PERDAGANGAN SATWA LANGKA INDONESIA MELAL
HUKUM LINGKUNGAN
MAKALAH LIBRARY RESEARCH
PENEGAKAN HUKUM ATAS PERDAGANGAN SATWA LANGKA INDONESIA
MELALUI CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE OF ENDANGERED
SPECIES DAN UNDANG-UNDANG NASIONAL
Disusun oleh:
Lutfi Salsabila
8111416186
Fitriani Abdi
8111416290
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Shalom.. Om Swastiastu.. Nammo Buddhaya..
Salam Sejahtera Untuk Kita Semua ..
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat serta hidayat-Nya lah kami dapat menyusun makalah dengan judul
“Penegakan Hukum atas Perdagangan Satwa Langka Indonesia Melalui
Convention on International Trade of Endangered Species” ini. Dengan
kesehatan dan ide yang Tuhan berikanlah kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Lingkungan yang diampu oleh dosen matakuliah tersebut. Selain itu, kami
sangat berterima kasih kepada beliau, karena atas penugasan ini kami dapat
belajar lebih luas dan spesifik mengenai hukum lingkungan yang ada di
Indonesia terkhusus mengenai perdagangan satwa langka.
Kami juga sangat berterimaksih kepada pihak-pihak baik yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu kami dalam menyusun
makalah ini. Sehingga dapat terpenuhi lah salah satu tanggung jawab kami
sebagai mahasiswa untuk mengerjakan tugas ini.
Sudah sepantasnya bahwa makalah ini memberikan perhatian yang
cukup terhadap aspek tersebut. Sangatlah diharapkaan adanya kemanfaatan
dalam makalah ini, baik bagi kami
selaku penyusun dan seluruh pembaca.
Tiada manusia yang sempurna, demikian pula tiada makalah yang sempurna.
Kritik dan masukan yang membangun akan sangat membantu memperkaya
khazanah pengatahuan dalam makalah ini.
Semarang, 8 Oktober 2017
Segenap Penyusun
DAFTAR ISI
Sampul
i
Kata Pengantar
Daftar Isi
ii
iii
Daftar Tabel/ Gambar
iii
Daftar Putusan/ Kasus iii
BAB I.PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
C. Metode Penulisan
2
BAB II. PEMBAHASAN
3
A. Sub Pembahasan 1
B. Sub Pembahasan 2
C. Sub Pembahasan 3
BAB III. Kesimpulan
Daftar Pustaka
7
6
3
4
2
DAFTAR TABEL/GAMBAR
Tabel 1.1. Nama Tabel
i
Tabel 1.2. Nama Tabel
ii
Tabel 1.3. Nama Tabel
iii
Tabel 1.4. Nama tabel
iii
Tabel 1.5. Nama Tabel
iii
DAFTAR PUTUSAN/KASUS
Putusan 1
i
Putusan 2
ii
Putusan 3
iii
Putusan 4
iii
Putusan 5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk hidup.
Apabila ada suatu kerusakan pada lingkungan hidup ini, maka akan
menghambat
kelangsungan
hidup
manusia,
hewan,
dan
tumbuhan.
Hambatan itu bisa menjadi begitu besar tergantung seberapa parah tingkat
kerusakan lingkungan hidup. Bahkan pada suatu titik kerusakan lingkungan
hidup dapat memusnahkan suatu sepesies makhluk hidup.
Semakin besar kerusakan lingkungan hidup semakin besar pula dampak
yang akan timbul. Semakin berkembangnya jaman semakin banyak pula
penemuan untuk menjaga lingkungan hidup. Namun, tidak sedikit pula
penemuan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup.
Zaman semakin maju begitu pula pola pikir masyarakat. Tidak hanya itu,
kebutuhan manusia pun semakin rumit. Dulu hanya diperlukan satu pasar
tradisional kecil. Sekarang tidak cukup hanya itu, mulai dari pasar kecil,
toko kecil, pasar besar, toko besar, hingga pusat perbelanjaan yang
setidaknya butuh satu hektar tanah. Akibatnya banyak pengalih fungsian
hutan atau biasa disebut deforestasi untuk membuka ruang pembangunan
modern.
Akibat dari pengalih deforestasi tersebut tentunya berpengaruh terhadap
sumber daya genetika. Salah satunya banyak satwa liar menurun
jumlahnya. Hingga pada akhirnya beberapa diantaranya tidak hanya
disebut satwa liar akan tetapi satwa langka1.
Tidak hanya deforestasi yang mempengaruhi berkurangnya jumlah satwa
liar.
Perdagangan
satwa
di
era
sekarang
sangat
menjadi
pemerintah dalam melindungi dan mempertahankan spesies
momok
satwa.
1 Cifebrima Suyastri.2012”Mengukur Efektivitas CITES Dalam Menangani Perdagangan Satwa
Liar Dengan Menggunakan Identiikasi Legalisasi Artikel CITES. Jurnal Transnasional,
Vol. 4, No. 1, Juli 2012. Universitas Riau
Terkhusus perdagangan satwa langka, yang menjadi ancaman punahnya
suatu spesies satwa.
Hal ini cukup memprihatinkan, dikarenakan setiap satwa sangat berperan
penting dalam rantai makanan di hutan. Apabila suatu rantai makanan
mengalami perubahan jumlah yang cukup tinggi maka akan mempengaruhi
jumlah spesies yang lainnya. Maka dari itu, setiap negara berusaha untuk
menjaga satwa langka yang berhabitat di wilayahnya. Salah satunya dengan
meratifikasi Convention on International Trade of Endangered Species (CITES)
maupun membuat undang-undang nasional sendiri.
Indonesia sendiri menegakan hukum atas perdagangan satwa langka baik
melalui CITES maupun Undang- Undang Nasional. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan spesies satwa langka yang ada di Indonesia. Maka dari itu
sangat
diperlukan
pembahasan
mengenai
penegakan
hukum
atas
perdagangan satwa langka indonesia melalui Convention on International
Trade of Endangered Species dan Undang-Undang Nasional.
CITES mengatur dan mengawasi perdagangan dengan menggunakan “daftar
negatif” seperti perdagangan semua spesies yang diperbolehkan dan tidak
diatur kecuali spesies tersebut muncul di lampiran. Spesies yang dilindungi
terdaftar dalan satu dari tiga lampiran:
• Appendix I, Sekitar 1,200 spesies, dan merupakan spesies yang terancam
punah
atau
dapat
menjadi
terancam
punah
karena
diperdagangkan.
Perdagangan komsersil spesies liar yang ditangkap dari spesies dalam daftar
ini adalah ilegal (hanya diperbolahkan dalam keadaaan khusus untuk tujuan
non-komersil).
Perdagangan
hewan
penangkaran
atau
tanaman
yang
dikembangbiakan secara buatan yang ada dalam daftar Appendix I dianggap
spesies yang termasuk dalam Appendix II, dengan adanya persyaratan (lihat
dibawah). Perdagangan dari spesies ini membutuhkan izin ekspor dan impor,
yang diterbitkan oleh badan pengelolaan di masing-masing negara. Badan
pengelolaan dari negara eksportir diharapkan untuk memeriksa bahwa izin
impor telah ada dan negara importir diharapkan dapat menjaga spesies
dengan baik. Sebagai tambahan, badan ilmiah negara eksportir harus
membuat temuan yang menyatakan tidak ada kerugian, yang menjamin bahwa
ekspor spesies tidak akan berdampak buruk pada populasi satwa liar.
• Appendix II, Sekitar 21,000 spesies, adalah spesies yang tidak terancam
punah, namun dapat terancam punah jika perdagangan spesies tersebut tidak
diatur dengan ketat untuk menghindari pengunaan yang bertentangan dengan
kelangsungan hidup spesies di alam liar. Sebagai tambahan, Appendix II dapat
mencakup spesies yang secara fisik mirip dengan spesies yang sudah terdaftar
dalam lampiran ini. Perdagangan internasional spesies Appendix II dapat
disetujui dengan memberikan izin ekspor atau sertifikat re-ekspor oleh badan
pengelolaan negara eksportir. Tidak ada izin impor yang dibutuhkan walaupun
beberapa pihak menysaratkan hal ini sebagai bentuk peraturan domestik yang
lebih
ketat.
Sebelum
izin
ekspor
diberikan
perusahaan
ekspor
harus
memastikan bahwa ekspor tidak akan berdampak buruk pada populasi spesies
di alam liar.
• Appendix III, 170 spesies, adalah spesies yang terdaftar setelah satu negara
meminta CITES untuk membantu mengkontrol perdagangan spesies tersebut.
Spesies tidak selalu terancam kepunahan global. Di semua negara anggota,
perdagangan spesies ini hanya diperbolehkan dengan izin ekspor dan sertifikat
asal dari negara anggota yang telah mendaftarkan spesies.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengaturan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)?
2. Bagaimana kondisi perdangan Satwa Langka di Indonesia?
3.Bagaimana penerapan hukum untuk pelaku perdagangan Satwa Langka di
Indonesia?
C. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian, penulis
menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1. Metode Studi Pustaka
Metode studi kepustakaan dilakukan untuk menunjang metode wawancara dan
observasi yang telah dilakukan. Pengumpulan informasi yang dibutuhkan
dilakukan dengan mencari referensi-referensi yang berhubungan dengan
penelitian yang dilakukan, referensi dapat diperoleh dari buku-buku atau
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGATURAN Convention on International Trade in Endangered Species
(CITES)
Secara khusus CITES mengatur adanya 4 tipe dokumen dalam perdagangan
tumbuhan dan satwa yaitu: (i) Export Permits, (ii) Import Permits, (iii) Reexport Certificates, dan (iv) Other Certificates. Keempat dokumen ini
merupakan dokumen resmi yang hanya bisa dikeluarkan oleh Management
Authority
(otoritas
pengelolaan)
berdasarkan
rekomendasi
Scientific
Authority (otoritas keilmuan).
a. Management Authority
Management Authority merupakan lembaga resmi yang CITES tetapkan
untuk mengatur dan mengelola perdagangan jenis satwa dari suatu negara.
