Perbedaan Konghucu kelas dan Buddha
Kelompok Kong Hu-Cu
Anggota Kelompok
1.
2.
3.
4.
5.
:
Claudia Veronica
Debora Septika
Oki Saputra
Ricky Nurjaman
Syarah Apriliyana
(1203545)
(1400615)
(1404339)
(1403457)
(1401199)
KONG HU-CU DIMATA BUDDHA
Mencari literasi mengenai budaya aliran Confucius ini memang bukan hal
yang mudah. Kelompok kami bahkan kesulitan menemukan rumah ibadat dari
kepercayaan Kong Hu-Cu di Bandung. Kong Hu-Cu seorang filosof besar Cina
merupakan orang pertama pengembang sistem memadukan alam pikiran dan
kepercayaan orang Cina yang paling mendasar. Dikutip dari Biografiku(dot)com,
filosofinya
menyangkut
moralitas
orang
perorang
dan
konsepsi
suatu
pemerintahan tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat
tingkah laku teladan- telah menyerap jadi darah daging kehidupan dan
kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Lebih dari itu, juga
berpengaruh terhadap sebahagian penduduk dunia lain. Kong Hu-Cu kerap
dianggap selaku pendiri sebuah agama; anggapan ini tentu saja meleset. Dia
jarang sekali mengkaitkan ajarannya dengan ketuhanan, menolak perbincangan
alam akhirat, dan mengelak tegas setiap omongan yang berhubungan dengan soalsoal metafisika. Dia tak lebih dan tak kurang seorang filosof sekuler, cuma
berurusan dengan masalah-masalah moral politik dan pribadi serta tingkah laku
akhlak.
Ada dua nilai dari empat nilai penting yang diambil dalam proses
penelitian kami terkait dengan agama Kong Hu Cu, kata Kong Hu-Cu, yaitu
“Yen” dan “Li:” “Yen” sering diterjemahkan dengan kata “Cinta,” tapi sebetulnya
lebih kena diartikan “Keramah-tamahan dalam hubungan dengan seseorang.” “Li”
dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan,
tatakrama dan sopan santun.
Dalam perkembangannya, kedatangan orang Cina banyak membawa
tradisi-tradisi yang dianggap penting dan tetap mempertahankan nilai-nilai
1
leluhurnya. Kehidupan orang Cina di Indonesia pun turut mengembangkan agama
dan budaya-budaya barunya, sehingga masyarakat Tionghoa atau Cina di
Indonesia banyak yang memeluk agama Konghucu.
Tanggok (2005) dalam jurnal analisa agama Kong Hu-Cu milik Sulaiman,
mengkaji bahwa masyarakat Tionghoa ini mempelopori timbulnya agama
Konghucu dengan memformulasikan ajaran-ajaran dan praktik-praktik agama dan
kepercayaan serta tradisi yang dilakukan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di
berbagai pelosok tanah air Indonesia. Meskipun keberadaan masyarakat
keberadaan agama Konghucu di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia
belum jelas dan masih simpang siur, hal itu dikarenakan agama Konghucu masih
dipandang bukan suatu agama resmi yang diakui di Indonesia melainkan sebagai
kepercayaan tradisional dan atau adat istiadat masyarakat Tionghoa.
Ketidak jelasan kepercayaan masyarakat Tionghoa diakibatkan karena
mereka banyak yang mencaplok-caplok kepercayaan. Narasumber kami, Billy.
sedikit mengulas bahwa agama Kong Hu-Cu sebagai hasil asimilasi kebudayaan
lokal, dimana kebudayaan lokal itu
berasimilasi menjadi suatu bentuk
kebudayaan baru yaitu Kong Hu-Cu.
“Makanya kalau di Indonesia sendiri dikenalnya bukan sebagai Kong HuCu melainkan Tri Darma. Jadi agama Buddha, agama Kong Hu-Cu dan
agama Tao atau Lao Tzi, mereka itu tidak terlalu jelas akarnya bagaimana,
dan orang Cina banyak mencaplok-caplok kepercayaan. Maka dari itu
supaya jelas dan bisa mengatasi ketidakjelasan kepercayaan Cina, mereka
mendirikan suatu yayasan yaitu Tri Dharma.”
Pokok pandangan utama Kong Hu-Cu dasarnya teramat konservatif.
Menurut penganut kepercayaan Kong Hu-Cu, jaman keemasan sudah lampau, dan
dia menghimbau baik penguasa maupun rakyat supaya kembali asal, berpegang
pada ukuran moral yang genah, tidak ngelantur. Kenyataan yang ada bukanlah
perkara yang mudah dihadapi. Keinginan Kong Hu-Cu agar cara memerintah
bukan main bentak, melainkan lewat tunjukkan suri teladan yang baik tidak begitu
lancar pada awal-awal jamannya. Karena itu, Kong Hu-Cu lebih mendekati
seorang pembaharu, seorang inovator ketimbang apa yang sesungguhnya jadi
idamannya.
2
Kong Hu-Cu hidup di jaman dinasti Chou, masa menyuburnya kehidupan
intelektual di Cina, sedangkan penguasa saat itu tidak menggubris sama sekali
petuah-petuahnya. Baru sesudah dia wafatlah ajaran-ajarannya menyebar luas ke
seluruh pojok Cina.
Molloly (2001:6) hl 129 dalam buku “Komunikasi Dalam
Keberagaman” menyatakan setiap agama memiliki delapan basis
dasar yang meliputi : pertama, sistem kepercayaan yaitu
sejumlah kepercayaan yang secara bersamaan menciptakan
interpretasi yang sistematis dan lengkap terhadap alam semesta
dan keberadaan manusia, sistem kepercayaan ini disebut
sebagai pandangan dunia.
Identitas agama didasarkan pada keberpihakan budaya
dan unsur-unsurnya yang meliputi aspek nilai, simbol, mitos, dan
tradisi yang sering dikodifikasikan dalam adat dan ritual. Oleh
karena itu komunitas agama cenderung untuk bergabung dalam
sebuah komunitas tunggal, umat beriman dimana semua orang
yang merasa mereka berbagi kode simbolik tertentu, sistem nilai
dan tradisi keyakinan dan ritual, termasuk referensi ke realitas
supra-nalar (Smith, 1991:6) hl 128 dalam buku “Komunikasi
Dalam Keberagaman”
Pada dasarnya, agama Buddha merupakan bentuk asimilasi dari agama
Konghucu, namun sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara
agama konghucu dan agama Buddha. Dilihat dari latar belakangnya, agama
Buddha diperkenalkan pertama kali di India, sedangkan agama Konghucu
diperkenalkan pertama kali di Cina. Narasumber pertama kami, David, sempat
menjelaskan sejarah singkat agama Buddha dan Konghucu ini sendiri di
Indonesia. Menurut David, kekeliruan kata Vihara menjadi Kelenteng ini kerap
terjadi setelah masa Gempres 1968. Pada masa itu, segala jenis kebudayaan
Chinese dilarang di muka umum. Hal ini juga berpengaruh pada Kong Hu-Cu
sebagai aliran kepercayaan yang belum diakui di Indonesia. David menjelaskan
bahwa Kong Hu-Cu secara resmi bergabung dengan Buddha untuk dapat
3
melanjutkan ibadahnya di Indonesia. Oleh karena itu, di tempat ibadah Kong HuCu sering ditemukan patung Buddha dan patung-patung dewa lainnya. Hal ini
berbanding terbalik dengan Vihara yang hanya memiliki satu arca Buddha saja.
Selain itu bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan agama Buddha dan
Konghucu itu dapat ditinjau dari guru pengajarnya. Bagi agama Buddha dikenal
dengan Buddha Gautama, sedangkan bagi agama Konghucu dikenal dengan
ajaran Confucius. Seperti yang dijelaskan oleh David, ketua KMB ITB saat
ditanya tentang perbedaan antara agama Buddha dan Kong Hu-Cu.
“Perbedaan mendasar dari agama Kong Hu-Cu dan agama Buddha
adalah dilihat dari guru pengajarnya. Kalau agama Kong Hu-Cu,
Confucius, sedangkan agama Buddha adalah Buddha Gautama,
itulah perbedaan yang paling fundamental”
Perbedaan itu terjadi karena adanya misi-misi misionaris yang menjalar ke
Cina, Jepang, dan seterusnya yang pada akhirnya mengakibatkan aliran di Cina
itu berasimilasi menjadi kebudayaan lokal yang lebih dikenal dengan Konghucu.
