BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BATIK DI SURAKARTA - Peran Santosa Doellah Terhadap Pelestarian Batik Di Surakarta (1967-2012)

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BATIK DI SURAKARTA A. Pengertian Batik Batik merupakan sebuah gambaran ragam hias pada kain yang teknik pengerjaannya menggunakan lilin atau malam batik sebagai perintang warna. Dilanjutkan dengan proses pencelupan warna menggunakan pewarna sintetis

  maupun dengan pewarna alam. Proses pembuatan batik merupakan salah satu cara untuk bermeditasi yang dilatarbelakangi oleh filsafat tradisi dengan kharisma

  1 yang tinggi.

  Batik merupakan karya seni budaya tradisional bangsa Indonesia yang adilihung. Pada umumnya istilah batik dan seni lukis batik merupakan suatu teknik menggambar ornamen hias di atas kain dengan menggunakan proses tutup

  2 celup atau biasa disebut sebagai proses celup rintang (resist dye technique).

  Proses celup rintang sendiri ada dua jenis yaitu: tenun dengan menggunakan benang sebagai perintangnya, dan batik dengan malam sebagai perintangnya.

1 Panembahan

  Hardjonagoro, “Batik and its Agricultural Value” dalam

  katalog All about Batik: Art of Tradition and Harmony, (Osaka: The Asahi Shimbun Company Cultural Projects and Busines, 2007), hal 194.

  2

commit to user

  Wawancara dengan Asti Suryo Astuti, Asisten Manager Museum dan Pada hakekatnya batik adalah karya seni yang banyak memanfaatkan

  3

  unsur menggambar ornamen pada kain dengan proses tutup celup. Menurut Kalinggo Hanggopuro mengenai batik adalah sebagai berikut ,

  “Kata bathik dengan batik atau huruf yang seharusnya tha ditulis dengan ta. Dimana bathik menurut penulis terdahulu diartikan menururt jarwad hosok (penyatuan dua kata yang berlainan dengan menjadi kata yang baru) yaitu ngembat titik atau rambataning titik-titik. Dimana dari jarwadhosok tersebut dimaksudkan bahwa bathik merupakan suatu rangkaian dari titik-

  4

  titik.” Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan ketrampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklu sif perempuan sampai ditemukannya “Batik cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak „mega mendung, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan

  

5

membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

  3 Soedarsono, Retna Astuti, dan I.W. Pantja Sunjata, Aspek Ritual dan kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa , (Yogyakarta: Proyek Penelitian

  dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktoreat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudyaan, 1985), hlm 45.

  4 K.R.T. Kalionggo Honggopuro, Bathik Sebagai Busana Dalam Tatatnan dan Tuntutan, (Surakarta: Yayasan Peduli Kraton Surakarta Hadiningrat, 2002),

commit to user

hlm 1.

  5

  Menurut konsensus Nasional 12 Maret 1996, “batik” adalah karya seni rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang yang menggunakan lilin (malam/wax)

  6 batik sebagai perintang warna.

  Sampai saat ini arti dari kata batik belum pernah dicapai kata sepakat. Ada yang mengatakan bahwa sebutan batik berasal dari kata “tik” yang terdapat di dalam kata titik, titik berarti juga tetes. Memang di dalam membuat kain batik dilakukan pula penetesan lilin di atas kain putih. Ada juga yang mencari asal kata batik di dalam sumber-sumber tertulis kuno. Menurut pendapat ini, kata batik dihubungkan dengan kata tulis atau lukis. Dengan demikian, asal mula batik

  7 dihubungkan pula dengan seni lukis dan gambar pada umumnya.

  Batik adalah sehelai wastra yang merupakan sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan juga digunakan dalam matra tradisional serta ragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan “malam” sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok yaitu teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas

  8 batik.

  Menurut terminologinya, batik adalah gambar yang dihasilkan dengan menggunakan alat canting atau sejenisnya dengan bahan lilin sebagai penahan masuknya warna. Dalam perkembangan bentuk dan fungsinya, batik kemudian tidak semata-mata untuk kepentingan busana saja tetapi juga dapat digunakan

  6 Riyanto, et.al., Katalog Batik Indonesia, 1997, hlm 4.

  7 A.N. Suyatno, Sejarah Batik Yogyakarta, (Yogyakarta : Merapi, 2002),

commit to user

  hlm 2

  8 untuk elemen interior, produk cinderamata, media ekspresi bahkan barang-barang mebel.

