Merancang Strategi dan Media Pembelajara

MERANCANG STRATEGI DAN MEDIA PEMBELAJARAN SASTRA
UNTUK PENGEMBANGAN APRESIASI DAN NILAI-NILAI HUMANISME

ALVI FITRI RAHAYU
Universitas Negeri Padang

BAB I
PENDAHULUAN
Pada pendahuluan ini akan dibahas tentang hakikat strategi pembelajaran sastra,
hakikat media pembelajaran sastra, apresiasi pembelajaran sastra, dan nilai-nilai
humanisme dalam pembelajaran sastra. Berikut penjelasan pada masing-masing sub bab
berikut.
A.

Hakikat Strategi Pembelajaran Sastra
Menurut Trianto (2011: 139) dihubungkan dengan belajar mengajar strategi

mempunyai berarti pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan
kegiatan belajar-mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Strategi
pembelajaran menurut Burden dan Byrd (dalam Suprihatiningrum, 2013: 148)
mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai an instructional strategy is a method for

delivering instruction that is intended to help student achieve a learning objective.
Artinya, strategi pembelajaran merupakan metode untuk mengirim pesan pembelajaran
yang direncanakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Dalam dunia
pendidikan strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities desained to
achieves a particular educational goal (J.R. david, dalam Sanjaya 2013: 186). Dapat
diartikan strategi adalah perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di
desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Jadi berdasarkan pendapat beberapa
ahli di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah cara yang dilakukan
pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Menurut Wena (2011:5), strategi pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda
untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda.
Strategi pembelajaran PAILKEM merupakan salah satu strategi yang dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. PAILKEM merupakan sinonim dari

1

Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik (Mohamad,
2011:10-16).
a.


Pembelajaran yang Aktif
Aktif dalam strategi ini adalah memosisikan guru sebagai orang yang menciptakan

suasana belajar yang kondusif atau sebagai fasilitator dalam belajar, sementara siswa
sebagai peserta belajar yang harus aktif.

b.

Pembelajaran yang Inovatif
Inovatif disini, guru tidak saja tergantung dari materi pembelajaran yang ada pada

buku, tetapi dapat mengimplementasikan hal-hal baru yang menurut guru sangat cocok
dan relevan dengan masalah yang sedang dipelajari siswa.
c.

Pembelajaran yang Menggunakan Lingkungan
Konsep pembelajaran ini berangkat dari belajar kontekstual dengan lebih

mengedepankan bahwa hal yang perlu dipelajari terlebih dahulu oleh siswa adalah apa
yang ada pada lingkungannya.

d. Pembelajaran yang Kreatif
Kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam
sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.
e.

Pembelajaran yang Efektif
Segala pertimbangan dalam strategi ini menyangkut tujuan yang disusun

berdasarkan kemampuan siswa, pemilihan materi yang benar-benar menunjang tujuan,
penetapan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa, penggunaan media yang pas
serta evaluasi yang tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan, pada akhirnya tetap
terpulang pada bagaimana peran seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran.
f.

Pembelajaran yang Menarik
Inti dari strategi pembelajaran yang menarik terletak pada bagaimana memberikan

pelayanan kepada siswa sebab posisi siswa jika diibaratkan dalam sebuah perusahaan,
maka siswa merupakan pelanggan yang perlu dilayani dengan baik.


B.

Hakikat Media Pembelajaran Sastra
Kata media berasal dari bahasa latin, jamak dari medium yang secara harfiah

berarti perantara atau pengantar. Menurut Heinic, Molenda, dan Russel (dalam Sanjaya,
2013: 204) media is a channel of communication. Derived from the Latin word for

2

“between”, the term refers “to anything that carries information between a source and
receiver”. Selanjutnya Lesle J. Bringgs (dalam Sanjaya, 2013: 204) menyatakan bahwa
media pembelajaran sebagai “the physical mean of conveying instructional content”, yang
artinya media pembelajaran adalah alat untuk memberi perangsang bagi peserta didik
supaya terjadi proses belajar.
Selanjutnya Lesle J. Briggs (dalam Sanjaya, 2013: 204) mengemukakan bahwa
media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk tujuan
pendidikan, seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan sebagainya. Namun
denikian, media bukan hanya berupa alat atau bahan saja, akan tetapi hal-hal lain yang
dapat memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. Seanjutnya Gerlach (dalam

