Sejarah dan Efisiensi Upaya Pengamanan

Sejarah dan Efisiensi Upaya Pengamanan Energi Denmark Melalui Energi Terbaharui
Oleh
Diansasi Proborini 0713112330231

Abstraksi
Energy is in no doubt as one important matter for a state, whether its significant role in
supporting the economy and also for securing the energy needs. Meanwhile, energy can also be
some sort of disputes and conflicts source. As tangible goods, energy existence is one really
important matter for a state, unexceptionally to support human life and their activity. Speaking
about energy, there have been a lot efforts to secure energy existence, to keep it safe and
unappeased. Research and development is seriously being implemented in several countries.
Denmark is one of those European states which indicated in promoting the employing of ecofriendly alternative energy. Through the successful research and development, Denmark will
reportedly initiate the establishment of the country that is free from dependence on natural oil
energy derived from fossil. Denmark independence of non-renewable energy sources unexpectedly
becomes one of the green movements to improve a better environmental condition. In addition, it is
no doubt also a kind of positive impact on the increase of the Danish economy itself. Thus Denmark
does not need much to worry about the energy scarcity issues happening within.
Energi menjadi satu hal yang sekiranya sangat penting bagi suatu negara. Betapa tidak,
energi bisa menjadi salah satu sumber pemasukan ekonomi negara, serta jaminan keamanan
negara. Energi bisa juga menjadi pemicu terjadinya konflik antar-negara. Dengan demikian bisa
dilihat bahwa energi adalah benda tangible yang keberadaannya adalah sangat penting bagi suatu

negara. Sehubungan dengan energi dan pasukan energi, Denmark merupakan salah satu negara di
Eropa yang menjadi pemrakarsa atas terwujudnya penggunaan energi terbaharui yang ramah
lingkungan. Melalui keberhasilan pengembangan penilitiannya tersebut, Denmark bahkan
dikabarkan akan memprakarsai terwujudnya negeri yang bebas dari ketergantungan dengan energi
minyak bumi yang berasal dari fosil. Independensi Denmark atas sumber-sumber energi tidak
terbaharui menjadi salah satu gerakan hijau untuk meningkatkan kondisi lingkungan agar lebih
baik. Di samping itu, hal tersebut tidak dipungkiri juga membawa dampak positif bagi kenaikan
taraf perekonomian Denmark sendiri. Dengan demikian Denmark tidak perlu khawatir akan
kekurangan sumber energi, dan tidak perlu banyak mengimpor minyak bumi dari negara-negara
lainnya.

Keyword: keamanan energi, energi alternatif, energi terbaharui, Denmark.

1

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Ditulis untuk memenuhi tugas individu paper akhir MBP Eropa
2015.

Pentingnya Energi dan Keamanan Energi
Mula-mula sebelum membahas lebih jauh mengenai penggunaan energi di Denmark, penting untuk

diketahui terlebih dahulu landasan alasan pentingnya energi dan definisi dari keamanan energi itu sendiri.
Keamanan energi menjadi satu isu keamanan yang kian diperhitungkan sejak krisis energi tahun 1970-an
silam. Perhatian tersebut muncul utamanya dari negara-negara Barat khususnya Amerika karena krisis
energi saat itu berpotensi mengancam keamanan nasionalnya. Elemen tradisional terkait dengan keamanan
energi umumnya meliputi sumber pemasok, pihak yang mengkonsumsi (demand centres), geopolitik, dan
struktur pasar (World Economic Forum, 2006: 9). Pendefinisian keamanan energi pada dasarnya tidak
ditemukan definisi yang presisi, bahkan cenderung kabur. Ketiadaan definisi yang jelas mengenai
keamanan energi menjadikannya sebagai istilah ‘payung’ bagi sebagian besar tujuan kebijakan keamanan
(Winzer, 2011: 2). Pasalnya tidak sedikit pernyataan dalam forum keamanan yang menyatakan bahwa isu
keamanan energi menjadi satu hal yang perlu diperhatikan mengingat hal tersebut memiliki dampak
terhadap ekonomi dunia.
Sehubungan dengan mendefinisikan keamanan energi pun macam-macam tergantung dari
perspektifnya. Dalam hal ini, Winzer (2011: 4-6) membagi tiga kelompok definisi keamanan energi.
Pertama, keamanan energi dipandang sebagai rendahnya tingkat gangguan suplai/pasokan energi, sehingga
kebutuhan pasokan energi dunia terpenuhi dan tidak adanya penimbunan-penimbunan yang menyebabkan
kelangkaan energi, yang mana dapat berujung pada ancaman nasional. Kedua, ketidakamanan energi
terjadi apabila kelangkaan energi yang terjadi berujung pada melambungnya harga energi sehingga
mengancam keamanan ekonomi dunia. Ketika krisis energi dan harga energi melambung maka yang akan
terjadi selanjutnya adalah krisis ekonomi sehingga negara-negara di dunia banyak yang mengalami inflasi.
Ketiga, ketidakamanan energi cepat atau lambat akan mengancam nasib kesejahteraan masyarakat dunia,