  Sementara itu menurut Hamzuri batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada mori yang dibuat menggunakan alat bernama canting. Orang yang

  9

  melukis atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik. Banyak jenis kain tradisional Indonesia yang memiliki cara pemberian warna yang sama dengan pembuatan batik yaitu dengan pencelupan rintang. Perbedaannya dengan batik adalah pada penggunaan malam sebagai bahan perintang warna, sedangkan kain tradisioanal lain biasanya menggunakan bahan lain sebagai perintang warna. Ada beberapa kain tradisional yang cara pembuatannya mirip dengan pembuatan batik seperti kain Simbut (suku Baduy Banten), kain Sarita dan kain Maa (Suku Toraja, Sulawesi Selatan), kain Tritik (Solo, Yogyakarta, Palembang, Banjarmasin, Bali), kain Jumputan dan kain Pelangi (Jawa, Bali, Lombok, Palembang, Kalimantan, dan Sulawesi) dan kain Sasaringan (Banjar, Kalimantan

10 Selatan).

B. Sejarah dan Perkembangan Batik Surakarta

  Sejarah batik di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, perkembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Jadi batik di Indonesia telah

  9

commit to user

A.N. Suyatno, op.cit, hal 3.

  10 dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya.

  Batik dari Surakarta berkembang setelah wilayah Mataram terpecah menjadi dua, yaitu Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Ketika terjadi perpecahan tersebut semua barang-barang kerajaan dibawa ke Yogyakarta. Dari perabotan keraton sampai batik juga ikut dibawa ke Yogyakarta. Suatu hari ketika Pakoe Boewana IV memutuskan untuk membuat sendiri busana keraton yang baru. Busana tersebut diberi nama Gragak Surakarta yang berarti Gaya

11 Surakarta.

  Gambar 1: Motif Batik Gragak Surakarta (Dokumentasi Ari Wulandari dalam bukunya Batik Nusantara)

  

commit to user

  11

  Setelah pembuatan Gragak Surakarta, corak batik Surakarta mengalami banyak perubahan, banyak corak batik yang mulai berkembang. Walaupun batik Surakarta mengalami berbagai inovasi, namun sebenarnya motifnya tetap bersumber pada motif batik Yogyakarta. Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Keraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam

  12 VII mempersunting putri Susuhunan Pakubuwana X.

1. Batik Keraton Surakarta

  Di dalam lingkungan keraton, selain dikenal ragam busana sehari-hari dan ragam busana untuk upacara kerajaan, terdapat pula ragam busana batik yang mengandung makna filosofi tertentu. Aturan pemakaian ragam busana batik di lingkungan keraton dapat ditinjau dari beberapa konteks. Salah satunya adalah pemakaian ragam busana batik harus dikenakan hingga menutupi mata kaki. Apabila ada perempuan di lingkungan istana yang mengenakan kain batik jauh lebih tinggi dari mata kakinya, maka wanita itu bisa dianggap tidak memahami adat-istiadat istana, bahkan bisa dituding telah berpakaian dengan tidak sopan. Aturan ini pada dasarnya bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat wanita

  13 itu sendiri.

12 Ibid., hlm 118.

  13

commit to user

  Heriyanto Atmojo, Batik Tulis Tradisional Kauman Solo, (Solo: Tiga Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu peradaban, pemerintahan, dan budaya Jawa yang masih kuat bertahan hingga saat ini. Sebagai titik nadi kebudayaan Jawa, Kasunanan Surakarta Hadiningrat tentu saja mempunyai ragam busana batik yang membuat motif dan corak dengan kandungan makna dan filosofis yang bernilai seni tinggi. Motif ragam busana batik di Kasunanan Surakarta Hadiningrat di antaranya adalah sawat atau hase yang berupa motif sayap yang melambangkan mahkota Raja, yang kedua adalah

  

meru , yakni motif gunung melambangkan kebesaran atau keagungan, yang ketiga

  adalah naga, motif berbentuk ular yang menjadi perlambangan angin atau dunia atas alias angkasa raya, dan yang keempat adalah geni, yaitu motif berwujud

  14 lidah api yang menjadi pelambang nyala api.

