TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan Klasifi

TINJAUAN PUSTAKA

Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Gambut (Histosol)
Menurut Taksonomi Tanah, disebut tanah gambut (histosol) dengan
ketentuan apabila 1) tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada
≥ 60%
ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara
permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan, apabila
lebih dangkal; dan 2) memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau
lebih sifat berikut; a) terletak di atas bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu
apung dan/atau mengisi celah-celah di antara batu-batuan tersebut, dan langsung
di bawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik; atau
b) apabila ditambahkan dengan bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung
yang berada di bawahnya, maka total ketebalannya sebesar ≥ 40 cm, di antara
permukaan tanah dan kedalaman 50 cm; atau c) menyusun


2

/3 dari ketebalan


total tanah sampai ke kontak densik, litik, atau paralitik dan tidak mempunyai
horizon mineral atau memiliki horizon mineral dengan ketebalan total≤ 10 cm
atau; d) jenuh air selama
≥ 30 hari setiap tahun dalam tahun

-tahun normal

(atau telah di drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan
tanah, dan memiliki ketebalan total sebagai berikut: (1) apabila
≥ ¾ bagian
volumenya terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya, lembab,
sebesar < 0,1 g/cm3, ≥ 60 cm; atau (2) apabila terdiri dari bahan saprik atau
hemik, atau bahan fibrik yang < ¾ (berdasarkan volume) terdiri dari serat-serat
lumut dan berat jenisnya, lembab, sebesar ≥ 0,1 g/cm 3, 40 cm atau lebih
(Soil Survey Staff, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan histosol dicirikan dan dikenal melalui epipedon histik yang
tebalnya lebih dari 12 inci, jenuh dengan air sekurang-kurangnya 30 hari terusmenerus dalam setahun, dan mengandung paling sedikit 20 persen bahan organik.

Histosol ditemukan di seluruh dunia, jumlah luas keseluruhannya kurang dari 1
persen dari permukaan tanah dunia (Foth, 1994).
Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen
permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut
sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan
selatan Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian
Jaya menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin
daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan
air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka
lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada
cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari
vegetasi rawa sehingga terbentuklah gambut. Pada cekungan yang dalam secara
berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk
gambut tebal (Budianta, 2003).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau
yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah.
Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan yang
kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum
(lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada
bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk

lapisan-lapisan

gambut,

sehingga

danau

tersebut

menjadi

penuh

Universitas Sumatera Utara

(Gambar 1a dan 1b). Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut
dikenal sebagai gambut topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh
topografi daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik)
karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika

ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut
tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen.
Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut topogen akan membentuk lapisan
gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang
mempunyai permukaan cembung (Gambar 1c). Gambut yang terbentuk di atas
gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang proses pembentukannya
dipengaruhi oleh air hujan. Gambut ombrogen mempunyai kesuburan yang lebih
rendah dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral (Noor, 2001).

c. pembentukan kubah gambut

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001)

Universitas Sumatera Utara

Luas lahan gambut Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha.
Data yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya
survei dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9-11% dari luas daratan di

Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan lahan pertanian ke lahan marginal
ini, terutama di kabupaten dan provinsi yang luas lahannya didominasi lahan
gambut,

seperti

Provinsi

Riau

dan

Kalimantan

Tengah

(Balai Penelitian Tanah, 2011).
Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut pada umumnya terdapat di
dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturut
turut terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara

dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar
50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga
ditemukan di dataran pantai barat pulau, khususnya di wilayah propinsi Bengkulu,
Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya
mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah mineral
(non gambut) secara bersama menyusun lahan rawa (Wahyunto, dkk, 2005).
Selain dianggap sebagai lahan marginal gambut dikategorikan sebagai
lahan tidur, padahal sudah diketahui bahwa gambut juga merupakan salah satu
sumberdaya alam yang berfungsi sebagai pengatur tata air (hidrologi). Apabila
fungsi ini dirubah maka akan dapat menimbulkan dampak terhadap ekosistem.
Dirubahnya sistem hidrologi alam dengan dibangunnya berbagai saluran drainase
mengakibatkan fungsi gambut sebagai reservoir dan pengatur tata air juga akan