Hal ini didukung dengan pernyataan Billy saat ditanya tentang pendapatnya
mengenai perpecahan Buddha dan Kong Hu Cu. Billy mengatakan bahwa karena
proses asimilasi ini, Buddha dan Kong Hu-Cu merupakan suatu hal yang berbeda.
Singkatnya, Konghucu merupakan bentuk asimilasi dari kebudayaan lokal, dan
karena ada misi misionaris dan asimilasinya, Konghucu lebih dikenal dengan
istilah Tri Darma. Hal itu jelas dalam pembahasan Asimilasi, bahwa asimilasi
maupun akulturasi itu terjadi karena adanya pelanggaran atas segala kegiatan dan
kebudayaan China dimana Konghucu bergabung menjadi agama Buddha. Teori
mengenai Asimilasi pernah dibahas oleh Arnold M. Rose (1956) dalam jurnal
Asimilasi, Akulturasi dan Integrasi Nasional bahwa asimilasi merupakan suatu
adopsi kebudayaan asing yang demikian luas dan lengkap serta lebih tepat.
Melihat pendapat narasumber bahwa Konghucu merupakan kepercayaan leluhur,
maka dapat kami simpulkan bahwa Konghucu lahir terlebih dahulu daripada
Buddha. Sementara Buddha, lahir atas dasar asimilasi Kong Hu Cu yang dibawa
oleh Sidharta Gautama.
Perubahan nama tempat ibadah dari klenteng menjadi Vihara kemudian
berangsur membaik atas bantuan dari Presiden Gusdur yang kembali mengizinkan
segala
aktivitas
kebudyaan
Tionghoa
di
Indonesia.
Akhirnya,
setelah
4
dikeluarkannya surat dari perwalian Buddha, agama Buddha di Indonesia sudah
tidak ada lagi campur pautnya dengan agama Konghucu. Karena pada dasarnya
dari segi agama dan segala macamnya berbeda. Hal ini pula dengan lantang
dijelaskan kedua narasumber kami yakni Billy dan David dalam kesempatan
wawancara yang kami lakukan tanggal 29 Oktober silam.
Mengenai nama-nama tempat ibadah, narasumber kami, David, juga
sempat bercerita mengenai asal mula nama Kelenteng dan Vihara. Seperti yang
sudah dijelaska, Kelenteng berasal dari kata Lit Thang. Namun, karena kesulitan
menyebutkan nama tersebut di Indonesia, maka disingkatlah menjadi Kelenteng.
“Kan susah kalau menyebut Lit Thang. Selain phonetiknya harus benar,
orang Indonesia pada masa itu juga memang sangat rasis terhadap kaum
Tionghoa. Oleh karena itu, kalau ditanya mau kemana..? Ke Lit Thang..
susah kan. Akhirnya disebut Kelenteng”
Sementara asal nama Vihara sendiri merupakan tempat peristirahatan para
Bikkhu dibawah pohon Boddhi. Oleh karena itu, nama tempat ibadah untuk
Buddha adalah Vihara. Perbedaan nama tempat ibadah kedua kepercayaan ini
kemudian disusul dengan penjelasan tambahan mengenai tata cara ibadah yang
berbeda diantara kedua kepercayaan ini. Bila di Indonesia, khususnya di
Bandung, narasumber kami Ivan, Billy dan David menjelaskan bahwa Vihara
setiap hari Minggu selain sembahyang juga melakukan puji bakti dan sedikit
ceramah ringan. Sementara Kong Hu-Cu hanya melakukan sembahyang saja.
Oleh karena itu, banyak pengikutnya yang jarang beribadah ke kelenteng dan
hanya sembahyang di rumah saja. Hanya saja, sebuah kelenteng tertua di
Indonesia yang terletak di Cirebon memiliki tata cara ibadah yang sama dengan
Buddha. Maka dari itu, belum ada kejelasan yang berarti dari narasumber kami
terkait tata cara ibadah Kong Hucu karena sifatnya yang introvert.
Cara ibadah di rumah ini tidak hanya dimiliki oleh Kong Hu-Cu saja,
Buddha juga memiliki cara ibadah yang sama. Namun, bagi Buddhis,
sembahyang dirumah tidak merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan.
Karena pada dasarnya, Buddhis beribadah di Vihara.
“Biasanya ke wihara hanya saat hari raya dan hari minggu, dan hanya
mendengarkan ceramah, sedangkan kalau di rumah hanya puji bakti saja.
Agenda di pagi dan sore hari ada baca parita dan hanya doa biasa. Kalau
5
Konghucu terutama kaum tradisional biasanya mereka lebih kepada
memuja dewa-dewi, kalau umat Buddha hanya kebaktian saja.”
Berdasarkan hipotesis awal kelompok terkait asumsi dasar mengenai
confucius menurut Samovar (2010 hl 175-hl 176) dalam bukunya yang berjudul
Komunikasi Lintas Budaya bahwa anggapan manusia adalah baik melalui
tindakan perilaku mereka yang benar. Sesuai dengan perspektif agama buddha
terhadap agama konghucu, mereka percaya bahwa jika apa yang dilakukan agama
Konghucu adalah baik, maka hasilnya pun akan baik. Hal itu dikarenakan agama
Konghucu
mengenal
istilah
Darma
yang
berarti
“kebenaran”.
Dalam
kesempatannya, Billy juga mengatakan bahwa tidak hanya Kong Hu-Cu, namun
Taoism juga merupakan salah satu hasil asimilasi.
“Jadi agama Buddha, agama Kong Hu-Cu dan agama Tao atau Lao Tzi,
mereka itu tidak terlalu jelas akarnya bagaimana, dan orang Cina banyak
mencaplok-caplok kepercayaan. Maka dari itu supaya jelas dan bisa
mengatasi ketidakjelasan kepercayaan Cina, mereka mendirikan suatu
yayasan yaitu Tri Dharma.”
Hasil analisa yang kami peroleh sejalan dengan apa yang melatar
belakangi pembahasan diatas bahwa Golden Rule itu seperti yang diajarkan oleh
para pemuka agama itu adalah benar. Golden Rule adalah aturan emas, atau etika
timbal balik (The ethic of reciprocity). Merupakan satu aturan yang sepertinya
diajarkan dalam (hampir) semua budaya atau agama, meski disampaikan dengan
kata yang berbeda-beda.
Dalam ajaran Konfusius dinyatakan bahwa “Apa yang kita tidak ingin
orang lain lakukan kepada kita, jangan lakukan itu kepada orang lain” –
Confucius, Analects 15.23.
Namun terkait dengan kitab suci. Narasumber kami menjelaskan; karena
begitu banyak ajaran dan kitab-kita dalam kepercayaan Kong Hu-Cu, dapat
dipastikan bahwa tidak ada satupun masyarakat Indonesia yang memiliki kitab
sucinya secara lengkap. Terlebih lagi karena bahasa yang digunakan adalah
bahasa mandarin. Berbeda dengan Buddha, Tripitakka bersifat keseluruhan dan
sudah lengkap. Tidak hanya itu, Tripitakka sudah terjual bebas di toko buku dan
tempat-tempat keagamaan lainnya, sementara kitab Kong Hu-Cu tidak.
6
Tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul, yang
artinya adalah bakul hikmat. Hingga Tripitaka itu bermakna Tiga
Himpunan Hikmat, yaitu:
1. Sutta Pitaka, berisi himpunan ajaran dan kotbah Buddha
Gautama.
Bagian
terbesar
berisi
percakapan
antara
Buddha dengan muridnya. Didalamnya juga termasuk
kitab-kitab
tenyang
pertekunan
(meditasi),
dan
peribadatan, himpunan kata-kata hikmat, himpunan sajaksajak agamawi, kisah berbagai orang suci. Keseluruhan
himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam
agama Buddha.
2. Vinaya Pitaka, berisi Pattimokkha, yakni peraturan tata
hidup
setiap
anggota
biara-biara
(sangha).
Didalam
himpunan itu termasuk Maha Vagga, berisikan sejarah
pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha
beserta hal-hal yang berkaitan dengan biara. Himpunan
Vinaya-pitaka itu ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang
dipanggilkan dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
3. Abidharma-pitaka, yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar
dalam agama Buddha, bermakna dhamma lanjutan atau
dhamma
khusus.
Berisi
berbagai
himpunan
yang
mempunyai nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan, berisikan
pembahasan mendalam tentang proses pemikiran dan
proses kesadaran. Paling terkenal dalam himpunan itu ialah
milinda-panha (dialog dengan raja Milinda) dan pula
Visuddhi maga (jalan menuju kesucian.)