sebagai dampak dari baik kenaikan harga energi, ataupun kelangkaan energi itu sendiri. Dari ketiga
perspektif tersebut, bisa disimpulkan bahwa keamanan energi selalu berkaitan dengan upaya untuk
meminimalisir kelangkaan energi agar tidak berujung pada kenaikan harga energi—yang tentu saja akan
berimbas pada harga-harga barang maupun jasa lainnya—sehingga tidak mengancam kesejahteraan
masyarakat dunia. Pun demikian istilah keamanan saat ini sudah tidak lagi berkutat pada isu-isu militer
saja, namun juga ekonomi dan sosial.
Alasan yang mendasari akan pentingnya energi bisa dilihat dari kegunaan dan manfaat energi itu
untuk kelangsungan kehidupan seluruh makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Energi adalah substansi
yang menggerakan alam semesta. Sejak jaman dahulu pun manusia selalu membutuhkan energi untuk tetap
hidup. Energi tersebut didapatkan dari makanan yang dimakan oleh manusia, yang lantas dikonversi secara
biologis sedemikian rupa sehingga menjadi energi bagi manusia. Untuk mengolah makanan, manusia pun
melakukan aktivitas yang dikenal sebagai memasak. Memasak membutuhkan energi berupa api.
Menciptakan api, membutuhkan energi panas. Pun demikian kebutuhan akan energi itu tidak akan
berlangsung hanya sampai disitu saja. Seiring berkembangnya jaman yang kian maju, manusia

membutuhkan energi untuk menggerakkan mesin-mesin industri, transportasi, menyalakan listrik, dan
masih banyak lainnya. Pemakaian sumber energi terbesar dalam sejarah manusia modern adalah minyak
bumi dan batu bara. Kedua sumber energi yang disebutkan tersebut adalah termasuk energi yang tidak
terbaharui, yang mana keberadaannya bisa habis bila terus dipakai secara berlebihan. Sudah sangat lama
manusia menggantungkan kehidupannya terhadap energi-energi tidak terbaharui hingga keberadaannya

saat ini dikhawatirkan akan habis. Fenomena kelangkaan energi ini lebih jauh bahkan dikhawatirkan akan
memicu berbagai perselisihan antara negara-negara yang memperebutkan status kepemilikan sumber
energi. Kekhawatiran tersebut pun sunggguh terjadi diantaranya adalah konflik Laut Tiongkok Selatan,
yang memperebutkan wilayah strategis sumber minyak bumi antara Tiongkok, Vietnam, Filipina, Jepang,
dan lain-lain. Konflik tersebut didasarkan pada ambisi untuk menguasai seluruh Laut Tiongkok Selatan.
Wilayah tersebut—diberi nama Kepulauan Spratly—disinyalir memiliki kandungan minyak yang banyak
sehingga secara langsung akan mendorong taraf perekonomian negara yang memilikinya. Konflik Laut
Tiongkok Selatan (LTS) merupakan salah satu konflik yang memicu ketidakamanan dunia, khususnya
Asia Tenggara. Perebutan daerah strategis tersebut perlahan akan memunculkan ancaman militer di antara
negara-negara yang terlibat.
Tidak hanya di LTS, daerah-daerah Timur Tengah sekalipun juga kerap terjadi konflik yang
berbasis sengketa hak kepemilikan minyak sebagai sumber energi. Diantaranya terjadi di Irak, Suriah,
Sudan, dan juga terjadi di Afrika yaitu Nigeria, serta beberapa tempat lainnya. Konflik-konflik yang terjadi
tersebut tidak dipungkiri sama-sama disebabkan karena keingingan untuk menguasai area strategis sumber
penghasil energi, khususnya minyak. Masing-masing konflik tersebut umumnya dipicu oleh erupsi
antagonisme historis antara negara-negara yang bersangkutan. Misalnya antara Irak dan Suriah merupakan
perpecahan antara kaum Sunni, Syi’ah, Kurdi, Turki, dan lain-lain, sedangkan di LTS perpecahan antara
Tionghoa, Jepang, Vietnam, Filipina, dan lainnya (Klare, 2014). Walaupun perpecahan antar suku/rasial
tersebut benar memicu ketegangan antar-negara, namun tensi ketegangan kian meningkat karena adanya
hasrat untuk mengontrol aset-aset minyak dan gas berharga yang disebut-sebut sebagai sumber kekayaan