Management Authority merupakan otoritas pengelola yang harus di miliki oleh
negara untuk mengelola perdagangan satwa baik untuk di gunakan bagi
keperluan
dalam
negeri
maupun
untuk
perdagangan
internasional.
Management Authority dalam pengelolaan perdagangan bekerjasama dengan
otoritas keilmuan (Scientific Authority). Rekomendasi yang di berikan oleh
otoritas keilmuan akan menjadi acuan otoritas pengelolaan dalam memberikan
izin bagi perdagangan satwa. Pada artikel I CITES huruf (f) dijelaskan bahwa :
“Scientific Authority means a national scientific authority designated in
accordance with article IX”.2 Sedangkan Management Authority juga dijelaskan
dalam Artikel I CITES huruf (g), yaitu : “Management Authority means a
national management authority designated in accordance with article IX”.
Management Authority (Otoritas Pengelola), bertanggung jawab dalam
aspek administratif dari pelaksanaan CITES (legislasi, pelaksana legislasi,
penegakan hukum, izin, laporan dua tahunan, komunikasi dengan institusi
CITES lain), sedangkan Scientific Authority (otoritas keilmuan), bertanggung
jawab untuk memberikan saran kepada Management Authority mengenai nondeteriment findings dan aspek-aspek ilmiah lainnya mengenai implementasi
dan pemantauan perdagangan internasional, termasuk memberi usulan kuota.3
2 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel I,
huruf (f), 1973.
3 Pendapat Faustina Hardjanti, Kepala Subdit Konvensi CITES Direktorat Konvensi
Keanekaragaman Hayati-Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (KKH-PHKA), dalam
wawancaranya.
b. Export Permit
Sesuai dengan apa yang telah di kemukakan di atas, bahwa CITES
mengatur adanya empat dokumen resmi sebagai ketentuan yang harus di
penuhi, maka perlu adanya penjelasan mengenai masing-masing dokumen.
Export permit atau izin ekspor merupakan izin yang mengatur mekanisme
pemberian izin bagi masing-masing jenis satwa yang akan di perdagangkan ke
luar negeri. Mengenai pemberlakuan izin ini Artikel VI CITES angka (2)
menyebutkan : “An export permit shall contain the information specified in the
model set forth in Appendix IV, and may only be used for export with in a
period of six month from the date on which it was granted”. Pada pasal ini di
jelaskan mengenai keberlakuan izin ekspor (export permit) hanya enam bulan
sejak izin di berikan. Selain mengenai keberlakuannya, Artikel VI CITES ini juga
mengatur mengenai setiap izin atau sertifikat yang diberikan harus ada
pengesahan dari otoritas pengelola dan nomor pengawasan yang dikeluarkan
oleh otoritas pengelola. CITES mengatur secara khusus mengenai pemberian
izin ekspor perdagangan satwa dari masing-masing jenis yang terlampir dalam
apendiks CITES.
Menurut Artikel III angka (2) disebutkan bahwa:4
“ The export of any specimen of a species included in Apendix I shall require
the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall
only be granted when the following conditions have been met :
a) a Scientific Authority of the state of export has advised that such export will
not be detrimental to the survival of that species.
b) a Management Authority of the State of export is statisfied that the
specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for
the protection of fauna and flora.
c) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment.
d) a Management Authority of the State of export is satisfied that an import
permit has been granted for the specimen”.
Pada Artikel III tersebut di atur mengenai mekanisme pemberian izin
ekspor bagi jenis satwa liar yang termasuk dalam Apendiks I. Sesuai dengan
ketentuan tersebut otoritas harus terlebih dahulu memberikan rekomendasi
bahwa ekspor tersebut tidak mengganggu keseimbangan populasinya di alam
4 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel III, angka (2), 1973.
liar, kemudian otoritas pengelola harus memastikan bahwa ekspor tersebut
tidak melanggar ketentuan perundang-undangan tentang perlindungan satwa.
Setelah dipastikan mengenai ketentuan dari negara asal, maka otoritas
pengelola
juga
harus
memastikan
negara
yang
akan
menjadi
tujuan
meminimalisir gangguan berupa kesehatan dari jenis satwa tersebut. Kemudian
yang terakhir bahwa otoritas pengelola dari negara ekspor harus memastikan
bahwa izin impor telah di berikan. Ketentuan izin ekspor tersebut merupakan
ketentuan yang harus dipenuhi dalam perdagangan jenis satwa liar yang
termasuk apendiks I CITES.
Mengenai ketentuan ekspor untuk jenis satwa yang termasuk dalam
apendiks II CITES, Artikel IV angka (2) CITES dijelaskan bahwa:5
“The export of any specimen of a species included in Appendix II shall require
the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall
only be granted when the following conditions have been met :
a) a Scientific Authority of the State of export has advised that such export
will not be detrimental to the survival of that species;
b) a Management Authority of the State of export is satisfied that the
specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for
the protection of fauna and flora;
c) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment”.
Ketentuan pemberian izin ekspor pada Artikel IV ini juga tidak memiliki
perbedaan yang mendasar, keseluruhan mekanisme sesuai dengan apa yang
diatur pada Artikel III, yang menjadi perbedaan hanya tidak ada ketentuan bagi
otoritas pengelola untuk memastikan izin impor dari negara tujuan. Mengenai
ketentuan ekspor satwa yang termasuk dalam apendiks III, hal ini diatur dalam
Artikel V angka (2) CITES yaitu:6
“The export of any specimen of a species included in Appendix III from any
State which has included that species in Appendix III shall require the prior
grant and presentation of an export permit. An export permit shall only be
granted when the following conditions have been meet :
5 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel IV, angka (2), 1973.
6 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel V, angka (2), 1973.
a) a Management Authority of the State of export is satisfied that the
specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for
the protection of fauna and flora
b) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment”.
Mengenai izin ekspor untuk satwa liar yang termasuk dalam Apendiks III
diatur bahwa otoritas pengelola memastikan bahwa ekspor tidak melanggar
ketentuan hukum tentang perlindungan satwa, serta memastikan negara
tujuan untuk mengurangi resiko kemungkinan perlakuan yang mengganggu
terhadap satwa liar tersebut. Berdasarkan beberapa ketentuan yang tertera
pada Artikel III, IV, dan V CITES mengenai ekspor tersebut ada perbedaan
ketentuan izin ekspor antara perdagangan satwa yang termasuk dalam
apendiks I, apendiks II, dan apendiks III CITES. Perbedaan ini merupakan
ketentuan yang menjadi tolok ukur kondisi dari jenis satwa yang menjadi
komoditas perdagangan.
c. Import Permit
CITES juga mengatur dokumen perizinan impor untuk perdagangan jenis
satwa. Pengaturan tersebut berdasarkan pada suatu sistem perizinan dan
pemberian sertifikat yang hanya dapat diterbitkan apabila syarat tertentu telah
dipenuhi. Seperti halnya ketentuan ekspor, ketentuan impor ini juga dipisahkan
untuk masing-masing jenis satwa dalam tiap-tiap apendiks. Pada Artikel III
angka (3) CITES diatur mengenai izin impor untuk satwa yang termasuk dalam
apendiks I CITES yaitu:7
“The import of any specimen of a species included in Appendix I shall require
the prior grant and presentation of an import permit and either an export
permit or a re-export certificate. An import permit shall only be granted when
the following conditions have been met:
a) a Scientific Authority of the State of import has advised that the import will
be for purposes which are not detrimental to the survival of the species
involved
b) a Scientific Authority of the State of import is satisfied that the proposed
recipient of a living specimen is suitably equipped to house and care for it
7 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel III, angka (3), 1973.
c) a Management Authority of the State of import is satisfied that the
specimen is not to be used for primarily commercial purposes”.
Pada Artikel III mengenai impor satwa yang termasuk dalam apendiks I
CITES tersebut dijelaskan bahwa izin impor hanya dapat diberikan dengan
syarat-syarat yang telah disebutkan, yaitu bahwa otoritas keilmuan negara
pengimpor
menjelaskan
bahwa
impor
tidak
bertujuan
untuk
merusak/mengganggu keberadaan satwa tersebut, dan menjamin bahwa
negara pengimpor akan merawat dan melindungi keberadaan jenis satwa
tersebut. Mengenai ketentuan izin impor yang termasuk dalam apendiks II,
diatur pada Artikel IV angka (4) CITES yaitu: 8 “The import of any specimen of a
species included in Appendix II shall require the prior presentation of either an
export permit or a re-export certificate”. Izin impor untuk satwa liar yang
termasuk apendiks II CITES ini mensyaratkan bahwa impor harus disertakan
dengan izin ekspor dari negara asal ataupun sertifikat re-ekspor.
d. Re-export Certificates
Ketentuan
mengenai
re-ekspor
ini
mensyaratkan
ketentuan
yang
berbeda untuk masing-masing jenis satwa dalam tiap-tiap apendiks. Pada
Artikel III Angka (4) disebutkan bahwa:9
“The re-export of any specimen of a species included in Appendix I shall
require the prior grant and presentation of a re-export certificate. A re-export
certificate shall only be granted when the following conditions have been met:
a) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that the
specimen was imported into that State in accordance with the provisions of
the present Convention
b) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment
c) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that an import
permit has been granted for any living specimen”.
Ketiga syarat pada artikel tersebut merupakan ketentuan yang harus
dipenuhi pada dokumen re-ekspor, sedangkan untuk satwa yang termasuk
dalam apendiks II CITES diatur dalam Artikel IV Angka (5) yang menyebutkan
bahwa:
10
8 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel IV, angka (4), 1973.
9 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel III, angka (4), 1973.
10 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel IV, angka (5), 1973.
