Makalah Fiqih dan tentang puasa

Makalah Fiqih tentang puasa

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Karena itu setiap orang yang beriman, setiap
orang islam yang mukallaf wajib melaksanakannya. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk
mematuhi perintah Allah adalah juga untuk menjadi tangga ke tingkat takwa, karena takwalah
dasar keheningan jiwa dan keluruhan budi dan akhlak.
Untuk ini semua, perlu diketahui segala sesuatu yang berkenaan dengan puasa, dari dasar
hukum, syarat-syarat, rukun puasanya dan lain sebagainya.
Makalah ini kami sajikan sebagai suatu sumbangan kecil kepada para pembaca untuk
maksud tersebut di atas dengan harafan ada faedahnya.
Tegur sapa, kritik dan saran dalam usaha menyempurnakan makalah ini kami ucapkan
terima kasih. Semoga Allah Swt. mengiringi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya. Aamiin.

B.

Rumusan Masalah


1.

Apa dasar hukum pelaksanaan puasa?

2.

Apa saja syarat dan rukunnya?

3.

Apa saja hal-hal yang sunnah dalam berpuasa?

4.

Apa saja yang membatalkannya?

BAB II
PEMBAHASAN


A.

Pengertian Puasa
Puasa adalah terjemahan dari Ash-Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan diri
dari sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. Arti ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Maryam ayat 26:
.‫ص ْو ًما‬
َ ‫من‬
ِ ‫إِنّي نَ َذ ْرتُ لِل ّر ْح‬
“sesungguhnya aku bernazar shaum ( bernazar menahan diri dan berbiacara ).”[1]
“Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti
makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya,
satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa
syarat.”[2]
Menahan diri dari berbicara dahulu disyariatkan dalam agama Bani Israil. Menurut
Syara’ (istilah agama Islam) arti puasa adalah sebagaimana tersebut dalam kitab Subulus Salam.
Yaitu :
‫َن الّل ْغش ِو‬
ْ ‫في النّ َهششا ِر َعلَي ا ْل َو ْجش ِه ا ْل َم‬

َ ‫ال ْم‬
َ ‫اَ ْ ِل ْم‬
ِ ‫سا ُك َع ِن ْالَ ْك ِل َوالش ّْر‬
ِ ‫سشا ُك ع‬
ِ ْ ‫ َويَ ْتبَش ُع ذلِش َك‬٬‫ع‬
ِ ‫شش ُر ْو‬
ِ ‫ب َوا ْل ِج َم‬
ِ ٬‫اع َو َغ ْي ِرهَا ِم ّما َو َر َد بِ ِه‬
۰‫ص ٍة‬
ُ ‫ بِش ََرا ئِطَ َم ْخ‬٬‫ص‬
ُ ‫ت َم ْخ‬
َ ‫ص ْو‬
ٍ ‫ث َو َغ ْي ِرهَا ِمنَ ا ْل َك َل ِم ا ْل ُم َح ّر ِم َوا ْل َم ْك ُر ْو ِه فِي َو ْق‬
ِ َ‫َوال ّرف‬
ٍ ‫ص ْو‬
“Menahan diri dari makan, minum, jima’ (hubungan seksual) dan lain-lain yang diperintahkan
sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan, dan disertai pula menahan diri dari perkataan
sia-sia, perkataan yang diharamkan pada waktu-waktu tertentu dan menurut syarat-syarat yang
ditetapkan.[3]


B.

Dasar hukum pelaksanaannya
Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam yang diwajibkan kepada tiap
mukmin. Sebagai dalil atau dasar yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan itu ibadat yang
diwajibkan Allah kepada tiap mukmin, umat Muhammad Saw., ialah:

a.

Firman Allah Swt., :
۰ َ‫صيَا ُم َك َما ُكتِ َب َعلَي الّ ِذيْنَ ِمنْ قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلّ ُك ْم تَتّقُ ْون‬
ّ ‫يَاأَيّ َها الّ ِذيْنَ آ َمنُ ْوا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
Artinya : Wahai mereka yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa (Ramadhan)
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS.
Al-Baqarah-183).

b.

