Patofisiologi dan Penatalaksanaan penyakit Multi

Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Multi-drug Resistent Tuberculosis Paru
Elsa Gabriella Latupeirissa 102008149
Ria Fransiska 102012100
Reagan sanjaya purnama 102013031
Stephani gualagetzsa 102013069
Raydel BrianKwee Amalo 102013203
Nabilla Chusnah 102013215
David Yobel

102013408

Vennaya Masyeba 102013423
Nur Farhana Amani binti Che Wan Ahmad 102013536

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta. 11510

Pendahuluan
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium
tuberkulosis dan bersifat menular. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah

terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Di
Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai
rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan diganti
dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan ini disebut DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course Chemotherapy).
Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah kasus
tuberkulosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian
masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya

turun menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun 2012. Salah satu pilar penanggulangan
penyakit tuberkulosis dengan startegi DOTS adalah dengan penemuan kasus sedini mungkin.
Hal ini dimaksudkan untuk mengefektifkan pengobatan penderita, menghindari penularan
dari orang kontak yang termasuk subclinical infection, dan memastikan kepatuhan
pengobatan.
Pengobatan tuberculosis yang tidak patuh akan berujung pada terjadinya resistensi
kuman tuberculosis pada berbagai obat anti tuberkulosis (OAT). Hal ini membuat penanganan
tuberculosis menjadi semakin sulit dan akhirnya menghasilkan prognosa yang lebih buruk
juga. Karena itu edukasi terhadap pasien sangatlah penting dalam pengobatan tuberculosis
untuk menghindari terjadinya berbagai resistensi terhadap obat anti tuberculosis.


Pembahasan
Anamnesis
Jenis anamnesis yang tepat untuk dilakukan pada pasien berumur 35 tahun yang
masih dalam keadaan sadar ialah autoanamnesis, pertanyaan secara langsung diajukan kepada
pasien yang bersangkutan. Sebelum melakukan anamnesis, perlu dilakukannya inform
consent. Pertanyaan pertama biasa seputar identitas pasien berupa nama, usia, pekerjaan, dan
tempat tinggal. Kemudian tanyakan pada pasien mengenai keluhan utamanya. Ternyata
pasien datang untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya. Hal yang perlu kita tanyakan
ialah berupa riwayat penyakit sekarang yaitu ada keluhan berupa batuk atau tidak, jika ada
tanyakan sejak kapan, apa disertai dengan sputum dan darah. Kemudian apakah ada rasa
sesak napas, nyeri dada, hemoptisis, demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan
penurunan berat badan.1
Setelah itu tanyakan riwayat pengobatannya, pasien sudah berobat TB dua kali
sebelumnya. Yang pertama pasien hanya minum obat sekitar tiga bulan dan tidak melanjutkan
lagi pengobatannya. Saat ini pasien menjalani pengobatan TB kedua klainya, pasien
mengatakan ia mendapatkan obat suntik kali ini, dan sudah berjalan selama enam bulan.
Kemudian tanyakan apakah ada alergi, diabetes melitus, maupun penyakit jantung. Tanyakan
juga mengenai kadar asam uratnya, ini penting untuk penatalaksanaan medikamentosa.
Setelah itu, kita perlu mengetahui riwayat keluarga serta riwayat sosial (kebersihan, pola
makan, riwayat konsumsi alkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang). 1


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan yaitu nilai keadaan umum, tingkat kesadaran,
tanda-tanda vital (TTV). Kondisi umum pasien sakit ringan. Penilaian status kesadaran yaitu
compos mentis (kesadaran penuh dengan respons adekuat terhadap stimulus yang diberikan).
Pemeriksaan TTV meliputi pengukuran suhu tubuh (37,5, denyut nadi (78x/menit), tekanan
darah (120/70), dan frekuensi pernapasan (20x/menit). 1
Kemudian lakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada tubuh pasien mulai
dari kepala hingga kaki. Hasil pemeriksaan fisik pada kepala yaitu mata (konjungtiva anemis,
sklera tidak ikterik), leher (tidak teraba KGB yang membesar, JVP 5-2 cm H2O, tiroid tidak
teraba membesar). Pemeriksaan daerah thorax dengan auskultasi menunjukan suara napas
bronkovesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-, bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur
dan gallop. Pemeriksaan regio abdomen menunjukan perut datar, dan bentuk umum normal.
Pada bagian ekstremitas akral hangat, perfusi kurang dari 3 detik, tidak ada sianosis, clubbing
finger, dan edema. 1
Pemeriksaan Penunjang
Metode skrining yang digunakan untuk TB ialah tes tuberkulin dan IGRA (Interferon
Gamma Release Assay). Tes tuberkulin yang biasa dipakai ialah tes mantoux yakni dengan
menyuntikan 0,1cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative). Tes tuberkulin tidak dapat
mendeteksi tbc aktif atau tidak, namun dapat menyatakan individu sedang atau pernah