dan kekuatan negerinya. Tidak dipungkiri bahwa minyak dan gas merupakan komoditas yang paling
penting dan berharga di dunia, dan menjadikan pemasukan yang cukup besar bagi negara-negara pemasok.
Dunia yang berlaku saat ini merupakan dunia yang energy-centric, sehingga kepemilikan sumber daya gas
dan minyak menjadi instrumen kekuasaan geopolitik, dan ancaman ekonomi bagi beberapa negara yang
tidak memiliki sumber daya energi (Klare, 2014).
Menanggapi adanya bahaya kelangkaan energi tersebut, tidak sedikit pihak-pihak yang pada
akhirnya berupaya untuk segera menginisasi jaminan keamanan energi agar tidak lekas habis. Salah
satunya adalah melalui pemanfaatan sumber-sumber energi terbaharui—misalnya energi solar/matahari,
air, angin, dan biomassa—sebagai substitusi energi tidak terbaharui, seperti minyak bumi, gas, dan batu

bara2. Pengembangan energi alternatif ini tidak dipungkiri sudah dilakukan oleh negara-negara, tidak
terkecuali Denmark, yang mana pengupayaan Denmark akan penggunaan energi alternatif akan dibahas di
sub-bab selanjutnya.
Strategi dan Efektivitas Pengamanan Energi di Denmark
Denmark dikabarkan menjadi salah satu negara pelopor di Eropa yang mempromosikan akan
penggunaan energi alternatif non-konvensional sebagai substitusi energi tidak terbaharui, seperti gas dan
minyak bumi. Mengurangi konsumsi energi belerlebihan melalui peningkatan efisiensi dan penghematan
energi secara tradisional telah menjadi prioritas utama bagi Denmark, dan masih menjadi bagian penting
dari kebijakan energi Denmark. Pemerintah Denmark setidaknya telah memiliki gagasan tujuan jangkapanjang untuk mewujudkan Denmark yang bebas dari bahan bakar fosil pada tahun 2050 nantinya, yang
mana elemen penting dari obyektif ini adalah dengan meningkatkan efisiensi energi. Berdasarkan National

Energy Efficieny Action Plan (NEEAP) Denmark, pada tahun 2012 target pemerintah Denmark terkait
dengan peningkatan efisiensi penggunaan energi diikuti dengan perjanjian energi yang berlaku hingga
periode tahun 2020 (NEEAP, 2014: 4). Dalam perjanjian tersebut ditekankan bahwa efisiensi dan
penghematan energi adalah elemen krusial dalam transisi menuju masyarakat Denmark yang berbasis
sumber energi 100% terbaharui. Melalui gagasan tersebut diusahakan akan menurunkan jumlah konsumsi
energi tidak terbaharui sebesar 7% di tahun 2020 nantinya, yang mana saat ini diperkirakan total konsumsi
energi di tahun 2020 akan diturunkan sebesar 12%. Pun demikian, pemerintah juga membutuhkan renovasi
dan perubahan pada teknologi perusahaan-perusahaan energi Denmark yang menjadi instrumen nasional
utama untuk memajukan efisiensi energi Denmark.
Kebijakan energi yang dimiliki oleh Denmark didasarkan pada konsensus politik, stabilitas, dan
serangkaian perjanjian-perjanjian energi. Pada 17 Juni 2005, pemerintah Denmark mengeluarkan Energy
Strategy 2025 yang menggantikan kebijakan strategi lama, Energy 21 tahun 1996. Energy Strategy 2025