“Buddhisme itu sampai sekarang masih dalam bahasa Pali dalam
Tripitakka, sementara Kong Hu-Cu dalam bahasa mandarin. Dan jarang sekali
bahkan sepertinya tidak ada yang memiliki kitabnya secara lengkap di Indonesia.
Sifatnya turun temurun dan tidak disebarluaskan di publik”
7
Bagi agama Konghucu maupun agama Buddha, mereka tidak mengenal
dosa. Hukuman itu hanya sebagai efek samping dari tindakan yang dilakukan
manusia. Dalam Kong Hu Cu, Billy menjelaskan bahwa konsep dosa diganti
dengan konsep Dharma. Dharma sendiri adalah kebenaran. Jadi, apapun yang kita
lakukan sebagai kebenaran, disebut Dharma. Selebihnya, Billy juga menjelaskan
bahwa publikasi agama Kong Hu Cu memang sangat minim di Indonesia, tidak
hanya itu, Kong Hu Cu bahkan tidak di publikasikan secara online. Jadi, ajaran
dan konsep-konsepnya memang hanya terbatas pada kelompok mereka saja, bila
tidak masuk kelompok mereka, maka kita tidak akan tahu.
Pada dasarnya ajaran confucius mengajarkan untuk memikirkan orang lain
dan hubungan antar manusia dalam membangun pola komunikasi yang
menghargai orang lain. Jadi, pada dasarnya confucius merupakan kepercayaan
yang liberal, ajaran ini menekankan pada hubungan yang baik dengan manusia.
Sebagai manusia, ajaran confucius ini diharuskan memiliki sifat ketuhanan
misalnya baik, taat, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisa yang kami peroleh
bahwa agama Konghucu berdasarkan tingkatannya bersifat Vertikal, mereka
mengajarkan ke arah atas dan ke bawah. Ke atas mengarah kepada Tuhan,
sedangkan ke bawah berfokus pada manusia. Ajaran confucius ini mengenal
konsep ketuhanan dan kemanusiaan. berbeda dengan agama Buddha, mereka
mengarah pada tingkatan Horizontal. Buddhist tidak mengenal konsep ketuhanan,
karena berfokus pada diri sendiri atau self oriented.
Berdasarkan identitas agama didasarkan pada keberpihakan budaya dan
unsur-unsurnya meliputi aspek nilai, simbol, mitos, tradisi yang sering
dimodifikasi dalam adat dan ritual. Oleh karena itu komunitas agama cenderung
untuk bergabung dalam sebuah komunitas tunggal, umat beriman dimana semua
umat beriman saling berbagi kode simbolik tertentu, seperti sistem nilai dan
tradisi keyakinan dan ritual, termaksuk referensi supranatural (Smith, 1991:6) hal
128 dalam buku “Komunikasi Dalam Keberagaman”. Sehubungan dengan hal itu,
hasil analisa ini juga menunjukkan bahwa Konghucu masih percaya kepada halhal yang berbaur mistis dan kekuatan roh dalam hidup mereka, namun bagi agama
Buddha hal itu sangat ditolak. Perbedaan lain yang mendasari dari agama
Konghucu, mereka biasanya menyembah kepada patung-patung Buddha maupun
8
petung dewa, dan masih melakukan tradisi membakar kertas. Bagi agama
Buddha, mereka menyembah patung dewa hanya sebagai formalitas saja. Artefak
yang bisa dihasilkan dari kedua agama ini adalah kalung jimat. Bagi agama
Buddha, kalung jimat itu merupakan pemberian dari pemuka agama yang bisa
membawa berkah. Baik agama Buddha dan agama Konghucu, kalung jimat itu
sering digunakan sebagai bentuk nilai dari agamanya.
Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahluk-mahluk halus
yang mendiami alam gaib. Sistem upacara ini terdiri atas beraneka-ragam upacara
dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud, berkorban,
makan bersama, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1979: 138-139). Dalam agama
Khonghucu, sistem upacara yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk upacara
sesaji dan beranekara ragam laku bakti atau sembahyang, seperti sembahyang
kepada Tuhan, sembahyang kepada nabi, sembahyang kepada leluhur. Dan apa
yang dikatakan Billy bahwa Konghucu memiliki praktik-praktik mistik seperti
tradisi membakar kertas dan kerasukan, sedangkan di agama Buddha, hal praktik
mistik dan kekuatan roh yang bisa menolong manusia seperti itu sangat ditolak
dan dijarkan untuk tidak dianut, walaupun hal itu bisa saja terjadi tapi bukan hal
yang signifikan untuk dipercayai.
Bagi agama Buddha, dosa dinilai sebagai bentuk kejahatan karena istilah
dosa itu sendiri diambil dari bahasa Pali yang merupakan hukuman yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, agama Buddha tidak mengenal adanya
hukum tuhan, karena apa yang dilakukan manusia adalah tanggung jawab diri
mereka sendiri. untuk sanksi di agama Konghucu tidak bisa diuraikan secara
detail karena sifat mereka yang lebih tertutup dan publikasi agama mereka tidak
bisa dijangkau oleh masyarakat luas, hanya terbatas pada komunitas Konghucu
saja.
Berdasarkan hasil analisa dari narasumber yang berhasil kami wawancara,
seluruh narasumber sangat berpandangan positif terhadap agama Konghucu.
Karena mereka yakin bahwa apapun yang dilakukan oleh agama Konghucu selagi
hal itu baik maka akan baik, terlepas dari apapun labelnya. Berkaitan dengan
agama Konghucu yang merupakan hasil asimilasi menjadi kebudayaan baru, bagi
9
sebagian penganut Buddha menganggap hal itu sebagai suatu hal yang wajar
bahwa kebudayaan itu pasti berasimilasi, asalkan tidak boleh berubah dari
ajarannya.
STEREOTIP
Tak hanya mengenai asimilasi agama dan kebudayaan, Billy juga sempat
menjelaskan bahwa penganut Buddha masih dinilai malu-malu apabila
dibandingkan dengan penganut Kong Hu Cu. Hal ini ia paparkan terkait
stereotype jelek di mata masyarakat awam. Bahkan tidak hanya itu, hal ini juga
menjadi salah satu faktor rendah diri yang mereka alami.
“ Ya gimana ya. Sebenarnya kan Kong Hu Cu sendiri masih lebih banyak
daripada Buddhist. Dan kalau kita lebih dekat ke mereka, hal ini terlihat
bahwa Buddhist biasanya masih malu-malu ketimbang Kong Hu Cu.
Kayak misalnya pakai baju ada gambar Buddha aja, walaupun ke sesame
kita, kita masih kayak yang malu. Gak enak gitu keliatan beda sama yang
lain..”
Pernyataan Billy ini kemungkinan kami bahas melalui teori Stereotype.
Untuk membahas tentang Stereotype ini, kami berpedoman pada teori yang ditulis
L. A. Samovar di Komunikasi Lintas Budaya. Samovar mengatakan bahwa
Stereotype pada hakikatnya merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan
yang secara mental mengatur pengalaman dana mengarahkan sikap dalam
menghadapi orang-orang tertentu. Namun dalam buku yang sama pula, Samovar
mengutip definisi singkat dari Psikolog Abbate, Boca dan Bocchiaro mengenai
Stereotype. Menurut mereka, stereotype merupakan susunan kognitif yang
mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai
kelompok sosial manusia.
Oleh karena itu, stereotip berkenaan tentang model yang kuat, dan
sebenarnya arti awal dalam terminologi bahasa Inggris menunjuk pada suatu tesis
tentang Stereotipisasi Etnis Pribumi dan Etnis Pendatang (Rosihan, 2012:49) yang
berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari Stereos yang berarti Solid dan Typos
yang berarti model. Sementara itu, merujuk pada sumber yang sama, dikatakan
bahwa pemaknaan stereotip di Indonesia adalah suatu konsepsi mengenai sifat
suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Terkait
dengan kajian komunikasi antar budaya, Schneider dalam Rosihan (2012)
10
mengungkapkan bahwa ternyata budaya menyediakan sejumlah stereotip bagi
seseorang untuk menyebarkannya secara strategis, menyediakan sejumlah motif
untuk menjelaskan beberapa perbedaan kelompok, atau sebuah saluran
pengalaman sosial seseorang dalam cara-cara yang mendorong beberapa stereotip.
