Semoga Sukses sukses terus ya completed

  

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP RELIGIUSITAS ANAK

Yustisia Aulia Insancita (11150700000163)

ABSTRAK

  Pola asuh orang tua memiliki peranan penting terhadap perkembangan anak. Pola asuh merupakan suatu system dalam menjaga, merawat, dan mendidik yang memiliki sifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Orang tua didalam memberikan pola asuh kepada anaknya memiliki berbagai jenis, yaitu: pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh penelantaraan. Disamping itu religiusitas sangat berperan penting terhadap anak, karena religiusitas adalah kualitas keadaan individu dalam memahami, menghayati ajaran agama yang dianutnya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang dapat merefeksikan ketaatan dalam beragama. Pada penelitian kali ini, peneliti bertujuan untuk meneliti pola asuh orang tua terhadap religiusitas anak di daerah Tangerang Selatan responden dalam penelitian ini adalah 5 orang yang terdiri dari 2 laki-laki (bapak) dan 3 perempuan (ibu). Teknik pengambilan data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara. Keyword: pola asuh dan religiusitas

  PENDAHULUAN

  Pola asuh adalah cara orang tua membesarkan anak dengan anak, serta mempengaruhi tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-hari (Baumarind dalam Papalia, 2004). Orang tua sangat berperan penting dalam mendidik anaknya dalam beragama. Tapi pada kenyataannya tidak semua orang tua berhasil dalam membimbing anaknya dengan baik, sehingga anak cenderung berperilaku negatif. Padahal orang tua merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yaitu tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru oleh anaknya. Semua keteladanan tersebut akan melekat pada diri dan perasaan anak, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun spiritualnya. Keteladanan merupakan faktor penentu baik dan buruk anak seperti sikap keagamaan. Adakalanya orang tua harus bersikap atau bertindak sebagai patokan, sebagai contoh, dan menjadi bagian dari kepribadiannya. Menurut Baumarind (1967) pola asuh anak memiliki memiliki 4 tipe, yaitu: permisif, otoriter, demokratis, dan pengabaian. Tipe tersebut merupakan hasil kombinasi dari dua dimensi, yaitu: demaindingness (tuntutan) dan responsiveness (pengasuhan).

  Orang tua yang demokratis selalu mendorong anaknya tanpa menggunakan perintah dan memberikan dukungan untuk anaknya. Orang tua yang otoriter mendorong anaknya untuk menuntut, selalu memerintah tetapi tidak melakukan pendampingan atau dukungan untuk anaknya. Orang tua yang permisif hanya sedikit memberikan tuntutat tetapi tuntutan tersebut tidak dalam bentuk perintah dan selalu memberikan dukungan untuk anaknya. Orang tua yang mengabaikan anaknya ini hanya sedikit memberikan tuntutan kepada anaknya dan tidak mendukung anaknya.

  Perilaku religiusitas akan lebih efektif apabila ditanamkan di lingkungan keluarga yaitu sejak seseorang masih dalam masa kanak-kanak. Masa kanak-kanan adalah masa yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama. Setiap anak dilahirkan sudah memiliki potensi beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut oleh anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua (Jalaludin, 2011). Selain memenuhi segala kebutuhan anak, orang tua wajib aktif membentuk mental anak agar selalu berkata benar dan taat kepada orang tua, baik di rumah dan lingkungan sosial. Religiusitas bukan sekedar keyakinan saja melainkan terdapat aspek internalisasi yang harus diamalkan di dalamnya.

  LANDASAN TEORI Pola Asuh Orang Tua Menurut Abd. Shomad

  bahwa pola adalah hal atau kegiatan yang dilakukan secara terus Sedangkan asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya

  11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus 2 Besar Bahsa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), hal. 778 Abd. Shomad, Hand Out Mata Kuliah Antropologi Pendidikan Islam 2009 3 (Yogyakarta:Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga) Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ibid.

  Pola asuh dapat diartikan suatu cara terbaik yang ditempuh orang tua dalam mendidik anaknya sebagai perwujudan rasa tanggung jawab serta bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, mendisiplinkan, serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan. Bahkan sampai pembentukkan norma yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Bentuk pola asuh orang tua sangat sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah anak menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benih ke dalam jiwa seorang individu sejak awal, yaitu pada masa kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara ia diajarkan orang tua sewaktu kecil.

