Spiritualitas Gereja Katolik St. Matius

1

Spiritualitas Gereja Katolik St. Matius Penginjil
P. Alfonsus Widhi, sx

Gereja paroki kita sungguh indah. Keindahannya terletak dalam kesatuan
jemaat yang berkumpul merayakan iman bersama-sama di tempat ini, dalam
kesatuan pelayanan sebagai buah-buah iman yang dihidupi secara personal dan
komuniter serta dalam kesatuan pengharapan yang terajut dalam hati kita
masing-masing. Di hari ulang tahun paroki ke-31 ada baiknya kita menghidupi
semangat dan pesan yang hendak disampaikan oleh beberapa simbol dari Gereja
kita ini.
1

Mendaki bukit

Bukit adalah lambang perjumpaan Allah yang merendahkan diri untuk
menyelamatkan manusia dan manusia yang mengangkat jiwanya untuk berjumpa
dengan Allah. Kisah panggilan Musa (Kel 3,1-5), penerimaan dekalog, tempat
Yesus berdoa sebelum mengambil keputusan penting seperti memilih para murid,
memberi makan banyak orang bahkan saat salib. Di bukit inilah terjadi

perjumpaan yang sangat intim antara Allah dan manusia.
2

Oktagonal

Gereja yang berbentuk kemah dengan delapan sisi mengajak kita untuk
menyelami dua misteri. Pertama, bahwa tradisi kemah mengingatkan kita akan
peziarahan hidup kita di dunia ini sementara saja. Tidak ada yang tetap dan
permanen. Segala yang kita miliki akan menjadi debu bersama dengan waktu. Yang
tinggal hanyalah relasi kita dengan Allah (Mt 25). Kedua, angka delapan merujuk
kepada pengalaman akan hari minggu, yang dipahami oleh jemaat kristiani perdana,
sebagai hari yang tanpa akhir, yang tidak mengenal matahari terbenam, karena
Kristuslah yang mengawali hari tanpa akhir. Yoh 20,19, juga Mk 16, 9; Lk 24,1 dan Mt
28,1 menekankan hari pertama setelah hari sabat, atau hari pertama setelah yang
terakhir dalam pekan, dalam hari yang menutup waktu. Hari kedelapan menandai
akhir dari sejarah dan awal sebuah ciptaan baru dalam Kristus. Ini hampir
mengatakan sebagai hari pertama yang dimulai dimana waktu sudah tidak ada lagi.
Maka, pusat hari tanpa batas ini ada dalam inti perayaan hari Paska, yaitu ekaristi.
Inilah inti kehidupan komunitas gerejawi, sebagai keluarga Allah, yang merayakan
iman bersama-sama di Gereja.


3

Kristus bangkit

Inilah kekhasan paling menonjol dari Paroki kita. Ketika masuk ke dalam Gereja,
pandangan mata kita akan tertohok oleh figur Kristus yang bangkit, yang menjadi
pusat seluruh dinamika kehidupan menggereja. Kebangkitan Kristus adalah pusat
kehidupan kita. Salib, kematian, penderitaan, kemalangan, kerapuhan manusiawi

2
adalah kerikil-kerikil yang kita temui dalam peziarahan hidup kita, dan bukan
tujuan! Apa yang bisa saya lakukan ketika saya mengalami penderitaan tanpa
batas dan merasakan bahwa Allah pun seolah-olah meninggalkan saya?
Pengalaman penderitaan bukanlah kutukan, bukan pula akibat dosa turunan juga
bukan karma!!! Apakah salib Yesus adalah kutukan, akibat dari dosa turunan dan
karma yang dilakukannya? Mari kita mengenal jenis-jenis panggilan Allah yang
tercecer dalam sejarah masa lalu kita hingga saat ini. Perjumpaan
ketidaksempurnaan kita dengan rahmat Allah akan menghasilkan iman yang akan
menuntun kita untuk hidup dalam kasih. Panggilan akan kekudusan terus

berteriak memanggil kita semua dari Kristus yang bangkit. Setiap orang dipanggil
kepada kekudusan (LG 39-42). Kekudusan tidak terletak pada melakukan sesuatu
yang luar biasa, melainkan membiarkan diri dituntun oleh Allah dalam tindak
kasih dengan kegembiraan dan kerendahan hati, demi kemuliaan Allah dan dalam
pelayanan kepada sesama, sesuai dengan kondisi kita masing-masing. Jika para
rasul tidak membiarkan diri dijiwai oleh semangat Kristus yang bangkit, tentu
Gereja akan tetap tinggal di kote kecil Yerusalem.
4

Bekal: Ekaristi dan Kitab Suci

Inilah dua sarana yang ditawarkan oleh Gereja bagi segenap umat Allah. Dalam
doa, kitalah yang berbicara kepada Allah, tetapi dalam pembacaan Kitab Suci,
justru Allah yang berbicara kepada kita (St. isidorus dari Siviglia). Itulah sebabnya
St. Gregorius magnus menegaskan bahwa Kitab Suci tumbuh berkembang
bersama dengan mereka yang membaca dan merenungkannya. Memang benar
bahwa Kitab Suci tidak memberikan jawaban konkret atas segala permasalahan
kita, tetapi, jawaban atas permasalahan-permasalahan dalam hidup kita muncul
melalui manusia yang ditransformasi dan ditobatkan oleh pengalamanpengalaman dalam Kitab Suci.
Dalam ekaristi, terpenuhilah janji Yesus kepada kita: Aku senantiasa menyertai

kamu sampai akhir zaman (Mt 28:20). Semoga dengan menyambutnya dalam
komuni kudus yang kita terima setiap minggu atau setiap hari dalam misa harian,
perlahan-lahan kita pun membuka diri pada tuntunan Allah. Yang ilahi menjadi
insani agar manusia menjadi kudus. Ini bukan berarti menaikkannya dalam
derajat sama seperti Allah, tetapi menjadikannya sebagai manusia autentik,
seiring dengan rupa dan gambaran Allah dalam wajah Kristus, bukan imago dei
yang pertama yang jatuh dalam dosa. (P. Alfons, sx)