memfokuskan pada perencanaan penghematan dan penggunaan energi terbaharui, perubahan iklim, pasar,
dan teknologi energi. Sehubungan dengan hal tersebut visi jangka panjang pemerintah Denmark adalah
untuk mewujudkan kebebasan Denmark dari ketergantungan energi tidak terbaharui. Selanjutnya kurang
lebih pada Februari tahun 2011, pemerintah menerbitkan Energy Strategy 2050, yang menggarisbawahi
mengenai fase-fase pertama yang dijalani dalam rangka mewujudkan visi jangka panjangnya. Untuk
mewujudkan kebebasan dari bahan bakar fosil, beberapa strategi yang akan dilakukan Denmark
diantaranya adalah: 1) Denmark akan memelihara keamanan suplai energi secara serius; 2) Denmark akan

mengkontribusikan bagiannya untuk menekan tingkat pemanasan global; 3) Denmark juga akan
mempromosikan tentang pertumbuhan dan lapangan pekerjaan hijau (OECD/IEA, 2011: 21).
Strategi dalam meningkatkan efisiensi dan penghematan energi Denmark menekankan pada
kebijakan jangka pendek—maupun sedang—yang mana bila diimplementasikan akan efektif mengurangi
2

Batu bara saat ini sudah jarang digunakan lagi karena emisinya berlebihan dan berpotensi menimbulkan polusi udara yang
serius.

konsumsi terhadap fosil pada sektor energi (termasuk transportasi dan beragam aktivitas eksploitasi
lainnya) sebesar 33% pada tahun 2020, dibandingkan pada tahun 2009. Bersamaan dengan hal itu juga
turut meningkatkan kontribusinya terhadap energi terbaharui sebesar 33%. Dalam hal ini akan dijelaskan
pula tujuan dan aksi yang dilakukan oleh pemerintah Denmark untuk mewujudkan visi jangka panjangnya
yang dijelaskan ke dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Tujuan dan aksi pemerintah
Tujuan pemerintah

Aksi Energy Strategy 2050

Independensi dari bahan bakar fosil pada tahun Inisiatif

2050.

untuk

meningkatkan

penggunaan

energi terbaharui dan meningkatkan efisiensi,
sehingga menurunkan penggunaan bahan bakar
fosil pada sektor energi sebesar 33% pada
tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2009.

Kekayaan saham akan energi terbaharui harus Pemerintan

melakukan

peningkatan

ditingkatkan hingga 30% dari total konsumsi penggunaan biomassa, angin, dan biogas

energi akhir pada tahun 2020 sebagai bagian sebagai substitusi energi tidak terbaharui
dari target UE keseluruhan dari 20% energy sebesar 33% pada tahun 2020, yang mana hal
terbaharui pada tahun 2020.

tersebut juga melebihi target UE.

Kekayaan saham akan energi terbaharui pada Pemerintah meningkatkan penggunaan biofuel
sektor transportasi harus ditingkatkan menjadi pada
10% pada tahun 2020.

tahun

meningkatkan

2020,

disamping

penggunaan


mobil

itu

juga

elektrik

sebagai alternatif pilihan transportasi ramah
lingkungan.
Pada tahun 2020, total konsumsi energi primer Peningkatan efisiensi energi pada rumahharus bisa lebih rendah sebesar 4% dari tahun rumah penduduk, perkantoran, dan lain-lain
2006.

akan mengurani total konsumsi sebesar 6%
pada tahun 2020, yang mana hal tersebut
diperkirakan telah melebihi target.

Emisi pada sektor non-ETS (Emission Trading Dengan mengurangi penggunaan bahan bakar
Sector ) harus dikurangi secara gradual pada fosil, pemerintah turut mengurangi emisi non-


2013-2020 senilai 20% pada tahun 2020, ETS sebesar 4-5 juta ton CO2 dalam periode
dibandingkan pada tahun 2005.

