SEJARAH TENTANG KERAJAAN INDRAGIRI DARI

SEJARAH TENTANG KERAJAAN
INDRAGIRI DARI MASA KE MASA
dunia melayu






Cikal bakal kesultanan Indragiri
Cikal bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bias
dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Keritang. Nama

Keritang diperkirakan berasal dari istilah “akar itang”
yang diucapkan dengan lafal ‘keritang’. Sementara
Itang adalah sejenis tumbuhan yang banyak terdapat
di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang
menjalar di sepanjang tebing-tebing sungai. Sungai
Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, (sekarang) ibu
kota Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula

yang menyebut bahwa nama ‘Keritang’ identik
dengan istilah ‘Kitang’, yaitu sejenis siput yang
berhabitat di hulu Sungai Gangsal (Ahmad Yusuf &
Umar Amin, et al., 1994:19).
Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari
keruntuhan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di
Palembang. Pada akhir adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya
mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara
lain Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari utara
dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur.
Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang
ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak
disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan
bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah.
Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah
Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan
Indragiri.
Dari Kerintang ke Indragiri
Berdasarkan catatan dalam kitab Negarakertagama
karya Mpu Prapanca, nama Indragiri disebut dengan


nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di
wilayah yang kemudian dikenal dengan nama
Indragiri, maka diperkirakan bahwa Kerajaan Keritang
inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan
Indragiri. Mengeni nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli
sejarah dari Eropa yang menyebutnya. Kamus ‘A
Malay-English Dictionary yang disusun Richard James
Wilkinson
(1867-1941),
mencantumkan
nama
Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932
ini, Indragiri diartikan sebagai “Indra’s Mountain” an
East Coast Sumatra Sultanate on a river of the same
name” atau “Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu
Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai
yang bernama sama (nama kerajaan dan sungai
adalah sama, yaitu Indragiri)”.
Dalam ‘Niew Malaeisch-Nederlandsch Woordenboek –

Met Arabisch Karakter’, kamus susunan Hillebrads
Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892,
nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah
kerajaan di Pantai Timur Pulau Sumatra dan nama
sungai yang mengaliri kerajaan itu (Hasan Junus &
Zuarman, et al., 2003:13). Ada pula yang mengatakan
bahwa Indragiri berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu
‘Indra’ yang berarti mahligai dan ‘Giri’ yang berarti
kedudukan yang tinggi atu negeri, sehingga makna
Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.
Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik Mambang
atau Raja Merlang (1298-1337), yang berturut-turut

dilanjutkan oleh Raja Nara Singa I (1337-1400)
sebagai Raja Keritang ke-2, kemudian Raja Merlang II
(1400-1473). Pada era berikutnya, pengaruh Islam
sudah mulai masuk ke wilayah kerajaan ini. Raja yang
selanjutnya, yakni Raja Nara Singa II (1473-1508)
diketahui telah memeluk agama Islam. Raja Nara
Singa II, Raja Keritang yang ke-4 sebagai Sultan

pertama Indragiri dengan nama Maulana Paduka Sri
Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan (1508-1532).
Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan
Kerajaan Majapahit dan akhirnya diberikan kepada
kesultanan Melaka sebagai hadiah pernikahan Sultan
Mansyur Syah dengan salah seorang putri Kerajaan
Majapahit. Seiring Islam masuk ke Nusantara,
pemerintahan Kerajaan Keritang dikendalikan oleh
Kesultanan Melaka. Ketika masih di bawah kuasa
Majapahit, Raja Merlang diperkenankan untuk tetap
berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi
setelah Kerajaan Keritang dikuasai oleh Kesultanan
Melaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi
menetap di Keritang melainkan dibawa ke Melaka.
Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Melaka
karena dengan demikian Kerajaan Keritang lebih
mudah diawasi.
Dominasi Melaka terhadap Keritang semakin kuat
ketika Raja Merlang dikawinkan dengan Putri Bakal,
anak perempuan Sultan Mansyur Syah, pemimpn