  Bentuk – Bentuk Pola Asuh Orang Tua

  Ada empat tipe pola asuh orang tua menurut Baumarind (1967) meliputi: Pola Asuh Demokratis, Pola Asuh Otoriter, Pola Asuh Permisif (Pemanjaan), Pola Asuh Penelantaran.

  A. Pola Asuh Demokratis Pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu untuk mengendalikan mereka. Pola asuh seperti ini kasih sayangnya cenderung stabil atau pola asuh bersikap rasional. Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak dan tidak berharap berlebihan. Hasilnya anak menjadi mandiri, mudah bergaul, mampu menghadapi stress, berminat terhadap hal-hal baru, dan dapat bekerjasama dengan orang lain.

  B. Pola Asuh Otoriter Pola asuh yang menetapkan standar mutlak yang harus dituruti. Kadangkala dapat disertai dengan ancaman, misalnya apabila anak tidak ingin mengaji maka anak tersebut akan dipukul. Orang tua seperti ini akan membuat anak menjadi tidak percaya diri, penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kepribadiannya lemah, dan sering menarik diri dari lingkungan sosialnya.

  C. Pola Asuh Permisif Pola asuh ini memberikan pengawasan yang longgar.

  Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak. Orang tua permisif ini memberikan kasih sayang kepada anaknya berlebihan. Karakter anak menjadi impulsif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri (egois), kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

  D. Pola Asuh Penelantaraan Pola asuh ini orang tua memberikan waktu dan biaya yang sangat minim untuk anak. Orang tua lebih memilih sibuk bekerja daripada memperhatikan anaknya. Karakter yang terbentuk pada anak biasanya menjadi moody, implusif, agresif, kurang bertanggungjawab, tidak mau mengalah,

  Dimensi Pola Asuh Orang Tua

  Menurut Diana Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2004, Papalia, 2004, Santrock, 2003), ada dua dimensi besar yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis pola asuh orang tua, yaitu:

  A. Tanggapan (Responsiveness) Dimensi ini berkenaan dengan sikap orang tua yang menerima, penuh kasih sayang, memahami, mau mendengarkan, berorientasi pada kebutuhan anak, menentramkan dan sering memberikan pujian. Sikap hangat orang tua kepada anak berperan penting dalam proses sosialisasi antara orang tua dan anak. Pada keluarga yang orang tua menerima dan tanggap dengan anak-anak, sering terjadi diskusi terbuka dan juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak, seperti saling mengekspresikan kasih sayang dan simpati. Namun pada orang tua yang menolak dan tidak tanggap terhadap anak-anak, orang tua bersikap mem-benci, menolak atau mengabaikan anak. Sikap orang tua seperti itu sering menjadi penyebab berbagai masalah yang dihadapi oleh anak, mulai dari segi kognitif, kesulitan akademis, ketidak-seimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya, gangguan 4 neurotik, sampai dengan masalah karakteristik seperti

  

Ramadhan, Tarmizi, Pola Asuh Orang Tua Dalam Mengarahkan Perilaku Anak delinkuensi (Anthony dkk; Heilbrun dkk; Martin dkk; Rutter dkk; dalam Conger 1991).

  B. Tuntutan atau demandingness Kasih sayang dari orang tua tidaklah cukup untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif.

  Kontrol orang tua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar menjadi individu kompeten, baik secara sosial maupun intelektual. Ada orang tua yang membuat standar tinggi untuk anak dan mereka menuntut agar standar tersebut dipenuhi anak (demanding). Namun ada juga orang tua menuntut sangat sedikit dan jarang sekali berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku anak

  (undemanding). Tun-tutan-tuntutan orang tua yang

  bersifat ekstrim cenderung menghambat tingkah laku sosial, kreativitas, inisiatif dan feksibilitas dalam pendekatan masalah-masalah pendidikan maupun praktis, kemudian mengkombinasikan kedua dimensi pola asuh tersebut dan meng-hasilkan tiga jenis pola asuh, yaitu: pola asuh authoritarian, permissive, dan

  authoritative.