Dengan demikian, peran budaya dan pengalaman individu tidak dapat dipisahkan
dalam membentuk stereotip atau berbagai produk yang lain dari system berpikir
manusia, yaitu dimana budaya menyediakan berbagai kategori bagi aktifitas
kognitif individu.
Dilihat dari beberapa teori tersebut, dapat kami simpulkan bahwa dalam
pernyataannya, Billy dan mungkin beberapa kaum minoritas Buddha lainnya
merasa tidak percaya diri akan agama atau kepercayaannya karena unsur
pengetahuan yang mereka peroleh dari orang-orang di sekitar mereka mengenai
agama Buddha sendiri. Melihat agama Buddha mayoritas berasal dari etnis
Tionghoa, seolah masyarakat Indonesia mengategorikan aliran kepercayaan
Buddha merupakan seluruhnya beretnis Tionghoa. Padahal, ketua KMB ITB,
David sempat bercerita bahwa di ITB terdapat seorang mahasiswi beragama Islam
yang demikian rajin datang dan mengikuti pertemuan-pertemuan singkat di KMB
mengenai Buddha. Bahkan mahasiswi tersebut datang dan berdoa pada arca
Buddha di Vihara. Hanya saja sayang sekali, identitas mahasiswi tersebut tidak
boleh di publikasi.
Tidak hanya itu, ditanya lebih lanjut mengenai rasa tidak percaya diri
untuk memamerkan kepercayaan Buddha, David menjelaskan bahwa hal itu
menjadi konsentrasi ia sekarang untuk memperkenalkan agama Buddha dengan
baik. Secara garis besar, Buddha dan Konghucu tidak memiliki tanggapan yang
buruk satu-sama lain. Meskipun merupakan asimilasi, tetap saja ada keluarga
yang menganut agama Buddha dan Konghucu dalam rumah tangga yang sama.
Misalnya keluarga David.
“Engga juga sih, justru itu menjadi tugas kita untuk memperkenalkan
Buddhism yang asli. Dikeluargaku sih ga ada masalah mau Buddha atau
Kong Hu-Cu, tapi dari pengalaman orang lain sih katanya kalau Kong HuCu yang asli pasti melarang anggota keluarganya untuk beralih ke
kepercayaan lain”
11
Hal ini tak luput mengingatkan kami dengan definisi Etnosentrisme
McLaren dalam Prioandono (2014:255) yang menjelaskan bahwa Etnosentrisme
merupakan hasil stereotip yang didasarkan pada generalisasi tentang orang dan
peristiwa. Rogers dan Steinfat (Priandono, 2014:255-256) turut pula menjelaskan
tentang masalah-masalah yang timbul dari etnosentrime. Menurut mereka, orang
yang percaya pada superiotas budaya mereka sendiri, tidak mampu menilai secara
objektif budaya lain dan mereka yang berbeda; mereka menafsirkan dan menilai
perilaku orang lain sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri. Etnosentrisme juga
cenderung membesar-besarkan perbedaan budaya dengan menyoroti perbedaan
yang paling berbeda dalam keyakinan dan praktik dan mengabaikan orang lain.
Etnosentrisme juga membatasi interaksi antarbudaya yang efektif dan komunikasi
karena tidak memungkinkan untuk memahami mereka yang berbeda. Dan yang
terpenting, etnosentrisme menyebabkan arogansi, penghindaran, penarikan,
stereotip, dan bahkan prasangka serta diskriminasi.
Hanya saya dari ketiga narasumber kami tidak ada yang memiliki
kepercayaan ekstrim seperti dijelaskan oleh Rogers dan Steinfat, keluarga David
dan Billy tidak terlalu mempermasalahkan adanya Buddha dan Kong Hu-Cu di
keluarga mereka. Bahkan ditindaklanjuti melalui obrolan ringan dengan Billy, ia
mengatakan bahwa keluarganya meyakini Kong Hu-Cu sebagai kepercayaan
tradisional dan Buddha sebagai agama pilihan mereka. Sementara berkaitan
dengan itu, David menegaskan hal serupa karena menurutnya Kong Hu-Cu masih
percaya dengan tahayul-tahayul dan pengikut kepercayaan Kong Hu-Cu yang
mengaku beragama Buddha tak jarang merusak nama baik dari agama Buddha itu
sendiri karena banyak umat tradisional yang percaya pada hal-hal aneh dan tidak
sesuai dengan ajaran Buddha.
“Kalau Kong Hu-Cu itu masih banyak percaya dengan tahayul-tahayul.
Sering juga mereka mengaku sebagai Buddhis, jadi masyarakat yang tidak
tau menilai agama Buddha yang percaya hal-hal seperti itu. Kan salah,
Buddha tidak pernah mengajarkan untuk percaya pada hal aneh-aneh.
Kalau umat tradisional sih wajar karena mereka masih menuhankan
beberapa hal atau benda-benda tertentu”
KESIMPULAN
12
Melalui studi lapangan yang kami lakukan pada 29 Oktober 2015, dapat
kami simpulkan beberapa perbedaan antara Buddha dan Kong Hu-Cu. Dilihat dari
ajarannya, Kong Hu-Cu yang merupakan kepercayaan tradisional disebarkan oleh
Confucius sementara Buddha disebarkan oleh Sidharta Gautama. Awal
penyebarannya pun berbeda, Kong Hu-Cu diawali dari peredarannya di Tibet
sementara Buddha di Nepal, India.
Kong Hu-Cu yang menganut kepercayaan secara Vertikal dan merupakan
kepercayaan tradisional pada hakikatnya tidak menginginkan dinamika penganut
dan dalam eksistensinya sedikit mempublikasikan kepercayaannya karena
sifatnya yang sangat introvert. Hanya saja, banyak dari pengikut Kong Hu-Cu
yang sudah tinggal dan mengetahui kebudayaan-kebudayaan lain memilih
mengikuti Buddha Gautama, walaupun tak dapat dipungkiri; bisa saja dirumah
mereka masih percaya terhadap tahayul-tahayul atau hal-hal aneh yang tidak
diajarkan Buddha Gautama.
Buddha sendiri sebagai sebuah kepercayaan yang tidak memiliki banyak
pengikut seperti Kong Hu-Cu, cenderung lebih mempublikasikan dirinya dan
tidak tertutup dalam ras apapun. Umat Buddhis percaya, bahwa Kong Hu-Cu
sebagai kepercayaan tidak dapat disamakan dengan Buddha sebagai agama.
Meskipun begitu, tidak ada perbedaan ekstrim yang menyebabkan kedua
kepercayaan ini terpecah. Karena pada hakikatnya, Buddha dan Konghucu masuk
kedalam bentuk kepercayaan Polytheisme. Dan karena sebagian besar berasal dari
etnis yang sama, kedua kepercayaan ini pada zaman sekarang tidak
mempermasalahkan tentang ajaran.
Ditelaah dari pembedanya, tidak ada parameter ekstrim
dan
atribut
keagamaan
yang
memisahkan
antara
kedua
kepercayaan ini secara kasat mata. Apalagi karena masih banyak
kelenteng yang menggunakan Arca Buddha dan dewa-dewa
lainnya secara bersamaan. Pola pikir dan cara pandanglah yang
dapat membedakan antara Buddha dan Konghucu. Dan untuk
mengetahui itu, kita harus benar-benar berinteraksi dengan
13
mereka secara intens dan tidak hanya sekedar wawancara
singkat yang kurang begitu mendalam.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia
Poerwanto. (1999). Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi
Nasional. From:
http://jurnal.ugm.ac.id/jurnalhumaniora/article/view/668/514, diakses 1 November
2015.
Priandono,
Tito
Edy.
(2014).
Komunikasi
Dalam
Keberagaman. Bandung:
Departemen Ilmu Komunikasi UPI.
Rosihan. 2012. Stereotip Etnis Pribumi dengan Pendatang (Tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Samovar, Larry A. 2010. Komunikasi lintas budaya. Jakarta : Salemba
Humanika.
Sulaiman
(2009).
Agama
Khonghucu
:
Sejarah,
Ajaran,
dan
Keorganisasiannya di Pontianak Kalimantan Barat. From
http://oaji.net/articles/2015/2111-1436145360.pdf,
diakses
11
Maret 2015
Sulaiman. 2009. Jurnal Analisa : Agama Khonghucu. Pontianak.
14
Wink.
2009.
Biografi
Kong
Hu-Cu.