Kesultanan Melaka. Ikatan perkawinan itu, di samping

mengokohkan kedudukan Sultan Melaka di daerah
jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar Raja
Merlang betah tinggal di Melaka. Dari perkawinan
dengan Putri Melaka itu, Raja Merlang memperoleh
putra yang diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan
dibesarkan di lingkungan Kesultanan Melaka. Ketika
Kesultanan Melaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah
I (1448-1511), Raja Nara Singa diambil menantu oleh
Sultan. Ketika Raja Nara Singa dinobatkan sebagai
Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di
Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja
penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya,
yakni Raja Merlang II hingga kemudian Raja Nara
Singa II (1473-1508).
Selama keluarga Kerajaan Keritang berada di Melaka,
pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk
Temenggung Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan
Keritang lainnya. Meski pemerintahan Kerajaan

Keritang dapat tetap berjalan, namun seringkali
terjadi perselisihan antara Datuk Patih dan Datuk
Temenggung Kuning. Masalah terpelik yang terjadi di
antara kedua mentri itu adalah soal agama yang
masih menganut kepercayaan lama. Persoalannya
adalah apabila ada orang yang berada di bawah kuasa
Datuk Patih memeluk Islam, maka orang itu
dipersilahkan untuk pindah ke daerah yang dipimpin
Datuk Temenggung Kuning. Akibatnya, semakin lama
orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Datuk
Patih kian berkurang karena semakin banyak pula
orang yang memeluk Islam.

Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah
dengan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang
Melaka terhadap rakyat Keritang, membuat Raja Nara
Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke
kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan
bersama istri tercintanya, Raja Nara Singa II akhirnya
diperbolehkan kembali ke Keritang. Raja Nara Singa II

tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera
menyusun rencana dengan para pengikutnya. Ketika
sudah berhasil meninggalkan Melaka, terdengarlah
kabar bahwa Raja Nara Singa II dapat melepaskan diri
dari Melaka(Yusuf & Amin et, al., 1994:19).
Selanjutnya, Raja Nara Singa II bersama para
pengikutnya memindahkan pusat kerajaan dari
Keritang ke Pekantua, tidak jauh dari Sungai Indragiri.
Perpindahan tersebut terkait dengan kepercayaan
bahwa suatu tempat yang telah ditinggalkan tidak
baik untuk dijadikan pusat pemerintahan. Keritang
merupakan kota yang diambil-alih Kesultanan Melaka
sebagai daerah jajahan, maka menurut keyakinan
magic religious, kota atau kraton yang telah
dikalahkan itu harus ditinggalkan (Sartono Kartodirjo,
et, al., 1975:153). Raja Nara Singa II akhirnya
dinobatkan menjadi pemimpin di Pekantua dan inilah
tanda bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri.
Sebagai sultan pertama Kesultanan Indragiri, gelar
untuk Raja Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri

Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan. Gelar ini

menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan
menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.
Pada era pemerintahan Sultan Indragiri pertama ini,
ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan,
yang dikenal juga dengan nama Kota Lama, yang
terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara
Pekantuan dengan Kota Lama kurang lebih 50
kilometer lewat jalan darat. Perpindahan pusat
pemerintahan
Kesultanan
Indragiri
tersebut
disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari
kemungkinan serangan Portugis dan ancaman
gerombolan perompak. Belum diketahui kapan
pastinya waktu pemindahan itu namun yang jelas,
waktu pemindahan itu paling lambat dilakukan pada
1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan

Alauddin Iskandar Syah Johan atau Raja Nara Singa II
meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama
(Yusuf & Amin, et, al., 1994:75). Pada 1765, pusat
pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali
ini ke Raja Pura atau Japura.
Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa pemerintahan
Sultan Ibrahim (1784-1845), Sultan Indragiri ke-15, ibu
kota Indragiri pindah ke Rengat. Beberapa peneliti
menduga, selain adanya tekanan dari kolonialis
Belanda, pemindahan ibu kota Kesultanan Indragiri
dari Japura ke Rengat juga dikarenakan tersedianya
biaya untuk pembangunan istana baru yang lebih
megah (Lufti [ed.], 1977:261).

