Al Ghazali Pengembaraan Intelektual dan

AL-GHAZALI
GHAZALI ; PENGEMBARAAN INTELEKTUAL
DAN PERGOLAKAN BATIN MENUJU KEHIDUPAN SUFISTIK,
KONSEP MA’RIFAH, MENDAMAIKAN SYARIAH DAN TASAWUF,
DAN PENGARUHNYA DI DUNIA ISLAM

Makalah
Disampaikan Pada Seminar Kelas
Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam
Semester 1 Kelompok VII Program Pascasarjana (S2)
Oleh :
N U R D I N

NIM. 80100213100

Dosen Pemandu :
Dr. H. Muh. Natsir Siola, MA
Dr. M. Sabri AF, MA

PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai khalifah di muka
bumi ini memiliki sejarah perjalanan hidup yang berbeda-beda. Dinamika
kehidupan yang dialami oleh setiap orang telah membentuk sebuah
kepribadian. Dengan demikian, setiap orang pasti akan belajar
mengembangkan intelektualitas, moralitas dan emosionalitasnya untuk
dapat menghadapi gelombang kehidupan. Akan tetapi, perjalanan hidup
setiap orang, betapapun indah atau tragisnya tak akan mampu
menimbulkan kekaguman atau simpati siapa pun, bila tak pernah
diceritakan, terlebih lagi jika tidak dituliskan. Generasi kini, terlebih
generasi mendatang tak akan pernah mampu belajar dan mengambil
hikmah dalam perjalanan kehidupan seseorang, kalau ia tak pernah
mendengar, apalagi membacanya.
Kekuatan profil atau biografi sangat besar manfaaatnya bagi anak
cucu, keluarga dan masyarakat. Dalam sebuah profil atau biografi, kita
dapat merekonstruksi dan menilai perjalanan hidup seseorang, baik itu

perkembangan moral, intelektual, karir, emosi, pandangan hidupnya dan
berbagai dimensi kehidupan yang telah dilaluinya. Tak dapat dipungkiri
bahwa banyak orang yang hebat dan berhasil di bidangnya, ternyata salah
satunya karena ia banyak belajar dari perjalanan hidup seseorang.
2

Begitupun perjalanan intelektual dan spritual salah satu tokoh
penting dalam dunia Islam yang dikenal dengan panggilan Hujjah Al-Islam
Imam Al-Ghazali, ia telah banyak memberikan sumbangsih dalam bidang
intelektualitas, Spritualitas keislaman pada masyarakat dunia secara
umum, dan pada masyarakat Islam secara khusus.
Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam
dunia agama telah banyak melahirkan intelektual islam. Banyak orang yang
sangat mengagumi ketinggian ilmu dan keluasan pengetahuan sang Hujjah
al-Islam, Imam Al-Ghazali. Mereka tanpa segan mengagungkannya hingga
taraf ”mengkultuskan” figur sang imam. Bahkan ada yang mengatakan,
andaikan ada nabi setelah Muhammad, Ghazali-lah orangnya.1 Pribadipribadi teladan yang dihasilkan Al-Ghazali adalah mereka yang kita kenal
sebagai tokoh-tokoh yang gaya kehidupannya telah disaksikan oleh sejarah
dan yang pasti dikenali oleh kita semua karena kebijakan-kebijakan insani,
nilai-nilai, semangat dan moral mereka yang luar biasa. Mereka ini

melestarikan dan mengembangkan perjuangan Islam dan melindungi
tradisi Muhammad dengan segenap jiwa, waktu, tenaga, pikiran, harta,
pemikiran dan semua yang dimiliknya.2

1. Lihat Nicholson, 2002 : 56, di dalam Majmu’ah Rasa’il al-Imam al-Ghazali, yang
diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyady dengan judul Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Buku
Kedua (cet I ; Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2002) h. xi
2. Salah satu muridnya yang paling cerdas adalah Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi
Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin karya imam Ghazali.
Disamping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al Ghazali. Lihat juga
http://donggalagenius.blogspot.com/2013/01/kabir-qutubuzzaman-al-ghazali-ra.html.
diakses