  Beberapa desain tradisional hanya dipakai pada acara-acara tertentu, misalnya Satria Manah dan Semen Rante yang dikenakan pada saat acara lamaran pengantin dan batik bondhet yang akan dikenakan oleh pengantin wanita pada malam pertama. Batik keraton Surakarta penuh dengan isen halus. Warnanya lembut, dari biru sampai kehitaman, krem, dan coklat kemerahan. Motif keraton Surakarta yang terkenal adalah parang barong, parang curiga, parang sarpa, ceplok burba, ceplok lung kestlop, candi luhur, srikaton, dan bondhet.

  14

commit to user

  Oetari Siswomihardjo, Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang

  Gambar 2: Batik Bondhet (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  Gambar 3: Batik Candi Luhur (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  Gambar 4: Batik Ceplok Burba (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara) commit to user Gambar 5: Batik Ceplok Lung Kestlop (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  Gambar 6: Batik Parang Barong (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  Gambar 7: Batik Parang Curiga (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  commit to user Gambar 8: Batik Parang Sarpa (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  Gambar 9: Batik Srikaton (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  commit to user

2. Batik Mangkunegaran

  Motif Pura Mangkunegaran bergaya serupa dengan batik keraton Surakarta, tetapi dengan warna soga coklat kekuningan. Meski demikian, batik dari Pura Mangkunegaran selangkah lebih maju dalam penciptaan motif. Hal ini tampak dari motif yang beragam, antara lain buketan pakis, sapanti nata, ole-ole,

  

wahyu tumurun, parang kesit barong, parang sondher, parang klitihik glebag,

  15 seruni, dan liris cemeng.

  Gambar 10: Buketan Pakis (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

  Gambar 11: Liris Cemeng

  

commit to user

  15

  (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara) Gambar 12: Ole-Ole

  (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara) Gambar 13: Parang Kesit Barong

  (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara) Gambar 14: Sapanti Nata

  commit to user

  (Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)

3. Perkembangan Batik Keluar Kraton

  Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Pada saat seperti inilah rakyat melihat anggota kerajaan secara langsung, bagaiamana mereka berias, bagaimana busananya, dan seperti apa motif-motif kain yang digunakan. Dari sini rakyat mulai berkeinginan untuk membuat motif kain yang sama. Hal ini lah yang melatarbelakangi dikeluarkannya konsensus oleh pihak kraton terkait dengan pola larangan. Konsensus tersebut dikeluarkan dengan maksud untuk mengatur pola- pola atau motif batik yang boleh dipakai oleh raja dan keluarganya. Menurut Santosa Doellah pola larangan adalah pola yang hanya boleh dikenakan oleh

  16 keluarga raja.

  Akibat dari peperangan antara keluarga raja-raja dengan penjajahan Belanda, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah timur Ponorogo, Tulung Agung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan ke seluruh pelosok pulau Jawa yang ada

  17 sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.

16 Santosa Doellah, op.cit, halman 54.

  17

commit to user

  Nian S Djoemana, Ungkapan Sehalai Batik, (Jakarta:Djamabatn, 1990),

a. Batik Laweyan

  Mula-mula batik di dalam kraton hanya merupakan kerja sambilan bagi putri kraton yang nantinya akan dipersembahkan untuk kekasihnya, juga untuk kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat kraton, raja hanya memilih orang- orang yang pandai membuat batik yang dikhususkan berdiam di kraton untuk membuat kain batik. Oleh karena raja dan seluruh kerabat kraton memerlukan kain batik, maka raja mengutus para lurah mencari daerah penghasil batik.

  Melalui lurah didapat daerah Laweyan. Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang, karena pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat pembuatan kain tenun. Pada mulanya penduduk Laweyan membuat batik masih dengan menggunakan tulis yang dalam pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Hasilnya nanti diserahkan pada kraton, dan sebagian kecil saja yang disalurkan keluar.

  Pada sekitar awal abad XVIII ditemukan alat cap yang pada mulanya terbuat dari ketela pohon. Ketela pohon dipotong bulat, kemudian permukaannya di gambari motif batik, dikarenakan ketela mudah busuk maka cap dari ketela diganti dengan kayu agar lebih awet dan tahan lama.

  Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan untuk menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka. Dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya,

  

commit to user

  disamping itu harganya juga dapat dijangkau oleh rakyat. Maka pada tahun 1905

  Cokro Sumarto, pengusaha batik Laweyan berpendapat kalau dengan kayu kurang

  18 efisien lalu dibuatlah cap yang terbuat dari tembaga yang tahan lama.