Sultan pertama Kesultanan Indragiri, Alauddin
Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya
yakni tahun 1532. Setelah itu pucuk pimpinan
Kesultanan Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus
Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri
ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557),

kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan
Mohammadsyah (1557-1599) sebagai pemimpin
Kesultanan Indragiri yang ke-3, hingga Sultan
Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era
pemerintahan pemimpin ke-4 Kesultanan Indragiri
inilah kau imperialis Eropa datang dan lantas
menanamkan pengaruhnya di Indragiri.
Kesultanan Indragiri pada Era Kolonialisme
Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang
dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor
dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada saat itu,
Kesultanan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin
Riayat Syah II sedang menghadapi sejumlah
peperangan, antara lain dengan portugis adan Aceh
serta
Patani.
Kesultanan
Johor-Riau
kemudian
mengajak Belanda bekerjasama untuk melawan

musuh-musuhnya itu.
Sebagai strategi untuk meluaskan pengaruh dan
jaringan niaganya di Selat Melaka, kompeni
mendirikan loji di Indragiri pada 1615. Sultan

Jamaluddin
Kramatsyah
(1599-1658)
sebagai
penguasa Kesultanan Indragiri saat itu mengizinkan
aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan
Harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di
Indragiri.
Namun
harapan
Sultan
Jamaluddin
Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena
adanya persaingan dari pedagang-pedagang Cina,
Portugis dan Inggris. Sementara Belanda sendiri
kurang
mampu
berkonsentrasi
menangani
perdagangannya
di
Indragiri
karena
sedang
memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya,
pada tahun 1622 kantor dagang atau loji Belanda di
Indragiri terpaksa ditutup.
Karena kerja sama dengan Belanda tidak berjalan lagi,
Indragiri
mengalihkan
jalinan
niaganya
ke
minangkabau. Namun hubungan itu menimbulkan
polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Pasalnya, hasil lada dan emas dari Minangkabau yang
sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku Pariaman, dan
Bandar Sepuluh, yang berada di bawah pengaruh
Aceh menjadi berkurang. Karena merasa tersaingi
dalam perdagangan, Kesultanan Aceh Darussalam
menyerang Indragiri dan Johor pada tahun 1623
(Jamalako Sultan, tt:17). Selain itu, Aceh juga
menyerbu wilayah lainnya yang dianggap merugikan
perdagangannya. Penyerangan Aceh ke Indragiri, Aru,
Pahang, Kedah, Perak, dan Johor dilakukan dalam
waktu yang berdekatan (Sanusi Pane, 1965:185).

Tujuan
utama
penyerbuan
Kesultanan
Aceh
Darussalam ke Indragiri adalah untuk memutuskan
hubungan perdagangan lada antara Kesultanan
Indragiri dengan Minangkabau. Ketika akhirnya
Kesultanan Aceh dapat mewujudkan tujuannya itu,
yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari
Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun drastis.
Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan
Aceh Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas
dan lada sebagai upeti, sedangkan sisanya harus
dijual sesuai harga yang ditetapkan Aceh (Djuharsono,
1985:152).
Karena perdagangan yang semakin terdesak akibat
pendudukan Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan
Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan
kembali
dengan
Belanda.
Sultan
Jamaluddin
Kramatsyah mengirim surat kepada Antonio van
Diemen, Gubenur Jendral Belanda di Batavia, pada
tahun 1641. Dalam suratnya, Sultan Jamaluddin
Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya
membuka kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah
beberapa kali berusaha, keinginan Sultan Jmaluddin
Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van
Wesenhage, utusan Belanda dari Batavia ke Indragiri.
Selanjutnya
pada
masa
pemerintahan
Sultan
Jamaluddin Sulemansyah (1658-1699) sebagai Sultan
Indragiri ke-5, disepakati perjanjian dengan Belanda

