Makalah Filsafat Ilmu Post Positivistik

Makalah Filsafat Ilmu
Post-Positivistik

Disusun oleh :
 Siti Nasiroh
 Meiby Zulfikar
 Ira Setiawati
 Isti Setiawati
 Annisya Noviyanti
 Rizky Dwi Septian

Universitas Serang Raya
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prodi Ilmu Komunikasi
Kelas R1-A1

Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
tiada hentinya memberikan petunjuk, rahmat dan karunia-Nya dengan segala
kemudahan-kemudahan sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh Dosen mata kuliah Filsafat Ilmu, Bapak Rangga Galura. M. Si.

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi
kewajiban sebagai mahasiswa disiplin yang senantiasa melaksanakan tugas
yang diberikan oleh Dosen juga sebagai pondasi dasar dalam proses
pembelajaran di semester I ini.
Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari itu, sekiranya kami tim penyusun kelompok 4 menerima
saran dan kritikan dari pembaca untuk memacu kami agar lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun pada
khususnya dan pada pembaca pada umumnya dan juga agar dapat menimbulkan
kesadaran untuk lebih giat dalam mencari ilmu.

Serang, Desember 2014

Penyusun Kelompok 4

Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................ii
Daftar Isi.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................
1.3. Tujuan ..................................................................................................................
1.4. Manfaat.............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................
2.1. Sejarah Post-Positivisme ............................................................................................
2.2. Asumsi Dasar Post-Positivisme .................................................................................
2.3. Post-Positivisme dalam Penelitian Sosial dan Komunikasi ................................
2.3.1. Ontologi Post-Positivisme ..................................................................................
2.3.2. Epistemologi dan Aksiologi ...............................................................................
2.4. Struktur dan Fungsi Teori dalam Prespektif Post-Positivisme ...........................
2.4.1. Struktur Teori Prespektif Post-Positivisme .......................................................
2.4.2. Fungsi Teori Prespektif Post-Positivisme ..........................................................
2.4.3. Kriteria Evaluasi dan Perbandingan Teori.........................................................
2.4.4. Proses Perkembangan Teori ...............................................................................
2.5. Perbedaan Positivisme dengan Post-Positivisme ...................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................
KESIMPULAN ...............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Post-positivisme merupakan perbaikan dari positivisme yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti saja. Secara ontologis aliran ini bersifat kritikal realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi
satu hal yang mustahil apabila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti).
Post-positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan
memang amat dekat kaitannya dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwasanya post-positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi memalui berbagai macam metode. Dengan
demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh
berbagai kalangan dengan berbagai cara.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
 Apa pengertian Post-Positivisme?
 Bagaimana asumsi dasar Post-Positivisme?

 Bagaimana munculnya Post-Positivisme?
 Bagaimana proses penelitian sosial dan komunikasi dalam Post-Positivisme?
 Bagaimana struktur dan fungsi teori dalam prespektif Post-Positivisme?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai bagaimana manusia berfikir mulai dari Positivisme sampai ke PostPositivisme. Memberikan pemahaman tentang perbedaan antara Positivisme dengan PostPositivisme.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman
wawasan dan pengetahuan mengenai bagaimana manusia berfikir dan mengenai perbedaan
antara Positivisme dengan Post-Positivisme.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Post-Positivisme
Munculnya gugatan terhadap positivistis dimulai pada tahun 1970-1980an. Pemikirannya
dinamai “Post-Positivistis”. Post-Positivisme merupakan pemikiran yang menggugat asumsi
dan kebenaran-kebenaran positivisme. Tokohnya adalah Karl R Popper, Thomas Kuhn, dan
para filsuf Mazhab Frankfrurt.


2.2 Asumsi Dasar Post-Positivisme
Asumsi dasar post-positivistis tentang realitas adalah jamak individual. Hal itu berarti
bahwa realitas (perilaku manusia tidak tunggal) melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya
sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. Fokus kajian post-positivistis adalah
tindakan-tindakan manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Berikut asumsi-asumsi dasar Post-Positivisme :
1. Fakta tidak bebas nilai melainkan bermuatan teori.
2. Fasibilitas teori artinya tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta
anomali.
3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah.

2.3 Post-Positivisme
Komunikasi

dalam


Penelitian

Sosial

dan

Beberapa penelitian sosial beragumen bahwa kekurangan-kekurangan dari
pemikiran positivisme pada dasarnya membutuhkan dasar filsafat ilmu yang berbeda,
salah satunya adalah menolak dan mengganti prinsip-prinsip positivisme (seperti
ontologi realisme, epistemologi objektif, dan aksiologi bebas nilai) dengan bentuk
pemikiran yang menghargai prinsip nominalisme, subjektivisme, dan nilai-nilai yang
hadir dengan sendirinya (omnipresent).
a. Ontologi Post-Positivisme
Prespektif Post-Positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.