Sanjaya, 2013: 204) menyatakan secara umum media itu meliputi orang, bahan, peralatan
atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memperoleh siswa memperoleh
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jadi, dalam pengertian ini media bukan hanya alat
perantara seperti tv, radio, slide, bahan cetakan, akan tetapi meliputi orang atau manusia
sebagai sumber belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karyawisata,
simulasi dan lain sebagainya yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan, mengubah sikap siswa atau untuk menambah keterampilan. Selain itu, media
pembelajaran jugameliputi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software).
Jadi berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa media adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat untuk menunjang kegiatan belajar
mengajar sehingga dapat membantu dalam mencapai tujuan pembelajaran.
C.

Apresiasi Pembelajaran Sastra
Apresiasi merupakan kegiatan mental individu dalam proses penilaian.

Pandangan lain mengenai istilah ini ditujukkan kepada khalayak sebagai proses
pertukaran

pemikiran yang


berhubungan

untuk mengagumi

suatu nilai. Secara

etimologis, perkataan “apresiasi” berasal dari kata appreciation (Inggris), appreciatie
(Belanda), dan menurut kamus-kamus dalam bahasa Inggris di antaranya” to appreciate,
yaitu bentuk kata kerjanya, berarti to judge the value of; understand or enjoy fully in
the right way (Oxford). Sementara itu, istilah “Apresiasi”

menurut Kamus Umum

Bahasa Indonesia (1988: 46) adalah: “1. Kesadaran thd nilai-nilai seni dan budaya;
2. Penilaian (penghargaan) thd sesuatu…”. Berdasarkan pendapat tersebut maka
apresiasi seni dapat diartikan sebagai upaya untuk menyadari akan nilai-nilai

3


(estetika) yang terdapat pada sesuatu (misalnya orang, benda, atau peristiwa) untuk
diberikan penghargaan atau penilaian mengenai kualitas sesuatu tersebut.
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Pembelajaran
sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat
menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan
cinta terhadap sastra bangsanya. Di samping memberikan kenikmatan dan keindahan,
karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa
Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin,
penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Pada proses pembelajaran sastra
tentunya melibatkan guru sastra (dalam hal ini guru bahasa Indonesia) sebagai pihak yang
mengajarkan sastra, dan siswa sebagai subjek yang belajar sastra. Dalam pembelajaran
sastra ada suatu metode sebagai suatu alternatif yang menawarkan keefektifan kerja guru
bahasa Indonesia. Jika berbicara masalah metode tidak dapat lepas dari masalah
pendekatan atau ancangan (approach) yang menurunkan metode (method). Untuk
selanjutnya, suatu metode ternyata akan menyarankan penggunaan teknik-teknik tertentu
pula. Dengan demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga tataran, yaitu:
pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).
D. Nilai-nilai Humanisme dalam Pembelajaran Sastra
Gani (1988: 51) menjelaskan bahwa tujuan utama pengajaran sastra adalah
memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra dan mampu

mengapresiasi cipta sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu ditetapkan strategi yang
efektif. Strategi yang hendak digunakan didasarkan pada pendekatan yang paling serasi
dan mendukung dalam pengajaran sastra. Pendekatan humanistik menggarisbawahi
bahwa membaca sastra memberikan prioritas utama pada upaya memberikan warna yang
indah pada kehidupan. Tujuan strategi dalam pembelajaran sastra menggiring siswa
masuk dalam dan lebih dalam lagi ke analisis wacana karena hal ini menghasilkan
kegiatan ujian yang terperinci yang hampir mustahil tidak membosankan siswa. Tujuan
pendekatan pengajaran sebaiknya berpola divergen yang kebermaknaannya terutama
dalam hubungan sastra dengan masyarakat daripada hubungan sastra dengan sastra itu
sendiri.
Pendekatan humanistik dalam pembelajaran sastra berusaha senantiasa
mengingatkan guru bahwa mereka berhubungan dengan subyek kaum sosiologi,