tentang hubungan perdagangan antara kedua belah
pihak. Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan
Jamaluddin Sulemansyah dan Joan van Wesenhage
tersebut dikenal dengan nama ‘Renovatie van het
Contract van 27 October 1664’ (Muchtar Lufti [ed.],
1997:217), sesuai dengan tanggal penandatanganan
hasil perundingan. Isi dari perjanjian itu antara lain:
1.
Belanda
diberi
hak
memonopoli
dalam
perdagangan lada;
2. Bea murah bagi masuk dan keluarnya barangbarang milik Belanda dalam kekuasaan Kesultanan
Indragiri.
Berdasarkan
perjanjian
tersebut,
Belanda
diperbolehkan
membangun
kembali
kantor
dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada
tahun 1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku
diserang oleh 100 orang Banten di bawah pimpinan
Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak
itu, kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut
kembali ditutup.
Hubungan antara Belanda dengan Kesultanan
Indragiri pada era pemerintahan kolonial Hindia
Belanda mengalami pasang surut, kendati kerugian
lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan Indragiri.
Misalnya ketika Kesultanan Indragiri di bawah
pimpinan Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda mulai
campur tangan dalam urusan internal kerajaan
dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan
di Peranap dengan batas wilayah dari Hilir hingga
Japura.

Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang
terakhir Mahmudsyah (1912-1963), posisi Kesultanan
Indragiri sebagai kerajaan yang berdaulat semakin
terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak
menghadapi tekanan Belanda. Di samping itu,
Belanda juga melarang rakyat Indragiri mengadakan
rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali
acara dakwah agama, itu pun dengan pengawasan
ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah tersebut
dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang
terkait dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan
diproses menurut hokum yang diberlakukan oleh
pemerintahan colonial (Yusuf & Amiin, et, al.,
1994:126).
Bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke
Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum berani
mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak
yang
berkeliaran.
Sultan
berhati-hati
dalam
mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat
Kesultanan Indragiri. Tetapi, para pemuda di Indragiri
telah bersikap dan berani menyampaikan berita
proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri
sudah mendengar bahwa para pemuda telah
mengadakan pertemuan secara rahasia untuk
membicarakan hal tersebut (Wasmad Rads, 1950:7).

Selanjutnya kaum pemuda menghadap Sultan
Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan
terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Sultan
menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat
mendukung proklamasi kemerdekaan dan merestui
gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga
menyatakan
bahwa
Kesultanan
Indragiri
siap
bergabung dengan Indonesia. Sultan Mahmudsyah
berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan kini
sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa yang
tuan perbuat saya sangat mendukung.” (Yusuf &
Amin, et, al., 1994:173). Bahkan demikian jelas sudah
bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan
Mahmudsyah
sangat
berkomitmen
terhadap
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Daftar raja / sultan
Berikut daftar raja/sulta yang pernah berkuasa di
Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan
buku ‘Sejarah Kesultanan Indragiri’ (1994), karya
Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer Muhammad, dan Isjoni
Ishaq:
1. Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (12981337), Raja Keritang ke-1
2. Raja Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2
3. Raja Merlang II (1400-1473), Raja Keritang ke-3
4. Raja Nara Singa II (1473-1508)4 yang kemudian
mendirikan Kesultanan Indragiri, Sultan Indragiri ke-1

dengan gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (15081532)
5. Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan
Indragiri ke-2
6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohammadsyah
(1557-1599), Sultan Indragiri ke-3
7. Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin
Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4
8. Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669),
Sultan Indragiri ke-5
9. Sultan Jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676),
Sultan Indragiri ke-6
10. Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan
Indragiri ke-7
11. Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan
Indragiri ke-8
12. Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri
ke-9
13. Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan
Indragiri ke-10
14. Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan
Indragiri ke-11
15. Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan
Zainal Abidin Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri
ke-12
16. Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah
(1735-1765), Sultan Indragiri ke-13
17. Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (17651784), Sultan Indragiri ke-14
18. Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15
19. Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16