2013-2020. Untuk lebih mengoptimalkan hal
tersebut, pemerintah akan tetap meninjaunya
secara regular.

Tabel 1. Sumber: OCED/IEA, 2011: 22

Dari penjelasan diatas, tujuan dari strategi jangka panjangnya adalah untuk mewujudkan
independensi Denmark atas ketergantungannya dari batu bara, minyak bumi, dan gas bumi pada tahun

2050. Pun demikian tujuan yang kedua adalah untuk mengamankan posisi industri Denmark sebagai
pemimpin teknologi energi, iklim, dan lingkungan terdepan di dunia (OECD/IEA, 2011: 22). Untuk benarbenar mewujudkan hal tersebut, berdasarkan Energy Strategy 2050 (dalam OECD/IEA, 2011: 23-4),
diidentifikasi ada tiga trek paralel yakni: 1) Trek satu, fase transisi, merupakan proses mengkonversi
konsumsi energi yang lebih efisien dan penyuplaian energi berdasarkan energi terbaharui. Transisi ini bisa
dimulai sesegera mungkin sebagaimana teknologi yang ada telah dapat mendukung terlaksananya proses
tersebut; 2) Trek dua adalah fase persiapan dan perencanaan pada fase transisi selanjutnya, yang diikuti
dengan penggunaan dan integrasi solusi baru. Pada fase ini dipastikan pembuatan kerangka kerjanya
sebelum pengukuran spesifik terhadap target tahun 2050 diinisiasikan; 3) Trek tiga, fase pengembangan
teknologi, yang membutuhkan investasi pada penelitian, perkembangan dan demonstrasi pada teknologi
energi efektif yang diikuti dengan demonstrasi dan persiapan pasar berskala besar. Dengan demikian
langkah akhirnya adalah integrasi pasar.
Membahas mengenai seberapa efektifnya kebijakan energi yang berlaku di Denmark, pasalnya saat
ini ditengarahi perusahaan distribusi energi di Denmark telah melampaui target konservasi energi nasional.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh reportase media Wall Street Journal yang menyatakan bahwa tidak ada
bahan sisa-sisa yang terbuang percuma di rumah jagal Danish Crown di Denmark bagian timur (Abboud,
2007). Pasalnya limbah hewani lemak babi yang tidak bisa dimakan dimanfaatkan menjadi sumber energi
biomassa. Proses pengubahan lemak babi menjadi bahan minyak bakar adalah salah satu teknik yang
digunakan oleh Danish Crown untuk menghemat panas, air, serta listrik. Danish Crown sendiri merupakan
salah satu perusahaan pemroses makanan Denmark yang terbilang sukses dalam meningkatkan efisiensi
energinya yang sudah berjalan selama 30 tahun. Pemerintah Denmark sendiri terbilang sangat perhatian
terhadap isu kerusakan lingkungan. Pun demikian upaya pemerintah dalam memelihara lingkungan sejalan
dengan kebijakan konservasi energinya. Pemerintah Denmark tengah memprioritaskan bagaimana
mengurangi konsumsi energi namun tetap menjaga taraf produktivitas dan tingkat pengangguran yang
rendah.
Selain pemanfaatan limbah hewani lemak babi sebagai sumber pembangkit energi panas,
pemanfaatan energi angin sebagai pembangkit energi listrik juga kian populer di Denmark. Kincir angin
yang dibangun begitu besar memberikan suplai energi listrik yang sangat memadai. Pada saat atmosfirnya
tengah sangat berangin, Denmark mendapati produksi listrik sebesar 116% dari kebutuhan listrik
nasionalnya. Ketika pemakaian listrik tengah rendah, Denmark memiliki total pasokan energi listrik hingga
sebesar 140% (Neslen, 2015). Suplai energi listrik yang berlebihan ini membuat Denmark mampu
membaginya kepada Jerman dan Norwegia melalui interkonektornya. Kelebihan suplai energi tersebut bisa
disimpan di sistem hydropower agar bisa digunakan lagi nantinya. Berdasarkan pengalaman Denmark, hal
itu menunjukan bahwa untuk mencukupi kebutuhan energi sehari-hari menggunakan sumber daya
terbaharui bukan lagi mimpi.

