Perang dunia ke dan Aceh

Perang Aceh
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian,
perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk,
Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan
dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874 Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan
Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi
bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan
oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dino-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan
van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton batkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan
mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempattempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah.
Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini
pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada
tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku
Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan
perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan
Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti
kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat
Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van
Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan
pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus
kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan
tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara
mendirikanlanggar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial
rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer
dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang
dipimpin olehHans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai
pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawangerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga

gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902).
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada
tanggal5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam

menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi
ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan
terdekatnya.
Akibatnya
Panglima
Polim
meletakkan
senjata
ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah,
penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

sebagai gantinya
beberapa keluarga
dan
menyerah
banyak penghulu-


Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalenyang menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773
laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan
secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat
Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah
tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja
(Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak
akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjianperjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada
saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok
orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti
kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel
infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum
bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir,

setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun
rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah
diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan,
yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima
nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka
dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan
tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat
sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya
peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[1]

Nama

: M. Rafi Rizkianto

Kelas

: IV - E