From
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-kong-hu-cu.html,
diakses 31 Oktober 2015
15
Anggota Kelompok
1.
2.
3.
4.
5.
:
Claudia Veronica
Debora Septika
Oki Saputra
Ricky Nurjaman
Syarah Apriliyana
(1203545)
(1400615)
(1404339)
(1403457)
(1401199)
KONG HU-CU DIMATA BUDDHA
Mencari literasi mengenai budaya aliran Confucius ini memang bukan hal
yang mudah. Kelompok kami bahkan kesulitan menemukan rumah ibadat dari
kepercayaan Kong Hu-Cu di Bandung. Kong Hu-Cu seorang filosof besar Cina
merupakan orang pertama pengembang sistem memadukan alam pikiran dan
kepercayaan orang Cina yang paling mendasar. Dikutip dari Biografiku(dot)com,
filosofinya
menyangkut
moralitas
orang
perorang
dan
konsepsi
suatu
pemerintahan tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat
tingkah laku teladan- telah menyerap jadi darah daging kehidupan dan
kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Lebih dari itu, juga
berpengaruh terhadap sebahagian penduduk dunia lain. Kong Hu-Cu kerap
dianggap selaku pendiri sebuah agama; anggapan ini tentu saja meleset. Dia
jarang sekali mengkaitkan ajarannya dengan ketuhanan, menolak perbincangan
alam akhirat, dan mengelak tegas setiap omongan yang berhubungan dengan soalsoal metafisika. Dia tak lebih dan tak kurang seorang filosof sekuler, cuma
berurusan dengan masalah-masalah moral politik dan pribadi serta tingkah laku
akhlak.
Ada dua nilai dari empat nilai penting yang diambil dalam proses
penelitian kami terkait dengan agama Kong Hu Cu, kata Kong Hu-Cu, yaitu
“Yen” dan “Li:” “Yen” sering diterjemahkan dengan kata “Cinta,” tapi sebetulnya
lebih kena diartikan “Keramah-tamahan dalam hubungan dengan seseorang.” “Li”
dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan,
tatakrama dan sopan santun.
Dalam perkembangannya, kedatangan orang Cina banyak membawa
tradisi-tradisi yang dianggap penting dan tetap mempertahankan nilai-nilai
1
leluhurnya. Kehidupan orang Cina di Indonesia pun turut mengembangkan agama
dan budaya-budaya barunya, sehingga masyarakat Tionghoa atau Cina di
Indonesia banyak yang memeluk agama Konghucu.
Tanggok (2005) dalam jurnal analisa agama Kong Hu-Cu milik Sulaiman,
mengkaji bahwa masyarakat Tionghoa ini mempelopori timbulnya agama
Konghucu dengan memformulasikan ajaran-ajaran dan praktik-praktik agama dan
kepercayaan serta tradisi yang dilakukan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di
berbagai pelosok tanah air Indonesia. Meskipun keberadaan masyarakat
keberadaan agama Konghucu di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia
belum jelas dan masih simpang siur, hal itu dikarenakan agama Konghucu masih
dipandang bukan suatu agama resmi yang diakui di Indonesia melainkan sebagai
kepercayaan tradisional dan atau adat istiadat masyarakat Tionghoa.
Ketidak jelasan kepercayaan masyarakat Tionghoa diakibatkan karena
mereka banyak yang mencaplok-caplok kepercayaan. Narasumber kami, Billy.
sedikit mengulas bahwa agama Kong Hu-Cu sebagai hasil asimilasi kebudayaan
lokal, dimana kebudayaan lokal itu
berasimilasi menjadi suatu bentuk
kebudayaan baru yaitu Kong Hu-Cu.
“Makanya kalau di Indonesia sendiri dikenalnya bukan sebagai Kong HuCu melainkan Tri Darma. Jadi agama Buddha, agama Kong Hu-Cu dan
agama Tao atau Lao Tzi, mereka itu tidak terlalu jelas akarnya bagaimana,
dan orang Cina banyak mencaplok-caplok kepercayaan. Maka dari itu
supaya jelas dan bisa mengatasi ketidakjelasan kepercayaan Cina, mereka
mendirikan suatu yayasan yaitu Tri Dharma.”
Pokok pandangan utama Kong Hu-Cu dasarnya teramat konservatif.
Menurut penganut kepercayaan Kong Hu-Cu, jaman keemasan sudah lampau, dan
dia menghimbau baik penguasa maupun rakyat supaya kembali asal, berpegang
pada ukuran moral yang genah, tidak ngelantur. Kenyataan yang ada bukanlah
perkara yang mudah dihadapi. Keinginan Kong Hu-Cu agar cara memerintah
bukan main bentak, melainkan lewat tunjukkan suri teladan yang baik tidak begitu
lancar pada awal-awal jamannya. Karena itu, Kong Hu-Cu lebih mendekati
seorang pembaharu, seorang inovator ketimbang apa yang sesungguhnya jadi
idamannya.
2
Kong Hu-Cu hidup di jaman dinasti Chou, masa menyuburnya kehidupan
intelektual di Cina, sedangkan penguasa saat itu tidak menggubris sama sekali
petuah-petuahnya. Baru sesudah dia wafatlah ajaran-ajarannya menyebar luas ke
seluruh pojok Cina.
Molloly (2001:6) hl 129 dalam buku “Komunikasi Dalam
Keberagaman” menyatakan setiap agama memiliki delapan basis
dasar yang meliputi : pertama, sistem kepercayaan yaitu
sejumlah kepercayaan yang secara bersamaan menciptakan
interpretasi yang sistematis dan lengkap terhadap alam semesta
dan keberadaan manusia, sistem kepercayaan ini disebut
sebagai pandangan dunia.
Identitas agama didasarkan pada keberpihakan budaya
dan unsur-unsurnya yang meliputi aspek nilai, simbol, mitos, dan
tradisi yang sering dikodifikasikan dalam adat dan ritual. Oleh
karena itu komunitas agama cenderung untuk bergabung dalam
sebuah komunitas tunggal, umat beriman dimana semua orang
yang merasa mereka berbagi kode simbolik tertentu, sistem nilai
dan tradisi keyakinan dan ritual, termasuk referensi ke realitas
supra-nalar (Smith, 1991:6) hl 128 dalam buku “Komunikasi
Dalam Keberagaman”
Pada dasarnya, agama Buddha merupakan bentuk asimilasi dari agama
Konghucu, namun sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara
agama konghucu dan agama Buddha. Dilihat dari latar belakangnya, agama
Buddha diperkenalkan pertama kali di India, sedangkan agama Konghucu
diperkenalkan pertama kali di Cina. Narasumber pertama kami, David, sempat
menjelaskan sejarah singkat agama Buddha dan Konghucu ini sendiri di
Indonesia. Menurut David, kekeliruan kata Vihara menjadi Kelenteng ini kerap
terjadi setelah masa Gempres 1968. Pada masa itu, segala jenis kebudayaan
Chinese dilarang di muka umum. Hal ini juga berpengaruh pada Kong Hu-Cu
sebagai aliran kepercayaan yang belum diakui di Indonesia. David menjelaskan
bahwa Kong Hu-Cu secara resmi bergabung dengan Buddha untuk dapat
3
melanjutkan ibadahnya di Indonesia. Oleh karena itu, di tempat ibadah Kong HuCu sering ditemukan patung Buddha dan patung-patung dewa lainnya. Hal ini
berbanding terbalik dengan Vihara yang hanya memiliki satu arca Buddha saja.
Selain itu bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan agama Buddha dan
Konghucu itu dapat ditinjau dari guru pengajarnya. Bagi agama Buddha dikenal
dengan Buddha Gautama, sedangkan bagi agama Konghucu dikenal dengan
ajaran Confucius. Seperti yang dijelaskan oleh David, ketua KMB ITB saat
ditanya tentang perbedaan antara agama Buddha dan Kong Hu-Cu.
“Perbedaan mendasar dari agama Kong Hu-Cu dan agama Buddha
adalah dilihat dari guru pengajarnya. Kalau agama Kong Hu-Cu,
Confucius, sedangkan agama Buddha adalah Buddha Gautama,
itulah perbedaan yang paling fundamental”
Perbedaan itu terjadi karena adanya misi-misi misionaris yang menjalar ke
Cina, Jepang, dan seterusnya yang pada akhirnya mengakibatkan aliran di Cina
itu berasimilasi menjadi kebudayaan lokal yang lebih dikenal dengan Konghucu.