“The re-export of any specimen of a species included in Appendix II shall
require the prior grant and presentation of a re-export certificate. A re-export
certificate shall only be granted when the following conditions have been met:
a) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that the
specimen was imported into that State in accordance with the provisions of
the present Convention
b) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment”.
Untuk ketentuan sertifikat re-ekspor bagi satwa liar yang di masukkan dalam
apendiks III CITES di atur dalam Artikel V Angka (4) CITES.
e. Others Certificate
Sebagai salah satu perjanjian internasional yang cukup baik, CITES
mengatur mengenai kemungkinan dilakukannya perdagangan internasional
dengan negara yang tidak termasuk dalam perjanjian internasional ini. Hal ini
diatur secara khusus dalam Artikel X CITES, yaitu:
11
“Where export or re-export is to, or import is from, a State not a Party to
the present Convention, comparable documentation issued by the competent
authorities in that State which substantially conforms with the requirements of
the present Convention for permits and certificates may be accepted in lieu
there of by any Party”.
Pada Artikel X ini dijelaskan bahwa perdagangan internasional baik
impor, ekspor maupun re-ekspor masih mungkin untuk dilakukan dengan
adanya catatan atau dokumen resmi dari pihak-pihak yang telah berkompeten
untuk mengeluarkan izin seperti yang dijelaskan di dalam CITES baik itu
otoritas keilmuan maupun otoritas manajemen dari negara yang bersangkutan
mengenai status dan keadaan spesies yang diperdagangkan12.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/2003 menetapkan prosedur inspeksi
dan kontrol
dilakukan oleh badan yang berwenang disetiap tingkatan
(BKSDA dan Kantor Pusat PHKA) dalam hal panen, calo, pedagang, orang
yang melakukan pemindahan dan eskportir dan
importer, dan harus
11 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel X, 1973.
12 Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons, Exploited for Pets: The Harvest and Trade Of Amphibians and
Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney, 2012, hlm.2901-2902.
sesuai dengan kuota yang dialokasikan. Produksi berbasis tangkapan
spesies mendapatkan arahan dan diatur oleh Keputusan Menteri Kehutanan
No. 19/2005.
Keputusan ini memberikan pedoman dan pengaturan
mengenai tangkapan penangkaran
sesuai dengan Pasal VII CITES dan
Resolusi Konferensi 10.16.
Walaupun kerangka peraturan ini sangat baik, terdapat beberapa masalah
signifikan dengan
undang-undang, yang paling penting adalah daftar
spesies dilindungi mana yang akan
dijadikan Annex Peraturan
Pemerintah No. 7/1999.
Peraturan Pemerintah No. 7/1999: Daftar Spesies yang Dilindungi
Inti dari kerangka peraturan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999,
yang
memberikan daftar spesies yang dilindungi di Indonesia. Daftar ini
mencakup 294 spesies atau kelompok spesies:12
• 70 mamalia, termasuk cetacea.
• 93 burung
• 31 reptil: biawak, gharial dan buaya, beberapa jenis phiton, beberapa
kura-kura air tawar dan kura-kura darat, semua kura-kura laut, kadal
sailfin
• 20 serangga: semua kupu-kupu
• 7 ikan: termasuk sawfish (Pritis spp.)
• 1 karang: karang hitam
• 14 moluska: kerang, nautilus, giant triton, coconut crab.
• 58 tanaman: termasuk anggrek, rafflesia, tanaman pitcher dan
dipterocarps.
Penangkapan dari alam liar dan penjualan spesies diatas adalah pelanggaran
UU No. 5/1990, dengan ancaman hukuman hingga lima tahun penjara dan
denda hingga 100 juta.
Lebih jauh, PP No. 8/1999, Pasal 34, terdapat daftar 11 spesies atau
kelompok spesies yang
hanya bisa digunakan dan dipertukarkan oleh
Presiden Republik Indonesia. Spesies tersebut adalah:
• Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi);
• Babirusa (Babyrousa babyrussa);
• Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus);
• Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis);
• Komodo (Varanus komodoensis);
• Burung Cendrawasih (Semua spesies dari kelompok Paradiseidae);
• Elang Jawa (Spizaetus bartelsi);
• Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae);
• Siamang Mentawai (Presbytis potenziani);
• Orangutan (Pongo pygmaeus); and
• Moloch Jawa (Hylobates moloch).
B. KONDISI PERDAGANGAN SATWA LANGKA DI INDONESIA
Kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa di Indonesia telah menjadi
ancaman
yang
serius
Indonesia. Maraknya
bagi
kejahatan
kelestarian
terhadap
keanekaragaman
tumbuhan
dan
hayati
satwa
di
Indonesia di latar belakangi adanya permintaan pasar terhadap tumbuhan
dan satwa Penyebab utama kepunahan tumbuhan dan satwa di antaranya
adalah
kehilangan,
kerusakan,
serta
berubahnya
hutan
menjadi
pemukiman rumah bahkan kantor, pemanfaatan secara berlebihan dan
perburuan bahkan perdagangan ilegal13. Perburuan dan perdagangan ilegal
satwa masih terus berlangsung atas dasar untuk memenuhi permintaan
pasar
yang
dikonsumsi
di
dan
antaranya
untuk
di
tujuan
gunakan
sebagai peliharaan,
pengobatan
untuk
tradisional, peningkatan
standar kehidupan, perubahan politik dan pembangunan ekonomi. Fakta
yang
terjadi
adalah
banyak
spesies
yang
kelestariannya
terancam,perdagangan satwa bernilai milyaran dollar setiap tahunnya,
perdagangan ilegal semakin berkembang, jika kejahatan terhadap satwa
tidak terkontrol, banyak spesies akan punah.14
13
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan 20072017. Jakarta, 2007, hlm.3.
14 Chairul saleh, Imelda Hilaluddin, Fatni Hanif. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Hidupan
Liar (Jakarta:Palmedia creative pro.2007), hal. 50
Dibawah ini merupakan kasus-kasus perdagangan hewan ilegal yang
ditangani oleh instansi-instansi Indonesia dari hasil penelitian setidaknya
ada
enam
kasus
tentang
perdagangan
hewan
yang masuk dalam
appendix 1 CITES yaitu:
1. 26 Februari 2001, Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, berhasil
menggagalkan penyelundupan ratusan satwa yang disembunyikan di
kamar mesin Kapal Motor Gunung Dempo. Di kapal asal Papua itu
polisi menemukan 11 cenderawasih, 4 burung kakatua hitam, 100 tupai
terbang, 4 bayan hitam, 3 bayan hijau, 5 burung nuri kepala hitam, 30
ular, dan 25 kadal.
2. Pada bulan
Juni
2003
Departemen Kehutanan
Polisi
Daerah
dengan
Jakarta
dibantu
dan
oleh
petugas
ProFauna
PHKA
Indonesia
berhasil menggagalkan rencana penyelundupan dua ekor orang utan ke
Thailand. Semula kedua oangutan itu akan diselundupkan dengan
menggunakan pesawat China airlines lewat bandara Internasionmdal
Soekarno Hatta Jakarta.
Sebelum kedua orang utan tersebut diterbangkan, puluhan polisi
menyergap
dan
menangkap
para
penyelundup
orang
utan
itu.Penangkapan penyelundup orangutan itu merupakan hasil kerja
keras ProFauna
untuk
membongkar
sindikat
perdagangan
primata
di Indonesia.
Kasus penyelundupan orangutan Juni itu kemudian diproses di
pengadilan dengan terdakwa
utama
adalah
orang Thailand yang
berdomisili di Indonesia. Telah menyelundupan orang utan ke luar
negeri. Tapi ini tidak bisa
dibuktikan di pengadilan,
dikarenakan
kurangnya keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani kasus
ini.
Meski
penyelundupan
orang
salahsatu orangutan itu mati
utan
itu
berhasil
digagalkan,
akibat over dosis. Orang utan
itu
diselundupan dengan cara dibius, kemudian dimasukan dalam kotak
kardus kecil.
3. Sementara itu
pada
tanggal
2
oktober
2009
digagalkan
upaya
penyelundupan 16 ekor elang dan satwa lainnya ke Jepang lewat
Bandara
Ngurah
Rai.
Sedangkan
Pulau
Talaud
patut
mendapat
perhatian serius karena masih menjadi jalur penyelundupan satwa ke
Philipina
lewat
jalur
laut.
Terbukti
dengan
digagalkannya
upaya
penyelundupan 234 satwa lewat Talaud pada tanggal 8 Januari 2009.
4. Pada tanggal 17 Oktober 2011 petugas Bea cukai pelabuhan Tanjung
Priok berhasil mengagalkan upaya penyelundupan Trenggiling dengan
tujuan Vietnam seberat 7136 kg.
5. Pada tanggal 10 Maret 2011 sebanyak 30 ekor ikan hiu loreng, hiu
kejen, hiu lonjor, dan hiu martil diturunkan dari perahu. Pemilik kapal
tersebut mengaku menjual satu ekor daging hiu sekitar Rp 30 juta
tergantung berat dari ikan tersebut, sedangkan untuk siripnya di hargai
15 juta, sirip tersebut nantinya akan di bawa ke surabaya kemudian di
eksportir menuju Hongkong dan Taiwan.
6. Sedangkan di tahun 2012 sendiri sudah ada lebih dari 200 ekor penyu
berbagai jenis
yang
berhasil
berbagai pihak
seperti
digagalkan
Kepolisian
dan
penyelundupannya
Bea
Cukai,
dari
oleh
berbagai
wilayah di Indonesia. “Terbaru, kemarin juga digagalkan lagi upaya
penyelundupan penyu di NTT dengan jumlah yang lebih besar lagi.
Indonesia
menggelar
operasi
besar-besaran
pemberantasan
perdagangan hewan di perairan Maluku Tenggara atau kepulauan laut
arafuru oleh tim gabungan dari Mabes Polri dan Polda Maluku Tim
gabungan tersebut terdiri atas unsur Bareskrim Polri, Pol. Udara,
Dokkes dan Div. Humas, yang dipimpin langsung oleh Brigjen. Pol.