Tabel 2. Sumber: www.ens.dk

Denmark sendiri pasalnya memiliki lebih dari 5000 turbin angin. Pun demikian pada tahun 2013
turbin

angin

Denmark

telah

berkontribusi

dalam

Berdasarkan data statistik Danish Energy Agency,
energi yang dapat diperbaharui termasuk tenaga angin,
kayu, jerami, biogas, limbah yang dapat diperaharui, dan
lain-lain

(hydropower ,

energi

geotermal,

energi

solar/matahari, dan pompa panas).
Tabel disamping menjelaskan bahwa produksi
energi terbaharui tahun 2013 adalah sebesar 139,7 PJ,
yang

mana

hal

tersebut

berarti

ditemui

Tabel 3. Sumber: www.ens.dk

menyuplai kebutuhan energi listrik sebesar 30%.

adanya

peningkatan sebesar 4,8% dibandingkan tahun 2012. Apabila dilihat dari tahun 1990 hingga 2013, maka
produksi energi terbaharui adalah terus tumbuh hingga sebesar 206%. Tidak dipungkiri bahwa penggunaan
energi terbaharui ini sangat efektif untuk menurunkan kadar polusi lingkungan, khususnya emisi buangan
CO2, di Denmark.
Tidak dipungkiri bahwa skema efisiensi penggunaan energi Denmark telah menjadi model hukum
efisiensi energi Uni Eropa baru yang saat ini tengah diimplementasikan (Haugen, 2013). Di samping itu,
hal tersebut juga dapat menginspirasi para pembuat kebijakan Amerika untuk mendukung produksi alat
instalasi yang rendah energi. Pemerintah Denmark terus mengupayakan penggunaan alat-alat instalasi,
baik rumah tangga, perkantoran, maupun industri, yang mengkonsumsi energi yang rendah. Dengan
pemakaian alat-alat teknologi yang rendah konsumsi energi maka secara keseluruhan Denmark mampu

menghemat energi. Salah satu cotoh instruksi pemerintah dalam meminimalisir penggunaan energi
pemanas ruangan adalah dengan mempertebal tembok atau sekat dan ventilasi yang lebih kecil, sehingga
udara dan hawa dingin yang ada di luar tidak mudah masuk dan mempengaruhi ruangan (Abboud, 2007).
Selain itu untuk menekan pemakaian energi masyarakat, pemerintah Denmark memutuskan untuk
meningkatkan biaya pajak konsumsi minyak, gas alam, dan listrik. Walaupun demikian, kenaikan biaya
pajak tersebut juga dibarengi dengan kenaikan upah pekerja, sehingga pada akhirnya tidak terlalu
memberatkan masyarakat. Walaupun demikian kebijakan kenaikan pajak tersebut secara langsung telah
mempengaruhi psikologis masyarakat untuk lebih berhemat dalam mengkonsumsi energi.
Kebijakan peningkatan tarif pajak konsumsi energi tersebut tidak dipungkiri berdampak cukup baik
bagi pemasukan negara. Namun sayangnya hal tersebut tidak sejalan bagi perusahaan. Kebijakan tersebut
ditengarahi semakin memperketat kompetisi perusahaan-perusahaan di Denmark, khususnya pada sektor
industri yang membutuhkan energi tinggi seperti indsutri semen dan besi (Abboud, 2007). Menanggapi
kebutuhan energi tersebut, pembangkit tenaga listrik sengaja dibangun lebih dekat dengan permukiman
dan sentra bisnis agar jarak yang ditempuh untuk mentransfer panas lebih pendek sehingga panas yang
terbuang jumlahnya lebih sedikit. Dari segala macam upaya pemerintah Denmark dalam rangka mencapai
visi jangka panjangnya—yaitu mewujudkan Denmark yang bebas dari ketergantungan bahan bakar fosil—
tidak dipungkiri pemerintah juga cukup berhasil dalam menyadarkan masyarakat akan betapa pentingnya
menghemat energi, sehingga masyarakat Denmark cenderung merupakan kelompok-kelompok yang sadar
akan pentingnya konservasi energi sebagai upaya pelestarian lingkungan.
Opini dan Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut dapat dihasilkan suatu kesimpulan bahwa Denmark merupakan salah satu
negara di Eropa yang berhasil mengupayakan penghematan dan konservasi energi. Kebijakan pemerintah
Denmark dalam mengkonservasi energinya ditengarahi menjadi contoh keberhasilan bagi banyak pihak
seperti Amerika, maupun Uni Eropa. Upaya Denmark dalam mengamankan ketersediaan energinya
dilakukan secara non-konvensional, yakni dengan mengupayakan produksi energi terbaharui sebagai
substitusi energi tidak terbaharui yang bersumber dari fosil. Sehubungan dengan hal tersebut sekaligus
menjadi visi jangka panjang pemerintah Denmark untuk mewujudkan Denmark yang terbebas dari
ketergantungan akan sumber energi tidak terbaharui. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Denmark
terkait dalam mengkonservasi energi tidak dipungkiri adalah suatu kemajuan yang sangat positif yang
sebaiknya segera diimplementasikan dalam skala yang lebih besar. Kelangsungan penggunaan energi yang
tidak terbaharui—berbasis fosil—sudah tidak lagi efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seharihari karena cepat atau lambat akan habis. Penulis beropini bahwa untuk lebih mengefektifkan visi jangka
panjangnya, pemerintah Denmark sebaiknya melanjutkan dan memperkuat kerjasama regional khususnya
dengan negara-negara tetangga untuk meningkatkan keamanan energi regional—dalam hal ini adalah Uni
Eropa. Di samping itu, juga perlu adanya pengembangan sektor transportasi berkelanjutan agar tidak
bergantung pada sumber energi minyak, serta meminimalisir produksi emisi buangan CO2. Walaupun