3

Mencintai dan mengaguminya tidaklah cukup. Lebih penting lagi
adalah adanya usaha memahami dan mengerti tentang mereka, itu akan
memberikan dampak yang luar biasa untuk bisa menyulut semangat,
cahaya, kepekaan insani, dan memberikan arah perjuangan dalam
kehidupan kita sendiri. Dengan demikian, untuk membantu rakyat dan kita

semua untuk memahami mereka, sejatinya ada satu generasi atau orang
yang simpatik dengan perjalanan tokoh-tokoh Islam untuk menuliskan
catatan perjalanan tokoh-tokoh tersebut lewat aksi, kebijakan, dan
pemikiran-pemikiran mereka yang telah dituangkan dalam berbagai
bentuk buku-buku atau makalah yang beredar dengan menggunakan
seluruh sumber yang kita miliki untuk memperkenalkan aliran pemikiran
mereka, gaya hidup, arah sosial dan peranan historis, serta budaya dari
pribadi-pribadi teladan ini.
Mencermati realitas ini, maka upaya untuk menuliskan dan
membukukan perjalanan hidup Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang juga
merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena itulah, penulis bermaksud
mengurai lebih sederhana dari perjalanan dan pengembaraan Intelektual
dan pergolakan batin menuju kehidupan sufistik, konsep Ma’rifah,
mendamaikan Syariah dan tasawuf, dan pengaruhnya terhadap dunia
Islam.

pada tanggal 25 Nopember 2013

4


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas,
maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengembaraan intelektual imam al-Ghazali dan pergolakan
batin menuju kehidupan yang sufistik?
2. Apa konsep ma’rifat, syarat-syarat dan tahapan-tahapan yang harus
dilalui seorang sufi?
3. Bagaimana mendamaikan syariat dan tasawuf serta pengaruhnya
dalam Dunia Islam?

5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengembaraan intelektual Imam al-Gazali dan pergolakan menuju
kehidupan sufistik
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang lebih
dikenal Imam al-Ghazali, ketika ia masih kecil, beliau dan saudaranya
diserahkan kepada ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, alGhazali mempelajari ilmu fiqhi dan bahasa Arab. Dari sana, al-Ghazali
meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di kota ini dia

belajar kepada imam Al-Haramain yang mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan. Disini pulalah dia mulai memperdalam berbagai disiplin
ilmu, seperti logika, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya yang dianggap
penting. Karena kecerdasannya itulah imam Al-Haromain mengatakan alGazali itu adalah lautan tak bertepi.3
Beberapa tahun kemudian, al-Ghazali pindah ke Baghdad sebagai
kota pusat peradaban dan kebudayaan Islam pada masa itu. Disini dia
mulai mengajarkan ilmunya, dan pada akhirnya ia mulai dikenal oleh
khalayak ramai karena kecerdasannya dalam menyampaikan ilmunya ke
banyak orang. Kebesaran jiwa yang

tumbuh dalam pribadi imam al-

Ghazali mendapat perhatian dari perdana menteri Nizham Al-Mulk yang
pada masa itu memerintah dibawah Dinasti Sultan Saljuk. Atas
3 . Lihat Ummu Kalsum, Ilmu tasawuf, (Makassar, 2003), h. 61

6

kebijaksanaan perdana menteri itu, al-Ghazali diangkat menjadi guru besar
pada Universitas Nizhamiyah pada tahun 484 Hijriyah.

Kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan,
membuat namanya masyhur dimata orang-orang yang ada disekitarnya.
Dengan kemasyhurannya tersebut membuatnya terpengaruh dan cinta
terhadap materi, mengharapkan kehormatan, kemewahan dan harta
benda. Tetapi pengaruh tersebut tidak lama menyelinap pada dirinya,
karena kemudian

timbul pergolakan-pergolakan dalam batinnya,

pergolakan dan pertentangan antara ilmu dan amal.4
Pergolakan yang muncul di dalam batinnya itu membuatnya jatuh
sakit. Seorang dokter yang hendak menolongnya mengatakan bahwa
penyakitnya sukar disembuhkan, karena penyakit itu bukan berasal dari
luar, melainkan datang dari dalam. Oleh karena itu, segala pengobatan
yang datang dari luar tidak akan mampu membawa manfaat baginya.
Oleh sebab itu beliau berusaha untuk mengobati penyakitnya
dengan kekuatan jiwanya sendiri. Dengan kembali ke jalan-Nya, al-Ghazali
bermunajat dan memohon pertolongan kepada Allah agar disembuhkan
dari segala penyakit yang menderanya. Akhirnya, berkat anugerah Allah,
sakitnya menjadi sembuh, bahkan beliau mendapat ilham dan petunjuk

dari-Nya. Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi tabah serta
4. Al-Ghazali, Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal, Terjemahan oleh Achmad Khudori Soleh
dengan judul, Kegelisahan al-Ghazali; Sebuah Otobiografi Intelektual, (Cet. I ; Bandung : Pustaka
Hidayah, 1998), h. 8