mengalami infeksi M.tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen
lainnya. Tes IGRA merupakan pemeriksaan darah yang dapat mendeteksi adanya infeksi TB
dalam tubuh. Pemeriksaan ini lebih sensitif dari pada TST (Tuberculin Skin Test) karena
protein yang digunakan dalam pemeriksaan IGRA tidak terdapat dalam vaksin BCG. 1,2
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan sputum.
Kemudian lakukan identifikasi bakteri dengan uji pewarnaan tahan asam (Ziehl-Neelsen atau
Kinyoun-Gabbet). Interpretasi pembacaan dengan mikroskop dengan skala IUATD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases): 1,2
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Pemeriksaan BTA masih merupakan pilihan utama diagnosis Tuberkulosis, karena
beberapa faktor sebagai berikut3 :


Dapat mengidentifikasikan sumber infeksi yang paling utama




Cepat



Tinggi spesifikasinya di negara high-prevalence Countries



Mudah aksesbilitasinya



Monitoring mudah dilakukan

Sementara ini, diketahui bahwa pemeriksaan BTA punya berbagai kelemahan, seperti3 :


Teknologi yang telah berumur lebih dari 100 tahun




Sensivitasinya sekitar 60%, dapat turun menjadi 20% pada pasien HIV (+)



Diperlukan waktu sedikitnya 6 minggu,untuk diagnosis pasti dilanjutkan dengan
kultur.



Sensitivitasnya relatif rendah pada spesimen paucibacillar



Resiko peningkatan angka negatif palsu, pada jumlah sampel yang besar




Tidak dapat membedakan bakteri hidup atau mati
Selain itu, kultur M.tuberculosis dapat menggunakan medium Lowenstein-Jensen dan

Middlebrook. M.tbc tumbuh lambat, koloni baru tampak sekitar 2-3 minggu, untuk
menyatakan negatif tunggu 6-8 minggu. Hasil BTA yang negatif bukan berarti bukan
penderita TB. Kultur bersifat lebih spesifik. 1,2
Pemeriksaan darah kurang spesifik. Pada tuberkulosis aktif didapatkan jumlah
leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri, LED dan limfosit
meningkat. Untuk identifikasi cepat bisa digunakan uji PCR dan DNA probe. Uji lainnya
yaitu tes serologi, yaitu tes takahashi, deteksi lipoarabinomannan (LAM), dan deteksi
Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB). (1) Tes takashi menggunakan prinsip reaksi aglutinasi
fosfatida kaolin (titer >128 merupakan penanda tbc aktif positif); (2) Deteksi antigen LAM
dengan teknik ELISA melalui urin penderita mengindikasikan TB aktif; (3) Hasil uji PAP-TB
dinyatakan patologis jika titernya 1:10000. 1,2
Pemeriksaan selanjutnya ialah uji sensitivitas obat. Uji ini perlu dilakukan pada pasien
TB yang sekiranya mungkin resisten terhadap OAT (obat anti tuberculosis) karena gejala dan

pemeriksaan radiologis tidak bisa membedakan pasien TB yang sensitif terhadap obat atau
tidak (multidrug-resistent TB/MDR-TB). Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah luciferase
reporter assay, microscopic-observation drug susceptibility (MODS) dan thin-layer agar

(TLA) assays. 1,2
Gambaran radiologis pada tuberculosis sering aneh, sehingga dikatakan tuberculosis
is the great imitator. Pemeriksaan radiologis yang biasa dilakukan yaitu foto polos thorax PA.
Namun karena beberapa faktor keselahan, dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, dan
tomografi. Dicurigai lesi TB aktif jika ditemukan: 1,2
- Bayangan berawan atau nodular di lobus atas paru segmen apikal dan posterior, lobus
bawah segmen posterior (reaktivasi TB)
- Seperti gambaran pneumonia dengan infiltrat di daerah tengah dan bawah paru (TB primer)
- Kavitas (apalagi jika >1)
- TB miliar (bercak halus yang merata pada seluruh permukaan paru
Gambaran lain yang mungkin ditemukan ialah:
- Gambaran lesi tidak aktif: fibrotik, kalsifikasi, schwarte
- TB miliar (bercak halus yang merata pada seluruh permukaan paru
- Penebalan pleura (pleuritis)
- Massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema)
- Bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks).
Klasifikasi Tuberculosis
TB dapat diklasifikasikan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 2
1. Kasus baru: belum pernah meminum OAT sebelumnya atau pernah mengonsumsi
OAT kurang dari satu bulan.