4

psikologi, filosofi dan sejarah. Sedangkan sastra kontemporer terfokus pada masalah dan
perilaku seseorang, kejelasan bahasa dan tuturan, ketaksaan dalam hubungan pertanyaan
benar atau salah, penekanan pada plot dan perwatakan yang tersaji secara jelas, kilasan
tentang dilema etik dan hubungannya dengan peristiwa sosial dan politik dunia. Peran
pendidik dalam pengembangan apresiasi dan nilai-nilai humanisme adalah menjadi

fasilitator bagi para siswa. Pendidik memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Pendidik memberi fasilitas pengalaman belajar kepada
siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Pembelajaran
berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan
analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa
merasa senang, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat

oleh

pendapat

orang

lain

dan


mengatur

pribadinya

sendiri

secara

bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma,
disiplin atau etika yang berlaku.
Aplikasi teori humanisme dalam pembelajaran pendidik lebih mengarahkan
peserta didik untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan
keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan
melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga peserta didik
dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing di depan kelas. Pendidik memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi
yang diajarkan. Beberapa hal yang harus dilakukan pendidik terhadap peserta didik
dalam pengembangan apresiasi dan nilai-nilai humanisme adalah, (1) pendidik
menciptakan suasana kelas yang memberi peluang kepada peserta didik untuk
memperoleh hasil yang diinginkan dan membuat peserta didik bersikap positif terhadap

pembelajaran, dan (2) pendidik menyediakan sumber-sumber dan media pembelajaran.

Dimensi humanisme manusia meliputi empat hal, yaitu dimensi
humanisme manusia sebagai makhluk individu, dimensi humanisme manusia
sebagai makhluk sosial, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila, dan
dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama. Adapun dimensi
humanisme tersebut adalah sebagai berikut.
a.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Individu

5

Manusia sebagai makhluk individu memiliki dua dimensi yaitu dimensi
kedirian dan dimensi keegoisan. Dimensi kedirian bermakna bahwa manusia
mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri yaitu adanya dorongan untuk
mengabdi kepada dirinya sendiri.
b.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain
c.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Susila
Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila adalah dengan

mengukur sejauh mana kedalaman manusia itu untuk dapat membedakan antara
yang baik dan buruk. Dalam hal ini, manusia ditekankan sebagai makhluk yang
menilai.
d.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Beragama
Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama maksudnya

manusia mengakui tentang adanya Tuhan dan kesadaran manusia itu sendiri,
bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya di dalam kehidupan ini.

6

BAB II
PEMBAHASAN

A. ANALISIS
1. Strategi dan Media yang Digunakan dalam Pembelajaran Apresiasi Cerpen

Strategi dan media ini digunakan di kelas X SMA pada semester ganjil yaitu
pada materi “Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi.” Jenis media yang
digunakan adalah media visual yang dibuat atau dirancang sendiri oleh guru, materi
seperti teks cerpen dan gambar diunduh dari internet.
Berdasarkan silabus untuk kelas X SMA pada semester ganjil, Kompetensi Inti,
Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Pembelajaran yang dilakukan adalah sebagai
berkut.

Standar Kompetensi

: Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi.

Kompetensi Dasar

: Menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan
diskusi (nilai humanisme).

Indikator

:

No. Indikator

Nilai Karakter

Menjelaskan nilai-nilai dalam karya sastra khususnya cerpen

Bersahabat dan
komunikatif

Mengidentifikasi nilai-nilai humanisme (individu, sosial, Bersahabat dan
susila, dan religius) dalam cerpen

komunikatif

Membandingkan nilai-nilai dalam cerpen dengan kehidupan Bersahabat dan
sehari-hari

komunikatif

Mendiskusikan keterkaitan nilai-nilai yang terkandung dalam Bersahabat dan
cerita pendek dengan peristiwa nyata dalam kehidupan komunikatif
sehari-hari.

7

A. Proses
Membaca cerita pendek, menjelaskan nilai–nilai yang terkandung dalam
cerpen,

mengidentifikasi

nilai–nilai

yang

terkandung

dalam

cerpen,membandingkan nilai–nilai dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
B. Psikomotor
Mendiskusikan keterkaitan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita
pendek dengan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari.