Hadiatmoko Direktur V/Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri.
Dari beberapa kali gelar operasi, maka selama operasi di gelar
diperairan Tual, telah ditangkap 7 buah kapal jenis Tramper dan Trawl
dengan ABK sebanyak 160 orang (160 orang WN Thailand, 8 orang
WNI dan 1 orang WN Myanmar), dengan hasil tangkapan ikan beku
dan trenggiling sebanyak +- 1.932 ton.
C. PENERAPAN HUKUM UNTUK PELAKU SATWA LANGKA INDONESIA
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), terdapat empat
lembaga pemerintah yang secara langsung menangani penegakan hukum;
penyidik kepolisian, jaksa penuntut, penjara dan pengadilan, walaupun
fungsi dari pengadilan adalah untuk mengadili kasus yang disampaikan
penegak hukum (kasus pidana) atau lembaga pemerintah lain dan publik
(kasus perdata). Kepolisian adalah satu-satunya institusi yang beroperasi
pada tingkat kecamatan sementara ketiga lembaga lainnya beroperasi pada
tingkat
kabupaten/kota,
dimana
pengadilan
negeri
berada,
provinsi
(pengadilan tinggi), dan nasional (mahkamah agung). Biasanya, setiap
institusi pada tingkat yang lebih rendah harus melapor ke atau berkoordinasi
dengan rekan mereka pada tingkat yang lebih tinggi. Pengadilan ini
diharapkan untuk melakukan pengambilan keputusan yang independen pada
setiap perkara di tingkat mereka.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Prosedur standar untuk penanganan kasus pidana pada tingkat lembaga
pelaksana diatur dalam UU No. 8/1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHP). Hukum Pidana secara umum diterapkan untuk semua tipe
kejahatan kecuali disebutkan secara khusus dalam UU lain, dan jika hal ini
terjadi maka prioritas diberikan kepada UU lain sesuai dengan prinsip les
specialis derogate lex generali (misal Hukum Konservasi (kejahatan khusus)
lebih diutamakan dibandingkan dengan KUHP (kejahatan umum) 15. Oleh
karena itu, dalam prakteknya, peradilan kejahatan terhadap satwa atau
pelanggaran konservasi harus menggunakan UU Konservasi atau Kehutanan
dibandingkan Hukum Pidana, walaupun beberapa kejahatan dirinci dalam
hukum pidana dapat juga digunakan sebagai tuntutan sekunder atau tersier
untuk mendukung tuntutan utama16. Demikian pula, semua prosedur untuk
penyidikan dan tuntutan kejahatan harus menggunakan Hukum Acara Pidana
kecuali disebutkan dalam hukum khusus yang lain.
Penanganan masalah hukum dalam pelestarian hutan dan keanekaragaman
hayati tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana, tapi juga termasuk
15 Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm.37.
16 Muhammad Iqbal, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Dan Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin Di
indonesia, Jurnal Beraja NITI Volume 3 Nomor 3, Samarinda, 2014,hlm.2.
dalam undang-undang administratif dan undang-undang sipil. Contoh dari
tuntutan hukum sipil termasuk ketika pemerintah dituntut oleh publik karena
konflik kepemilikan tanah, atau pemerintah dituntut perusahaan karena
perilaku tidak pantas. Sebagai contoh praktis, pemerintah pernah dituntut
menggunakan hukum administratif karena memberikan hak perkebunan di
Cagar Alam Rawa Singkil, Aceh, yang menjadi habitat orang-utan.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Sebelum
Januari
2015,
Direktorat
Jenderal
Perlindungan
Hutan
dan
Konservasi Alam (PHKA) yang berada di dalam Kementerian Kehutanan
adalah
institusi
yang
bertanggung
jawab
untuk
pelestarian
keanekaragamanan hayati dan area yang dilindungi. Dibawah arahan PHKA,
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), biasanya berada di tingkat
provinsi dan Kantor Taman Nasional adalah perwakilan (unit pelaksana) dari
pemerintah
pusat
dengan
tanggung
jawab
untuk
mengelola
keanekaragaman hayati dan area cagar alam. Pada masa jabatan Joko
Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan digabung menjadi satu
Kementerian (KLHK). Oleh karena itu, struktur dan tanggung jawab
pengelolaan pelestarian keanekaragaman hayati akan berubah. PHKA akan
diubah menjadi Direktorat Jenderal Ekosistem dan Konservasi Sumber Daya
Alam.
Direktorat
Penegakan
Hukum
Kehutanan
didalam
PHKA
akan
dipromosikan menjadi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Kombinasi kapasitas penegakan hukum antara
kementerian tersebut menjanjikan langkah positif dalam upaya menurunkan
kejahatan terhadap satwa liar dan kejahatan kehutanan, walaupun masih
sedikitnya
staf
yang
menangani
penegakan
hukum
setelah
kedua
Kementerian menjadi satu.17
Saat ini, penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia
sangat bergantung pada polisi hutan khusus (polisi hutan atau Polhut) dan
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ditetapkan berdasarkan mandat
UU pelaksana No. 41/1999 mengenai Kehutanan, dan diberikan kewenangan
17 Pokja Kebijakan Konservasi. (2008). Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan &
Kebijakan. Jakarta
khusus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan kehutanan dan
satwa. Operasi polisi hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan
No.
75/2014.
Keputusan
Menteri
No.
56/2014
juga
memungkinkan
Masyarakat Mitra Polhut atau MMP, dimana komunitas dapat direkrut dan
dilatih untuk membantu polisi hutan untuk melindungi hutan dan satwa liar,
ikut dalam patroli, menjalani aktivitas untuk meningkatkan kesadaran, dan
memberikan informasi mengenai aktivitas ilegal.18
Setiap unit pengelolaan (taman nasional atau BKSDA) mempekerjakan polisi
hutan dan PPNS untuk menjalankan patroli untuk kepentingan perlindungan
dan penegakan hukum. Terdapat total 7,908 polisi hutan di seluruh
Indonesia, termasuk 833 polisi hutan yang telah dilatih khusus dan
membentuk satu dari 11 Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) untuk
membantu taman nasional atau BKSDA untuk operasi pengegakan hukum
khusus19. Hanya 2,999 polisi hutan yang berada dalam kewenangan area
yang dilindungi. Selain itu, terdapat 1,841 penyidik sipil (PPNS) yang
ditempatkan di taman nasional dan kantor BKSDA.
Secara keseluruhan, tingkat sumber daya seperti ini masih jauh dari cukup
jika dibandingkan dengan >100 juta hektar area hutan di Indonesa, jumlah
pulau yang banyak dan ratusan area konservasi. Lebih jauh lagi, walaupun
polisi hutan telah diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap satwa, kewenangan mereka
terbatas, dan mereka tidak punya kekuatan yang sama dengan kepolisian
nasional, seperti kemampuan untuk menahan tersangka. Maka penting untuk
meningkatkan kapasitas dan kewenangan polisi hutan dan penyidik sipil
untuk meningkatkan upaya memberantas meningkatnya jumlah kejahatan
yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati yang semakin canggih
(termasuk kejahatan terhadap satwa, perambahan habitat hutan dan biopiracy). Keterbatasan penting kedua adalah sistem yang ada dimana PPNS
tidak dapat langsung mengirimkan catatan kasus ke jaksa. Sebaliknya,
mereka harus mengirimkan dokumen melalui penyidik polisi.
18 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam
Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm.75.
19 Wiratno,dkk, Berkaca dicermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi pengelolaan taman
Nasional, (Jakarta :The Gibon Foundation, 2001), hlm.106-107
BAB III
KESIMPULAN
Jadi
CITES memiliki 4
tipe dokumen dalam perdagangan tumbuhan dan
satwa liar yaitu: (i) Export Permits, (ii) Import Permits, (iii) Re-export
Certificates, dan (iv) Other Certificates. Dokumen tersebut merupakan
dokumen resmi yang hanya bisa dikeluarkan oleh Management Authority
(otoritas pengelolaan) berdasarkan rekomendasi Scientific Authority (otoritas
keilmuan). Untuk kondisi perdagangan satwa langka di Indonesia fakta yang
terjadi adalah banyak spesies yang kelestariannya terancam,perdagangan
satwa bernilai milyaran dollar setiap tahunnya, perdagangan ilegal semakin
berkembang, jika kejahatan terhadap satwa tidak terkontrol, banyak spesies
akan punah. Sedangkan untuk pengaturan hukum untuk satwa liar di
Indonesia di atur dalam UU No. 8/1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHP) untuk prosedur standar untuk penanganan kasus pidana pada
tingkat lembaga pelaksana. Selain itu polisi hutan khusus (polisi hutan atau
Polhut)
dan
penyidik
pegawai
negeri
sipil
(PPNS)
yang
ditetapkan
berdasarkan mandat UU pelaksana No. 41/1999 mengenai Kehutanan, dan
Operasi polisi hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.
75/2014.
DAFTAR PUSTAKA
Cifebrima Suyastri.2012”Mengukur Efektivitas CITES Dalam Menangani
Perdagangan Satwa
Liar Dengan Menggunakan Identiikasi Legalisasi Artikel CITES. Jurnal
Transnasional,
Vol. 4, No. 1, Juli 2012. Universitas Riau.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora , Artikel I, huruf (f), 1973.
Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons, Exploited for Pets: The Harvest and
Trade Of Amphibians and Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney,
2012, hlm.2901-2902.
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera
dan Kalimantan 2007-2017. Jakarta, 2007, hlm.3.
Chairul saleh, Imelda Hilaluddin, Fatni Hanif. Penegakan Hukum Perdagangan
Ilegal Hidupan Liar (Jakarta:Palmedia creative pro.2007), hal. 50
Pokja Kebijakan Konservasi. (2008). Konservasi Indonesia, Sebuah Potret
Pengelolaan & Kebijakan. Jakarta.