7

memperoleh kepastian tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan segala
kemewahan dunia, harta kekayaan, kehormatan dan keluarganya yang ada
di Baghdad untuk kemudian pergi Suriah pada tahun 489 H. Sebelumnya,
segala harta kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan
terlebih dahulu. Di kota Damaskus, baliau tinggal selama sebelas tahun.5
Di Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatan dengan
melakukan

khalwat,

beriktikaf,

menyucikan


diri

dan

jiwanya,

membersihkan akhlak dan budi pekertinya. Ia selalu berpikir tentang Allah.
Sehingga dari sini kemudian beliau hijrah ke Yerussalem. Di sini pun beliau
menetap dan berkhalwat di masjid Baitul Maqdis. Beberapa tahun
kemudian, beliau menuju Mesir, Mekkah dan Madinah untuk menunaikan
ibadah Haji dan ziarah ke maqam Nabi Muhammad SAW.
Dari pengembaraan intelektual dan spritual yang dilakukan oleh AlGhazali itu berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama, ia akhirnya
kembali ke Baghdad dan menetap disana. Setelah kedatangannya, ia
kemudian diminta kembali oleh perdana menteri Nizham Al-Mulk untuk
menjadi guru besar pada universitas Nizhamiyah pada tahun 500 H. Yang
bersamaan dengan tahun 1106 Masehi.
Setelah mengarungi lautan hidup yang luas ini yang penuh dengan
lika-liku dan tantangan yang begitu luar biasa, menyelami ilmu yang sangat
dalam serta perjalanan spritual yang begitu bermakna. Dan pada akhirnya

5. Al-Ghazali, Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal, ibid. h. 9

8

beliau berpulang ke rahmatullah pada tanggal 9 Desember 1111 M. (505
Hijriyah).
B. Konsep Ma’rifat, Syarat-syarat dan Tahapan-tahapan yang Harus
Dilalui Seorang Sufi.
1. Pengertian Ma’rifat.
Dari segi bahasa Ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan,
ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat pula
berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih
tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada umumnya.
Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam bathinnya dengan mengetahui
rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia
sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala
yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma’rifat digunakan untuk
menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Ma’rifat muncul
seiring dengan adanya istilah Tasawwuf, dimana dalam Tasawwuf (dalam

hal ini para sufi) berusaha melakukan pendekatan dan pengenalan kepada
Allah untuk mencapai tingkat ma’rifatullah yang tinggi. Disaat itulah mulai
dikenal istilah Ma’rifat.
Agar tidak terjadi kesalahan persepsi atas ma’rifat, ada baiknya kita
mendalami kata ini secara komprehensif menurut pandangan dari sufi
pertama yang berbicara tentang ma’rifat yang spesifik tentang tasawwuf
9

yaitu Dzunnun al-Mishri, beliau berpendapat bahwa “Ma’rifat Sufistik pada
hakekatnya adalah ‘irfan atau Gnost. Tujuan ma’rifat menurut beliau
adalah berhubungan dengan Allah, musyahadat terhadap wajah Allah
dengan kendalinya jiwa basyariyah kepada eksistensinya yang inhern,
wasilahnya dan mujahadah diolah menjadi jalan spiritual. Ma’rifat datang
ke hati dalam bentuk kasyf dan Ilham. Dalam arti Sufistik, ma’rifat
diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan ini lengkap dan jelas sehingga jiwa merasa satu dengan Allah.
Harun Nasution, mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan
hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan sanubari.
Dalam artian mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat
melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan :
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka,
mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya
hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin, kalau seorang yang arif melihat ke cermin
maka yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang
yangmelihatnya akan mati karenatak tahan melihat kecantikan
danbentuk keindahannya, dan semuacahaya akan menjadi gelap
disamping cahaya keindahan yanggilang gemilang.6