C. Afektif Perilaku berkarakter
Membentuk perilaku siswa bertanggung jawab dan rasa ingin tahu
D. Keterampilan Sosial.
Melakukan komunikasi dengan guru dan teman melalui bertanya,
berpendapat, dan menjawab pertanyaan, serta menumbuhkan kreatifitas siswa.
E. Tujuan Pembelajaran

:

Setelah mempelajari materi ini, siswa mampu :
1. Menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra khususnya
cerpen dengan benar.
2. Mengidentifikasi nilai-nilai budaya, moral, agama, dan politik dalam
cerpen dengan benar.
3. Membandingkan nilai-nilai dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari
dengan benar.
4. Mendiskusikan keterkaitan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita pendek
dengan peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan benar.
F. Langkah-langkah
1. Diberikan cerita pendek, melalui kegiatan tanya jawab siswa mampu
menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra khususnya
cerpen dengan benar.
2. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa mampu mengidentifikasi nilainilai budaya, moral, agama, dan politik dalam cerpen dengan benar

8

3. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa mampu membandingkan nilainilai dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari dengan benar,
G. Kinerja proses
Melalui kegiatan diskusi kelas siswa mampu menjelaskan keterkaitan
nilai-nilai yang terkandung dalam cerita pendek dengan peristiwa nyata
dalam kehidupan sehari-hari dengan benar.
H. Perilaku karakter
Terlibat dalam KBM yang berpusat pada siswa, siswa dapat menunjukkan
tanggung jawab, jujur, membantu teman minimal dinilai membuat kemajuan.
I. Ketrampilan Sosial
Dalam KBM, siswa mampu berkomunikasi kepada guru dan temannya
melalui bertanya dan berdiskusi , berpendapat, menjawab pertanyaan dan
menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen dengan benar.
Metode Pembelajaran

: NHT

Langkah - Langkah Pembelajaran
Kegiatan Awal
1.

Guru menanyakan kepada siswa

manfaat

membaca karya sastra

seperti cerpen, novel selain mendapat penghiburan
2. Guru membacakan cuplikan sebuah cerpen/novel dan menunjukkan
nilai yang bisa dipetik
3. Guru mengajak siswa menyadari bahwa dalam setiap cerita ada nilai
yang berguna.
4. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
Kegiatan Inti
Eksplorasi
1. Guru menjelaskan materi tentang cerpen serta nilai – nilai yang
terkandung dalam cerpen
2. Siswa diberi kesempatan untuk menanyakan materi yang belum mereka
pahami.
3. Guru menjelaskan prosedur kegiatan pembelajaran yang akan
dilakukan.

9

Elaborasi
1. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan sembilan
orang dengan diberi nomor masing-masing kelompok.
2. Masing–masing kelompok mendapat tugas untuk mengidentifikasi nilainilai yang terkandung dalam cerpen (nilai individu, nilai susila, nilai
sosial, dan nilai ketuhanan) sesuai dengan pertanyaan dari nomor yang
mereka dapat.
3. Setelah selesai berdiskusi masing – masing anggota kelompok, kemudian
menjelaskan hasil diskusinya kepada teman sekelompok serta membuat
laporan hasil diskusi.
Konfirmasi
1.

Masing – masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kemudian
kelompok yang lain menanggapi.

2.

Siswa mengerjakan soal uji kompetensi.

Kegiatan Akhir
1. Siswa diajak merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan hidup (live skill)
yang bisa dipetik dari pembelajaran .
2. Siswa menyimpulkan hasil pembelajaran yang telah dilakukan.
3. Guru menutup pembelajaran.
Media : cerpen “ Peradilan Rakyat “
Alat

: kartu kata , spidol, whiteboard

Evaluasi

:

Teknik penilaian : tes tulis
Bentuk penilaian: uraian bebas
Instrument /soal : terlampir
Bacalah cerpen “Peradilan Rakyat“ ,kemudian diskusikan dengan teman
sekelompokmu dengen menjawab pertanyaan berikut !
1. Identifikasilah nilai-nilai humanisme yang terkandung di dalam cerpen
Peradilan Rakyat!

10

2. Carilah perbandingan nilai dalam cerpen tersebut dengan kehidupan
sehari-hari!
3. Kaitkan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita pendek dengan peristiwa
nyata dalam kehidupan sehari-hari!

Aspek penilaian

Jml.