Sabda Nabi Saw., :


‫ َو َح ّج‬٬ َ‫ض شان‬
َ :‫س‬
ْ ‫بُنِ َي ْا ِل‬
ّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬٬ِ‫س ْو ُل ا‬
ُ ‫ َوأَنّ ُم َح ّمدًا َر‬٬ُ‫ش َها َد ِة أَنْ ااِلهَ اِ ّل ا‬
َ ‫ص ش ْو ِم َر َم‬
َ ‫ َو‬٬‫ َوإِ ْيتَا ِء ال ّز َكا ِة‬٬‫ص َل ِة‬
ٍ ‫س َل ُم َعلَي َخ ْم‬
۰‫ت‬
ِ ‫ا ْلبَ ْي‬
“Didirikan Islam atas lima sendi: mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah,
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan dan naik haji ke Baitullah.” (H.R
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).[4]
Berdasarkan ketetapan Alquran, ketetapan hadis tersebut, puasa diwajibkan atas umat
Islam sebagaimana diwajibkan atas umat yang terdahulu. Ayat itu menerangkan bahwa orang
yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di waktu bulan Ramadhan, wajib dia berpuasa.
Seluruh Ulama Islam sepakat menetapkan bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima,
karena itu puasa di bulan Ramadhan adalah wajib dikerjakan.
Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik laki-laki
maupun perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal, baligh (dewasa), tidak

dalam musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.
Orang yang tidak beriman ada pula yang mengerjakan puasa sekarang dalam rangka
terapi pengobatan. Meskipun mereka tidak beriman namun mereka mendapat manfaat juga dari
puasanya yaitu manfaat jasmaniah.
Kecuali itu dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk kesehatan. Walaupun
orang ini berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam, namun mereka puasanya
tanpa niat ibadah kepada Allah yaitu dengan niat berpuasa esok hari karena Allah dan
mengharapkan ridho-Nya, maka puasanya adalah puasa sekuler. Orang ini mendapat manfaat
jasmaniah, tetapi tidak mendapat manfaat rohaniah.[5]
C.

Memulai Puasa Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan lamanya sebulan yaitu 29 atau 30 hari, yang dimulai setiap harinya
sejak terbit pagi hingga terbenam matahari.[6]
Puasa Ramadhan dimulai dengan salah satu sebab sebagai berikut :

1.

Melihat bulan Ramadhan setelah terbenam matahari pada tanggal 29 (akhir) Sya’ban.


2.

Penetapan Hakim Syar’i akan awal bulan Ramadhan berdasarkan keterangan saksi, sekurangkurangnya seorang laki-laki, bahwa ia melihat bulan.

3.

Penetapan awal bulan Ramadhan dengan perhitungan ahli hisab (perhitungan) ; a. Apabila
bulan tidak terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan 30 hari. ; b. Keterangan orang yang
dapat dipercaya kebenarannya oleh penerima berita, bahwa ia melihat bulan Ramadhan.

4.

Dengan hisab sebagaimana firman Allah. Swt. :
َ ‫ َمش‬٬‫اب‬
‫صش ُل‬
ّ ‫ُه َو الّ ِذي َج َع َل ال‬
ّ ‫ق اُ ذلِششكَ إِ ّل بِششا ْل َح‬
َ َ‫شاخل‬
ّ َ‫ يُف‬٬‫ق‬
ّ ‫شوا َعش َد َد‬

َ ‫سش‬
َ ‫السشنِيْنَ َوا ْل ِح‬
َ ‫ش ْم‬
ِ ‫س‬
ْ ‫ضيَا ًء َوا ْلقَ َم َر نُ ْو ًرا َوقَش ّد َرهُ َمنَششا ِز َل لِتَ ْعلَ ُمش‬
۰ َ‫ت لِقَ ْو ٍم يَ ْعلَ ُم ْون‬
ِ ‫ْاايَا‬
Artinya: “Allah yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta diaturnya
tempat perjalanan, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan hitungan (hisabnya). Tuhan
tidak menjadikan semuanya itu kecuali dengan pasti. Tuhan menerangkan segalanya (tandaan)
dengan ayat-ayat-Nya bagi semua orang yang berpengatahuan. (QS. Yunus-5).
Sabda Rasulullah Saw. :
.ُ‫ فَإِنْ ُغ ّم َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُد ُر ْوا لَه‬۰ ‫ إِ َذا َرأَ ْيتُ ُم ْوهُ فَا ْف ِط ُر ْوا‬٬‫ص ْو ُم ْوا‬
ُ َ‫ إِ َذا َرأَ ْيتُ ُم ْوهُ ف‬:‫سلّ َم قَا َل‬
ُ ‫عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر عَنْ َر‬
َ ‫صلّي اُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ِل ا‬
Artinya: “Dari ‘Umar ra., Rasulullah Saw., bersabda : Apabila kamu melihat bulan
Ramadhan, hendaklah berpuasa dan apabila kamu melihat bulan Syawal hendaklah kamu
berbuka. Maka jika tidak tampak olehmu, maka hendaklah kamu perhitungkanlah jumlahnya

hari dalam satu bulan”. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah).[7]

D.

Syarat Puasa

1.

Syarat-syarat wajib berpuasa

a.

Islam

b.