20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Kramat
(1827-1838), Sultan Indragiri ke-17
21. Raja Said bergelar Sultan Sultan Said
Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan Indragiri ke-18
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (18761877), Sultan Indragiri ke-19
23. Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (18771883), Sultan Indragiri ke-20
24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah
(1887-1903), Sultan Indragiri ke-21
25. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah
(1912-1963), Sultan Indragiri ke-22
Sistem pemerintahan
Sistem Pemerintahan Indragiri memiliki system
pemerintahan khas yang dibangun oleh orang-orang
Melayu secara turun-temurun. Model pemerintahan
yang berlaku di dalam kesultanan Indragiri yang
bercirikan Islam telah memperkuat pertumbuhan dan
perkembangan budaya Melayu. Upacara-upacara
keagamaan di Indragiri tidak bias dilepaskan dari
Islam dan diaktualisasikan dalam kehidupan seharihari (Raja Thamsir Rahman Isjono & Zulkarnain [eds.],
2007:x).
Sistem pemerintahan yang berlaku di Kesultanan
Indragiri mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Dalam menjalankan pemerintahannya, pendiri
sekaligus raja pertama Kesultanan Indragiri Raja Nara
Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin

Iskandar Syah Johan, didampingi bendahara kerajaan
bernama Tun Ali dan diberi gelar ‘Raja di Balai’ (Yusuf
& Amin, et.al., 1994:19). Posisi bendahara kerajaan
pada masa itu adalah jabatan yang prestisius karena
hanya orang terdekat dan yang paling dipercaya oleh
Sultan sajalah yang bias menduduki posisi ini.
Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan masih memiliki
sejumlah hamba setia, antara lain Datuk Patih dan
Datuk Temenggung Kuning serta beberapa orang
lainnya. Selama Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan
berada di Melaka karena tidak diperkenankan tinggal
di Indragiri oleh Sultan Melaka, pemerintahan di
Kerajaan Keritang dijalankan oleh hamba-hamba setia
tersebut.
Sistem pemerintahan yang mulai terkonsep sejak
masa pemerintahan Sultan Alauddin Iskandar Syah
Johan ditingkatkan dan disempurnakan menjadi
Undang-Undang Kesultanan pada rezim Sultan Hasan
Salahuddinsyah
(1735-1765).
Undang-Undang
Kesultanan Indragiri itu meliputi Undang-Undang Adat
Kerajaan Indragiri, Pengadilan Adat Kerajaan, PanjiPanji Raja, serta Kerajaan (Lufti [ed.], 1977:83).
Undang-Undang Indragiri (Tengku Arief, 1991) sebagai
berikut:
1. Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga
Undang-Undang Adat, yang terdiri dari Beraja nan
Bedua, meliputi:
– Yang Dipertuan Besar Sultan

– Yang Dipertuan Muda, dan Berdatuk nan Berdua
yang meliputi Datuk Temenggung dan Datuk
Bendahara
2. Menteri nan Delapan, yaitu menteri-menteri
kesultanan Indragiri atau sebagai pembantu Datuk
Bendahara, berjumlah delapan orang, antara lain: Sri
Paduka, Bentara, Bentara Luar, Bentara Dalam,
Majalela, Panglima Dalam, Sida-Sida, dan Panglima
Muda
3. Tiga Datuk d Rantau, meliputi Orang-Orang Kaya
sebagai berikut: Orang Kaya Setia Kumara di Lala,
Orang Kaya Setia Perkasa di Kelayang, serta Orang
Kaya Setia Perdana di Kota Baru
4. Penghulu nan Tiga Lorong, terdiri atas:
– Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir
– Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir
– Dana Lela, di Pematang
5. Kepala Pucuk Rantau, mencakup:
– Tun Tahir di Lubuk Ramo
– Datuk Bendahara di sebelah kanan
– Datuk Temenggung di sebelah kiri
Selain itu, terdapat juga Peradilan Adat Kesultanan
Indragiri yang mengurusi hukum pidana maupun
perdata. Peralihan Adat Kesultanan Indragiri meliputi
dua mahkamah. Pertama adalah Mahkamah Besar,
dengan keanggotaan yang terdiri dari Yang dipertuan
Muda, Datuk Bendahara, dan beberapa anggota lain
yang dipiliah oleh Sultan Indragiri. Setiap Keputusan
Mahkamah Besar disampaikan oleh Datuk Bendahara
kepada Sultan Indragiri.
Mahkamah kedua adalah Mahkamah Kecil yang
mencakup wilayah di desa-desa di bawah kendali