Hal ini didukung dengan pernyataan Billy saat ditanya tentang pendapatnya
mengenai perpecahan Buddha dan Kong Hu Cu. Billy mengatakan bahwa karena
proses asimilasi ini, Buddha dan Kong Hu-Cu merupakan suatu hal yang berbeda.
Singkatnya, Konghucu merupakan bentuk asimilasi dari kebudayaan lokal, dan
karena ada misi misionaris dan asimilasinya, Konghucu lebih dikenal dengan
istilah Tri Darma. Hal itu jelas dalam pembahasan Asimilasi, bahwa asimilasi
maupun akulturasi itu terjadi karena adanya pelanggaran atas segala kegiatan dan
kebudayaan China dimana Konghucu bergabung menjadi agama Buddha. Teori
mengenai Asimilasi pernah dibahas oleh Arnold M. Rose (1956) dalam jurnal
Asimilasi, Akulturasi dan Integrasi Nasional bahwa asimilasi merupakan suatu
adopsi kebudayaan asing yang demikian luas dan lengkap serta lebih tepat.
Melihat pendapat narasumber bahwa Konghucu merupakan kepercayaan leluhur,
maka dapat kami simpulkan bahwa Konghucu lahir terlebih dahulu daripada
Buddha. Sementara Buddha, lahir atas dasar asimilasi Kong Hu Cu yang dibawa
oleh Sidharta Gautama.
Perubahan nama tempat ibadah dari klenteng menjadi Vihara kemudian
berangsur membaik atas bantuan dari Presiden Gusdur yang kembali mengizinkan
segala
aktivitas
kebudyaan
Tionghoa
di
Indonesia.
Akhirnya,
setelah
4
dikeluarkannya surat dari perwalian Buddha, agama Buddha di Indonesia sudah
tidak ada lagi campur pautnya dengan agama Konghucu. Karena pada dasarnya
dari segi agama dan segala macamnya berbeda. Hal ini pula dengan lantang
dijelaskan kedua narasumber kami yakni Billy dan David dalam kesempatan
wawancara yang kami lakukan tanggal 29 Oktober silam.
Mengenai nama-nama tempat ibadah, narasumber kami, David, juga
sempat bercerita mengenai asal mula nama Kelenteng dan Vihara. Seperti yang
sudah dijelaska, Kelenteng berasal dari kata Lit Thang. Namun, karena kesulitan
menyebutkan nama tersebut di Indonesia, maka disingkatlah menjadi Kelenteng.
“Kan susah kalau menyebut Lit Thang. Selain phonetiknya harus benar,
orang Indonesia pada masa itu juga memang sangat rasis terhadap kaum
Tionghoa. Oleh karena itu, kalau ditanya mau kemana..? Ke Lit Thang..
susah kan. Akhirnya disebut Kelenteng”
Sementara asal nama Vihara sendiri merupakan tempat peristirahatan para
Bikkhu dibawah pohon Boddhi. Oleh karena itu, nama tempat ibadah untuk
Buddha adalah Vihara. Perbedaan nama tempat ibadah kedua kepercayaan ini
kemudian disusul dengan penjelasan tambahan mengenai tata cara ibadah yang
berbeda diantara kedua kepercayaan ini. Bila di Indonesia, khususnya di
Bandung, narasumber kami Ivan, Billy dan David menjelaskan bahwa Vihara
setiap hari Minggu selain sembahyang juga melakukan puji bakti dan sedikit
ceramah ringan. Sementara Kong Hu-Cu hanya melakukan sembahyang saja.
Oleh karena itu, banyak pengikutnya yang jarang beribadah ke kelenteng dan
hanya sembahyang di rumah saja. Hanya saja, sebuah kelenteng tertua di
Indonesia yang terletak di Cirebon memiliki tata cara ibadah yang sama dengan
Buddha. Maka dari itu, belum ada kejelasan yang berarti dari narasumber kami
terkait tata cara ibadah Kong Hucu karena sifatnya yang introvert.
Cara ibadah di rumah ini tidak hanya dimiliki oleh Kong Hu-Cu saja,
Buddha juga memiliki cara ibadah yang sama. Namun, bagi Buddhis,
sembahyang dirumah tidak merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan.
Karena pada dasarnya, Buddhis beribadah di Vihara.
“Biasanya ke wihara hanya saat hari raya dan hari minggu, dan hanya
mendengarkan ceramah, sedangkan kalau di rumah hanya puji bakti saja.
Agenda di pagi dan sore hari ada baca parita dan hanya doa biasa. Kalau
5
Konghucu terutama kaum tradisional biasanya mereka lebih kepada
memuja dewa-dewi, kalau umat Buddha hanya kebaktian saja.”
Berdasarkan hipotesis awal kelompok terkait asumsi dasar mengenai
confucius menurut Samovar (2010 hl 175-hl 176) dalam bukunya yang berjudul
Komunikasi Lintas Budaya bahwa anggapan manusia adalah baik melalui
tindakan perilaku mereka yang benar. Sesuai dengan perspektif agama buddha
terhadap agama konghucu, mereka percaya bahwa jika apa yang dilakukan agama
Konghucu adalah baik, maka hasilnya pun akan baik. Hal itu dikarenakan agama
Konghucu
mengenal
istilah
Darma
yang
berarti
“kebenaran”.
Dalam
kesempatannya, Billy juga mengatakan bahwa tidak hanya Kong Hu-Cu, namun
Taoism juga merupakan salah satu hasil asimilasi.
“Jadi agama Buddha, agama Kong Hu-Cu dan agama Tao atau Lao Tzi,
mereka itu tidak terlalu jelas akarnya bagaimana, dan orang Cina banyak
mencaplok-caplok kepercayaan. Maka dari itu supaya jelas dan bisa
mengatasi ketidakjelasan kepercayaan Cina, mereka mendirikan suatu
yayasan yaitu Tri Dharma.”
Hasil analisa yang kami peroleh sejalan dengan apa yang melatar
belakangi pembahasan diatas bahwa Golden Rule itu seperti yang diajarkan oleh
para pemuka agama itu adalah benar. Golden Rule adalah aturan emas, atau etika
timbal balik (The ethic of reciprocity). Merupakan satu aturan yang sepertinya
diajarkan dalam (hampir) semua budaya atau agama, meski disampaikan dengan
kata yang berbeda-beda.
Dalam ajaran Konfusius dinyatakan bahwa “Apa yang kita tidak ingin
orang lain lakukan kepada kita, jangan lakukan itu kepada orang lain” –
Confucius, Analects 15.23.
Namun terkait dengan kitab suci. Narasumber kami menjelaskan; karena
begitu banyak ajaran dan kitab-kita dalam kepercayaan Kong Hu-Cu, dapat
dipastikan bahwa tidak ada satupun masyarakat Indonesia yang memiliki kitab
sucinya secara lengkap. Terlebih lagi karena bahasa yang digunakan adalah
bahasa mandarin. Berbeda dengan Buddha, Tripitakka bersifat keseluruhan dan
sudah lengkap. Tidak hanya itu, Tripitakka sudah terjual bebas di toko buku dan
tempat-tempat keagamaan lainnya, sementara kitab Kong Hu-Cu tidak.
6
Tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul, yang
artinya adalah bakul hikmat. Hingga Tripitaka itu bermakna Tiga
Himpunan Hikmat, yaitu:
1. Sutta Pitaka, berisi himpunan ajaran dan kotbah Buddha
Gautama.
Bagian
terbesar
berisi
percakapan
antara
Buddha dengan muridnya. Didalamnya juga termasuk
kitab-kitab
tenyang
pertekunan
(meditasi),
dan
peribadatan, himpunan kata-kata hikmat, himpunan sajaksajak agamawi, kisah berbagai orang suci. Keseluruhan
himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam
agama Buddha.
2. Vinaya Pitaka, berisi Pattimokkha, yakni peraturan tata
hidup
setiap
anggota
biara-biara
(sangha).
Didalam
himpunan itu termasuk Maha Vagga, berisikan sejarah
pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha
beserta hal-hal yang berkaitan dengan biara. Himpunan
Vinaya-pitaka itu ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang
dipanggilkan dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
3. Abidharma-pitaka, yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar
dalam agama Buddha, bermakna dhamma lanjutan atau
dhamma
khusus.
Berisi
berbagai
himpunan
yang
mempunyai nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan, berisikan
pembahasan mendalam tentang proses pemikiran dan
proses kesadaran. Paling terkenal dalam himpunan itu ialah
milinda-panha (dialog dengan raja Milinda) dan pula
Visuddhi maga (jalan menuju kesucian.)