  Kedatangan Cina ke Indonesia berdampak buruk kepada perkembangan batik di Indonesia, begitupula di Surakarta. Cina memonopoli perdagangan bahan- bahan baku dari pembuatan batik, yaitu kain mori. Untuk mengatasi hal tersebut, maka didirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 yang dipelopori oleh H.

  Samanhudi, Sarekat Dagang Islam merupakan usaha untuk membela pengusaha- pengusaha batik dari monopoli perdagangan kain mori oleh orang Cina. kurang lebih 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1935 di Solo didirikan PPBS (Persatuan Perusahaan Batik Soerakarta) dibawah pimpinan Wongsodinomo dan bantuan Ibu Haji Sofwan. Para pengusaha batik yang besar merupakan tulang

  19

  punggung dari adanya gerakan koperasi batik. dengan timbulnya dua organisasi tersebut, maka pengadaan bahan baku batik dapat kembali berjalan lancar.

  Semakin majunya teknologi, pada tahun 1960-an ditemukan alat pembuat batik dengan

  “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari kain

  yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran lebar 80cm dan panjang menurut lebar mori. Batik ini terkenal dengan batik printing.

  20 Proses dari cara ini lebih cepat dengan cara-cara sebelumnya.

  Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai dari ragam hias hingga peralatan dalam pembatikannya. Ragam hias batik

  18 Fajar Kusumawardani, “Sejarah Perkemmbangan Industri Batik

  Tradisional di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000

  ”, skripsi, (Semarang: Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, 2006), hlm 54.

  19 Hadi Soesastro, pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia

commit to user

dalam Setengah Aabad Terakhir , (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm 86.

  20 Laweyan yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke ragam hias yang dinamis atau bergaya kontemporer. Pewarnaanya pun mulai menggunakan warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tidak lepas dari permintaan pasar dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh dari kenegaraan, motif yang musiman maupun karya dari seseorang yang banyak digemari.

  Pesatnya perkembangan industri batik tradisional di Laweyan tercipta dari kondisi masyarakatnya itu sendiri. Mereka memiliki etos kerja dan semangat yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat Surakarta pada umumnya, tetapi kejayaan industri batik Laweyan dari waktu ke waktu semakin memudar. Pergantian pemerintahan yang mengakibatkan berubah pula kebijakan usaha yang telah

  21 dijalankan berperan besar dalam mematikan industri batik di Laweyan.

  Disamping itu kemunduran industri batik tradisional juga disebabkan oleh lemahnya dalam bidang permodalan, merosotnya peran koperasi, sulitnya bahan baku dan tenaga kerja.

b. Batik Kauman

  Kauman merupakan nama sebuah kampung yang berada di Surakarta, Jawa Tengah. Kampung Kauman terletak di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan Masjid Agung (Jami

  ‟) dan Alun-alun. Kampung Kauman di kota Surakarta terletak di sebelah barat laut Masjid Agung dan memiliki keterkaitan dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta. Kampung Kauman berdiri

  

commit to user

  21 bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Surakarta oleh Paku Buwono III pada tahun 1757. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang raja dan dibantu oleh seseorang penghulu yang bertugas sebagai ahli agama yang ditempatkan di masjid tertentu.

  Penghulu tersebut berhak atas sebidang tanah yang terletak di sebelah utara Masjid Agung. Musyawarah dalam tulisan berjudul “Deskripsi Tata Fisik Rumah Pengusaha Batik di Kauman Surakarta” menyebutkan bahwa Masjid Agung dan sekitarnya adalah milik keraton. Sedangkan Kauman disebut bumi

  

mutihin atau bumi pamethakan yaitu wilayah yang hanya boleh ditinggali oleh

  rakyat yang beragama Islam. Tanah yang ditempati penghulu dan para abdi dalem

  

mutihan tersebut diberi nama Perkauman yang artinya tanah tempat tinggal para

kaum, dan menjadi Kauman.

  Perkembangan batik di Kauman tidak lepas dari peran keraton. Pada mulanya, penduduk kampung Kauman hanya berprofesi sebagai abdi dalem

  

ulama saja, dan kemudian berkembang menjadi pengusaha batik yang proses

  pembuatannya diajarkan oleh pihak kraton. Pelaku usaha batik tersebut adalah para istri dari abdi dalem yang suaminya bekerja mengajar agama dan mereka melihat batik adalah alternatif yang paling memungkinkan bagi mereka.