2. Kasus kambuh (relaps)
 Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah selesai pengobatan
dan dikatakan sembuh. Namun, didapatkan BTA (+) atau kultur (+) kembali


dan kembali konsumsi OAT.
Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukan lesi aktif atau perburukan dan gejala
klinis

(+),

maka

kemungkinannya,

yaitu

lesi

non-TB


(pneumonia,

bronkiektasis, dll) atau TB paru relaps.
3. Kasus default (setelah putus berobat): pasien yang telah berobat dan putus berobat
selama ≥ 2 bulan dengan BTA (+).

4. Kasus gagal: pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap (+) atau kembali lagi menjadi
(+) pada akhir bulan ke 5 atau akhir pengobatan OAT.
5. Kasus kronik: hasil sputum BTA tetap (+) setelah selesai pengobatan ulang (kategori
2) dengan pengawasan ketat.
6. Kasus bekas TB
 BTA (-), radiologi lesi tidak aktif atau foto serial gambaran sama, dan riwayat


minum OAT adekuat.
Radiologi gambarnya meragukan, mendapatkan OAT 2 bulan, foto toraks
ulang gambaran sama.

Diagnosa Kerja

Diagnosa kerjanya ialah pasien TB putus obat. Menurut klasifikasi pasien TB, kasus
ini merupakan kasus default. Definisinya ialah pasien yang telah berobat dan putus berobat
selama ≥ 2 bulan dengan BTA (+).4
Diagnosa Banding
1. Multi drug resistance TB (MDR TB)
MDR TB disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis yang
paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB merupakan hasil dari infeksi dari
organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul saat pasien sedang terapi, namun
terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di antara obat-obat lini kedua
untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi terhadap golongan
fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius dibandingkan dengan yang
tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk menjadi XDR-TB, dan
memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain. 4
2. Extensive drug resistance TB (XDR TB)
XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti
TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif,
isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap
golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga
obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR TB dan XDR TB
membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan
membutuhkan kegunaan dari obat second-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek
samping yang lebih banyak dari first-line therapy. 4

3. Total drug resistance TB (TDR TB)
Istilah 'tahan benar-benar obat belum jelas untuk TB. Sementara konsep 'resistensi obat
total' mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro tes kerentanan terhadap
obat secara teknis menantang. XDR-TB sangat mengurangi pilihan untuk pengobatan
meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar. Pilihan pengobatan untuk pasien TBXDR yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan lebih
terbatas. 4

Etiologi
Mikobakteria adalah bakteri obligat aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk
spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan penghilangan
warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil "tahan-asam".
Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat
penting bagi manusia.5

Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira
0,4 x 3 pm. Mikobakteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram-positif atau gram-negatif.
Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan
alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenar-nya ditandai oleh sifat
"tahan-asam"—misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asamalkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat
tahan-asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin. 5
Epidemiologi
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China
dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India, dan Indonesia berturut-turut
1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di
Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan
survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian
tertinggi di Indonesia. Pravelensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai
sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV
karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa datang
melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun.4,5

Patogenesis
Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA (+). Pada waktu batuk/bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).2-4
1. Infeksi Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer
(sarang ghon). Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer (kompleks ghon). Kompleks primer ini akan mengalami: 2,3
a.

Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

b.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,

sarang perkapuran di hilus)
c.

Berkomplikasi dan menyebar secara: perkontinuitatum yakni menyebar kesekitarnya;

penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan ke usus; penyebaran secara limfogen dan hematogen.
2.

Infeksi post primer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maup un lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: 1)Diresopsi kembali dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat; 2)Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran; 3)Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukan keluar. Sarang pneumoni
meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dinding
menebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi: meluas kembali dan menimbulkan

sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan di atas. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair
lagi dan menjadi kaviti lagi . Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau
kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir
sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped). 2,3
Gejala Klinis
Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita tuberkulosis paru apabila ditemukan
gejala klinis utam (cardinal symptoms) pada dirinya. Gejala utama pada tersangka TB ialah
batuk berdahak lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala
lainnya ialah berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan
berat badan. 2,3
Penatalaksanaan
First line terapi dari TBC adalah Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamide, Etambutol, dan
Streptomycin. Pada kasus baru untuk pasien TBC dimasukkan dalam kategori I dan diberikan
minimal 6 bulan terapi dengan 2 bulan merupakan fase intensive Isoniazid, Rifampicin,
Pirazinamid, dan Etambutol dan dilajutkan dengan fase lanjutan selama 4 bulan (\Isoniazid
dan Rifampisin (2RHZE/4RH).6
Sedangkan untuk kasus kambuh, default, dan gagal dimasukkan dalam kategori II dan
diberikan pengobatan 2 bulan Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, dan
Streptomisin