Dari beberapa definisi di atas dapat kita fahami bahwa ma’rifat
adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dengan hati sanubari. Tujuan
yang ingin dicapai ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang

6. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang,
1999), h. 74

10

terdapat dalam diri Tuhan. Sebagaimana dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat
datang sesudah mahabbah, hal ini disebabkan karena ma’rifat lebih
mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan
kecintaan7.
Ma’rifat dalam arti harfiah adalah Pengenalan seorang Hamba
terhadap Tuhannya, dalam hal ini adalah Allah, karena tujuan utama dari
seorang hamba adalah mengenal Tuhannya dengan baik dan berusaha
mencintai-Nya.
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta
kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia
menduduki derajat atau level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54).
….          …

Artinya :
… Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin ….8

Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada
lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantarpengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain-lain nantinya
akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah). Ma’rifat kepada
Allah adalah puncak tujuan seseorang hamba. Maka apabila Tuhan telah
7. ‫اﻟﺘﻌﺮف ﻟﻤﺬھﺐ أھﻞ اﻟﺘﺼﻮف‬. Al-Kalazabi, A.M dalam Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme
dalam Islam, bab tentang Ma’rifah, h. 73
8. Mohammad Taufiq, Quran In Word (Aplikasi Ver. 1.2.0 ; Taufiq Product).

11

membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal kepada-Nya, tidak
usahlah kau hiraukan berapa banyak amal perbuatanmu; meskipun masih
sangat sedikit amal kebaikanmu sekalipun. Sebab ma’rifat merupakan
suatu karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak
bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Fitrah manusia mengenal Allah, baik dalam pengertian ‘aam
(umum) maupun dalam arti khush (khusus). Yang dimaksud mengenal
Allah dalam pengertian umum ialah pengenalan iman kepada Allah,
sebagaimana yang dikaji dalam ‘aqoidul iman yang sangat mendasar.
Itulah ilmu tauhid yang disebut sebagai inti agama. Atau pokok dari segala
yang pokok. Dengan kata lain, tauhid merupakan keyakinan yang paling
dasar untuk diajarkan kepada setiap manusia sebelum lebih jauh menjalar
pada aspek-aspek lain dalam agama.
Adapun yang dimaksud pengenalan secara khusus ialah mengenal
Allah dalam arti Ma’rifatullah (melihat Allah) dengan mata hati. Maka ia
melihat “Tak ada perbuatan yang bertebaran di alam ini, kecuali perbuatan
Allah; Tak ada nama yang melekat pada suatu apapun,melainkan nama
Allah; Tak ada sifat yang mewarnai diri, kecuali sifat Allah; Tak ada zat yang
meliputi makhluk, melainkan Zat Allah”.9
Anugerah Allah kepada hamba yang dikasihi–Nya merupakan lensa

9. http://tonydreamtheater.wordpress.com/2012/03/20/apa-itu-marifat/. di akses pada
tanggal, 25 November 2013

12

ma’rifat yang hakiki kepada-Nya. Sebab bagi orang yang tak dapat
anugerah Allah, ia mengenal Tuhan mereka menurut versi angan khayal
mereka. Seperti Fir’aun yang menuhankan dirinya, Namrud menuhankan
patung batu (arca) dan di zaman kini banyak orang yang menuhankan
sesuatu selain Allah, seperti menuhankan kekuatan alam dan teknologi.
Mereka itu sebagai contoh orang yang tidak mendapat anugerah ma’rifat
dari Allah.
Jika Allah telah menunjukkan kepada hamba-Nya dengan sebagian
sebab-sebab sehingga ia menjadi orang yang ma’rifat,

kemudian

kepadanya dibukakan pintu ke-ma’rifat-an yang tetap (sakinah) sehingga ia
mendapat ketenangan yang luar biasa.
Dan ini merupakan nikmat yang paling besar.Apabila kamu
dibukakan pintu ma’rifat yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan
amalmu yang sedikit. Sebab di atas telah diterangkan bahwa ma’rifat itu
adalah anugerah dari Allah yang datangnya tidak menggantungkan akan
banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada
hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada
Tuhannya. Dimisalkan; anugerah itu seperti martabat seorang budak yang
diangkat oleh raja menjadi perdana menteri. Adapun amal ibadah
seumpama upeti rakyat kepada rajanya. Maka betapa sangat jauh