  Ketrampilan membatik yang dikuasai ini diperoleh dari sesama kerabat abdi dalem yang memiliki kekerabatan yang kuat antarsesama. Dengan mengembangkan ketrampilan ini sebagian besar warga kampung Kauman mampu memproduksi jumlah besar dan kemudian dikomersilkan. Busana batik yang

  

commit to user merupakan busana adat bagi masyarakat Jawa membuat produksi batik semakin besar.

  Perkembangan batik di Kauman terjadi inovasi teknis dimulai pada tahun 1850-an. Pada masa tersebut metode batik yang baru diperkenalkan dari Semarang oleh seorang pedagang batik di Kauman. Metode ini menggunakan cap yang terbuat dari garis-garis tembaga yang ditempelkan pada sebuah alas. Pada masa ini, pusat industri batik di Surakarta terketak di bagian tengah kota seperti Kauman, Keprabon, dan Pasar Kliwon. Walaupun metode cap banyak membawa perubahan, namun cap tersebut tidak bisa dianggap canthing.

  Pada tahun 1870-an, produksi dan distribusi batik semakin meningkat seiring dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan wilayah kerajaan dengan kota-kota lain seperti Semarang, Surabaya, Batavia, dan Bandung. Metode cap semakin berkembang dan ukurannya semakin besar, yang dari awalnya berukuran 1x2cm menjadi 10x15cm. Produksi batik tidak hanya ditengah kota, melainkan daerah pinggiran pun juga semakin berkembang pesat terutama daerah pinggir sungai. hal ini dikarenakan penyediaan air dalam jumlah besar dapat menunjang bagi industri skala besar seperti daerah Tegalsari dan khususnya Laweyan.

  Perkembangan batik yang sangat signifikan membuat masyarakat Kauman semakin makmur. Hal ini dapat dilihat pada bangunan rumah-rumah kuno yang bertahan hingga sekarang. Pada rumah-rumah tersebut tercantum tahun pembuatan rumah tersebut seperti pada beberapa rumah yang mencantumkan tahun pembuatan rumah tersebut. Namun sekarang ini rumah bekas pengusaha batik di kauman banykan beralih fungsi , rumah yang dulunya berfungsi untuk

  

commit to user produksi batik, kini sudah banyak berubah. Hal ini disebabkan karena tuntutan kebutuhan ekonomi dari generasi penerus para pengusaha batik yang sudah tidak lagi membuka usaha dibidang batik. Dan tidak sepenuhnya generasi penerus pengusaha batik ini mempunyai status ekonomi yang sama dengan para

  22 pendahulunya. Bahkan ada beberapa rumah yang sudah dihancurkan.

  Batik Kauman memadukan memadukan motif tradisional dengan motif kontemporer sehingga terciptalah satu kreasi yang sangat mempesona. Seni batik yang ada di Kampung Kauman dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu batik klasik motif pakem (batik tulis), batik murni cap dan model kombinasi antara tulis dan cap. Batik tulis bermotif pakem yang banyak dipengaruhi oleh seni batik kraton Kasunanan merupakan prodak unggulan kampung batik Kauman. Produk-produk batik Kauman dibuat menggunakan bahan sutra alam dan sutra tenun, katun jenis premisima dan prima, serta rayon.

C. Perkembangan Batik Secara Umum

  Dalam pembinaan batik Indonesia, pemerintah RI mempunyai peranan penting. Pembinaan batik ini berupa penyuluhan, pendidikan pembimbingan, pengaturan, dan penyediaan bahan. Pembinaan pembatikan termasuk ke dalam wewenang Departemen perindustrian. Untuk melaksanakan tugas pada departemen tersebut dibentuk badan lembaga pelaksana antara lain didirikan Balai

  22

commit to user

  Irwin Noor Styawan, “Sejarah Kampung Batik Kauman, Solo”, skripsi, Penelitian Batik yang khusus untuk membina pembatikan Indonesia, berikut riwayat singkat dari Balai Penelitian Batik:

  1. Pada tahun 1922 Pemerintah mendirikan Textile Instituut en Batik

  Proef-station di Bandung 2.