MAKALAH LIBRARY RESEARCH
PENEGAKAN HUKUM ATAS PERDAGANGAN SATWA LANGKA INDONESIA
MELALUI CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE OF ENDANGERED
SPECIES DAN UNDANG-UNDANG NASIONAL
Disusun oleh:
Lutfi Salsabila
8111416186
Fitriani Abdi
8111416290
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Shalom.. Om Swastiastu.. Nammo Buddhaya..
Salam Sejahtera Untuk Kita Semua ..
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat serta hidayat-Nya lah kami dapat menyusun makalah dengan judul
“Penegakan Hukum atas Perdagangan Satwa Langka Indonesia Melalui
Convention on International Trade of Endangered Species” ini. Dengan
kesehatan dan ide yang Tuhan berikanlah kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Lingkungan yang diampu oleh dosen matakuliah tersebut. Selain itu, kami
sangat berterima kasih kepada beliau, karena atas penugasan ini kami dapat
belajar lebih luas dan spesifik mengenai hukum lingkungan yang ada di
Indonesia terkhusus mengenai perdagangan satwa langka.
Kami juga sangat berterimaksih kepada pihak-pihak baik yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu kami dalam menyusun
makalah ini. Sehingga dapat terpenuhi lah salah satu tanggung jawab kami
sebagai mahasiswa untuk mengerjakan tugas ini.
Sudah sepantasnya bahwa makalah ini memberikan perhatian yang
cukup terhadap aspek tersebut. Sangatlah diharapkaan adanya kemanfaatan
dalam makalah ini, baik bagi kami
selaku penyusun dan seluruh pembaca.
Tiada manusia yang sempurna, demikian pula tiada makalah yang sempurna.
Kritik dan masukan yang membangun akan sangat membantu memperkaya
khazanah pengatahuan dalam makalah ini.
Semarang, 8 Oktober 2017
Segenap Penyusun
DAFTAR ISI
Sampul
i
Kata Pengantar
Daftar Isi
ii
iii
Daftar Tabel/ Gambar
iii
Daftar Putusan/ Kasus iii
BAB I.PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
C. Metode Penulisan
2
BAB II. PEMBAHASAN
3
A. Sub Pembahasan 1
B. Sub Pembahasan 2
C. Sub Pembahasan 3
BAB III. Kesimpulan
Daftar Pustaka
7
6
3
4
2
DAFTAR TABEL/GAMBAR
Tabel 1.1. Nama Tabel
i
Tabel 1.2. Nama Tabel
ii
Tabel 1.3. Nama Tabel
iii
Tabel 1.4. Nama tabel
iii
Tabel 1.5. Nama Tabel
iii
DAFTAR PUTUSAN/KASUS
Putusan 1
i
Putusan 2
ii
Putusan 3
iii
Putusan 4
iii
Putusan 5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk hidup.
Apabila ada suatu kerusakan pada lingkungan hidup ini, maka akan
menghambat
kelangsungan
hidup
manusia,
hewan,
dan
tumbuhan.
Hambatan itu bisa menjadi begitu besar tergantung seberapa parah tingkat
kerusakan lingkungan hidup. Bahkan pada suatu titik kerusakan lingkungan
hidup dapat memusnahkan suatu sepesies makhluk hidup.
Semakin besar kerusakan lingkungan hidup semakin besar pula dampak
yang akan timbul. Semakin berkembangnya jaman semakin banyak pula
penemuan untuk menjaga lingkungan hidup. Namun, tidak sedikit pula
penemuan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup.
Zaman semakin maju begitu pula pola pikir masyarakat. Tidak hanya itu,
kebutuhan manusia pun semakin rumit. Dulu hanya diperlukan satu pasar
tradisional kecil. Sekarang tidak cukup hanya itu, mulai dari pasar kecil,
toko kecil, pasar besar, toko besar, hingga pusat perbelanjaan yang
setidaknya butuh satu hektar tanah. Akibatnya banyak pengalih fungsian
hutan atau biasa disebut deforestasi untuk membuka ruang pembangunan
modern.
Akibat dari pengalih deforestasi tersebut tentunya berpengaruh terhadap
sumber daya genetika. Salah satunya banyak satwa liar menurun
jumlahnya. Hingga pada akhirnya beberapa diantaranya tidak hanya
disebut satwa liar akan tetapi satwa langka1.
Tidak hanya deforestasi yang mempengaruhi berkurangnya jumlah satwa
liar.
Perdagangan
satwa
di
era
sekarang
sangat
menjadi
pemerintah dalam melindungi dan mempertahankan spesies
momok
satwa.
1 Cifebrima Suyastri.2012”Mengukur Efektivitas CITES Dalam Menangani Perdagangan Satwa
Liar Dengan Menggunakan Identiikasi Legalisasi Artikel CITES. Jurnal Transnasional,
Vol. 4, No. 1, Juli 2012. Universitas Riau
Terkhusus perdagangan satwa langka, yang menjadi ancaman punahnya
suatu spesies satwa.
Hal ini cukup memprihatinkan, dikarenakan setiap satwa sangat berperan
penting dalam rantai makanan di hutan. Apabila suatu rantai makanan
mengalami perubahan jumlah yang cukup tinggi maka akan mempengaruhi
jumlah spesies yang lainnya. Maka dari itu, setiap negara berusaha untuk
menjaga satwa langka yang berhabitat di wilayahnya. Salah satunya dengan
meratifikasi Convention on International Trade of Endangered Species (CITES)
maupun membuat undang-undang nasional sendiri.
Indonesia sendiri menegakan hukum atas perdagangan satwa langka baik
melalui CITES maupun Undang- Undang Nasional. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan spesies satwa langka yang ada di Indonesia. Maka dari itu
sangat
diperlukan
pembahasan
mengenai
penegakan
hukum
atas
perdagangan satwa langka indonesia melalui Convention on International
Trade of Endangered Species dan Undang-Undang Nasional.
CITES mengatur dan mengawasi perdagangan dengan menggunakan “daftar
negatif” seperti perdagangan semua spesies yang diperbolehkan dan tidak
diatur kecuali spesies tersebut muncul di lampiran. Spesies yang dilindungi
terdaftar dalan satu dari tiga lampiran:
• Appendix I, Sekitar 1,200 spesies, dan merupakan spesies yang terancam
punah
atau
dapat
menjadi
terancam
punah
karena
diperdagangkan.
Perdagangan komsersil spesies liar yang ditangkap dari spesies dalam daftar
ini adalah ilegal (hanya diperbolahkan dalam keadaaan khusus untuk tujuan
non-komersil).
Perdagangan
hewan
penangkaran
atau
tanaman
yang
dikembangbiakan secara buatan yang ada dalam daftar Appendix I dianggap
spesies yang termasuk dalam Appendix II, dengan adanya persyaratan (lihat
dibawah). Perdagangan dari spesies ini membutuhkan izin ekspor dan impor,
yang diterbitkan oleh badan pengelolaan di masing-masing negara. Badan
pengelolaan dari negara eksportir diharapkan untuk memeriksa bahwa izin
impor telah ada dan negara importir diharapkan dapat menjaga spesies
dengan baik. Sebagai tambahan, badan ilmiah negara eksportir harus
membuat temuan yang menyatakan tidak ada kerugian, yang menjamin bahwa
ekspor spesies tidak akan berdampak buruk pada populasi satwa liar.
• Appendix II, Sekitar 21,000 spesies, adalah spesies yang tidak terancam
punah, namun dapat terancam punah jika perdagangan spesies tersebut tidak
diatur dengan ketat untuk menghindari pengunaan yang bertentangan dengan
kelangsungan hidup spesies di alam liar. Sebagai tambahan, Appendix II dapat
mencakup spesies yang secara fisik mirip dengan spesies yang sudah terdaftar
dalam lampiran ini. Perdagangan internasional spesies Appendix II dapat
disetujui dengan memberikan izin ekspor atau sertifikat re-ekspor oleh badan
pengelolaan negara eksportir. Tidak ada izin impor yang dibutuhkan walaupun
beberapa pihak menysaratkan hal ini sebagai bentuk peraturan domestik yang
lebih
ketat.
Sebelum
izin
ekspor
diberikan
perusahaan
ekspor
harus
memastikan bahwa ekspor tidak akan berdampak buruk pada populasi spesies
di alam liar.
• Appendix III, 170 spesies, adalah spesies yang terdaftar setelah satu negara
meminta CITES untuk membantu mengkontrol perdagangan spesies tersebut.
Spesies tidak selalu terancam kepunahan global. Di semua negara anggota,
perdagangan spesies ini hanya diperbolehkan dengan izin ekspor dan sertifikat
asal dari negara anggota yang telah mendaftarkan spesies.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengaturan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)?
2. Bagaimana kondisi perdangan Satwa Langka di Indonesia?
3.Bagaimana penerapan hukum untuk pelaku perdagangan Satwa Langka di
Indonesia?
C. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian, penulis
menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1. Metode Studi Pustaka
Metode studi kepustakaan dilakukan untuk menunjang metode wawancara dan
observasi yang telah dilakukan. Pengumpulan informasi yang dibutuhkan
dilakukan dengan mencari referensi-referensi yang berhubungan dengan
penelitian yang dilakukan, referensi dapat diperoleh dari buku-buku atau
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGATURAN Convention on International Trade in Endangered Species
(CITES)
Secara khusus CITES mengatur adanya 4 tipe dokumen dalam perdagangan
tumbuhan dan satwa yaitu: (i) Export Permits, (ii) Import Permits, (iii) Reexport Certificates, dan (iv) Other Certificates. Keempat dokumen ini
merupakan dokumen resmi yang hanya bisa dikeluarkan oleh Management
Authority
(otoritas
pengelolaan)
berdasarkan
rekomendasi
Scientific
Authority (otoritas keilmuan).
a. Management Authority
Management Authority merupakan lembaga resmi yang CITES tetapkan
untuk mengatur dan mengelola perdagangan jenis satwa dari suatu negara.