seorang
Penghulu.
Pada
perkembangannya,
Mahkamah Kecil ini kemudian dikepalai oleh Amir atau
Camat pada masa sekarang. Di samping itu ada pula
Hukum Pidana Adat yang dikuasai Raja dan Orang
Banyak, serta Hukum Perdata mengenai Hukum Salo
(damai), pengaduan tentang kerugian, dan batas
putusan Penghulu (Yusuf & Amin, et.al., 1994:87-88).
Wilayah Kekuasaan
Raja Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan
Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat
untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan
Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat
Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar
sebagai Raja di Padang yang membawahi daerahdaerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir
sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang
pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning,
diangkat menjadi Raja di Rantau yang menguasai
tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan
sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di
sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang
Kuantan.
Pada masa Sultan Sultan Hasan Salahuddinsyah
(1735-1765),
terdapat
pembagian
kekuasaan
Kesultanan Indragiri (Yusuf & Amin, et.al., 1994:86-87)
meliputi:
1. Daerah Cenaku, terdiri atas 3 daerah pembatinan,
meliputi Pungkil, Pulau Serojan, dan Sanglap

2. Daerah Gangsal, terdiri dari Nan Tua Riye
Belimbing, Riye Tanjung, dan Pemuncak di Rantau
Langsat
3. Daerah Tiga Balai, terdiri dari Dian Cacar, Parit, dan
Perigi
4. Daerah Batin nan Enam Suku, meliputi Igal,
Mandah, Pelanduk, Bantaian, Pulau Palas, serta
Batang Tuaka
5. Daerah Kuantan, mencakup Cerenti Tanah Kerajaan,
Ujung Tanah Minangkabau, dan Kerajaan Tua Gadis
Tanggal 27 September 1938, disepakatilah Tractaat
van
Vrindchaap
(perjanjian
perdamaian
dan
persahabatan) antara Kesultanan Indragiri dengan
pemerintah
colonial
Hindia
Belanda
yang
menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Indragiri
menjadi Zelfbestuur (semacam daerah otonomi) dan
berdasarkan ketentuan tersebut akan ditempatkan
seorang controlleur (pengawas dari pemerintah
kolonial) wilayah Indragiri Hilir yang membawahi 6
daerah yang berupa wilayah keamiran, yaitu antara
lain: Amir Tembilahan di Tembilahan, Amir Batang
Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak,
Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah, Amir
Enok di Enok, serta Amir Reteh di Kota Baru
Sejak 31 Maret 1942, tentara Jepang berhasil masuk
Indragiri melalui Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2
April 1942 Jepang menerima penyerahan tanpa syarat
dari pihak Belanda atas Indragiri. Pada masa
pendudukan Jepang ini, Indragiri Hilir dikepalai oleh

seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan
dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu: Ku Cho
Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho
Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho
Mandah. Sebelum tentara Jepang mendarat di
Indragiri, telah dikumandangkan lagu Indonesia Raya
yang dipelopori oleh Ibnu Abbas. Pemerintahan Jepang
di Indragiri bertahan sampai bulan Oktober 1945,
yakni lebih kurang selama 3.5 tahun.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri
(Hulu & Hilir) masih menjadi satu kabupaten.
Indragiri terdiri atas 3 kawedanan, yaitu Kawedanan
Kuantan Singingi beribu kota Teluk Kuantan,
Kawedanan Indragiri Hulu beribu kota Rengat, dan
kawedanan Indragiri Hilir beribu kota Tembilahan.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1965 tanggal 14 Juno 1965, Lembaga Negara
Republik Indonesia Nomor 49, Daerah Persiapan
Kabupaten Indragiri Hilir resmi menjadi Kabupaten
Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten
Indragiri Hilir) sebagai salah satu kabupaten di
Propinsi Riau terhitung tanggal 20 November 1965.