  Pada tahun 1930 di Yogyakarta didirikan Consultatie Bureau Voor de Nyverheid tevens Batik Proefstation voor Zuid-Midden Java .

  3. Pada tahun 1951 didirikan Balai Penyelidikan Batik, yang pada tahun 1960 berubah nama menjadi Balai Penelitian Batik.

  4. Pada tahun 1968 tugas Balai diperluas dengan bidang kerajinan dan

  23 namanya diubah menjadi Balai Penelitian Batik dan Kerajinan.

  Memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan Order Lama mengeluarkan kebijakan program benteng yang bertujuan untuk menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Dalam bidang perbatikan, pemerintah mendirikan koperasi sekunder Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang anggotanya terdiri dari koperasi primer di daerah-daerah.

  Koperasi batik pertama kali muncul di Surakarta pada tahun 1935 yang didirikan oleh suatu organisasi persatuan pembatik dengan nama Persatuan Perusahaan Batik Surakarta (PPBS). Organisasi ini dipimpin oleh Wongsodinomo yang merupakan kakek dari Santosa Doellah. Di Yogyakarta muncul persatuan serupa dengan nama Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera di bawah pimpinan Zarkasi. Sejak saat itu organisasi persatuan para perusahaan batik juga mulai berdiri di seluruh pusat-pusat pembatikan di Jawa seperti

  

commit to user

  23 Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Kudus, Gresik, Sidoarjo, Tulung Agung,

  24 Ponorogo, Purworejo, dan Banyumas.

  Melalui organisasi pembatik tersebut kerajinan perusahaan batik berkembang lebih baik karena pembelian bahan-bahan batik terutama cambric menjadi lebih teratur dan terjamin. Pada bulan Oktober 1948 atas anjuran dan dorongan Jawatan Koperasi Pusat di Yogyakarta, seluruh koperasi batik yang berdiri disatukan ke dalam sebuah organisasi induk yang diberi nama Gabungan

25 Koperasi Batik Indonesia (GKBI).

  Sejak tahun 1950 GKBI memiliki lisensi monopoli impor bahan baku. Oleh sebab itu, GKBI berhasil membantu pengadaan bahan baku mori, obat- obatan dan pemasaran batik sekitar 10 hingga 15 persen dari hasil produksi para anggota-anggotanya. Order baru memiliki kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi yang mengutamakan industri padat modal, teknologi mekanisme impor, dan produk massal. Pada tahun 1970-an terjadi pertumbuhan industri garmen dan printing bermotif batik yang dikuasai oleh penguasa Tionghoa dan Arab di Surakarta. Situasi tersebut menciptakan ketimpangan struktur industri batik antara

  26 mode produksi manufaktur batik printing dengan mode produksi batik tulis.

  Persaingan ekonomi komersial secara terus menerus mengakibatkan batik cap kalah bersaing baik dari segi kualitas maupun harga. Hal itu mengakibatkan sebagian besar industri batik cap di Surakarta terpaksa harus tutup usaha. Akan

  24 Hasan Shadily, Ensklipodi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm 342.

  25 Sewan Susanto, op.cit, hlm 318.

  26

commit to user

  Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum tetapi industri kerajinan batik tulis di Surakarta tetap bertahan, hal itu disebabkan oleh kemampuan juragan batik dalam mempertahankan spesifikasi produk kain

  27 batik tulis.

  Proses pemulihan ekonomi terus dilakukan dari hari ke hari, hal itu ditandai dengan beroperasinya kembali 170 unit usaha batik di kampung Laweyan dan 25 unit usaha batik di kampung batik Kauman, serta 36 unit usaha

  28 batik yang lokasi usahanya tersebar di dalam kota Surakarta.

D. Diakuinya Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa Indonesia

  Batik adalah bagian dari kebudayaan yang telah menjadi keseharian masyarakat Indonesia. Dari masa Kerajaan Majapahit hingga masa kini, batik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Batik dikenal dan digunakan secara meluas setelah mengalami perkembangan dan jalan sejarah yang tidak singkat. Di masa lalu batik memang hanya identik sebagai pakaian para penguasa dan trah keraton. Namun dengan perkembangan jaman batik menjadi pakaian milik rakyat yang digunakan dalam berbagai kesempatan.