Universitas Sumatera Utara

berubah, bahkan dapat hilang sama sekali bila gambut semakin menipis atau
menyusut (Boyman, 2002).
Tanah Gambut (Histosol) sifatnya bermacam-macam tergantung dari jenis
vegetasi yang menjadi tanah gambut tersebut. Tanah-tanah Gambut yang terlalu
tebal (lebih dari 2 m) umumnya tidak subur karena vegetasi yang membusuk

menjadi Tanah Gambut tersebut terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara.
Tanah Gambut yang subur umumnya yang tebalnya antara 40-100 cm. Tanah
Gambut mempunyai sifat dapat menyusut (subsiden) kalau perbaikan drainase
dilakukan sehingga permukaan tanah ini makin lama makin menurun. Tanah
Gambut juga tidak boleh terlalu kering karena dapat menjadi kering irreversible
(kering tak balik), yaitu sulit menyerap air kembali dan mudah terbakar.
Kekurangan

unsur

mikro

banyak

terjadi

pada

tanah


gambut

(Hardjowigeno, 2007).
Lapisan tanah mineral di bawah gambut mempengaruhi tingkat kesuburan
alami gambut, dapat berasal dari endapan liat marin, pasir kuarsa, dan liat bukan
marin (endapan sungai). Pada gambut dengan lapisan tanah bawah berasal dari
endapan marin, berpotensi terjadi bahaya keracunan asam sulfat yang berasal dari
oksidasi senyawa pirit. Keracunan ini terjadi apabila lapisan gambut sudah
menipis, baik karena kesalahan pembukaan maupun karena terjadinya penurunan
permukaan tanah (subsidence), sehingga senyawa pirit teroksidasi dan
menghasilkan asam sulfat dan besi terlarut (Fe3+). Lapisan tanah di bawah gambut
berupa pasir kuarsa menunjukkan bahwa tanah gambut mempunyai kesuburan
rendah, karena terbentuk dari vegetasi hutan yang miskin unsur hara. Tanah
gambut yang terletak di atas lapisan tanah mineral di daerah pedalaman relatif

Universitas Sumatera Utara

lebih subur, karena lapisan tanah mineralnya berasal dari lingkungan endapan
yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Gambut tersebut terdapat di daerah
pedalaman yang jauh dari pantai (Balai Penelitian Tanah, 2011).

Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi
dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena
drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai
dengan penurunan dan perubahan warna tanah;
2. Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan
melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman
dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami
pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik
baru yang disebut sebagai humus;
3. Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah
pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan
bagi pertumbuhan mikroorganisme
(Najiyati, dkk, 2005).
Mengklasifikasikan kesuburan tanah gambut pada tiga tingkat kesuburan;
oligotrofik, tingkat kesuburan rendah, mesotrofik, tingkat kesuburan sedang, dan
eutrofik, tingkat kesuburan tinggi, dapat mengikuti kisaran kandungan beberapa
unsur hara yang terdapat pada tanah gambut seperti berikut :


Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut
Tingkat
Kandungan Hara (% bobot kering)
Kesuburan
N
K2O
P2O5
CaO
Abu
Eutrofik
2.50
0.10
0.25
4.00
10.00
Mesotrofik