No Nama siswa
1

2

3

Nilai

skor

4

Kriteria Skor Penilaian Kognitif
Setiap jawaban lengkap ( 4 unsur atau lebih )

=3

Jawaban kurang lengkap ( kurang dari 4 unsur ) = 2
Tidak lengkap

Nilai

=1

= Jumlah skor yang diperoleh x 100
Jumlah skor tertinggi

Aspek afektif
Aspek penilaian
No Nama siswa
1

11

2

3

4

Penilaian Afektif

Kriteria Skor Penilaian afektif

a. Kerajinan

4 = baik

b. Kedisiplinan

3 = cukup

c. Kerja sama

2 = kurang

d. Tanggung jawab

1 = sangat kurang

Strategi yang dilakuan guru dan media yang digunakan guru dalam pembelajaran
adalah Numbered Head Together (NHT). Menurut Trianto (2011: 82) Numbered Head
Together (NHT) atau penomoran berfikir merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang
dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap
struktur kelas tradisional. Berikut langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran
adalah Numbered Head Together (NHT).
a. Guru menyiapkan media yang berupa nomor yang telah terlebih dahulu di desain
oleh guru sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Pertanyaan telah disediakan
guru untuk masing-masing nomor yang dapat memancing kreatifitas dan
pendapat siswa dalam menentukan nilai-nilai humanisme dalam cerpen, yang
berupa nilai individu, sosial, susila, dan agama.
b. Ketika pembelajaran dimulai, guru terlebih dahulu menjelaskan materi apa yang
akan dipelajari. Dalam hal ini yaitu materi mengapresiasi teks dalam cerpen
untuk menemukan nilai-nilai humanisme dalam cerpen.
c. Selanjutnya, peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok
terdiri dari 4 orang. Masing-masing kelompok diberi satu nomor antara 1 sampai
4 yang isinya indikator dalam nilai-nilai humanisme. Dengan diberikan nomor
tersebut siswa diharapkan dapat menemukan nilai-nilai humanisme dalam cerpen.
d. Guru memberikan pertanyaan kepada kelompok sesuai dengan nomor yang ada
pada kelompok.
e. Siswa dan guru melakukan refleksi dengan menyatukan pendapat terhadap
jawaban pertanyaan yang diberikan guru dan meyakinkan setiap anggota
kelompok terhadap jawaban yang benar disertai alasan.

2. Contoh Analisis Teks
Cerpen Peradilan rakyat karangan Putu Wijaya ini mengisahkan tentang
tokoh seorang pengacara muda dan pengacara tua. Mereka adalah anak dan

12

ayahnya. Anaknya pengacara muda adalah seorang pemuda yang kritis, tekun,
bersemangat, cerdas, dan profesional terhadap pekerjaannya sebagai seorang
pengacara. Sedangkan ayanhnya, pengacara tua sering sakit-sakitan, tua,
bijaksana, penyayang, dan rendah hati. Pengacara tua tersebut berjulukan singa
lapar dari sebuah buku yang ditulis oleh sebuah universitas.
Cerita dalam cerpen ini merupakan cerita yang bertemakan tentang
ketidakadilan terhadap rakyat. Pada cerpen ini terkandung nilai-nilai humanisme,
yaitu sebagai berikut.
a.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Individu
Penggambaran dimensi humanisme manusia sebagai makhluk individu

yang terdapat cerpen Peradilan Rakyat dapat dilihat dari percakapan yang
dilakukan oleh tokoh pengacara muda dan pengacara muda seperti kutipan berikut
ini.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang
gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku,"
rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan
mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra.
Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu
bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra
dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada
putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang
penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti
bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?
Kutipan di atas menggambarkan tokoh pengacara muda mempunyai
kesadaran akan keindivualisme pada dimensi kediriannya. Hal ini terlihat dari
keseluruhan makna kutipan di atas yang menunjukkan tindakan tokoh pengacara
muda demi tugasnya dia melupakan ayahnya. Hal tersebut terbukti dari ucapan
sang ayah “. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi
juga seorang putra dari ayahmu.”.
b.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Sosial