Baligh dan berakal ; anak-anak belumlah diwajibkan berpuasa ; tetapi apabila kuat
mengerjakannya, boleh diajak berpuasa sebagai latihan.

c.


Suci dari haid dan nifas (ini tertentu bagi wanita)

d.

Kuasa (ada kekuatan). Kuasa disini artinya, tidak sakit dan bukan yang sudah tua. Orang sakit
dan orang tua, mereka ini boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah.

2.

Syarat-syarat sahnya puasa

a.

Islam.

b.

Tamyiz.


c.

Suci dari haid dan nifas. Wanita yang sedang haid dan nifas tidak sah jika mereka berpuasa,
tetapi wajib qadha pada waktu lain, sebanyak bilangan hari yang ia tinggalkan.

d.

Tidak di dalam hari-hari yang dilarang untuk berpuasa, yaitu diluar bulan Ramadhan[8] ;
seperti puasa pada hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal), Idul Adha (10 Zulhijjah), tiga hari tasyrik,
yakni hari 11, 12 dan 13 Zulhijjah, hari syak, yakni hari 30 Sya’ban yang tidak terlihat bulan
(hilal) pada malamnya.

E.

Rukun Puasa

1.

Niat ; yaitu menyengaja puasa Ramadhan, setelah terbenam matahari hingga sebelum fajar
shadiq. Artinya pada malam harinya, dalam hati telah tergerak (berniat), bahwa besok harinya
akan mengerjakan puasa wajib Ramadhan. Adapun puasa sunnat, boleh niatnya dilakukan pada
pagi harinya.

2.

Meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari.
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
‫سش َو ِد ِمنَ ا ْلفَ ْجش ِر ثُ ّم أَتِ ّم ْوا‬
ْ ‫شوا َو‬
ْ َ‫ض ِمنَ ا ْل َخ ْيش ِط ْال‬
ُ َ‫اشش َربُ ْوا َحتّي يَتَبَيّنَ لَ ُك ُم ا ْل َخ ْيشطُ ْالَ ْبي‬
ِ ‫فَا ْلئنَ بَا‬
ْ ‫ش ُر ْوهُنّ َوا ْبتَ ُغ ْوا َما َكت ََب اُ لَ ُك ْم َو ُكلُش‬
۰ ‫الصيَا َم إِلَي الّ ْيل‬
ّ
Artinya: “Maka sekarang, bolehlah kamu mencampuri mereka dan hendaklah kamu
mengusahakan apa yang diwajibkan Allah atasmu, dan makan-minumlah hingga nyata garis
putih dan garis hitam berupa fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.
Yang dimaksud dengan garis putih dan garis hitam ialah terangnya siang dan gelapnya
malam. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa ‘Adi bin Hatim
bercerita : “Tatkala turun ayat yang artinya : “hingga nyata benang putih dari benang hitam
berupa fajar” saya ambillah seutas tali hitam dan seutas tali putih, lalu saya taruh dibawah bantal
dan saya amat-amati di waktu malam dan ternyata tidak dapat saya bedakan. Maka pagi-pagi
saya datang menemui Rasulullah Saw dan saya ceritakan padanya hal itu. Sabda Nabi Saw :
‫اض النّ َها ِر‬
ُ َ‫س َوا ُد اللّ ْي ِل َوبَي‬
َ ‫إِنّ َما ذلِ َك‬
Artinya: “Maksudnya ialah gelapnya malam dan terangnya siang”.[9]

F.

Yang membatalkan puasa

1.

Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja, seperti makan, minum,
merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau ke dalam hidung hingga melewati pangkal
hidungnya. Tetapi jika karena lupa, tiadalah yang demikian itu membatalkan puasa. Suntik di
lengan, di paha, di punggung atau lainnya yang serupa, tidak membatalkannya, karena di paha
atau punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.

2.

Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkannya.

3.

Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi wajib mengqodha
sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.

4.

Jima’ pada siang hari.

5.

Gila walaupun sebentar.

6.

Mabuk atau pingsan sepanjang hari.

7.