  Aspek – Aspek Pola Asuh

  Menurut Diana Baumrind (Bee & Boyd, 2004), terdapat 4 aspek dalam pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, yaitu:

A. Kendali dari orang tua (Parental control)

  Kendali dari orang tua adalah tingkah laku orang tua dalam menerima dan menghadapi tingkah laku anaknya yang dinilai tidak sesuai dengan pola tingkah laku yang diharapkan oleh orang tua. Termasuk pula usaha orang tua dalam mengubah tingkah laku ketergantungan anak, sikap agresif dan kekanak-kanakan, serta menanamkan standar tertentu yang dimiliki orang tua terhadap anak.

  

B. Tuntutan terhadap tingkah laku matang (Parental maturity

demands)

  Tuntutan terhadap tingkah laku matang adalah tingkah laku orang tua untuk mendorong kemandirian anak dan mendorong anak supaya memiliki rasa tanggung jawab atas segala tindakan.

  

C. Komunikasi antara orang tua dan anak (Parent-child

communication) Komunikasi antara orang tua dan anak

  adalah usaha orang tua menciptakan komunikasi verbal dengan anak. Beberapa bentuk komunikasi yang dapat terjadi yaitu komunikasi berkomunikasi antara orang tua dan anak (Parent-child communication) Komunikasi antara orang tua dan anak adalah usaha orang tua menciptakan komunikasi verbal dengan anak. Beberapa bentuk komunikasi yang dapat terjadi yaitu komunikasi ber pusat pada orang tua, berpusat pada anak atau terjalin komunikasi dua arah (orang tua dan anak).

  

D. Cara pengasuhan atau pemeliharaan orang tua terhadap

  anak (Parental nurturance)

  Cara pengasuhan orang tua adalah ungkapan orang tua untuk menun-jukkan kasih sayang, perhatian terhadap anak dan bagaimana cara memberikan dorongan kepada anak. Ada 2 unsur dari aspek pengasuhan tersebut di atas yaitu unsur kehangatan dan keterlibatan. Kehangatan berarti pencurahan cinta dan pengorbanan orang tua bagi anak yang ditun-jukkan dengan sentuhan fsik, pemberian dukungan verbal terhadap tingkah laku dan perasaan anak. Sedangkan keterlibatan berarti kemam-puan orang tua mengenali tingkah laku dan perasaan anak, merasa bangga dan senang atas keberhasilan anak, serta memberi perhatian pada kesejahteraan anak.

  Religiusitas Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.

  Aktiftas beragama bukan hanya terjadi Religiusitas adalah kualitas keadaan individu dalam memahami, menghayati ajaran agama yang dianutnya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang dapat merefeksikan ketaatan dalam beragama. Menurut Rahmat (dalam Ali, 2007) religiusitas merupakan sikap keagamaan yaitu suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang dapat mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.

  Agama dan religiusitas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi karena keduanya merupakan konsekuensi logis manusia yang diibaratkan selalu memiliki dua kutub, yaitu kehidupan pribadi dan kebersamaan ditengah masyarakat (Mangunwidjaja). Tidak jauh berbeda dengan pendapat Glock dan Stark mereka memahami bahwa religiusitas sebagai kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari – hari di masyarakat (Afriani, 2009) Religiusitas tidak hanya rampak dari perilaku ritual dan pengalaman ajaran agama dalam kehidupan kesehariannya akan tetapi termanifestasi dalam bentuk keimanan dan penghayatan agama yang dirasakan (Afriani, 2009).

  Agama menurut Glock dan Stark (dalam Jamaludin Ancok, 1994 : 76) adalah sistem simbol, sistem keyakinan, tujuan, serta mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan terwujudnya rencana dan tujuan yang telah disusun.

DIMENSI RELIGIUSITAS

  Menurut Glock, dalam Ancok dan Suroso (1994) terdapat lima dimensi religiusitas, yaitu:

  1. Dimensi Ideologis (Ideological Dimention) Dimensi ini merupakan tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal‐hal yang dogmatik dalam agamanya.

  Misalnya kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan neraka.

  Dimensi ini mencakup sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran‐ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci.