13

perbedaan antara keduanya.
Sesungguhnya

maksud

dan

tujuan

kebanyakan

manusia

memperbanyak amal kebaikan itu adalah agar mereka dapat mendekatkan
(Taqarrub) dirinya kepada Allah dengan amal itu. Tetapi perlu disadari
bahwa itu tidak akan berubah maksudnya karena banyak atau sedikitnya
amal seorang hamba.
Dalam hal ini dapat dimisalkan seperti orang yang sedang
menderita sakit, disebabkan penyakit yang dideritanya maka menjadi
berkuranglah ibadahnya kepada Allah. Boleh jadi penyakit yang
dideritanya itu sebagai sebab dan isyarat terbukanya pintu ke-ma’rifat-an
kepada Allah.
Oleh sebab itu jangan mempunyai perasaan banyaknya amal ibadah
yang tertinggal disebabkan sakit. Dengan sakit yang dideritanya itubisa
merasa dekat dengan Allah. Perasaan lapang dada, luas hatinya dan telah
meninggalkan berbagai kenikmatan dunia seraya diiringi oleh rasa cinta
negeri akhirat. Juga telah siap tuk meninggalkan dunia nan fana sebelum
kematian itu datang. Ini juga sebagai pertanda orang yang telah
mendapatkan Nur Ilahiatau anugerah Allah. Kesadarannya bahwa Allah
bisa berbuat apa saja menurut kehendaknya, sebagai tanda kearifannya.
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa “ma’rifat yang
dimiliki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena

14

merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya10.
Tujuan utama ajaran tasawuf adalah mencapai penghayatan
ma’rifat pada Dzatullah. Ma’rifat dalam tasawuf adalah penghayatan atau
pengamalan jiwa. Karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan
pikiran atau panca indera, tetapi hati atau kalbu. Dalam ajaran tasawuf
hati atau kalbu merupakan organ yang amat penting karena dengan mata
hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada alam gaib
dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifat pada Dzatullah”.
Al-Gazali berkata: “Kemuliaan dan kelebihan manusia yang mengatasi
segala mahluk lainnya adalah kesiapannya ma’rifat pada Allah yang di
dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaan diakhir
merupakan harta dan simpanannya, alat untuk mencapai penghayatan
adalah kalbu atau hati, hati pula yang membuka tabir untuk menghayati
alam gaib yang berada disisi Allah. Adapun anggota badan adalah
khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, hati akan diterima
Allah apabila bersih dari selain Allah hati itu akan terdinding dari Allah
apabila tertimbun selain Allah, hati yang mencari Tuhan, hati pula yang
diperintahkan untuk beribadah padanya serta mendekatkan dirinya,
berbahagialah bila hatinya bersih, dan celakalah bila hatinya kotor dan
sesat, bila manusia kenal kepadanya pasti kenal akan Tuhannya
sebaliknya tidak mengenal hatinya pasti tak kenal akan tuhannya”.11

Dari ungkapan imam Al-Gazali tersebut di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa manusia pada hakekatnya berasal dari Allah dan
kembali kepada Allah yang satu yaitu sebagaimana dijelaskan dalam AlQuran surah Al-Ikhlas ayat 1:

10. (http://constantine23.wordpress.com/2013/04/03/syariat-tarikat-hakikatmakrifat.html), di akses pada tanggal, 22 November 2013, Pukul 02 : 28 Wita.
11. Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 122-123.

15

‫ﻗﻞ ﻫﻮ اﷲ اﺣﺪ‬

Terjemahannya:
12
“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah yang Maha Esa”.