“Buddhisme itu sampai sekarang masih dalam bahasa Pali dalam
Tripitakka, sementara Kong Hu-Cu dalam bahasa mandarin. Dan jarang sekali
bahkan sepertinya tidak ada yang memiliki kitabnya secara lengkap di Indonesia.
Sifatnya turun temurun dan tidak disebarluaskan di publik”
7
Bagi agama Konghucu maupun agama Buddha, mereka tidak mengenal
dosa. Hukuman itu hanya sebagai efek samping dari tindakan yang dilakukan
manusia. Dalam Kong Hu Cu, Billy menjelaskan bahwa konsep dosa diganti
dengan konsep Dharma. Dharma sendiri adalah kebenaran. Jadi, apapun yang kita
lakukan sebagai kebenaran, disebut Dharma. Selebihnya, Billy juga menjelaskan
bahwa publikasi agama Kong Hu Cu memang sangat minim di Indonesia, tidak
hanya itu, Kong Hu Cu bahkan tidak di publikasikan secara online. Jadi, ajaran
dan konsep-konsepnya memang hanya terbatas pada kelompok mereka saja, bila
tidak masuk kelompok mereka, maka kita tidak akan tahu.
Pada dasarnya ajaran confucius mengajarkan untuk memikirkan orang lain
dan hubungan antar manusia dalam membangun pola komunikasi yang
menghargai orang lain. Jadi, pada dasarnya confucius merupakan kepercayaan
yang liberal, ajaran ini menekankan pada hubungan yang baik dengan manusia.
Sebagai manusia, ajaran confucius ini diharuskan memiliki sifat ketuhanan
misalnya baik, taat, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisa yang kami peroleh
bahwa agama Konghucu berdasarkan tingkatannya bersifat Vertikal, mereka
mengajarkan ke arah atas dan ke bawah. Ke atas mengarah kepada Tuhan,
sedangkan ke bawah berfokus pada manusia. Ajaran confucius ini mengenal
konsep ketuhanan dan kemanusiaan. berbeda dengan agama Buddha, mereka
mengarah pada tingkatan Horizontal. Buddhist tidak mengenal konsep ketuhanan,
karena berfokus pada diri sendiri atau self oriented.
Berdasarkan identitas agama didasarkan pada keberpihakan budaya dan
unsur-unsurnya meliputi aspek nilai, simbol, mitos, tradisi yang sering
dimodifikasi dalam adat dan ritual. Oleh karena itu komunitas agama cenderung
untuk bergabung dalam sebuah komunitas tunggal, umat beriman dimana semua
umat beriman saling berbagi kode simbolik tertentu, seperti sistem nilai dan
tradisi keyakinan dan ritual, termaksuk referensi supranatural (Smith, 1991:6) hal
128 dalam buku “Komunikasi Dalam Keberagaman”. Sehubungan dengan hal itu,
hasil analisa ini juga menunjukkan bahwa Konghucu masih percaya kepada halhal yang berbaur mistis dan kekuatan roh dalam hidup mereka, namun bagi agama
Buddha hal itu sangat ditolak. Perbedaan lain yang mendasari dari agama
Konghucu, mereka biasanya menyembah kepada patung-patung Buddha maupun
8
petung dewa, dan masih melakukan tradisi membakar kertas. Bagi agama
Buddha, mereka menyembah patung dewa hanya sebagai formalitas saja. Artefak
yang bisa dihasilkan dari kedua agama ini adalah kalung jimat. Bagi agama
Buddha, kalung jimat itu merupakan pemberian dari pemuka agama yang bisa
membawa berkah. Baik agama Buddha dan agama Konghucu, kalung jimat itu
sering digunakan sebagai bentuk nilai dari agamanya.
Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahluk-mahluk halus
yang mendiami alam gaib. Sistem upacara ini terdiri atas beraneka-ragam upacara
dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud, berkorban,
makan bersama, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1979: 138-139). Dalam agama
Khonghucu, sistem upacara yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk upacara
sesaji dan beranekara ragam laku bakti atau sembahyang, seperti sembahyang
kepada Tuhan, sembahyang kepada nabi, sembahyang kepada leluhur. Dan apa
yang dikatakan Billy bahwa Konghucu memiliki praktik-praktik mistik seperti
tradisi membakar kertas dan kerasukan, sedangkan di agama Buddha, hal praktik
mistik dan kekuatan roh yang bisa menolong manusia seperti itu sangat ditolak
dan dijarkan untuk tidak dianut, walaupun hal itu bisa saja terjadi tapi bukan hal
yang signifikan untuk dipercayai.
Bagi agama Buddha, dosa dinilai sebagai bentuk kejahatan karena istilah
dosa itu sendiri diambil dari bahasa Pali yang merupakan hukuman yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, agama Buddha tidak mengenal adanya
hukum tuhan, karena apa yang dilakukan manusia adalah tanggung jawab diri
mereka sendiri. untuk sanksi di agama Konghucu tidak bisa diuraikan secara
detail karena sifat mereka yang lebih tertutup dan publikasi agama mereka tidak
bisa dijangkau oleh masyarakat luas, hanya terbatas pada komunitas Konghucu
saja.
Berdasarkan hasil analisa dari narasumber yang berhasil kami wawancara,
seluruh narasumber sangat berpandangan positif terhadap agama Konghucu.
Karena mereka yakin bahwa apapun yang dilakukan oleh agama Konghucu selagi
hal itu baik maka akan baik, terlepas dari apapun labelnya. Berkaitan dengan
agama Konghucu yang merupakan hasil asimilasi menjadi kebudayaan baru, bagi
9
sebagian penganut Buddha menganggap hal itu sebagai suatu hal yang wajar
bahwa kebudayaan itu pasti berasimilasi, asalkan tidak boleh berubah dari
ajarannya.
STEREOTIP
Tak hanya mengenai asimilasi agama dan kebudayaan, Billy juga sempat
menjelaskan bahwa penganut Buddha masih dinilai malu-malu apabila
dibandingkan dengan penganut Kong Hu Cu. Hal ini ia paparkan terkait
stereotype jelek di mata masyarakat awam. Bahkan tidak hanya itu, hal ini juga
menjadi salah satu faktor rendah diri yang mereka alami.
“ Ya gimana ya. Sebenarnya kan Kong Hu Cu sendiri masih lebih banyak
daripada Buddhist. Dan kalau kita lebih dekat ke mereka, hal ini terlihat
bahwa Buddhist biasanya masih malu-malu ketimbang Kong Hu Cu.
Kayak misalnya pakai baju ada gambar Buddha aja, walaupun ke sesame
kita, kita masih kayak yang malu. Gak enak gitu keliatan beda sama yang
lain..”
Pernyataan Billy ini kemungkinan kami bahas melalui teori Stereotype.
Untuk membahas tentang Stereotype ini, kami berpedoman pada teori yang ditulis
L. A. Samovar di Komunikasi Lintas Budaya. Samovar mengatakan bahwa
Stereotype pada hakikatnya merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan
yang secara mental mengatur pengalaman dana mengarahkan sikap dalam
menghadapi orang-orang tertentu. Namun dalam buku yang sama pula, Samovar
mengutip definisi singkat dari Psikolog Abbate, Boca dan Bocchiaro mengenai
Stereotype. Menurut mereka, stereotype merupakan susunan kognitif yang
mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai
kelompok sosial manusia.
Oleh karena itu, stereotip berkenaan tentang model yang kuat, dan
sebenarnya arti awal dalam terminologi bahasa Inggris menunjuk pada suatu tesis
tentang Stereotipisasi Etnis Pribumi dan Etnis Pendatang (Rosihan, 2012:49) yang
berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari Stereos yang berarti Solid dan Typos
yang berarti model. Sementara itu, merujuk pada sumber yang sama, dikatakan
bahwa pemaknaan stereotip di Indonesia adalah suatu konsepsi mengenai sifat
suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Terkait
dengan kajian komunikasi antar budaya, Schneider dalam Rosihan (2012)
10
mengungkapkan bahwa ternyata budaya menyediakan sejumlah stereotip bagi
seseorang untuk menyebarkannya secara strategis, menyediakan sejumlah motif
untuk menjelaskan beberapa perbedaan kelompok, atau sebuah saluran
pengalaman sosial seseorang dalam cara-cara yang mendorong beberapa stereotip.