Management Authority merupakan otoritas pengelola yang harus di miliki oleh
negara untuk mengelola perdagangan satwa baik untuk di gunakan bagi
keperluan
dalam
negeri
maupun
untuk
perdagangan
internasional.
Management Authority dalam pengelolaan perdagangan bekerjasama dengan
otoritas keilmuan (Scientific Authority). Rekomendasi yang di berikan oleh
otoritas keilmuan akan menjadi acuan otoritas pengelolaan dalam memberikan
izin bagi perdagangan satwa. Pada artikel I CITES huruf (f) dijelaskan bahwa :
“Scientific Authority means a national scientific authority designated in
accordance with article IX”.2 Sedangkan Management Authority juga dijelaskan
dalam Artikel I CITES huruf (g), yaitu : “Management Authority means a
national management authority designated in accordance with article IX”.
Management Authority (Otoritas Pengelola), bertanggung jawab dalam
aspek administratif dari pelaksanaan CITES (legislasi, pelaksana legislasi,
penegakan hukum, izin, laporan dua tahunan, komunikasi dengan institusi
CITES lain), sedangkan Scientific Authority (otoritas keilmuan), bertanggung
jawab untuk memberikan saran kepada Management Authority mengenai nondeteriment findings dan aspek-aspek ilmiah lainnya mengenai implementasi
dan pemantauan perdagangan internasional, termasuk memberi usulan kuota.3
2 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel I,
huruf (f), 1973.
3 Pendapat Faustina Hardjanti, Kepala Subdit Konvensi CITES Direktorat Konvensi
Keanekaragaman Hayati-Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (KKH-PHKA), dalam
wawancaranya.
b. Export Permit
Sesuai dengan apa yang telah di kemukakan di atas, bahwa CITES
mengatur adanya empat dokumen resmi sebagai ketentuan yang harus di
penuhi, maka perlu adanya penjelasan mengenai masing-masing dokumen.
Export permit atau izin ekspor merupakan izin yang mengatur mekanisme
pemberian izin bagi masing-masing jenis satwa yang akan di perdagangkan ke
luar negeri. Mengenai pemberlakuan izin ini Artikel VI CITES angka (2)
menyebutkan : “An export permit shall contain the information specified in the
model set forth in Appendix IV, and may only be used for export with in a
period of six month from the date on which it was granted”. Pada pasal ini di
jelaskan mengenai keberlakuan izin ekspor (export permit) hanya enam bulan
sejak izin di berikan. Selain mengenai keberlakuannya, Artikel VI CITES ini juga
mengatur mengenai setiap izin atau sertifikat yang diberikan harus ada
pengesahan dari otoritas pengelola dan nomor pengawasan yang dikeluarkan
oleh otoritas pengelola. CITES mengatur secara khusus mengenai pemberian
izin ekspor perdagangan satwa dari masing-masing jenis yang terlampir dalam
apendiks CITES.
Menurut Artikel III angka (2) disebutkan bahwa:4
“ The export of any specimen of a species included in Apendix I shall require
the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall
only be granted when the following conditions have been met :
a) a Scientific Authority of the state of export has advised that such export will
not be detrimental to the survival of that species.
b) a Management Authority of the State of export is statisfied that the
specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for
the protection of fauna and flora.
c) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment.
d) a Management Authority of the State of export is satisfied that an import
permit has been granted for the specimen”.
Pada Artikel III tersebut di atur mengenai mekanisme pemberian izin
ekspor bagi jenis satwa liar yang termasuk dalam Apendiks I. Sesuai dengan
ketentuan tersebut otoritas harus terlebih dahulu memberikan rekomendasi
bahwa ekspor tersebut tidak mengganggu keseimbangan populasinya di alam
4 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel III, angka (2), 1973.
liar, kemudian otoritas pengelola harus memastikan bahwa ekspor tersebut
tidak melanggar ketentuan perundang-undangan tentang perlindungan satwa.
Setelah dipastikan mengenai ketentuan dari negara asal, maka otoritas
pengelola
juga
harus
memastikan
negara
yang
akan
menjadi
tujuan
meminimalisir gangguan berupa kesehatan dari jenis satwa tersebut. Kemudian
yang terakhir bahwa otoritas pengelola dari negara ekspor harus memastikan
bahwa izin impor telah di berikan. Ketentuan izin ekspor tersebut merupakan
ketentuan yang harus dipenuhi dalam perdagangan jenis satwa liar yang
termasuk apendiks I CITES.
Mengenai ketentuan ekspor untuk jenis satwa yang termasuk dalam
apendiks II CITES, Artikel IV angka (2) CITES dijelaskan bahwa:5
“The export of any specimen of a species included in Appendix II shall require
the prior grant and presentation of an export permit. An export permit shall
only be granted when the following conditions have been met :
a) a Scientific Authority of the State of export has advised that such export
will not be detrimental to the survival of that species;
b) a Management Authority of the State of export is satisfied that the
specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for
the protection of fauna and flora;
c) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment”.
Ketentuan pemberian izin ekspor pada Artikel IV ini juga tidak memiliki
perbedaan yang mendasar, keseluruhan mekanisme sesuai dengan apa yang
diatur pada Artikel III, yang menjadi perbedaan hanya tidak ada ketentuan bagi
otoritas pengelola untuk memastikan izin impor dari negara tujuan. Mengenai
ketentuan ekspor satwa yang termasuk dalam apendiks III, hal ini diatur dalam
Artikel V angka (2) CITES yaitu:6
“The export of any specimen of a species included in Appendix III from any
State which has included that species in Appendix III shall require the prior
grant and presentation of an export permit. An export permit shall only be
granted when the following conditions have been meet :
5 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel IV, angka (2), 1973.
6 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel V, angka (2), 1973.
a) a Management Authority of the State of export is satisfied that the
specimen was not obtained in contravention of the laws of that State for
the protection of fauna and flora
b) a Management Authority of the State of export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment”.
Mengenai izin ekspor untuk satwa liar yang termasuk dalam Apendiks III
diatur bahwa otoritas pengelola memastikan bahwa ekspor tidak melanggar
ketentuan hukum tentang perlindungan satwa, serta memastikan negara
tujuan untuk mengurangi resiko kemungkinan perlakuan yang mengganggu
terhadap satwa liar tersebut. Berdasarkan beberapa ketentuan yang tertera
pada Artikel III, IV, dan V CITES mengenai ekspor tersebut ada perbedaan
ketentuan izin ekspor antara perdagangan satwa yang termasuk dalam
apendiks I, apendiks II, dan apendiks III CITES. Perbedaan ini merupakan
ketentuan yang menjadi tolok ukur kondisi dari jenis satwa yang menjadi
komoditas perdagangan.
c. Import Permit
CITES juga mengatur dokumen perizinan impor untuk perdagangan jenis
satwa. Pengaturan tersebut berdasarkan pada suatu sistem perizinan dan
pemberian sertifikat yang hanya dapat diterbitkan apabila syarat tertentu telah
dipenuhi. Seperti halnya ketentuan ekspor, ketentuan impor ini juga dipisahkan
untuk masing-masing jenis satwa dalam tiap-tiap apendiks. Pada Artikel III
angka (3) CITES diatur mengenai izin impor untuk satwa yang termasuk dalam
apendiks I CITES yaitu:7
“The import of any specimen of a species included in Appendix I shall require
the prior grant and presentation of an import permit and either an export
permit or a re-export certificate. An import permit shall only be granted when
the following conditions have been met:
a) a Scientific Authority of the State of import has advised that the import will
be for purposes which are not detrimental to the survival of the species
involved
b) a Scientific Authority of the State of import is satisfied that the proposed
recipient of a living specimen is suitably equipped to house and care for it
7 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel III, angka (3), 1973.
c) a Management Authority of the State of import is satisfied that the
specimen is not to be used for primarily commercial purposes”.
Pada Artikel III mengenai impor satwa yang termasuk dalam apendiks I
CITES tersebut dijelaskan bahwa izin impor hanya dapat diberikan dengan
syarat-syarat yang telah disebutkan, yaitu bahwa otoritas keilmuan negara
pengimpor
menjelaskan
bahwa
impor
tidak
bertujuan
untuk
merusak/mengganggu keberadaan satwa tersebut, dan menjamin bahwa
negara pengimpor akan merawat dan melindungi keberadaan jenis satwa
tersebut. Mengenai ketentuan izin impor yang termasuk dalam apendiks II,
diatur pada Artikel IV angka (4) CITES yaitu: 8 “The import of any specimen of a
species included in Appendix II shall require the prior presentation of either an
export permit or a re-export certificate”. Izin impor untuk satwa liar yang
termasuk apendiks II CITES ini mensyaratkan bahwa impor harus disertakan
dengan izin ekspor dari negara asal ataupun sertifikat re-ekspor.
d. Re-export Certificates
Ketentuan
mengenai
re-ekspor
ini
mensyaratkan
ketentuan
yang
berbeda untuk masing-masing jenis satwa dalam tiap-tiap apendiks. Pada
Artikel III Angka (4) disebutkan bahwa:9
“The re-export of any specimen of a species included in Appendix I shall
require the prior grant and presentation of a re-export certificate. A re-export
certificate shall only be granted when the following conditions have been met:
a) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that the
specimen was imported into that State in accordance with the provisions of
the present Convention
b) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment
c) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that an import
permit has been granted for any living specimen”.
Ketiga syarat pada artikel tersebut merupakan ketentuan yang harus
dipenuhi pada dokumen re-ekspor, sedangkan untuk satwa yang termasuk
dalam apendiks II CITES diatur dalam Artikel IV Angka (5) yang menyebutkan
bahwa:
10
8 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel IV, angka (4), 1973.
9 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel III, angka (4), 1973.
10 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel IV, angka (5), 1973.