13

Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial yang terdapat pada
cerpen Peradilan Rakyat dapat dilihat dari perilaku tokoh, seperti kutipan berikut.
Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau
perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan
pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para
pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti
para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar
kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh
kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu
diberhalakannya.
Penggambaran dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial
terlihat dari perilaku tokoh pengacara tua yang mementingkan keadilan dan
kebenaran untuk membela rakyat. Hal tersebut terlihat dari percakapan tokoh.
c.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Susila
Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila dalam cerpen ini

dapat juga dilihat dari tuturan atau kalimat yang diucapkan oleh pengacara muda,
seperti kutipan di bawah ini.
Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun
orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai
pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang
membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan
proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pencerminan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila terlihat
dari kalimat yang diujarkan tokoh. Pengacara muda menganggap tugas yang dia
kerjakan adalah sebagai bentuk profesionalnya dan kewajibannya. Padahal
sebenarnya keputusan yang diambil pengacara muda tersebut adalah salah, dan
ayahnya telah memperingatinya. Pengacara muda tersebut memenangkan penjahat
yang berdampak buruk pada negara. Sehingga kemenangan tersebut membuat
rakyat marah dan menyiksa pengacara muda tersebut hingga meninggal.
d.

Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Beragama

14

Penggambaran dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama
dapat dilihat dari tuturan atau kalimat yang diujarkan tokoh pada kutipan berikut.
“Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh
berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari
pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya
akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus
mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang
profesional."
Kutipan di atas merupakan tuturan yang diucapkan oleh tokoh pengacara
tua kepada pengacara muda yang mengandung dimensi humanisme manusia
sebagai makhluk beragama. Hal tersebut terlihat dari percakapan tokoh yang
mengingatkan anaknya untuk mampu mendengarkan hati nurani, karena pekerjaan
yang dilakukan anaknya atau pengacara muda tersebut adalah salah. Namun
karena anaknya merasa bertanggungjawab terhadap pekerjaannya meskipun salah
dan bertentangan dengan bathinnya, tapi dia tetap melakukannya.

15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Strategi adalah perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di
desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Media adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan sebagai alat untuk menunjang kegiatan belajar mengajar sehingga dapat
membantu dalam mencapai tujuan pembelajaran. Apresiasi merupakan kegiatan mental
individu

dalam

proses

penilaian. Pembelajaran apresiasi sastra diperlukan untuk

memperkenalkan kepada peserta didik nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilainilai tersebut dapat berupa nilai-nilai humanisme. Tujuan utama pengajaran sastra adalah
memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra dan mampu
mengapresiasi cipta sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu ditetapkan strategi yang
efektif. Strategi yang hendak digunakan didasarkan pada pendekatan yang paling serasi
dan mendukung dalam pengajaran sastra. Peran pendidik dalam pengembangan apresiasi
dan nilai-nilai humanisme adalah menjadi fasilitator bagi para siswa. Pendidik memberi
fasilitas pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh
tujuan pembelajaran.

B. Implikasi
Tugas akhir ini bisa dijadikan referensi strategi dan media bagi guru mata
pelajaran bahasa Indonesia dalam mengajarkan materi mengenai apresiasi cerpen
dan menambah referensi berupa contoh cerpen yang ada dalam makalah ini.
Sedangkan bagi penulis sendiri dengan dibuatnya makalah ini menambah
pengetahuan mengenai strategi dan media pembelajaran sastra dan nantinya dapat
diimplikasikan ketika mengajar di sekolah.

C. Saran
Diharapkan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi peneliti sendiri dan
orang lain dalam mengaplikasikan strategi dan media pembelajaran sastra di
sekolah. Sebagai manusia biasa yang tak luput dari segala kekhilafan, tugas akhir
ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak yang berkepentingan dengan tugas akhir ini sangat penulis harapkan.

16

DAFTAR RUJUKAN
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana
Prenadamedia Group.
Budianta, Melani, dkk. 2003. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. (Cetakan ke-2). Magelang: Indonesiatera.
Gani, Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mohamad, Nurdin dan Hamzah B. Uno. 2011. Belajar dengan Pendekatan
Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik.
Jakarta: Bumi Aksara.