Dengan demikian, peran budaya dan pengalaman individu tidak dapat dipisahkan
dalam membentuk stereotip atau berbagai produk yang lain dari system berpikir
manusia, yaitu dimana budaya menyediakan berbagai kategori bagi aktifitas
kognitif individu.
Dilihat dari beberapa teori tersebut, dapat kami simpulkan bahwa dalam
pernyataannya, Billy dan mungkin beberapa kaum minoritas Buddha lainnya
merasa tidak percaya diri akan agama atau kepercayaannya karena unsur
pengetahuan yang mereka peroleh dari orang-orang di sekitar mereka mengenai
agama Buddha sendiri. Melihat agama Buddha mayoritas berasal dari etnis
Tionghoa, seolah masyarakat Indonesia mengategorikan aliran kepercayaan
Buddha merupakan seluruhnya beretnis Tionghoa. Padahal, ketua KMB ITB,
David sempat bercerita bahwa di ITB terdapat seorang mahasiswi beragama Islam
yang demikian rajin datang dan mengikuti pertemuan-pertemuan singkat di KMB
mengenai Buddha. Bahkan mahasiswi tersebut datang dan berdoa pada arca
Buddha di Vihara. Hanya saja sayang sekali, identitas mahasiswi tersebut tidak
boleh di publikasi.
Tidak hanya itu, ditanya lebih lanjut mengenai rasa tidak percaya diri
untuk memamerkan kepercayaan Buddha, David menjelaskan bahwa hal itu
menjadi konsentrasi ia sekarang untuk memperkenalkan agama Buddha dengan
baik. Secara garis besar, Buddha dan Konghucu tidak memiliki tanggapan yang
buruk satu-sama lain. Meskipun merupakan asimilasi, tetap saja ada keluarga
yang menganut agama Buddha dan Konghucu dalam rumah tangga yang sama.
Misalnya keluarga David.
“Engga juga sih, justru itu menjadi tugas kita untuk memperkenalkan
Buddhism yang asli. Dikeluargaku sih ga ada masalah mau Buddha atau
Kong Hu-Cu, tapi dari pengalaman orang lain sih katanya kalau Kong HuCu yang asli pasti melarang anggota keluarganya untuk beralih ke
kepercayaan lain”
11
Hal ini tak luput mengingatkan kami dengan definisi Etnosentrisme
McLaren dalam Prioandono (2014:255) yang menjelaskan bahwa Etnosentrisme
merupakan hasil stereotip yang didasarkan pada generalisasi tentang orang dan
peristiwa. Rogers dan Steinfat (Priandono, 2014:255-256) turut pula menjelaskan
tentang masalah-masalah yang timbul dari etnosentrime. Menurut mereka, orang
yang percaya pada superiotas budaya mereka sendiri, tidak mampu menilai secara
objektif budaya lain dan mereka yang berbeda; mereka menafsirkan dan menilai
perilaku orang lain sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri. Etnosentrisme juga
cenderung membesar-besarkan perbedaan budaya dengan menyoroti perbedaan
yang paling berbeda dalam keyakinan dan praktik dan mengabaikan orang lain.
Etnosentrisme juga membatasi interaksi antarbudaya yang efektif dan komunikasi
karena tidak memungkinkan untuk memahami mereka yang berbeda. Dan yang
terpenting, etnosentrisme menyebabkan arogansi, penghindaran, penarikan,
stereotip, dan bahkan prasangka serta diskriminasi.
Hanya saya dari ketiga narasumber kami tidak ada yang memiliki
kepercayaan ekstrim seperti dijelaskan oleh Rogers dan Steinfat, keluarga David
dan Billy tidak terlalu mempermasalahkan adanya Buddha dan Kong Hu-Cu di
keluarga mereka. Bahkan ditindaklanjuti melalui obrolan ringan dengan Billy, ia
mengatakan bahwa keluarganya meyakini Kong Hu-Cu sebagai kepercayaan
tradisional dan Buddha sebagai agama pilihan mereka. Sementara berkaitan
dengan itu, David menegaskan hal serupa karena menurutnya Kong Hu-Cu masih
percaya dengan tahayul-tahayul dan pengikut kepercayaan Kong Hu-Cu yang
mengaku beragama Buddha tak jarang merusak nama baik dari agama Buddha itu
sendiri karena banyak umat tradisional yang percaya pada hal-hal aneh dan tidak
sesuai dengan ajaran Buddha.
“Kalau Kong Hu-Cu itu masih banyak percaya dengan tahayul-tahayul.
Sering juga mereka mengaku sebagai Buddhis, jadi masyarakat yang tidak
tau menilai agama Buddha yang percaya hal-hal seperti itu. Kan salah,
Buddha tidak pernah mengajarkan untuk percaya pada hal aneh-aneh.
Kalau umat tradisional sih wajar karena mereka masih menuhankan
beberapa hal atau benda-benda tertentu”
KESIMPULAN
12
Melalui studi lapangan yang kami lakukan pada 29 Oktober 2015, dapat
kami simpulkan beberapa perbedaan antara Buddha dan Kong Hu-Cu. Dilihat dari
ajarannya, Kong Hu-Cu yang merupakan kepercayaan tradisional disebarkan oleh
Confucius sementara Buddha disebarkan oleh Sidharta Gautama. Awal
penyebarannya pun berbeda, Kong Hu-Cu diawali dari peredarannya di Tibet
sementara Buddha di Nepal, India.
Kong Hu-Cu yang menganut kepercayaan secara Vertikal dan merupakan
kepercayaan tradisional pada hakikatnya tidak menginginkan dinamika penganut
dan dalam eksistensinya sedikit mempublikasikan kepercayaannya karena
sifatnya yang sangat introvert. Hanya saja, banyak dari pengikut Kong Hu-Cu
yang sudah tinggal dan mengetahui kebudayaan-kebudayaan lain memilih
mengikuti Buddha Gautama, walaupun tak dapat dipungkiri; bisa saja dirumah
mereka masih percaya terhadap tahayul-tahayul atau hal-hal aneh yang tidak
diajarkan Buddha Gautama.
Buddha sendiri sebagai sebuah kepercayaan yang tidak memiliki banyak
pengikut seperti Kong Hu-Cu, cenderung lebih mempublikasikan dirinya dan
tidak tertutup dalam ras apapun. Umat Buddhis percaya, bahwa Kong Hu-Cu
sebagai kepercayaan tidak dapat disamakan dengan Buddha sebagai agama.
Meskipun begitu, tidak ada perbedaan ekstrim yang menyebabkan kedua
kepercayaan ini terpecah. Karena pada hakikatnya, Buddha dan Konghucu masuk
kedalam bentuk kepercayaan Polytheisme. Dan karena sebagian besar berasal dari
etnis yang sama, kedua kepercayaan ini pada zaman sekarang tidak
mempermasalahkan tentang ajaran.
Ditelaah dari pembedanya, tidak ada parameter ekstrim
dan
atribut
keagamaan
yang
memisahkan
antara
kedua
kepercayaan ini secara kasat mata. Apalagi karena masih banyak
kelenteng yang menggunakan Arca Buddha dan dewa-dewa
lainnya secara bersamaan. Pola pikir dan cara pandanglah yang
dapat membedakan antara Buddha dan Konghucu. Dan untuk
mengetahui itu, kita harus benar-benar berinteraksi dengan
13
mereka secara intens dan tidak hanya sekedar wawancara
singkat yang kurang begitu mendalam.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia
Poerwanto. (1999). Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi
Nasional. From:
http://jurnal.ugm.ac.id/jurnalhumaniora/article/view/668/514, diakses 1 November
2015.
Priandono,
Tito
Edy.
(2014).
Komunikasi
Dalam
Keberagaman. Bandung:
Departemen Ilmu Komunikasi UPI.
Rosihan. 2012. Stereotip Etnis Pribumi dengan Pendatang (Tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Samovar, Larry A. 2010. Komunikasi lintas budaya. Jakarta : Salemba
Humanika.
Sulaiman
(2009).
Agama
Khonghucu
:
Sejarah,
Ajaran,
dan
Keorganisasiannya di Pontianak Kalimantan Barat. From
http://oaji.net/articles/2015/2111-1436145360.pdf,
diakses
11
Maret 2015
Sulaiman. 2009. Jurnal Analisa : Agama Khonghucu. Pontianak.
14
Wink.
2009.
Biografi
Kong
Hu-Cu.
From
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-kong-hu-cu.html,
diakses 31 Oktober 2015
15