situasi terkait keamanan energi di Denmark maupun Uni Eropa cenderung stabil, tidak seperti yang terjadi
di Timur Tengah maupun Laut Tiongkok Selatan, upaya mengkonservasi energi tidak akan pernah sia-sia.
Mengigat keuntungan dan manfaat yang didapatkan akan jauh lebih besar daripada tidak mengupayakan
adanya konservasi energi dan memilih untuk memperebutkan daerah penghasil sumber-sumber energi.
Pada dasarnya masih lebih baik memproduksi energi alternatif non-konvensional yang terbaharui daripada
terus menggantungkan pada fosil yang lama kelamaan akan habis.

Referensi
Abboud, L., 2007. How Denmark Paved Way To Energy Independence. The Wall Street Journal. [Online]
16 April. Tersedia: http://www.wsj.com/articles/SB117649781152169507 [Diakses 2 Januari 2016]
Ens.dk., 2013. Energy Statistics. Copenhagen: Danish Energy Agency.
Haugen, D., 2013. How Denmark Turned an Efficiency Obligation Into Opportunity. Midwest Energy
News. [Online] 8 Oktober. Tersedia: http://midwestenergynews.com/2013/10/08/how-denmark-

turned-an-efficiency-obligation-into-opportunity/ [Diakses 2 Januari 2016]
Klare, Michael T., 2014. Twenty-first century energy wars: how oil and gas are fuelling global
[Online]

Tersedia:

conflicts.

http://www.energypost.eu/twenty-first-century-energy-wars-oil-gas-fuelling-

global-conflicts/ [Diakses 2 Januari 2016]
NEEAP, 2014. Denmark’s National Energy Efficiency Action Plan (NEEAP). Copenhagen: Danish Energy
Agency.
Neslen, A., 2015. Wind power generates 140% of Denmark's electricity demand. The Guardian. [Online]
10 Juli. Tersedia: http://www.theguardian.com/environment/2015/jul/10/denmark-wind-windfarmpower-exceed-electricity-demand [Diakses 2 Januari 2016]
OECD/IEA, 2011. Energy Policies of IEA Countries: Denmark 2011 Review. Perancis:

International

Energy Agency.
Winzer, C., 2011. Conceptualizing Energy Security. EPRG Working Paper . Cambridge: University of
Cambridge
World Economic Forum, 2006. The New Energy Security Paradigm. Geneva: World Economic Forum
Press.