serta

1

bulan

Rifampisin,

Isoniazid,

Pirazinamid,

Etasmbutol

(2RHZES/1RHZE) selama fase intensive. Untuk fase selanjutnya sebaiknya ditunggu hasil
uji resistensi. Jika hasil sudah ada untuk fase lanjutan mengikuti hasil uji resistensi tersebut.
Bila tidak ada uji resistensi diberikan 5 bulan Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid (5RHE). 6
1. Isoniazid ( H )
Dikenal dengan INH, obat ini memiliki mekanisme kerja dengan menghambat biosintesa
asam mikolat, suatu unsur penting dinding sel bakteri Mycobacterium. Dosis yang dianjurkan
adalah 5 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 300 mg. Pada pemberian isoniazid harus
diberikan juga Piridoxine 25-50 mg PO untuk mencegah terjadinya neuritis perifer.2-4

2. Rifampisin (R)
Bekerja menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari bakteri mycobacterium.
Diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 600 mg. Rifampisin
memiliki efek samping cukup berat terhadap hepar (hepatotoksik). Pada penggunaan
rifampisin juga urin pasien akan berwarna merah sehingga harus diberitahu terlebih dahulu
bahwa itu hanya merupakan efek samping dari obat. 2-4
3. Pirazinamid (Z)
Merupakan analog nicotinamid yang bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja belom
diketahui secara pasti. Diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari. Pirazinamid akan
meningkatkan enzim SGOT/SGPT sehingga harus dipantau secara berkala fungsi hati. Selain
itu pirazinamid juga akan meningkatkan asam urat sehingga harus berhati-hati dalam
pengobatan. 2-4
4. Etambutol (E)
Etambutol dapat masuk secara diffuse ke dalam sel mikrobakteri yang sedang aktif dan
menghambat sintesis metabolisme sel yang akan berujung pada kematian sel. Ethambutol
memiliki efek samping yaitu neuritis retrobulbar yang biasanya reversible dengan
penghentian obat. Karena itu dalam pemberian ethambutol pemeriksaan mata setiap
bulannya sangat direkomendasikan. Diberikan dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. 2-4

5. Streptomisin (S)
Merupakan suatu antibiotic aminoglikosida yang menghambat pertumbuhan kuman.
Dosis pemberian untuk streptomisin adalah 15 mg/kgBB/hari. Streptomisin memiliki efek
samping yang cukup serius pada pendengaran dan gangguan keseimbangan. 2-4
Untuk penanganan kasus MDR-TB obat yang digunakan di Indonesia adalah OAT lini
ke-2, seperti kanamisin, capreomisin, levofloksasin, etionamid, sikloserin, dan PAS serta
OAT lini pertama, yaitu pirazinamid dan etambutol. Prinsip pengobatan kasus TB dengan
MDR yaitu minimal konsumsi 4 macam OAT yang masih efektif, jangan konsumsi obat yang
mungkin akan menjadi resisten silang, dan membatasi penggunaan obat yang tidak aman.
Lama pengobatan minimal adalah 20 bulan setelah konversi biakan, yang dilakukan berturut-

turut dengan jarak 30 hari dan dengan fase intensive yang berlangsung 8 bulan (dengan
menyertakan aminoglikosida parenteral, seperti kanamisin dan capreomisin). 2-4
Prognosis
Prognosis pada MDR TB lebih buruk dibanding TB tanpa resistensi dan XDR TB
lebih buruk dibanding MDR. Hal ini disebabkan karena penanganannya pun akan menjadi
lebih sulit dan belom tentu obat yang ditentukan tersedia di Indonesia. Selain itu fasilitas
pelayanan kesehatan di Indonesia yang kurang memadai pun menjadi salah satu penyebab
prognosisnya menjadi lebih buruk.5

Kesimpulan
Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan
diperparah dengan timbulnya masalah resisten obat. Multi-drug resistant TB adalah suatu
infeksi tuberculosis yang sudah resisten terhadap obat lini pertama, yaitu isoniazid dan
rifampisin. Untuk itu dalam pengobatan digunakan kombinasi obat anti tuberculosis lini
kedua dengan total waktu pengobatan 20 bulan.

Daftar Pustaka
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. h.864-70.
2. Tanto C, et al. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
h. 828-32.
3. Amin Z, Bahar A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.2230-47.

4. Longo, Fauci, Kasper, et al. Harrison’s principle of internal medicine. 18th ed. New
york: Mc-Graw Hill; 2011. p.5124-5.
5. Dinihari TN, Siagian V. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2014. h.20-30.
6. Berg RH. Communicable medical diseases. Bloomington: Balboa Press; 2014. p.494500.