  Lembaga perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawa kebudayaan, UNESCO, telah menyetujui batik sebagai warisan budaya tak benda yang dihasilkan oleh Indonesia. Keberhasilan itu telah dilaporkan oleh Menko

27 Dwiningrum, Siti Irene, Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di

  Daerah Istimewa Yogyakarta , (Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas

  Gadjah Mada, 1997), hlm 5-6

  28

commit to user

  Mahani, Pasang Surut Usaha Industri Batik Keturunan Arab di PASAR Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat. Menurut Menko Kesra, peresmian batik sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO itu diselenggerakan pada suatu rangkaian acara pada 28 September 2009 di Abu

29 Dhabi, Uni Emirat Arab.

  Upaya mengusulkan batik dijadikan sebagai warisan budaya melalui proses panjang dan rumit. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.

  Diantaranya, meyiapkan naskah akademis tentang batik, memiliki masyarakat pecinta batik, dan pemerintah mendukung usulan tersebut. Jika sudah ditetapkan sebagai warisan bidaya dunia, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus

  30 bertanggung jawab menjaga pelestarian dan keaslian batik.

  Terdapat 9 wilayah di Indonesia yang diakui oleh UNESCO sebagai provinsi yang memiliki kultur batik sejak lama: Batik Indonesia, Sentra Batik Besar di Indonesia (Diakui UNESCO sebagai provinsi yang memiliki kultural batik sejak lama)

  Jambi Sumatera Selatan : Palembang Banten : Serang DKI Jakarta Jawa Barat : Cirebon Jawa Tengah : Solo, Pekalongan

  29

  “Hore.. UNESCO Setujui Batik Warisan Budaya Dari Indonesia”,

  Kompas , Selasa 8 September 2009, hlm 4

  30

commit to user

  “Opini: Batik dan Inkorporasi Pariwisata Kita”, Jawa Pos, 2 Oktober Jogjakarta : Bantul Jawa Timur : Madura, Tuban

31 Sulawesi Selatan : Pare-Pare

E. Proses Pembuatan Batik

1. Bahan dan Peralatan

  Menurut Hamzuri, dari dahulu sampai sekarang perlengkapan tradisional membatik tidak banyak mengalami perubahan. Walaupun cara memproduksi batik telah mengalami perkembangan secara modern, namun sampai sekarang peran dan fungsi batik dalam masyarakat Jawa tidak pernah mengalami perubahan.

  Salah satu bahan baku pembuatan batik tulis tradisional adalah mori yang terbuat dari katun atau sutra. Kualitas mori sangat menentukan baik buruknya produk batik tradisional yang dihasilkan. Ukuran panjang dan pendeknya mori biasanya tidak menurut standar yang pasti, tetapi menggunakan ukuran tradisional yang dinamakan kacu. Kacu adalah saputangan yang biasanya berbentuk bujur sangkar, sehingga yang disebut sekacu adalah ukuran perseginya mori diambil dari ukuran lebar mori tersebut. Cara mengukurnya dengan jalan memegang kedua sudut mori pada sebuah sisi lebar, kemudian menempalkan salah satu sudut tadi pada sisi panjang yang bersebrangan. Sebelum dibatik, mori harus diolah

  32 terlebih dahulu. Baik buruknya pengolahan menentukan kualitas kain mori.

  31

commit to user

Ibid., hlm 6.

  32

  

commit to user

  Selanjutnya alat yang paling penting dalam proses pembuatan batik adalah

  

canthing . Canthing merupakan alat yang digunakan untuk melukis motif-motif

  batik melalui lilin batik atau malam di atas selembar kain mori. Canthing terbuat dari bahan tembaga yang mempunyai sifat ringan, mudah dilenturkan, dan kuat meskipun tipis. Canthing terdiri atas: 1.

  Canthing terong, yaitu tangkai ekor canthing yang terletak pada bagian belakang untuk ditancapkan pada tangkai sebenarnya.

2. Nyamplungan, yaitu bagian dari canthing yang berfungsi untuk menciduk cairan lilin atau malam dari wajan sewaktu membatik.

  3. Carat atau cucuk, bagian yang berupa pipa melengkung sebagai tempat keluarnya cairan malam dari nyamplungan sewaktu canthing tersebut digunakan untuk membatik. Cucuk berarti paruh burung, sedangkan carat adalah tempat air minum.