Secara Ontologi, Post-Positivisme bersifat critical realism. Critical realism,
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum

alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila manusia (Peneliti) dapat melihat realitas
tersebut secara benar (apa adanya, sebagaimana keyakinan positivisme). Oleh
karena itu , secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi,
sebagaimana dikemukakan positivisme tidak lah cukup tetapi harus menggunakan
metode triangulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data,
peneliti dan teori (Denzin dan Guba, 2001:40).
Ada 3 bentuk ontologi post-positivisme :
1. Realisme
Kalangan realis meyakini bahwa realitas yang diamati adalah realitas
sebenarnya, yang mutlak benar.
2. Nominalisme
Sementara kalangan nominalis mengajukan gagasan bahwa keberadaan
fenomena sosial hanya terwujud dalam batas nama dan label yang subjek
berikan pada realitas tersebut.
3. Konstruksionisme Sosial
Kalangan konstruksionis menekankan bahwa realitas itu dianggap ada atau
tidak bergantung pada pengaruh makna sosial yang dimiliki subjek, makna
sosial ini dibentuk melalui interaksi historis yang dialami subjek.
Pandangan post-positivisme mirip dengan pandangan konstruksionisme sosial
terutama dalam dua cara :

(1) Pertama, kaum post-positivis meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam
berbagai cara dan terpola secara relatif pada kerja penelitian.
(2) Kedua, banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut
dapat ditemukan secara objektif pada para pelaku dunia sosial.
b. Epistemologi dan Aksiologi
Asumsi-asumsi kalangan post-positivisme tentang landasan ilmu-ilmu sosial dan
aturan nilai dalam produksi pengetahuan sosial pada dasarnya didasarkan pada prinsipprinsip objektivisme. Asumsi-asumsi ini mencakup 3 gagasan yang saling terkait
bahwa:
(1) Ilmu pengetahuan bisa diperoleh melalui pencarian akan relasi kausal dan
keteraturan antara berbagai komponen dunia sosial.
(2) Relasi kausal dan keteraturan tersebut bisa di temukan bila ada pemisahan total
antara penyelidik dan subjek yang ditelitinya.
(3) Pemisahan ini dapat terjamin melalui penggunaan metode ilmiah.

Kalangan teoritis post-positivisme secara umum mengacu pada asumsi
objektivisme positivisme. Ada 2 asumsi objektivisme :
1. Pencarian atas pengetahuan dilakukan dengan bersandar pada penjelasan kausal dan
bergantung pada keteraturan yang ditemukan dalam dunia fisik dan sosial.
Dalam asumsi ini kaum post-positivisme melakukan cara penelitian yang sama,
bersandar pada kausalitas dan keteraturan. Namun ada perbedaan yang mendasar

yang dilakukan post-positivisme, yaitu relasi kausal dan keteraturan yang di pelajari
jarang bersifat sederhana dan sering kali melibatkan multiplisitas faktor dan
kekadaluarsaan hubungan (misalnya dalam komunikasi organisasional).
2. Adanya pemisahan antara objek yang diamati dengan subjek yang mengamati.
Dalam asumsi ini banyak ilmuwan post-positivisme menolak, karena mereka
menyakini bahwa pengetahuan dan proses produksi pengetahuan tidaklah bebas
nilai.
Secara epistemologi, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan. Aliran post-positivisme ini meyakini
bahwa subjek tidak mungkin dapat mencapai atau melihat kebenaran, apabil pengamat
berdiri dibelakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena
itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan
bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat
dikurangi secara minimal.
Objektivitas dianggap tidak mungkin ditemukan, yang bisa ditemukan hanyalah
suatu keteraturan ideal dari objek yang diamati. Objektivisme menyakini adanya
objek apa adanya sekaligus mencegah keterlibatan nilai subjek ketika melakukan
penelitian terhadap objek itu. Dengan cara ini, seorang post-positivisme akan
menggunakan metode-metode yang berupaya sebisa mungkin untuk tidak menjadi
bias nilai dan berusaha untuk tetap waspada dari segala nilai yang menghalangi

kenetralan dirinya. Dengan demikian objektivitas tetap terjaga dan pertumbuhan ilmu
pengetahuan ilmu sosial yang ilmiah akan terus tumbuh.

2.4 Struktur dan Fungsi Teori dalam Prespektif PostPositivisme
Bila post-positivisme adalah perspektif pemikiran yang seperti dan sekaligus juga
berbeda dengan positivisme, lalu bagaimana struktur dan fungsi teori yang dibangun
prespektif ini? Pada bagian ini kami memaparkan struktur dan fungsi teori yang
dimiliki oleh kaum post-positivis.