2.00

0.10

0.20

1.00

5.00

Oligotrofik

0.80

0.03

0.05

0.25

2.00

(Barchia, 2006).
Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik, gambut
dibedakan menjadi tiga yakni:
1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih
dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, bila gambut
diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah, maka kandungan serat
yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga
perempat bagian atau lebih (>¾);
2. Hemik,

yaitu

gambut

yang

mempunyai

tingkat

pelapukan

sedang

(setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian
lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah,
gambut agak mudah melewati sela-sela jari-jari dan kandungan serat yang
tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari
tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (¼ dan 0,2 g cm-3
karena adanya pengaruh tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).
Kerapatan lindak tanah organik dibandingkan dengan tanah mineral adalah
rendah, 0.2 hingga 0.6 merupakan nilai biasa bagi tanah organik yang telah
mengalami dekomposisi lanjut. Suatu tanah mineral yang telah diusahakan,
lapisan atasnya biasanya mempunyai nilai kerapatan lindak dari 1.25 hingga 1.45.
Lapisan olah tanah organik mempunyai bobot 400000 hingga 500000 kg tanah
kering tiap hektar dibandingkan dengan tanah mineral 2 hingga 2.5 juta kg tiap
hektar. Bobot untuk organik ternyata sangat ringan (Soepardi, 1983).
Kekeringan Tak Balik (Irreversible drying)
Sifat fisik lain tanah gambut adalah apabila tanah gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan, menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan
terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Pada kondisi seperti ini
gambut berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan
menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan
vegetasi (Wahyunto, dkk, 2005).
Daya Hantar Hidrolik
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal
(mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara

Universitas Sumatera Utara

ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertical (ke atas)
yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami
kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga menyulitkan pasokan
air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas hanya sekitar 40 - 50 cm. Untuk
mengatasi perilaku ini, perlu dilakukan upaya untuk menjaga ketinggian air tanah
pada kedalaman tertentu. Untuk tanaman semusim, kedalaman muka air tanah
yang ideal adalah kurang dari 100 cm. Sedangkan untuk tanaman tahunan
disarankan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm.
Pemadatan gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah
(Najiyati, dkk, 2005).
Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)
Perubahan lingkungan yang terjadi saat dilakukan pembukaan hutan rawa
gambut untuk usaha pertanian, termasuk usaha perkebunan, adalah menurunnya
ketahanan dari bahan organik dalam gambut terhadap proses dekomposisi.
Perubahan kondisi dari anaerob menjadi aerob akibat pembuatan saluran drainase
mendorong proses perombakan bahan organik berlangsung dengan sangat cepat,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan permukaan lahan gambut
(Bintang, dkk, 2005).
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga
terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun
pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm.
Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung

Universitas Sumatera Utara

kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bias
dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Agus dan Subiksa, 2008).
Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan

total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”. Total Ruang Pori
rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh kerapatan
lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses
konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia
ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar.
Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan
subsidensi (Bintang, dkk, 2005).
Warna
Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan
tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap
sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut
menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut
semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan
saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin
gelap (Najiyati, dkk, 2005).
Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut
pH
Tingginya

kemasaman

tanah

gambut

disebabkan

oleh

tingginya

kandungan asam-asam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik
yang banyak mengandung lignin. Tingginya kemasaman tanah ini disebabkan
oleh tingginya kandungan asam-asam organik, yaitu asam humat dan asam fulvat.

Universitas Sumatera Utara

Tapak pertukaran tanah gambut yang didominasi ion hidrogen menyebabkan pH
tanah rendah. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat
masam dengan pH < 4 (Barchia, 2006).
KTK yang tinggi dan KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan
sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diambil oleh tanaman.
Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3 - 4,5. Gambut dangkal
mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) dari pada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9).
Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, berkurang
dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun
umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena rasio C/N yang tinggi
(Najiyati, dkk, 2005).
Kejenuhan Basa
Kandungan basa - berupa unsur Ca, Mg, K dan Na - dan kejenuhan basa
rendah. Kandungan Al umumnya rendah sampai sedang dan semakin berkurang
dengan menurunnya pH tanah. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, Bo, dan
Zn sangat rendah, sebaliknya kandungan Fe cukup tinggi. Kandungan N total
termasuk tinggi, tetapi sebagian besar dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman
karena rasio C/N yang tinggi (Wahyunto, dkk, 2005).
Terdapat kolerasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah.
Umumnya terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena
itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa
yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. Kejenuhan basa
yang rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap

Universitas Sumatera Utara

sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap
untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa (Tan, 1995).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya
adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila
pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK
yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida
(pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi
menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun
kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan
Na

yang

tidak

membentuk

ikatan

koordinasi

akan

mudah

tercuci

(Agus dan Subiksa, 2008).
Bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah,
maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar nilai KTK tanah. Nilai
KTK dan pH dari beberapa ordo tanah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Nilai KTK dan pH dari beberapa Ordo Tanah
Ordo Tanah
KTK (me/100 g)
Ultisol
3,5
Alfisol
9,0
Spodosol
9,3
Mollisol
18,7
Vertisol
35,6
Aridisol
15,2
Inseptisol
14,6
Entisol
11,6
Histosol
128,0
(Mukhlis, dkk, 2011)

pH
5,6
6,0
4,9
6,5
6,7
7,26
6,08
7,3
5,5

Universitas Sumatera Utara

Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut umumnya tinggi dan
semakin meningkat sesuai dengan meingkatnya kandungan bahan organik. Di
beberapa tempat adanya intrusi garam dapat meningkatkan nilai KTK, kenaikan
ini

kemungkinan

disebabkan

karena

adanya

kenaikan

pH

(Wahyunto, dkk, 2005). Nilai KTK juga mengalami kenaikan setelah dilakukan
reklamasi.
Ratio C/N
Untuk unsur C dan N di dalam tanah gambut adalah tinggi. Tetapi dua hal
yang kait-mengkait sehubungan dengan kedua unsur penyusun tersebut yang perlu
diperhatikan, bahwa tanah gambut mempunyai nisbah (ratio) C dan N yang tinggi,
minimum 20 : 1. Di samping itu, tanah gambut memperlihatkan nitrifikasi yang
giat meskipun C/N rasio tinggi. Demikian juga akumulasi nitrat lebih besar. Hal
ini didasarkan atas banyaknya N dalam gambut, CaO yang cukup dan
ketidakaktifan sebagian dari karbon. Dengan demikian perbanyakan organisme
nitrifikasi memperoleh kesempatan lebih banyak mengoksidasikan ammonium
(Kim, 1991).
Nisbah C/N berkisar antara 31 - 49. Bila nilai C/N rasio lebih besar dari 30
akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah untuk memenuhi kebutuhan
metabolismenya. Sedangkan, bila rasio C/N antara 20-30, dapat terjadi
immobilisasi maupun pembebasan N ke dalam tanah gambut. Dengan rasio C/N
tanah gambut di atas 30 maka N pada tanah gambut ini sukar tersedia bagi
tanaman. Jadi, walaupun kandungan N-total gambut terkategori tinggi, namun
unsur hara N relatif kurang tersedia bagi tanaman karena N dalam bentuk N-

Universitas Sumatera Utara

organik dan pada tingkatan C/N rasio yang lebih tinggi tersebut, terjadi proses
immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah (Barchia, 2006).
Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Tahunan
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal
(kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa
sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2).
Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika
ada

sisipan/pengkayaan

lapisan

tanah

atau

lumpur

mineral

(Djainudin, dkk, 2003). Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai
kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini
disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila
dikonversi menjadi lahan pertanian.
Tanaman tahunan banyak diusahakan oleh rakyat. Tanaman tahunan yang
banyak diusahakan di lahan gambut diantaranya adalah kelapa sawit, kopi, karet,
dan kelapa. Hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di
lahan gambut adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai
ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi karena daya
dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan gambut (subsidence)
sesudah direklamasi (Najiyati, dkk, 2005).
Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Pangan Semusim
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008),
lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada
gambut dangkal (< 100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal
memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan

Universitas Sumatera Utara

lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman
pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara
yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu
beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan
berbagai jenis sayuran lainnya.
Tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan
umumnya sesuai dengan gambut pada berbagai tingkat ketebalan tanah, bahkan
petani lebih menyukai gambut dalam (> 3 m) karena pada musim kemarau petani
masih dapat menyirami sayuran mereka karena air gambut masih tersedia untuk
penyiraman tanaman. Pada gambut dangkal atau sedang penyiraman tanaman di
musim kemarau sulit dilakukan, karena air gambut mengering dan sumber air jauh
dari kebun (Sagiman, 2007).
Tanaman hortikultura lain seperti pepaya, semangka, jagung manis dan
sayur-sayuran dataran rendah memberikan penghasilan yang cukup baik bagi
petani gambut. Tanaman tersebut memerlukan masukan yang cukup tinggi berupa
abubakar, limbah ikan, pukan ayam dan pupuk kimia. Untuk tanaman sayursayuran masukan yang sedang – tinggi pada tanah gambut dapat dilakukan karena
harga jual yang masih memadai. Selain itu waktu tanam sampai panen tanaman
sayur umumnya sangat singkat antara 4 - 6 minggu pada bayam cabut, kangkung,
sawi, kailan, seledri, sampai 10-12 minggu pada kacangkacangan dan jagung
manis. Namun pengembangan sayuran sampai areal

yang luas perlu

mempertimbangkan kejenuhan pasar dan ketersediaan input usaha tani
(Sagiman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Alih Fungsi Lahan Sawah Asal Tanah Gambut
Tanah sawah mempunyai beberapa istilah dalam bahasa Inggris yaitu rice
soil, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group
anthraquic, sub-group anthropic, aquarizem, sub-group hydraquic. Dalam
Klasifikasi Tanah FAO (Worl Reference Base for Ssoil Resources), tanah sawah
termasuk Anthrosols. Sifat tanah sawah dapat sangat berubah dari sifat asalnya
(misalnya lahan kering yang disawahkan) atau tidak banyak berubah dari sifat
tanah asalnya (misalnya tanah sawah berasal dari daerah rawa-rawa yang sejak
semula berupa lahan basah) (FAO, 1998).
Sebelum tanah sawah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah
tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor
pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang
masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada waktu tanah mulai
disawahkan dengan cara penggenangan air, baik waktu pengolahan tanah maupun
selama pertumbuhan padi, melalui perataan, pembuatan teras, pembuatan
pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses pembentukan tanah alami yang
sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu, terjadilah proses pembentukan
tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah dan metode pengelolaan
tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah sering
dikatakan sebagai tanah buatan manusia (man-made soil, anthropogenic soil)
(Hardjowigeno dan Rayes, 2005).
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian
disawahkan, atau dari tanah rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran
drainase. Bila relief atau topografi tanah asal berombak bergelombang atau

Universitas Sumatera Utara

berlereng, maka lebih dulu harus dibuat teras bangku. Sawah yang airnya berasal
dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air
hujan disebut sawah tadah hujan. Berkaitan dengan proses pembuatan lahan
sawah, sifat tanah asal (virgin soil ) dimungkinkan dapat berubah. Pada lahan
rawa/ pasang surut terjadi proses pengeringan tanah, mulai dari lapisan atas ke
lapisan bawah. Sebaliknya pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi
proses pembasahan dari lapisan atas ke bawah (Wahyunto, 2009).
Rendahnya hasil padi pada gambut tebal dapat diatasi jika tanaman padi
diberi hara lengkap. Pada gambut yang tipis 0-10 cm tanah relatip padat tidak
gembur dan pembentukan perakaran padi dapat terganggu, kandungan hara tanah
juga rendah dan tidak cukup memberikan hasil yang tinggi. Peningkatan ketebalan
gambut sampai 60 cm, menyebabkan kesuburan gambut meningkat dan tanah
gembur sehingga baik bagi pertumbuhan akar tanaman. Gambut tebal (>1m )
belum berhasil dimanfaatkan untuk penanaman padi sawah, karena sejumlah
kendala yang belum dapat diatasi. Keberhasilan budidaya padi sawah tergantung
kesuksesan dalam mengatasi beberapa kendala seperti keberhasilan dalam :
pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala

fisik yang

menjadi faktor pembatas, pengendalian sifat toksik dan kekurangan hara makro
maupun mikro (Sagiman, 2007).
Alih fungsi lahan sawah ke non sawah merupakan salah satu penyebab
berkurangnya luas sawah di Indonesia. Keadaan ini berlangsung terus sejalan
dengan pertumbuhan penduduk, kegiatan industri, perhubungan dan bencana alam
sehingga dipandang perlu memberdayakan lahan - lahan marjinal yang belum

Universitas Sumatera Utara

berproduktif optimal. Salah satu lahan yang belum optimal dalam pemanfaatannya
adalah lahan gambut (Utama dan Haryoko 2009).
Pemanfaatan lahan tersebut, masih sangat terbatas akibat keterbatasan
teknologi dan varietas toleran. Untuk memanfaatkan lahan tersebut, diperlukan
teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius akibat cekaman
lingkungan. Masalah serius tersebut akibat oleh pH yang rendah, ketersedian hara
terbatas dan defisit air yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman
(Utama dan Haryoko 2009 ).
Pengembangan gambut di Sumatera Barat yang semula diperuntukan
untuk perluasan lahan usahatani padi akhir-akhir ini secara perlahan beralih
inenjadi lahan perkebunan terutama perkebunan sawit. Pengalihan ini terjadi
akibat produksi padi sawah gambut rendah. Khusus di kabupaten Pasaman Barat
walaupun belum ada data resmi tentang luas pengalihan sawah gambut menjadi
perkebunan sawit, tetapi secara jelas luas sawah gambut semakin sempit dan
penyempitan luas lahan ini juga diikuti dengan semakin langkahnya varietas padi
lokal yang semula banyak dibudidayakan (Haryoko, dkk, 2010).
Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut
Kegiatan awal dari pemanfaatan gambut adalah pembangunan saluran
drainase untuk pengatusan air agar tanah memiliki kondisi rhizosphere yang
sesuai bagi tanaman. Pengelolaan air harus disesuaikan dengan kebutuhan
perakaran tanaman. Kedalaman permukaan air tanah pada parit kebun diusahakan
agar tidak terlalu jauh dari akar tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka
oksidasi berlebih akan mempercepat perombakan gambut, sehingga gambut cepat
mengalami subsiden (Sagiman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan
pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan
rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut
dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak
dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa
tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan
aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai
mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon
yang tersimpan di dalam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam
bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek rumah
kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang
berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim global
(Maswar 2011).
Setelah direklamasi, tanah gambut cenderung terdekomposisi lebih cepat
daripada akumulasinya. Bahan organik akan selalu menurun kadarnya bila
diusahakan (Juste, 1997). Gambut yang telah mengalami reklamasi akan
mengalami pemadatan, sehingga BD nya akan naik yaitu antara 0,1–0,4 gr/cm3.
Adanya gejala pengeringan tak balik dan penyusutan telah diamati di beberapa
lokasi di Kalimantan Tengah di Sakalagun pada tahun 1991, pada lahan yang
ditanami padi gogo dan palawija.. Biasanya gambut yang kering ini terdapat
hanya di permukaan. Namun karena pengolahan tanah yang berulang-ulang maka
gambut yang kering ini telah juga berada pada kedalaman 10-15 cm. Apabila
bahan mineral yang ada dibawah gambut adalah bahan liat, usaha pertanaman
masih dimungkinkan (Wahyunto, dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Desa Hutabagasan berjarak ± 1 Km dari ibukota Humbang Hasundutan,
Doloksanggul yang berbatasan dengan:
Sebelah Timur