“The re-export of any specimen of a species included in Appendix II shall
require the prior grant and presentation of a re-export certificate. A re-export
certificate shall only be granted when the following conditions have been met:
a) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that the
specimen was imported into that State in accordance with the provisions of
the present Convention
b) a Management Authority of the State of re-export is satisfied that any living
specimen will be so prepared and shipped as to minimize the risk of injury,
damage to health or cruel treatment”.
Untuk ketentuan sertifikat re-ekspor bagi satwa liar yang di masukkan dalam
apendiks III CITES di atur dalam Artikel V Angka (4) CITES.
e. Others Certificate
Sebagai salah satu perjanjian internasional yang cukup baik, CITES
mengatur mengenai kemungkinan dilakukannya perdagangan internasional
dengan negara yang tidak termasuk dalam perjanjian internasional ini. Hal ini
diatur secara khusus dalam Artikel X CITES, yaitu:
11
“Where export or re-export is to, or import is from, a State not a Party to
the present Convention, comparable documentation issued by the competent
authorities in that State which substantially conforms with the requirements of
the present Convention for permits and certificates may be accepted in lieu
there of by any Party”.
Pada Artikel X ini dijelaskan bahwa perdagangan internasional baik
impor, ekspor maupun re-ekspor masih mungkin untuk dilakukan dengan
adanya catatan atau dokumen resmi dari pihak-pihak yang telah berkompeten
untuk mengeluarkan izin seperti yang dijelaskan di dalam CITES baik itu
otoritas keilmuan maupun otoritas manajemen dari negara yang bersangkutan
mengenai status dan keadaan spesies yang diperdagangkan12.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/2003 menetapkan prosedur inspeksi
dan kontrol
dilakukan oleh badan yang berwenang disetiap tingkatan
(BKSDA dan Kantor Pusat PHKA) dalam hal panen, calo, pedagang, orang
yang melakukan pemindahan dan eskportir dan
importer, dan harus
11 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora , Artikel X, 1973.
12 Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons, Exploited for Pets: The Harvest and Trade Of Amphibians and
Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney, 2012, hlm.2901-2902.
sesuai dengan kuota yang dialokasikan. Produksi berbasis tangkapan
spesies mendapatkan arahan dan diatur oleh Keputusan Menteri Kehutanan
No. 19/2005.
Keputusan ini memberikan pedoman dan pengaturan
mengenai tangkapan penangkaran
sesuai dengan Pasal VII CITES dan
Resolusi Konferensi 10.16.
Walaupun kerangka peraturan ini sangat baik, terdapat beberapa masalah
signifikan dengan
undang-undang, yang paling penting adalah daftar
spesies dilindungi mana yang akan
dijadikan Annex Peraturan
Pemerintah No. 7/1999.
Peraturan Pemerintah No. 7/1999: Daftar Spesies yang Dilindungi
Inti dari kerangka peraturan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999,
yang
memberikan daftar spesies yang dilindungi di Indonesia. Daftar ini
mencakup 294 spesies atau kelompok spesies:12
• 70 mamalia, termasuk cetacea.
• 93 burung
• 31 reptil: biawak, gharial dan buaya, beberapa jenis phiton, beberapa
kura-kura air tawar dan kura-kura darat, semua kura-kura laut, kadal
sailfin
• 20 serangga: semua kupu-kupu
• 7 ikan: termasuk sawfish (Pritis spp.)
• 1 karang: karang hitam
• 14 moluska: kerang, nautilus, giant triton, coconut crab.
• 58 tanaman: termasuk anggrek, rafflesia, tanaman pitcher dan
dipterocarps.
Penangkapan dari alam liar dan penjualan spesies diatas adalah pelanggaran
UU No. 5/1990, dengan ancaman hukuman hingga lima tahun penjara dan
denda hingga 100 juta.
Lebih jauh, PP No. 8/1999, Pasal 34, terdapat daftar 11 spesies atau
kelompok spesies yang
hanya bisa digunakan dan dipertukarkan oleh
Presiden Republik Indonesia. Spesies tersebut adalah:
• Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi);
• Babirusa (Babyrousa babyrussa);
• Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus);
• Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis);
• Komodo (Varanus komodoensis);
• Burung Cendrawasih (Semua spesies dari kelompok Paradiseidae);
• Elang Jawa (Spizaetus bartelsi);
• Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae);
• Siamang Mentawai (Presbytis potenziani);
• Orangutan (Pongo pygmaeus); and
• Moloch Jawa (Hylobates moloch).
B. KONDISI PERDAGANGAN SATWA LANGKA DI INDONESIA
Kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa di Indonesia telah menjadi
ancaman
yang
serius
Indonesia. Maraknya
bagi
kejahatan
kelestarian
terhadap
keanekaragaman
tumbuhan
dan
hayati
satwa
di
Indonesia di latar belakangi adanya permintaan pasar terhadap tumbuhan
dan satwa Penyebab utama kepunahan tumbuhan dan satwa di antaranya
adalah
kehilangan,
kerusakan,
serta
berubahnya
hutan
menjadi
pemukiman rumah bahkan kantor, pemanfaatan secara berlebihan dan
perburuan bahkan perdagangan ilegal13. Perburuan dan perdagangan ilegal
satwa masih terus berlangsung atas dasar untuk memenuhi permintaan
pasar
yang
dikonsumsi
di
dan
antaranya
untuk
di
tujuan
gunakan
sebagai peliharaan,
pengobatan
untuk
tradisional, peningkatan
standar kehidupan, perubahan politik dan pembangunan ekonomi. Fakta
yang
terjadi
adalah
banyak
spesies
yang
kelestariannya
terancam,perdagangan satwa bernilai milyaran dollar setiap tahunnya,
perdagangan ilegal semakin berkembang, jika kejahatan terhadap satwa
tidak terkontrol, banyak spesies akan punah.14
13
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan 20072017. Jakarta, 2007, hlm.3.
14 Chairul saleh, Imelda Hilaluddin, Fatni Hanif. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Hidupan
Liar (Jakarta:Palmedia creative pro.2007), hal. 50
Dibawah ini merupakan kasus-kasus perdagangan hewan ilegal yang
ditangani oleh instansi-instansi Indonesia dari hasil penelitian setidaknya
ada
enam
kasus
tentang
perdagangan
hewan
yang masuk dalam
appendix 1 CITES yaitu:
1. 26 Februari 2001, Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, berhasil
menggagalkan penyelundupan ratusan satwa yang disembunyikan di
kamar mesin Kapal Motor Gunung Dempo. Di kapal asal Papua itu
polisi menemukan 11 cenderawasih, 4 burung kakatua hitam, 100 tupai
terbang, 4 bayan hitam, 3 bayan hijau, 5 burung nuri kepala hitam, 30
ular, dan 25 kadal.
2. Pada bulan
Juni
2003
Departemen Kehutanan
Polisi
Daerah
dengan
Jakarta
dibantu
dan
oleh
petugas
ProFauna
PHKA
Indonesia
berhasil menggagalkan rencana penyelundupan dua ekor orang utan ke
Thailand. Semula kedua oangutan itu akan diselundupkan dengan
menggunakan pesawat China airlines lewat bandara Internasionmdal
Soekarno Hatta Jakarta.
Sebelum kedua orang utan tersebut diterbangkan, puluhan polisi
menyergap
dan
menangkap
para
penyelundup
orang
utan
itu.Penangkapan penyelundup orangutan itu merupakan hasil kerja
keras ProFauna
untuk
membongkar
sindikat
perdagangan
primata
di Indonesia.
Kasus penyelundupan orangutan Juni itu kemudian diproses di
pengadilan dengan terdakwa
utama
adalah
orang Thailand yang
berdomisili di Indonesia. Telah menyelundupan orang utan ke luar
negeri. Tapi ini tidak bisa
dibuktikan di pengadilan,
dikarenakan
kurangnya keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani kasus
ini.
Meski
penyelundupan
orang
salahsatu orangutan itu mati
utan
itu
berhasil
digagalkan,
akibat over dosis. Orang utan
itu
diselundupan dengan cara dibius, kemudian dimasukan dalam kotak
kardus kecil.
3. Sementara itu
pada
tanggal
2
oktober
2009
digagalkan
upaya
penyelundupan 16 ekor elang dan satwa lainnya ke Jepang lewat
Bandara
Ngurah
Rai.
Sedangkan
Pulau
Talaud
patut
mendapat
perhatian serius karena masih menjadi jalur penyelundupan satwa ke
Philipina
lewat
jalur
laut.
Terbukti
dengan
digagalkannya
upaya
penyelundupan 234 satwa lewat Talaud pada tanggal 8 Januari 2009.
4. Pada tanggal 17 Oktober 2011 petugas Bea cukai pelabuhan Tanjung
Priok berhasil mengagalkan upaya penyelundupan Trenggiling dengan
tujuan Vietnam seberat 7136 kg.
5. Pada tanggal 10 Maret 2011 sebanyak 30 ekor ikan hiu loreng, hiu
kejen, hiu lonjor, dan hiu martil diturunkan dari perahu. Pemilik kapal
tersebut mengaku menjual satu ekor daging hiu sekitar Rp 30 juta
tergantung berat dari ikan tersebut, sedangkan untuk siripnya di hargai
15 juta, sirip tersebut nantinya akan di bawa ke surabaya kemudian di
eksportir menuju Hongkong dan Taiwan.
6. Sedangkan di tahun 2012 sendiri sudah ada lebih dari 200 ekor penyu
berbagai jenis
yang
berhasil
berbagai pihak
seperti
digagalkan
Kepolisian
dan
penyelundupannya
Bea
Cukai,
dari
oleh
berbagai
wilayah di Indonesia. “Terbaru, kemarin juga digagalkan lagi upaya
penyelundupan penyu di NTT dengan jumlah yang lebih besar lagi.
Indonesia
menggelar
operasi
besar-besaran
pemberantasan
perdagangan hewan di perairan Maluku Tenggara atau kepulauan laut
arafuru oleh tim gabungan dari Mabes Polri dan Polda Maluku Tim
gabungan tersebut terdiri atas unsur Bareskrim Polri, Pol. Udara,
Dokkes dan Div. Humas, yang dipimpin langsung oleh Brigjen. Pol.