2.4.1. Struktur Teori Prespektif Post-Positivisme
Teori pada dasarnya merupakan sebuah abstraksi. Kualitas abstrak sebuah teori
secara partikular berhubungan erat, dalam pendekatan post-positivisme dengan

keberadaan teori itu sendiri. Jadi, teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori
yang telah dikonstruksi sedemikian rupa, bukan diterima begitu saja.
Robert Dubin (1978) menyatakan bahwa sebuah teori terdiri dari satuan-satuan
pembentuk, karena itu sebelum digunakan dalam penelitian suatu teori harus dibagi
dalam unit-unit (bagian-bagian) tertentu. Unit utamanya adalah konsep yang menjadi
inti dari teori tersebut. Setelah menetapkan unit-unit yang di inginkan, teori harus
dapat menspesifikasikan hukum-hukum interaksi antara unit-unit yang dimilikinya

dan juga harus menspesifikasikan batas-batas konseptual penerapan suatu teori.

2.4.2. Fungsi Teori Perspektif Post-Positivisme
Fungsi teori dalam kebanyakan pemikiran pemahaman kalangan post-positivisme
adalah untuk menentukan beberapa keteraturan atas pengalaman yang tak teratur.
[Dubin, 1978]. Terdapat tiga fungsi dalam teori perspektif post-positifisme,
diantaranya sebagai berikut :
(1) Penjelasan (explanation)
Penjelasan (explanation) berarti bahwa teori-teori harus dapat menjelaskan
bagaimana sesuatu itu terjadi. Hal itu berarti bahwa dalam memindahkan dunia
empirik ke dalam dunia pemikiran abstrak dari sebuah teori melalui observasi
berusaha menjelaskan mekanisme yang terjadi di balik suatu fenomena.
(2) Prediksi (prediction)
Prediksi (prediction) berarti upaya teori dalam menyediakan penjelasan abstrak
mengenai fenomena tertentu, kemudian melalui penjelasan abstrak tersebut teori
dapat digunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi dalam situasi yang
serupa.
(3) Kontrol (control)
Kontrol (control) berarti bila seseorang bisa menjelaskan dan memprediksi
fenomena, maka ia juga kadang kala dapat menggunakan informasi tersebut
untuk mengontrol peristiwa yang akan terjadi.

2.4.3. Kriteria evaluasi dan perbandingan teori
Ada beberapa cara umum untuk mengevakuasi kualitas sebuah teori, termasuk
tingkat kesuksesan sebuah teori dalam memecahkan persoalan empiris,
konseptual dan praktis; atau untuk mengontrol sejauh mana solusi sebuah teori
yang lainnya, dan sejauh mana teori tersebut dapat memajukan sebuah cara dalam
memcahkan masalah baru. Thomas Kuhn, dalam Miller. (2002: 43-44)
mengusulkan satu set kriteria evaluasi dan perbandingan teori, diantaranya
sebagai berikut :

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Sebuah teori harus akurat.
Sebuah teori harus konsisten.
Sebuah teori harus memiliki ruang lingkup yang luas.
Sebuah teori harus sederhana.
Sebuah teori harus menghasilkan.

2.4.4. Proses perkembangan teori
Faktor utama dalam pengembangan teori dari pertumbuhan ilmu pengetahuan
dalam tradisi post-positivisme adalah keterusterangan. Kalangan post-positivisme
mengembangkan teori yang mengakumulasi pengetahuan tentang dunia melalui
proses pengujian teori secara empirik.
Telah dikemukakan beberapa inti pemikiran Popper. Popper menegaskan
bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika
induksi semata. Logika induksi adalah logika penarikan kesimpulan umum
melalui pengumpulan fakta-fakta konkret.

2.5 Perbedaan Paradigma Positivisme dengan PostPositivisme

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Post-Positivistik melakukan observasi dilapangan dengan metode yang sudah terukur
seperti polling, survey, angket, dan voting. Jadi paradigma post-positivistik menggunakan
beberapa asumsi lebih kuat dari positivisme dikarenakan post-positivisme menggunakan
beberapa asumsi atau metode yang dapat dipercaya dalam menentukan suatu hal, bukan
hanya dasar dari pemikiran semata saja melainkan dilengkapi dengan bukti-bukti yang pasti
dari hasil penelitian tersebut.
Perspektif post-postivisme juga membawa pengaruh besar pada ilmu sosial termasuk ilmu
komunikasi. Melalui kritik yang mendasar terhadap positivisme yang terlalu realis, bebas
nilai, memisahkan subjek dan objek penelitian, post-positivisme memberikan model
penelitian khas dalam ilmu sosial. Walaupun demikian, post-positivisme juga tidak lepas dari
kelemahan.

Daftar Pustaka
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Macanan
Jaya Cemerlang
Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media