkan dan meningkatkan stabilitas negaranya, khususnya di
bidang ekonomi dan infrastruktur.
Ketegangan Turki dengan Kurdistan Regional Government (KRG) mulai
menyurut ketika pada tahun 2011 Turkish National Security Council mengadakan
pertemuan resmi dengan seluruh kelompok politik Irak untuk melemahkan KRG.
Sejalan dengan upaya tersebut, State of Force Agreement Amerika Serikat juga
memutuskan untuk menarik kembali pasukannya dari Irak utara yang sekaligus
melemahkan posisi KRG. Hal tersebut menuntuk KRG untuk semakin bergantung
dengan Turki dalam hal perekonomian. Kesempatan ini dijadikan Turki sebagai
peluang untuk memulai kerjasama dengan KRG. Semakin KRG bergantung dengan
Turki, maka posisi PKK di dalam Turki dapat dijangkau sehingga stabilitas internal
dan kesatuan antara Irak, Sunni Arab, dan Syi’ah Arab dapat terwujud (Turunc 2011,
43). Keadaan tersebut sekaligus merubah hubungan antara Turki dengan
pemerintahan pusat Irak. Setelah Turki menjalin kerjasama dengan KRG, hubungan
Turki dengan Irak justru terlihat semakin menjauh. Keadaan ini terlihat pada akhir
September 2012, ketika Turki perdana menteri Turki Recep Tayyip Erdogan
mengundang pemimpin Irak, Nouri al Maliki untuk datang ke konvensi partai
dengan tujuan untuk memperbaiki hubungannya dengan Irak yang dinilai semakin
memburuk. Namun, tamu dari Irak datang bukan dari pemerintahan pusat
melainkan dari KRG (Cagaptay dan Evans 2012, 1).
Sebagaimana disampaikan Turki dalam budaya strategiknya, Turki tidak akan
ikut campur dalam banyaknya konflik yang terjadi di Timur Tengah. Namun hal
tersebut diangap berbeda apabila konflik terjadi di wilayah perbatasan Turki.
Terbentuknya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) secara resmi pada tahun 2014
menjadi ancaman besar bagi Turki yang berbatasan langsung dengan Irak. Tidak
dapat dipungkiri, serangan terhadap Mosul yang mulai dilakukan oleh pasukan Irak
dan Kurdistan serta organisasi-organisasi internasional guna mengepung ISIS pada
16 Oktober 2016 kembali menarik perhatian Turki. Operasi militer yang disebut
dengan Qodimun Ya Naynawa berupaya untuk merebut kembali wilayah Mosul
yang berada di bawah kendali ISIS sejak 2014. Alasan Turki untuk bergabung salah
satunya dilatarbelakangi oleh pasukan Turki yang berada di Irak. Turki bersikeras
untuk bergabung meskipun pemerintahan Irak secara tegas menolak keterlibatan
Turki. Erdogan menjelaskan bahwa keikutsertaan Turki tidak lain adalah untuk
mengantisipasi jatuhnya Mosul ke dalam kekuasaan ISIS yang ke depannya dianggap
akan mengancam stabilitas Turki. Di sisi lain, Mosul merupakan bagian dari
Kekaisaran Ottoman pada masanya dan akan memberikan pengaruh kuat terhadap
perpolitikan negara. Perdana menteri Irak, Haider al Abadi bahkan mengemukakan
dengan tegas akan terjadinya perang regional apabila Turki tetap melibatkan diri
dalam Pertempuran Mosul (bbc.com 2016). Alasan lain Turki untuk tetap bergabung
adalah upaya untuk membantu Irak, karena pasukan yang dibentuk oleh Irak dinilai
akan menimbulkan perpecahan antara Sunni dan Syi’ah yang lebih jauh lagi justru
akan melahirkan perpecahan sektarian (Aljazeera.com 2016).
Perseteruan antara Turki dengan Irak tidak terlepas dari hubungannya
dengan Amerika Serikat. Erdogan bahkan secara langsung meminta kepada Obama
untuk memberikan peran terhadap Turki atas upaya pembebasan Mosul. Banyak
yang kemudian berargumen bahwa hal tersebut berhubungan dengan keinginan
untuk membangkitkan kembali Kekaisaran Ottoman. Tidak dapat dipungkiri bahwa
saat ini Turki memiliki kekuatan besar dalam regional dan sedang mencari
kesempatan untuk menyebarkan pengaruhnya. Meskipun demikian, Erdogan
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
membantah asumsi Irak yang menilai Turki ingin melakukan agresi dengan adanya
militer di wilayah utara Irak (Morgan 2016).
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya stratejik negara
Turki memiliki kaitan yang erat dengan pengalaman negaranya. Turki yang tidak
pernah dijajah mendapat pandangan mengenai ancaman dari pengalaman kekalahan
Kekaisaran Ottoman. Kekalahan itu membuat Turki lebih berhati-hati dengan
kondisi lingkungan sekitarnya. Turki menganggap ancaman sekitar perbatasan
negaranya sebagai ancaman yang mungkin dapat dengan mudah masuk ke dalam
wilayah teritorinya. Dengan anggapan tersebut, Turki akan selalu berupaya untuk
melakukan intervensi terhadap negara yang sedang berkonflik. Turki pun
menganggap intervensinya wajar untuk dilakukan karena Turki melihat dirinya
sebagai leader power dalam regional Timur Tengah.