  3. Dimensi Ritualitas (Ritualistic Dimention) Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek- praktek keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:

  a. Ritual Mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagaamn formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para umat melaksanakannya. Dalam islam sebagian dari pengharapan ritual diwujudkan dalam shalat, zakat, puasa, qurban, dan semacamnya.

  b. Ketaatan Ketaatan dan ritual itu bagaikan ikan dan air meskipn ada perbedaan penting diantara keduanya. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas merupakan bagian dari komitmen publik, semua agama yang dikenal mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi.

  4. Dimensi Pengalaman (Experiential Dimention)

  Dimensi ini mencakup perasaan‐perasaan atau pengalaman‐pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya perasan dekat dengan Tuhan, merasa dilindungi Tuhan, dan merasa doanya dikabulkan.

  5. Dimensi Konsekuesi (Consequential Dimention) Dimensi ini mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit dan membantu teman yang sedang mengalami kesusahan.

METODE PENELITIAN

  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Responden untuk penelitian kali ini terdapat 5 orang responden. Tujuan dari penelitian kali ini adalah melihat pola asuh orang tua terhadap religiusitas anak. Peneliti menggunakan metode wawancara dan berikut adalah ulasan dari subjek :

  1. Responden Pertama Responden yang pertama merupakan orang tua dengan inisial nama AS yang merupakan ibu dari seorang anak sekolah yang berusia 6 tahun. Dalam hal ini AS menyampaikan bahwa cara orang tua menerapkan pola asuh tentang pandangan religiusitas kepada anak yang benar itu dengan cara pola asuh yang otoriter. Karena dengan pola asuh yang otoriter tersebut anak akan nurut dan taat dalam beribadah sehingga takut untuk meninggalkan ibadahnya. Sebab apabila sang anak meninggalkan ibadahnya maka orang tua akan memarahinya. Menurut AS pola asuh otoriter tersebut sangat memiliki pengaruh besar kepada anak yang membutuhkan bimbingan religiusitas. Orang tua harus menerapkan tentang agama yang benar kepada anaknya karena orang tua itu adalah panutan bagi si anak.

  2. Responden Kedua Responden yang kedua merupakan ibu dari 2 orang anak.

  Ibu ini menekankan bahwa pola asuh yang benar untuk diterapkan kepada anaknya tentang pandangan agama itu adalah pola asuh yang demokratis. Karena dalam pola asuh yang demokratis ini anak tidak ada tekanan apapun untuk melakukan hal dalam beribadah, menurut ibu tersebut anak akan menjadi mandiri dengan sendirinya. Karena apabila pola asuh yang diterapkan adalah pola asuh yang otoriter anak seakan merasa tertekan bukan sadar dengan sendirinya. Orang tua pun harus menerapkan pandangan agama yang benar kepada anaknya sebab orang tua adalah cerminan seorang anak untuk berkembang di masa depan.

  3. Responden Ketiga Responde yang ketiga adalah ibu Wulan beliau ibu dari satu orang anak, menurut ibu Wulan orang tua manapun pasti akan berusaha melindungi keluarga dan anak- anaknya dari pengaruh negatif informasi atau budaya luar. Satu satunya cara untuk melindungi anak akan hal tersebut memang hanya dengan pemahaman agama dan iman yang kuat. Apalagi jika benteng keimanan dibangun dengan pondasi yang kuat sejak dini. Karena sekuat apapun usaha orang tua mengawasi anak tetap tidak bisa 24 jam penuh. Apalagi orang tuanya bekerja. Misalnya kewajiban shalat berlaku untuk anak-anak yang berusia 6 tahun. Ibu Wulan menerapkan pola asuh kepada anaknya adalah pola asuh yang otoriter, karena menurutnya pola asuh yang otoriter itu patut diberikan kepada anak yang berusia lebih dari 6 tahun, misalnya: anak tersebut tidak shalat, mengaji, dan lain sebagainya yang berbasis agama dia melalaikannya maka iya harus dihukum, cotohnya: dicubit. Hukuman mental dan fsik tersebut akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak tersebut terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tuanya yang telah membesarkannya.

  4. Responden Keempat Responden yang keempat ini peneliti mewawancarai seorang bapak yang bernama Nova, beliau memiliki 2 orang anak. Menurut bapak Nova terlebih dahulu orang tua harus menerapkan disiplin dalam beribadah terhadap dirinya sendiri, karena pada umumnya anak pada umur 6 – 12 tahun cenderung akan meniru perilaku orang tuanya.