: Kecamatan Sijamapolang

Sebelah Barat

: Desa Matiti

Sebelah Utara

: Desa Sihite II

Sebelah Selatan

: Desa Janji

Desa Hutabagasan terbagi atas 3 dusun dengan jumlah kepala keluarga
437 KK dengan jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 2300 orang. Rata-rata
penduduk Desa Hutabagasan memiliki mata pencaharian sebagai petani,
disesuaikan dengan jenis tanaman yang cocok dengan jenis tanah yang ada di desa
Hutabagasan. Jenis tanaman yang paling banyak ditanami penduduk adalah kopi,
padi, cabai, tomat, bawang, dan berbagai jenis sayuran.
Luas wilayah Desa Hutabagasan adalah 800 Ha yang terbagi menjadi
beberapa areal seperti berikut:
- Areal pemukiman penduduk

: 45 Ha

- Perladangan

: 50 Ha

- Persawahan

: 250 Ha

- Kebun

: 170 Ha

- Pendidikan

: 2 Ha

- Lahan tidur

: 283 Ha

Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang
Hasundutan memiliki sebagian jenis tanah Gambut Topogen dengan tiga

Universitas Sumatera Utara

penggunaan lahan yang berbeda dalam satu areal. Ketiga penggunaan lahan yang
dimaksud antara lain, lahan sawah, lahan tanaman tahunan (kopi), dan lahan
tanaman semusim (hortikultura) seperti tanaman tomat, cabai, bawang, dan
berbagai jenis sayuran. Terletak pada ketinggian 1411 meter diatas permukaan
laut. Secara geografis kawasan ini berada pada 02º15.552’ LU dan
098º43.366’ BT.
Tanah Gambut Topogen di wilayah ini berasal dari bahan induk woody
material (gambut dari kayu). Menurut Munir (1996), gambut dari bahan kayukayuan, terbentuk dari sisa pohon-pohonan, juga dari semak-semak (scrubs) dan
tumbuhan lain dari rawa (swap forest). Bahan organik yang diakumulasi agak
homogen kecuali bila mengandung bahan berserat. Gambut berkayu berwarna
coklat atau hitam dan warna itu tergantung dari tingkat dekomposisinya, bersifat
lepas dan terbuka bila kering dan tidak berserat.
Data rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini terdapat 10 bulan basah,
1 bulan lembab dan 1 bulan kering. Penggolongan iklim ini berdasarkan Schmidt
dan Ferguson, yaitu bulan basah jika curah hujan > 100 mm, bulan lembab jika
curah hujan 60-100 dan bulan kering jika curah hujan < 100 mm. Penentuan
temperatur tanah diperoleh dari pendekatan rata rata temperatur udara tahunan
+ 1°C, sehingga rata rata suhu tanah yang diperoleh adalah 18,7°C
(Kartasapoetra, 1993).
Pemupukan untuk lahan sawah dilakukan dua tahap yaitu pemberian
pupuk NPK pada saat awal penanaman dan pada akhir vegetatif tanaman padi
dengan cara disebar. Untuk tanaman kopi arabika dilakukan dua kali dalam
setahun yaitu pupuk NPK dengan aplikasi di lubang tanam pada saat awal

Universitas Sumatera Utara

penanaman dan selanjutnya dilakukan pemupukan bergantian dua kali dalam
setahun untuk pupuk kandang, urea dan pupuk NPK dengan aplikasi di bedengan.
Pada tanaman hortikultura, pemupukan tanaman dilakukan setiap masa tanam
bahkan terkadang 3-4 kali selama musim tanam tergantung jenis tanaman
hortikultura yang sedang diusahakan. Jenis pupuk dan aplikasi yang dilakukan
sama seperti pada tanaman kopi arabika. Untuk dosis yang diberikan, para petani
di wilayah ini tidak pernah menghitung besar pupuk yang diberikan, baik untuk
lahan sawah, tanaman kopi arabika maupun tanaman semusim.

Universitas Sumatera Utara