Intervensi Turki ke wilayah konflik Irak merupakan aplikasi dari pandanganpandangan Turki terhadap negaranya. Intervensi pada konflik di wilayah utara Irak
didasarkan pada anggapan dan kekhawatiran terhadap PKK atau Kurdish Turki.
Turki khawatir kemunculan KRG di wilayah utara Irak akan berdampak pada
semakin aktifnya PKK di Turki. Asumsi ini didasarkan pada peristiwa
pemberontakan PKK yang dilakukan di Turki pada sekitar tahun 1980-an.
Pengalaman ini menimbulkan trauma bagi Turki atas kesatuan negaranya. Turki
kemudian bertindak secara unilateral dalam penyerangan di utara Irak karena
mendapatkan respon negatif dari pemerintah pusat Irak atas tawarannya untuk
melakukan serangan ke utara Irak.
Sedangkan intervensi di Mosul dalam penyerangan terhadap ISIS dilakukan
oleh Turki dengan alasan bahwa Turki berhak turut aktif dalam menjaga stabilitas di
Timur Tengah. Hal ini sesuai dengan prinsip strategic depth yang dikemukakan oleh
Davutoglu. Beberapa ahli bahkan prinsip tersebut mendorong Turki untuk kembali
membangkitkan Kekaisaran Ottoman, dimana Mosul merupakan wilayah di bawah
Kekaisaran Ottoman. Selain itu, Turki melihat bahwa upaya Irak untuk melawan
ISIS dinilai salah karena secara tidak langsung justru mempertarungkan Sunni dan
Syi’ah dalam satu negara, yang lebih jauh memungkinkan terjadinya perang
regional. Di sisi lain, justru Irak menilai bahwa campur tangan Turki lah yang akan
memicu terjadinya perang regional. Turki bahkan meminta Amerika Serikat untuk
memberikan posisi dalam penyerangan Mosul. Penolakan Irak terhadap Turki dapat
diasumsikan sebagai akibat dari bentuk hubungan Turki dengan Irak yang mulai
memburuk sejak Turki menjalin hubungan dengan KRG, dimana Turki berharap
hubungannya dengan KRG mampu membantu stabilitas domestic Turki, khususnya
dengan PKK.
Referensi :
Aljazeera, 2016. Iraq-Turkey Tension Raises Amid Battle for Mosul. Tersedia dalam
http://www.aljazeera.com/news/2016/11/iraq-turkey-tension-rises-battlemosul-161102062236590.html. Diakses pada 31 Desember 2016.
Altunisik, Meliha Benli, 2007. “Turkey Security Culture and Policy Towards Iraq”,
dalam Perception [pdf].
Baran, Zeyno dan Lessre, Ian O., 2008. “Turkey’s Identity and Strategy – A Game of
Three-Dimensional Chess”, dalam Power and Principle: International
UAS Studi Perbandingan Budaya Stratejik
Wiwit Tri R. 071311233082
Leadership in a Shrinking World. Stanley Foundation’s Power and Principle
Project.
British Broadcasting Corporation, 2016. Kehadiran Milisi Syiah dan Kurdi di Mosul,
Turki ‘tidak bias tinggal diam’ [online]. Tersedia dalam
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/10/161023_dunia_turki_mosul.
diakses pada 31 Desember 2016.
Cagaptay, Soner dan Evans, Tyler, 2012. “Turkey’s Changing Relations with Iraq:
Kurdistan Up, Baghdad Down”, dalam Policy Focus 122. The Washington
Institute for Near East Policy.
Evans, Ryan, 2016. “Turkey’s Shifting Strategic Culture: Part 3 – From Republican to
Neo-Ottoman”, dalam Geopoliticus: The FPRI Blog [online]. Tersedia dalam
http://www.fpri.org/2014/10/turkeys-shifting-strategic-culture-part-3-fromrepublican-to-neo-ottoman/. Diakses pada 31 Desember 2016.
Glenn, John, Darryl Howlett, and Stuart Poore, eds. (2004). Neorealism Versus
Strategic Culture. London: Ashgate. Ch 1, 2, 3.
Grigoriadis, Ioannis N., 2010. “Working paper No 8/2010: The Davutoglu Doctrine
and Turkish Foreign Policy”, dalam Middle Eastern Studies Programme.
Hellenic Foundation for European and Foreign Policy (ELIAMEP).
Morgan, Scott, 2016. “Erdogan’s Gambit for Mosul”, dalam Assyrian International
News Agency: News and Analysis of Assyrian and Assyrian-Related Issues
Worldwide
[pdf].
Tersedia
dalam
http://www.aina.org/guesteds/20161102175816.htm.
Ozel, Soli dan Ozkan Behlul, 2015. “Illusions Versus Reality : Turkey’s Approach to
the Middle East and North Africa”, dalam Policy Brief no 200 – April 2015.
Fride : A European Think Tank for Global Action.
Renda, Kadri Kaan, 2013. Discursive Change in Turkish strategic Culture:
Changing
Narratives, Roles and Values. King’s College London.
Templar, Marcus A., 2015. Turkey: Conceptual Framework. Ideology, Strategic
Culture, and National Security.