Muslich, M & Suyono. 2010. Aneka Model Pembelajaran Membaca dan Menulis.
Malang: A3 (Asah Asih Asuh).
Sanjaya, Wina. 2013. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Subana, M & Sunarti. 2000. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia.
Wena, Made. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan
Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

17

LAMPIRAN

Peradilan Rakya
I Gusti Ngurah Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang
pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum. "Tapi aku
datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari
sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang
sedang kacau ini." Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak
terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara
yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?" Pengacara muda tertegun.
"Ayahanda bertanya kepadaku?" "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi
kamu
sebagai
ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum. "Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan
pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara
sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan
cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi
lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak
keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh
dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang
belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka
menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuripencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung
bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri
ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba
memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisasisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan
seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan
bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang
sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu
tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian
lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu
berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis. "Aku suka kau menyebut dirimu aku dan
memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional,
Pemburu Keadilan." "Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang
tidak kenal ampun!" Pengacara tua itu tertawa. "Kau sudah mulai lagi dengan
puji-pujianmu!" potong pengacara tua. Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada
kekeliruannya lalu minta maaf.

18

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,"
sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati
juga pujian itu, "Jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku,
mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia
meneruskan ucapannya dengan lebih tenang. "Aku datang kemari ingin
mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya." "Terima kasih. Begini.
Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar,
yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan
gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya
negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka.
Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benarbenar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan
sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini,
sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang
pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari
apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku,
sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak
boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau
perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara
supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu
tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan
faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara
ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa
pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke
titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela
seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena
kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang
menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan
itulah yang aku tentang. Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan
tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda
lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara
senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan. "Tapi aku datang kemari bukan
untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau
tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku,
bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat
supaya aku bersedia untuk membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?" Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat
matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah

19

mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata:
"Sebab aku kenal siapa kamu."
Pengacara
muda
sekarang
menarik
napas
panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara
aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan
kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka
yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses
peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Jadi itu
yang ingin kamu tanyakan?" "Antara lain." "Kalau begitu kau sudah mendapatkan
jawabanku." Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa
yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu. "Jadi langkahku sudah benar?" Orang
tua
itu
kembali
mengelus
janggutnya.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu
sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak
hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakkan keadilan
sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ
sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang
penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak
mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong
agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk
menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa
ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan,
bukan?" "Tidak! Sama sekali tidak!" "Bukan juga karena uang?!" "Bukan!" "Lalu
karena apa?" Pengacara muda itu tersenyum. "Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?" "Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan.
Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran
sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan
pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu
yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai
klienku." Pengacara tua termenung. "Apa jawabanku salah?" Orang tua itu
menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi
persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil
keluar sebagai pemenang." "Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh
negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang." "Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa
tahu aku akan menang." "Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara.
Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi
perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah
saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil. "Itu pujian atau peringatan?" "Pujian."
"Asal Anda jujur saja." "Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

20

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua
memicingkan matanya dan mulai menembak lagi. "Tapi kamu menerima membela
penjahat itu, bukan karena takut, bukan?" "Bukan! Kenapa mesti takut?!" "Mereka
tidak mengancam kamu?" "Mengacam bagaimana?" "Jumlah uang yang terlalu
besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angkaangka?" "Tidak." Pengacara tua itu terkejut. "Sama sekali tak dibicarakan berapa
mereka akan membayarmu?" "Tidak." "Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa."Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?" Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?" "Negara akan mendapat pelajaran
penting. Jangan main-main dengan kejahatan!" "Jadi kamu akan memenangkan
perkara itu?" Pengacara muda itu tak menjawab. "Berarti ya!" "Ya. Aku akan
memenangkannya dan aku akan menang!" Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan
tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak
bicara lagi, ia mengangkat tangannya. "Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu
melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak
takut." "Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin
memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan
di
mancanegara
yang
benci
negaramu,
bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang. Keputusanmu
sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan,
seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan
kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu
kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai
penegak hukum yang profesional." Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi
pengacara tua tidak memberikan kesempatan. "Aku kira tak ada yang perlu
dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu
dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia." Pengacara muda itu
jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu
mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya
sudah lelah dan kesakitan. "Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai
seorang profesional."
"Tapi..." Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan
punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti
tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda. "Maaf, saya
kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat.
Selamat malam." Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki
mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia
memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia
mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai
membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan
oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan
memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang

21

ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali
seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi
lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan.
Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan
memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia
merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu
meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka
terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan
poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburuburu. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan
sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan
hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya
membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara
dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta
aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku
terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai
seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah
kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari
ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya,
kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang
terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri
kita sekarang ini?

22