  Aka akan sia-sia jika orang tua menerapkan berbagai

  Kemudian orang tua melakukan pendekatan terhadap anaknya dengan cara mengenalkan bahwa ibadah adalah hal yang baik, mengajak anak beribadah dengan cara menyenangkan dan tanpa adanya paksaan. Bapak Nova ini lebih menekankan pola asuh demokratis kepada anaknya, karena dalam pola asuh demokratis tersebut orang tua lebih mengajarkan anak untuk lebih baik, misalnya: mengucapkan “Bismillah” sebelum melakukan sesuatu.

  5. Responden Kelima Responden yang kelima ini peneliti mewawancarai seorang bapak yang bernama Fairuz, beliau memiliki 3 orang anak.

  Menurut bapak Fairuz sesibuk bapak Fairuz melakukan pekerjaannya beliau tetap memantau anaknya dalam beribadah. Bapak Fairuz ini memiliki pandangan bahwa religiusitas atau agama harus ditanamkan sejak dini. Tetapi pola asuh yang diterapkan oleh bapak Fairuz ini adalah memberikan anaknya reward apabila anaknya tersebut menjalankan shalat 5 waktu tanpa ada yang bolong dalam satu hari full serta mengaji setelah shalat maghrib. Menurutnya reward yang diberikan itu akan mengurangi kekerasan kepada anak, baginya tidak semua anak akan terbiasa dengan sebuah ancaman ada saja anak yang akhirnya tidak patuh apabila anak tersebut merasa disakiti. Pola asuh seperti itu termasuk ke dalam pola asuh permisif. Populasi dalam penelitian ini adalah bapak dan ibu yang memiliki anak usia 6 tahun di daerah Tangerang Selatan. Keseluruhan jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 5 responden yang terdiri dari 2 laki-laki (bapak) dan 3 perempuan (ibu).

  HASIL

  Dari hasil wawancara yang diajukan oleh peneliti memiliki hasil bahwa orang tua memiliki pola asuh yang berbeda dalam mendidik atau membimbing anak untuk mengetahui atau memahami religiusitas. Tetapi dari 5 responden yang diteliti bahwa mereka 2 orangtua menerapkan pola asuh otoriter, 2 orangtua menerapkan pola asuh demokratis, dan 1 orangtua menerapkan pola asuh permisif. Maka dari itu dapat ditulis bahwa rata-rata orangtua menerapkan pola asuh demokratis dan otoriter.

  DISKUSI

  Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa

  

pola asuh demokratis orangtua adalah interaksi antara orangtua

dengan anak untuk mengarahkan perilaku anak, mendidik,

membimbing dan mendisiplinkan anak serta melindungi anak

dalam mencapai proses kedewasaan hingga sesuai dengan

norma yang diharapkan oleh masayarakat pada umumnya.

Orangtua dalam interaksinya dengan anak-anak menggunakan

cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anaknya. Dan

untuk pola asuh otoriter Orang tua mungkin berpendapat bahwa

  anak memang harus mengikuti aturan yang ditetapkannya. Apa pun peraturan yang ditetapkan orang tua semata-mata demi peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian efek.

  SARAN

  Setiap upaya yang dilakuakan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi:

   Perilaku yang patut dicontoh :Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniru dan identifkasi bagi anak-anaknya.

   Kesadaran diri :Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendororng mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku.

   Komunikasi :Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahanya

DAFTAR PUSTAKA

  Ramadhan Tarmizi, Pola Asuh Orang Tua Dalam Mengarahkan

  Perilaku Anak

  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Valentina. 2009. Peran Orang Tua dalam Mengembangkan

  Religiusitas Anak. Surakarta: UNS

  Respati, dkk. 2006. Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Akhir

  

yang Mempersepsi Pola Asuh Orang Tua Authoritarian,

Permissive, dan Authoritative. Jakarta: Indonesia

  Andriyani, J. 2003. Perbedaan Tingkat Religiusitas dan Konsep Diri Antara Remaja Yang Menempuh Pendidikan di Pondok Pesantren Dengan Remaja Yang Menempuh Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri. Tesis. Tidak diterbitkan. Yogyakarta