Menyiasati Positivisme dan non positivisme

Menyiasati Positivisme:
Upaya Dilthey dalam
Filsafat Sejarah

S

Oleh: Ricky Khadaf

eperti kita ketahui, bahwa
iklim keilmuan Eropa pada
abad ke-19 hingga abad ke20,
ramai
akan
perbincangan
tentang
aneksasi
metodologi ilmu pengetahuan yang
mempertentangkan
ilmu
sosial
dikubu defensif dan ilmu alam di

sisi yang agresif. Hal ini ditandai
dengan
gagasan
positivisme
Auguste Comte yang berusaha
mengeksaktakan fenomena sosial
dalam pendekatan positivisnya. Ia
memulainya dari titik epistemologi.
Baginya,
fsika
sosial1
adalah
wahana yang mampu mendekati
fakta-fakta sosial secara ilmiah. Ini
adalah sebuah fenomena awal yang
nantinya
menggurita
menjadi
dominasi habis-habisan para neopositivis
yang

diwakili
oleh
lingkungan wina.
Pada situasi zaman seperti itulah
seorang
flsuf-cum-sejarawan,
Wilhelm Dilthey hadir. Dilthey
adalah seorang tokoh dari Jerman
yang lahir pada tahun 1833. Dia
diingat sebagai salah satu tokoh
yang
menghendaki
adanya
pembedaan antara ilmu alam dan
ilmu manusia. Dalam latar belakang
singkat yang sudah dikemukakan

1 Istilah Fisika Sosial digunakan oleh August Comte
sebelum adanya istilah yang mengakomodasi
pengetahuan tentang masyarakat secara

metodologis, yaitu Sosiologi.

diatas, jelaslah posisi Dilthey ada
dimana.
Sebagai catatan, ilmu manusia
yang dimaksudkan oleh Dilthey,
tidak perlu mendapat pembedaan
dengan ilmu sosial yang di aneksasi
oleh ilmu alam. Hal itu bisa kita
kompromikan, melalui pemahaman
mengapa Dilthey berangkat dari
kegelisahan yang sama dengan
para flsuf yang membidangi ilmu
sosial pada saat itu.
Langkah Dilthey untuk menyiasati
dominasi Positivisme dalam ilmu
manusia,
diawali
dengan
pembedaan

secara
aksiologis
antara ilmu alam dan ilmu manusia.
Kita kenal istilah erklaren dan
verstehen. Baginya, ilmu alam
adalah
sebuah
wahana
yang
digunakan
manusia,
untuk
menjelaskan (erklaren) fenomenafenomena alam dan membuat
generalisasi atasnya. Sedangkan
ilmu
manusia
menawarkan
pemahaman
(verstehen)
antar

sesama manusia dan kisah sejarah
yang melatarinya. 2
Lebih dalam lagi, Dilthey pun
melakukan pembedaan antara dua
bidang tersebut. Perbedaan antara
keduanya bukan berada pada
bentuk-bentuk
obyektivitasnya,
tetapi pada taraf obeyektivasinya.
Jika ilmu alam mendekati obyeknya
dengan
mengeliminasi
pengalamanan subyek, agar prinsip
netralitas dan keuniversalan ruang
dan waktu dapat direngkuh, tidak
begitu
dengan
ilmu
sosial.
2 Lihat plato.stanford.edu/entries/dilthey/


Menurutnya,
pendekatan
ilmu
sosial mensyaratkan adanya keikut
sertaan subyek sebagai peneliti,
secara penuh meresapi obyek yang
ditelitinya.
Sehingga
taraf
obyektivasinya dilaksanakan secara
menyeluruh, dan separasi subyekobyek pun menjadi terpecahkan.
Dengan demikian, pembedaan ini
bukan bersifat ontologis, tetapi
epistomologis.3
Langkah
Dilthey
yang
sudah
dikemukakan secara singkat diatas,

ternyata tak mampu membendung
ambisi paradigma ilmu alam yang
terus menerus mempromosikan
bahwa kritik terhadap metodologi
adalah tidak mungkin, karena kita
akan terus berputar-putar ditataran
metafsika. Maka pada abad ke-20,
terkenal lah sebuah tesis yang
mengandaikan bahwa yang benar
adalah yang ilmiah.4 Muncul lah
penganjur baru paradigma positivis
dalam ilmu sosial pada abad ke-20.
diantaranya adalah Gustav Hempel,
William Dray dan Ernest Nagel.
Mereka
mengartikulasikan
gagasanya dalam semangat yang
sama, walau dengan nafas yang
sedikit berbeda. Mereka disatukan
oleh suatu upaya penjelasan ilmiah,

yang dikenal dengan Eksplanasi
Deduktif-Nomologis.5

3 Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi,
Yogyakarta, penerbit Kanisius, 1993, hlm 147.
4 Mengenai perdebatan neo-positivis ini, coba lihat
artikel yang ditulis oleh Fransisco Budi Hardiman
dengan judul “Sains dan Pencarian Makna:
Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama”.
5 Lihat Heri Santoso, Cuk Ananta Wijaya, jurnal
filsafat april 2003 jilid 33 No 1, Kritik atas Eksplanasi
Deduktif-Nomologis dalam Ilmu sejarah.

Jika
kita
cermati,
apa
yang
dianjurkan oleh ketiga tokoh di
atas, adalah sebuah permasalahan

yang sudah disinggung oleh Dilthey
hampir satu abad sebelumnya. Jika
demikian adanya, maka Dilthey
bisa
dibilang,
gagal
dalam
mengupayakan
pembedaan
paradigma
ilmu
pengetahuan.
Namun itu bukanlah sebuah cacat
yang harus kita soraki bersama.
Langkah Dilthey adalah sebuah
upaya emansipasi dari paradigma
positivis yang pada saat itu sudah
mulai menggejala di lingkungan
para ilmuan dan flsfuf. Dilthey pun
tak bisa lepas dari semangat

zamannya.