33 Bahan utama dari pembuatan batik adalah lilin yang digunakan sebagai

  perintang warna. Jenis lilin batik ada tiga macam, yaitu lilin klowong, lilin tembokan, dan lilin biron. Lilin atau malam terbuat dari campuran bahan parafin,

  

kote (lilin lebah), gandarukem, damar, microwax, lilin gladhagan, dan minyak

  kelapa atau lemak hewan. Ada beberapa jenis malam yang digunakan, antara lain: 1.

  Malam tawon, ialah malam yang berasal dari sarang lebah. Tolo tawon dipisahkan dari telur lebah dengan jalan merebusnya.

  33

  2. Malam klenceng, yaitu malam dari sarang lebah klenceng dan didapat dengan cara yang sama, yaitu dipisahkan dari telur lebah dengan cara merebusnya.

  3. Malam putih, terbuat dari minyak latung buatan pabrik.

  4. Malam kuning, terbuat dari minyak latung buatan pabrik.

  5. Malang songkal, terbuat dari minyak latung buatan pabrik dan berwarna hitam (untuk campuran).

  6. Keplak, adalah salah satu bahan campuran pembuatan malam.

  7. Gandarukem, adalah bahan pencampuran pembuatan lilin atau malam

  34 batik tulis tradisional dengan kualiatas baik.

2. Proses Pembuatan Batik

  Berikut ini adalah proses pembatik yang berurutan dari awal hingga akhir: 1.

   Ngemplong Ngemplong merupakan tahap paling awal atau pendahuluan,

  diawali dengan mencuci kain mori. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kanji. Kemudian dilanjutkan dengan pengeloyoran, yaitu memasukkan kain mori ke minyak jarak atau minyak kacang yang sudah ada di dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih tinggi.

  

commit to user

  34

  Setelah melalui proses tersebut, kain diberi kanji dan dijemur. Selanjutnya dilakukan proses pengemplongan, yaitu kain mori di palu untuk menghaluskan lapisan kain agar mudah dibatik.

2. Nyorek atau memola

  Nyorek atau memola adalah proses menjiplak atau membuat pola

  di atas kain mori dengan cara meniru pola motif yang sudah ada, atau biasa disebut dengan ngeblat. Pola biasanya dibuat diatas kertas roti terlebih dahulu, baru dijiplak sesuai pola diatas kain mori. Tahapan ini dapat dilakukan secara langsung di atas kain atau menjiplaknya dengan menggunakan pensil atau canting. Namun agar proses pewarnaan bisa berhasil dengan baik, tidak pecah dan sempurna maka proses batiknya perlu di ulang pada sisi kain batiknya. Proses ini disebut ganggang.

  3. Mbathik Mbathik merupakan tahap berikutnya, dengan cara menorehkan

  malam batik ke kain mori, dimulai dari nglowon dan isen-isen. Di dalam proses isen-isen terdapat istilah nyecek, yaitu membuat isian dalam pola yang sudah dibuat dengan cara memberi titik-titik (nitik). Adapula istilah nruntum , yang hampir sama dengan isen-isen.

4. Nembok

  adalah proses menutup bagian-bagian yang tidak boleh

  Nembok

  terkena warna dasar. Bagian tersebut di tutup dengan lapisan malam yang tebal seolah-olah merupakan tembok penahan.

  commit to user

  5. Medel Medel adalah proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan

  warna secara berulang-ulang sehingga mendapatkan warna yang diinginkan.

  6. Ngerok dan mbirah Pada proses ini, malam pada kain dikerok secara hati-hati dengan menggunakan lempengan logam, kemudian kain dibilas dengan air bersih.

  Setelah itu kain diangin-anginkan.

  7. Mbironi Mbironi adalah menutupi warna biru dan isen-isen pola yang

  berupa cecek atau titik dengan menggunakan malam. Selain itu ada juga proses ngrining, yaitu proses mengisi bagian yang belum diwarnai dengan motif terntentu.

  8. Menyoga Menyoga berasal dari kata soga, yaitu sejenis kayu yang digunakan

  untuk mendapatkan warna cokelat. Adapun caranya adalah dengan mencelupkan kain ke dalam campuran warna cokelat tersebut.

  9. Nglorod

  Dalam tahap ini pembatik melepaskan seluruh malam dengan cara memasukkan kain yang sudah cukup tua warnanya ke dalam air mendidih.

  Setelah diangkat kain dibilas dengan air bersih dan kemudian di angin-

  35 anginkan hingga kering. commit to user

  35