2. Syarat-syarat Ma’rifat
Bila seseorang ingin mencapai tingkat yang paling tinggi dalam
perjalanan tasawuf “Ma’rifatullah”13, maka diperlukan syarat-syaratnya
sebagai berikut:
a. Harus memiliki nilai, dan tekad serta keyakinan ingin bertemu
dengan Allah.
b. Pembersihan jiwa melalui takhali dan tahalli.14
c. Senantiasa mensyukuri nikmat Allah.
d. Dalam situasi apapun dia selalu mengingat Allah.
e. Harus dapat mengenal diri pribadinya.
f. Harus mengenal sifat-sifat Allah.
g. Menyukai tafakkur.
h. Mengenal

segala

sesuatu

di

dunia

ini,

senantiasa

dikembalikan pada sumbernya yang Sang Penciptanya.
3. Tahapan-tahapan yang harus dilalui Sufi (Maqam)
Perjalanan dari fase ke fase berikutnya adalah perjalanan yang berat

h. 1118.

12. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surbaya: Al-Hidayat, 1989),

13. K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 18-19.
14. Takhalli adalah membersihkan atau mengosongkan diri dari dosa dan sifat-sifat
tercela sedangkan tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan yang
diperintahkan Allah, Lihat juga, Romdon, Tasawuf Dan Aliran Kebatilan, (Cet. II; Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1993), h. 32-33.

16

dan sulit, karena diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang disebut
Maqamat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah hal-hal yang bersifat
pelaksanaan syariat dan muamalat maupun aspek batiniah atau hakekat,
mempertinggi mutu pengetahuan dan mengamalkannya, melenyapkan
sifat-sifat yang tidak baik dan mengisinya dengan sifat-sifat yang baik dan
terpuji.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah15 :
a. Taubat, menurut sufi, yang menyebabkan seorang jauh dari
Allah adalah karena dosa, sebab dosa adalah sesuatu yang
kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan karena itu apabila
seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya ia harus
membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat
kepada-Nya.
b. Az-Zuhud, zuhud dalam dunia sufi adalah segala kehidupan
materil adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau
pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang
menimbulkan kerusakan dan dosa. Sesorang calon sufi harus
lebih dulu zuhud, mengabaikan kehidupan yang bersifat
duniawi.
15. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang,
1999), h. 65-67. Lihat juga Asmaran As, Ilmu Pengantar Studi tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 109-131. Dan Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Di Dunia Islam, (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 49-97.

17

c. Al-Wara’, wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik.
Tetapi sufi memiliki pengertian lain, mereka mengartikan
wara’ meninggalkan hal-hal yang jelas baik yang menyangkut
makanan, pakaian, dan lain-lain. Ibrahim bin Adham: Wara’
adalah meninggalkan sesuatu yang masih diragukan.
d. Al-Faqr , al-faqr berbeda diantara para sufi tetapi, bagiamana
konotasi yang diberikan sufi, pesan yang tersirat didalamnya
agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negativ
yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi
merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau merasa cukup apa
adanya.
e. As-Sabr,

yang

berarti

sabar

adalah

konsisten

dalam

melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi
kesulitan, tabah menghadapi cobaan. Sabar erat kaitannya
pada pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah
mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya maka sikap
dan daya sabar akan tercipta.
f. Tawakkal, tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara
bulat kepada Allah setelah melakukan usaha. Tidak boleh
bersikap aposteriori terhadap rencana yang telah disusun
tetapi harus bersikap menyerahkan kepada Allah, berusaha

18

dan berencana tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.
g. Ar-Rida’, Dzun nun Al-Misri, rida’ adalah menerima tawakkal
dengan

kerelaan

hati,

tanda-tanda

orang

yang

rida’

mempercayakan hasil usahanya sebelum terjadi ketentuan,
lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta
yang bergelora dikala turunnya petaka.
C. Mendamaikan Syariat dan Tasawuf serta Pengaruhnya dalam
Dunia Islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah melalui
Rasul-Nya16, dan segala yang diajarkan oleh Rasul. Para pakar modern
banyak yang berbeda pendapat tentang hubungan antara sufisme dengan
ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa sufisme adalah perkembangan
eksotik, dan sebagian jejaknya merupakan unsur dari sumber asing atau
yang lain misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme_kepertapaan.
Sementara, yang lain menentang pandangan tersebut, bagi mereka
sufisme adalah peristiwa yang sepenuhnya Islami, bahkan mereka
mengatakan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang dijalankan kaum sufi
adalah meniru kehidupan Rasulullah dan sahabatnya17.
Al-Sarraj (w. 568), Al-Kalabadzi (w. 390), Abu Nuim (w. 430) dan AlQusyairi (w. 165) mereka mengatakan: sufisme merupakan ekspresi murni

16. Muhammad Abd Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, (Cet. II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993), h. 103.
17. Muhammad Abd Haq Ansari, Ibid, h. 85-87.