Hadiatmoko Direktur V/Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri.
Dari beberapa kali gelar operasi, maka selama operasi di gelar
diperairan Tual, telah ditangkap 7 buah kapal jenis Tramper dan Trawl
dengan ABK sebanyak 160 orang (160 orang WN Thailand, 8 orang
WNI dan 1 orang WN Myanmar), dengan hasil tangkapan ikan beku
dan trenggiling sebanyak +- 1.932 ton.
C. PENERAPAN HUKUM UNTUK PELAKU SATWA LANGKA INDONESIA
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), terdapat empat
lembaga pemerintah yang secara langsung menangani penegakan hukum;
penyidik kepolisian, jaksa penuntut, penjara dan pengadilan, walaupun
fungsi dari pengadilan adalah untuk mengadili kasus yang disampaikan
penegak hukum (kasus pidana) atau lembaga pemerintah lain dan publik
(kasus perdata). Kepolisian adalah satu-satunya institusi yang beroperasi
pada tingkat kecamatan sementara ketiga lembaga lainnya beroperasi pada
tingkat
kabupaten/kota,
dimana
pengadilan
negeri
berada,
provinsi
(pengadilan tinggi), dan nasional (mahkamah agung). Biasanya, setiap
institusi pada tingkat yang lebih rendah harus melapor ke atau berkoordinasi
dengan rekan mereka pada tingkat yang lebih tinggi. Pengadilan ini
diharapkan untuk melakukan pengambilan keputusan yang independen pada
setiap perkara di tingkat mereka.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Prosedur standar untuk penanganan kasus pidana pada tingkat lembaga
pelaksana diatur dalam UU No. 8/1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHP). Hukum Pidana secara umum diterapkan untuk semua tipe
kejahatan kecuali disebutkan secara khusus dalam UU lain, dan jika hal ini
terjadi maka prioritas diberikan kepada UU lain sesuai dengan prinsip les
specialis derogate lex generali (misal Hukum Konservasi (kejahatan khusus)
lebih diutamakan dibandingkan dengan KUHP (kejahatan umum) 15. Oleh
karena itu, dalam prakteknya, peradilan kejahatan terhadap satwa atau
pelanggaran konservasi harus menggunakan UU Konservasi atau Kehutanan
dibandingkan Hukum Pidana, walaupun beberapa kejahatan dirinci dalam
hukum pidana dapat juga digunakan sebagai tuntutan sekunder atau tersier
untuk mendukung tuntutan utama16. Demikian pula, semua prosedur untuk
penyidikan dan tuntutan kejahatan harus menggunakan Hukum Acara Pidana
kecuali disebutkan dalam hukum khusus yang lain.
Penanganan masalah hukum dalam pelestarian hutan dan keanekaragaman
hayati tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana, tapi juga termasuk
15 Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm.37.
16 Muhammad Iqbal, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Dan Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin Di
indonesia, Jurnal Beraja NITI Volume 3 Nomor 3, Samarinda, 2014,hlm.2.
dalam undang-undang administratif dan undang-undang sipil. Contoh dari
tuntutan hukum sipil termasuk ketika pemerintah dituntut oleh publik karena
konflik kepemilikan tanah, atau pemerintah dituntut perusahaan karena
perilaku tidak pantas. Sebagai contoh praktis, pemerintah pernah dituntut
menggunakan hukum administratif karena memberikan hak perkebunan di
Cagar Alam Rawa Singkil, Aceh, yang menjadi habitat orang-utan.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Sebelum
Januari
2015,
Direktorat
Jenderal
Perlindungan
Hutan
dan
Konservasi Alam (PHKA) yang berada di dalam Kementerian Kehutanan
adalah
institusi
yang
bertanggung
jawab
untuk
pelestarian
keanekaragamanan hayati dan area yang dilindungi. Dibawah arahan PHKA,
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), biasanya berada di tingkat
provinsi dan Kantor Taman Nasional adalah perwakilan (unit pelaksana) dari
pemerintah
pusat
dengan
tanggung
jawab
untuk
mengelola
keanekaragaman hayati dan area cagar alam. Pada masa jabatan Joko
Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan digabung menjadi satu
Kementerian (KLHK). Oleh karena itu, struktur dan tanggung jawab
pengelolaan pelestarian keanekaragaman hayati akan berubah. PHKA akan
diubah menjadi Direktorat Jenderal Ekosistem dan Konservasi Sumber Daya
Alam.
Direktorat
Penegakan
Hukum
Kehutanan
didalam
PHKA
akan
dipromosikan menjadi Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Kombinasi kapasitas penegakan hukum antara
kementerian tersebut menjanjikan langkah positif dalam upaya menurunkan
kejahatan terhadap satwa liar dan kejahatan kehutanan, walaupun masih
sedikitnya
staf
yang
menangani
penegakan
hukum
setelah
kedua
Kementerian menjadi satu.17
Saat ini, penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia
sangat bergantung pada polisi hutan khusus (polisi hutan atau Polhut) dan
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ditetapkan berdasarkan mandat
UU pelaksana No. 41/1999 mengenai Kehutanan, dan diberikan kewenangan
17 Pokja Kebijakan Konservasi. (2008). Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan &
Kebijakan. Jakarta
khusus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan kehutanan dan
satwa. Operasi polisi hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan
No.
75/2014.
Keputusan
Menteri
No.
56/2014
juga
memungkinkan
Masyarakat Mitra Polhut atau MMP, dimana komunitas dapat direkrut dan
dilatih untuk membantu polisi hutan untuk melindungi hutan dan satwa liar,
ikut dalam patroli, menjalani aktivitas untuk meningkatkan kesadaran, dan
memberikan informasi mengenai aktivitas ilegal.18
Setiap unit pengelolaan (taman nasional atau BKSDA) mempekerjakan polisi
hutan dan PPNS untuk menjalankan patroli untuk kepentingan perlindungan
dan penegakan hukum. Terdapat total 7,908 polisi hutan di seluruh
Indonesia, termasuk 833 polisi hutan yang telah dilatih khusus dan
membentuk satu dari 11 Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) untuk
membantu taman nasional atau BKSDA untuk operasi pengegakan hukum
khusus19. Hanya 2,999 polisi hutan yang berada dalam kewenangan area
yang dilindungi. Selain itu, terdapat 1,841 penyidik sipil (PPNS) yang
ditempatkan di taman nasional dan kantor BKSDA.
Secara keseluruhan, tingkat sumber daya seperti ini masih jauh dari cukup
jika dibandingkan dengan >100 juta hektar area hutan di Indonesa, jumlah
pulau yang banyak dan ratusan area konservasi. Lebih jauh lagi, walaupun
polisi hutan telah diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap satwa, kewenangan mereka
terbatas, dan mereka tidak punya kekuatan yang sama dengan kepolisian
nasional, seperti kemampuan untuk menahan tersangka. Maka penting untuk
meningkatkan kapasitas dan kewenangan polisi hutan dan penyidik sipil
untuk meningkatkan upaya memberantas meningkatnya jumlah kejahatan
yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati yang semakin canggih
(termasuk kejahatan terhadap satwa, perambahan habitat hutan dan biopiracy). Keterbatasan penting kedua adalah sistem yang ada dimana PPNS
tidak dapat langsung mengirimkan catatan kasus ke jaksa. Sebaliknya,
mereka harus mengirimkan dokumen melalui penyidik polisi.
18 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam
Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm.75.
19 Wiratno,dkk, Berkaca dicermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi pengelolaan taman
Nasional, (Jakarta :The Gibon Foundation, 2001), hlm.106-107
BAB III
KESIMPULAN
Jadi
CITES memiliki 4
tipe dokumen dalam perdagangan tumbuhan dan
satwa liar yaitu: (i) Export Permits, (ii) Import Permits, (iii) Re-export
Certificates, dan (iv) Other Certificates. Dokumen tersebut merupakan
dokumen resmi yang hanya bisa dikeluarkan oleh Management Authority
(otoritas pengelolaan) berdasarkan rekomendasi Scientific Authority (otoritas
keilmuan). Untuk kondisi perdagangan satwa langka di Indonesia fakta yang
terjadi adalah banyak spesies yang kelestariannya terancam,perdagangan
satwa bernilai milyaran dollar setiap tahunnya, perdagangan ilegal semakin
berkembang, jika kejahatan terhadap satwa tidak terkontrol, banyak spesies
akan punah. Sedangkan untuk pengaturan hukum untuk satwa liar di
Indonesia di atur dalam UU No. 8/1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHP) untuk prosedur standar untuk penanganan kasus pidana pada
tingkat lembaga pelaksana. Selain itu polisi hutan khusus (polisi hutan atau
Polhut)
dan
penyidik
pegawai
negeri
sipil
(PPNS)
yang
ditetapkan
berdasarkan mandat UU pelaksana No. 41/1999 mengenai Kehutanan, dan
Operasi polisi hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.
75/2014.
DAFTAR PUSTAKA
Cifebrima Suyastri.2012”Mengukur Efektivitas CITES Dalam Menangani
Perdagangan Satwa
Liar Dengan Menggunakan Identiikasi Legalisasi Artikel CITES. Jurnal
Transnasional,
Vol. 4, No. 1, Juli 2012. Universitas Riau.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora , Artikel I, huruf (f), 1973.
Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons, Exploited for Pets: The Harvest and
Trade Of Amphibians and Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney,
2012, hlm.2901-2902.
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera
dan Kalimantan 2007-2017. Jakarta, 2007, hlm.3.
Chairul saleh, Imelda Hilaluddin, Fatni Hanif. Penegakan Hukum Perdagangan
Ilegal Hidupan Liar (Jakarta:Palmedia creative pro.2007), hal. 50
Pokja Kebijakan Konservasi. (2008). Konservasi Indonesia, Sebuah Potret
Pengelolaan & Kebijakan. Jakarta.