Murtad, yakni keluar dari agama Islam.[10]
Perlu diterangkan disini tentang sangsi orang yang jima’ (bercampur) pada siang hari di
bulan Ramadhan; Orang yang berjima’ (melakukan hubungan kelamin) pada siang hari bulan
Ramadhan, puasanya batal. Selain itu ia wajib membayar denda atau kifarat, sebagaimana
dinyatakan oleh Rasulullah Saw. :
‫ َه ش ْل‬:‫ فَقَششا َل‬٬ َ‫سلّ َم عَنْ ذلِك‬
ْ ‫ضانَ فَا‬
ُ ‫ستَ ْفتَي َر‬
َ ‫صلّي اُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل ا‬
َ ‫ض َي اُ َع ْنهُ أَنّ َر ُج ًل َوقَ َع بِا ْم َرأَتِ ِه فِي َر َم‬
ِ ‫عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرةَ َر‬
.)‫ (رواه مسلم‬.‫س ِك ْينًا‬
َ ‫صيَا َم‬
ْ ‫ستّيْنَ ِم‬
ْ َ‫ َو َه ْل ت‬.‫ َل‬:‫تَ ِج ُد َرقَبَةً ؟ قَا َل‬
ِ ‫ فَأ َ ْط ِع ْم‬.‫ َل‬:‫ش ْه َر ْي ِن؟ قَا َل‬
ِ ‫ستَ ِط ْي ُع‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya seorang laki-laki pernah bercampur dengan
istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, lalu ia minta fatwa kepada Nabi Saw. : “Adakah
engkau mempunyai budak ?. (dimerdekakan). Ia menjwab : Tidak. Nabi berkata lagi : “Kuatkah
engkau puasa dua bulan berturut-turut ?”. Ia menjawab : Tidak. Sabda Nabi lagi : “Kalau
engkau tidak berpuasa, maka berilah makan orang-orang miskin sebanyak enam puluh orang”.
(HR.Muslim). [11]

G.

Hal-hal sunnat dalam berpuasa

1.

Menyegrakan berbuka puasa apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari sudah terbenam.

2.

Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air.

3.

Berdoa sewaktu berbuka puasa.

4.

Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah kekuatan ketika puasa.

5.

Menta’khirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.

6.

Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang puasa.

7.

Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.

8.

Memperbanyak membaca Alquran dan mempelajarinya (belajar atau mengajar) karena
mengikuti perbuatan Rasulullah Saw.[12]

H.

Puasa sunnat dan macam-macamnya.

Puasa sunnat adalah puasa yang disunnatkan kita melakukannya. Di antara puasa-puasa
sunnat ini ialah :
1.

Berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Nabi Daud)

2.

Puasa enam di bulan Syawal.

3.

Puasa hari Arafah (tanggal 9 bulan haji), kecuali orang yang sedang mengerjakan ibadah haji,
maka puasa ini tidak disunnatkan atasnya.

4.

Puasa hari Asyura (hari yang kesepuluh dari bulan Muharram).

5.

Puasa hari senin dan kamis.

6.

Puasa tiga hari pada tiap bulan ; dalam hubungan ini berpuasa pada tanggal 13, 14 dan 15 tiap
bulan berpuasa pada hari putih.

7.

Puasa Sya’ban.[13]

BAB III
PENUTUP
A.

Simpulan
Puasa adalah terjemahan dari Ash Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan diri
dari sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. “Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab adalah
“menahan dari segala sesuatu”, seperti makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak
bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu
hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Berdasarkan ketetapan Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 dan ketetapan hadis yang telah
disebutkan diatas, puasa diwajibkan atas umat Islam sebagaimana diwajibkan atas umat yang
terdahulu. Ayat itu menerangkan bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di
waktu bulan Ramadhan, wajib dia berpuasa. Seluruh Ulama Islam sepakat menetapkan
bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima, karena itu puasa di bulan Ramadhan
adalah wajib dikerjakan.
Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik laki-laki maupun
perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal, baligh (dewasa), tidak dalam
musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.

Puasa Ramadhan lamanya sebulan yaitu 29 atau 30 hari, yang dimulai setiap harinya
sejak terbit pagi hingga terbenam matahari.

DAFTAR PUSTAKA
Bahreisj, Hussein., 1980. Pedoman Fiqih Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Latif, M. Djamil., 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Ramadhan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifa’i, Moh., 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Rasjid, Sulaiman., 2012. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid., 1993. Fikih Sunnah 3. Bandung: Al-Ma’arif.

[1] H.M Djamil Latif, S.H, Puasa dan Ibadah Bulan Puasa, ( Cet. IV/4; Jl. Pramuka Raya 4
Jakarta 13140: Ghalia Indonesia, 1421 H/2001 M), h. 22.
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Cet. LV/55; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h.
220.
[3] H.M. Djamil Latif, S.H, op. cit., h. 22
[4] Ibid., h. 19-20
[5] Ibid., h. 21
[6] Hussein Bahreisj, Pedoman Fiqih Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1980), h. 124.
[7] Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978), h.
325-326
[8] Ibid., h. 327-328.
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, ( Cet. 8; Bandung: PT, Al-Ma’arif, 1993), h. 174.

[10] Drs. H.Moh. Rifa’i, op. cit., h. 328-329
[11] Ibid., h. 330.
[12] H. Sulaiman Rasjid, op. cit., h. 238-240
[13] H.M. Djamil Latif, S.H, op. cit., h. 26-29.