19

tentang rohani ajaran Islam dan merupakan perwujudan teramat
sempurna dari nilai-nilai rohaniah.18
Untuk menjalin keselarasan pengamalan tasawuf dengan syariat
telah dicetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya,
namun baru imam al-Gazali yang secara kongkrit berhasil merumuskan
bangunan ajarannya. konsepsi al-Gazali yang mengkompromikan dan
menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dengan syariat dalam
bukunya yang monumental “Ihya Ulumuddin”.
Dari susunan Ihya’ Ulumuddin tergambar pokok-pokok pikiran alGazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf yakni,
Sebelum

mempelajari

dan

mengamalkan

tasawuf

orang

harus

memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah terlebih dahulu. Tidak
hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat secara tekun dan
sempurna. Karena dalam hal syariat seperti misalnya shalat, puasa, dan
lain-lainnya, didalam Ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat,
puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf
dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang
khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya.
Sesudah menjalankan syariat dengan tertib dan penuh pengertian, baru
pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri,
pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lakukan wiridan dalam
18. Muhammad Abd Haq Ansari, Ibid, h. 87

20

menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu khasyaf atau
penghayatan makrifat. Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur
agama dan spiritual yang mistik ini harus mampu menahan godaan nafsu
dan penyakit-penyakit yang sering menyerang dan mengotori hati, dan
yang berkaitan dengan panca indera dan anggota badan. Jadi sebagai
bangunan sarana penyelarasan hubungan syarat dan tasawuf Ihya’
Ulumuddin merupakan karya monumental yang cukup lengkap dan teliti
serta sistematis. Maka wajarlah bahwa baik lantaran pengaruh dan juga
pemikir sufisme yang brilian, dan juga karyanya yang agung ini (Ihya’),
tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahli syariat dan diterima
sebagai bagian dari sistem agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan
oleh ummat Islam pada umumnya. Bahkan tasawuf kemudian menyebar
dan telah menjadi bagian dari Islam, dan mewarnai pengamalan Islam
keseluruh pelosok alam Islam yang berlangsung berabad-abad, sejak abad
ketiga belas hingga dewasa ini.19
Syariat dan tasawuf sebagai bagian integral yang tak terpisahkan
antara satu dengan dengan yang lainnya, maka tidak ada tasawuf tanpa
syariat20. Al-Qusyairi mengatakan:
“Tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa bekal yang
cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh
Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa
bekal yang cukup akan pengetahuan dan berbuat baik seperti diajarkan
19. Simuh, Op cit, h. 168-170
20. Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf,(Bandung: Mizan, 2002), h. 218.

21

oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi
mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib”21.

Kecintaan kepada tasawuf hendaknya tidak mengabaikan syariat
bahkan semakin tinggi ilmu tasawuf semakin mendalam pula kewara’anya,
kepatuhan dan ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan
sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran kaum sufi adalah sikap
kurang mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan berbagai
bentuk ibadah mahdah hanyalah untuk orang awam. Seseorang yang
sudah mencapai maqam yang paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu lagi
syariat. Padahal seharusnya makin tinggi maqam seseorang semakin besar
pula kesetiaanya terhadap ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan
perintah-perintah syariat mengikat siapapun, bahkan para wali yang telah
mencapai tingkat tertinggi, tidak ada satu maqam pun yang dapat bebas
dari kewajiban syariat.
Pengaruh yang sangat mendasar ketika al-Gazali menjadikan syariat
sebagai landasan utama dalam hidup tasawuf yang mengikat para sufi
sampai pada maqam tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari
perbuatannya seperti shalat dan semua gerakannya bukan sebaliknya.

21. Imam Al-Qusyairi Al-Nisabury, Al-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi Ilmu Tasawuf, di
terjemahkan oleh Muhammad Lukman Hakim, Risalah Al-Qusyariyah Induk Ilmu Tasawuf,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7.

22

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian yang telah diutarakan, maka penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Ghazali dalam pengembarannya mencari kebenaran telah
banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu. Sejak pertama kali
bersentuhan dengan kalam, al-Ghazali menganggap bahwa kalam
adalah disiplin ilmu yang telah mencapai tujuannya, namun
bukan tujuanku. Tujuan kalam adalah memelihara aqidah
Ahlussunnah dan mempertahankannya dari ronrongan kaum
bid’ah. Setelah mendalami kalam yang menurutnya tidak mampu
memenuhi hasratnya. Ia kemudian beralih ke filsafat. Filsafat pun
menurutnya, tidak mampu membuka tabir segala kesulitannya.
Sehingga suatu saat tersiar kabar bahwa ada golongan Ta’limiyah
yag mampu dan mengerti makna segala sesuatu dengan
perantaraan seorang imam yang ma’shum. Akhirnya al-Ghazali
bergabung. Namun itupun tidak mampu membuatnya betah
terhadap pencariannya karena simpang siurnya berbagai
pendapat

yang

ada

didalamnya.

Terakhir,

al-Ghazali

mengkonsentrasikan dirinya pada jalan sufi, yang menurutnya
inilah jalan yang mampu membuka segala tabir yang menutupi
23

mata lahir dan bathinnya untuk dekat kepada Allah. Penulis
menilai bahwa al-Ghazali sangat keliru menilai semua perjalanan
spritualnya karena menurut penulis bahwa dibalik semua
perjalannya ada makna

yang sangat luar biasa di dalamnya

bahwa, berkat perjalanan itu ia mampu menemukan sesuatu
yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Konsep

ma’rifat

adalah

mengetahui

rahasia

Allah

dan

mengetahui peraturan-peraturannya. Syarat-syarat yang dilalui:
harus memiliki nilai dan tekad serta keyakinan ingin bertemu
dengan Allah, pembersihan jiwa, senantiasa mensyukuri nikmat
Allah, dalam situasi apapun dia selalu mengigat Allah, harus
dapat mengenal dirinya, harus mengenal sifat-sifat Allah,
menyukai tafakkur, dan mengenal segala sesuatu di dunia ini,
senantiasa

dikembalikan

pada

sumbernya

yang

sang

penciptanya. Tahapan-tahapan maqam yang dilalui: Taubat, alZuhud, al-Wara, al-Faqr, al-Sabar, Tawakkal, dan al-Rida
3. Usaha al-Ghazali mempertemukan syariat dengan tasawuf dalam
konteks tertentu telah menemukan titik terang. Dengan
perjalanan sufi yang ia lakukan dari maqam syariat, tariqat,
hakikat dan ma’rifat, mampu mengantarkan manusia dekat
dengan Tuhan-Nya.

24

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Majmu’ah Rasa’il al-Imam al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh
Kamran As’ad Irsyady dengan judul Samudera Pemikiran Al-Ghazali,
Buku Kedua (cet I ; Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2002)
--------------, Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal, Terjemahan oleh Achmad
Khudori Soleh dengan judul, Kegelisahan al-Ghazali; Sebuah
Otobiografi Intelektual, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 1998)
Al-Nisabury, Al-Qusyairi, Al-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi Ilmu Tasawuf, di
terjemahkan oleh Muhammad Lukman Hakim, Risalah AlQusyariyah Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Ansari, Muhammad Abd Haq, Antara Sufisme dan Syariah (Cet. II; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1993)
Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001)
AS, Asmaran, Ilmu Pengantar Studi tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002).
Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf (Bandung: Mizan, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surbaya: AlHidayat, 1989)
http://donggalagenius.blogspot.com/2013/01/kabir-qutubuzzaman-alghazali-ra.html.
http://tonydreamtheater.wordpress.com/2012/03/20/apa-itu-marifat/.
http://constantine23.wordpress.com/2013/04/03/syariat-tarikat-hakikatmakrifat.html)
Kalsum, Ummu, Ilmu tasawuf (Makassar, 2003)
Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf Di Dunia Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka
Setia, 2002)
Mustofa, A, Akhlak Tasawuf (Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, 1999)

25

---------------, Filsafat Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Mohammad Taufiq, Quran In Word (Aplikasi Ver. 1.2.0 ; Taufiq Product).
Nasution, Harun , Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan
Bintang, 1999) .
Permadi, K, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Romdon, Tasawuf Dan Aliran Kebatilan, (Cet. II; Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1993)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997)

26