MENGUPAS PEMAHAMAN INSTRUMEN NEGARA HUKU

MENGUPAS PEMAHAMAN INSTRUMEN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA UNTUK MEWUJUDKAN KONSEP YANG IDEAL
Ervira Rahmasari Budi
ervirararahmasari@students.unnes.ac.id
DATA BUKU:
Nama/Judul Buku :
Penulis/Pengarang
Penerbit
:
Tahun Tertib
Kota Penerbit
Bahasa Buku
Jumlah Halaman :
ISBN Buku
:

Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia
: Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., S.M., M.Hum
Mandar Maju
: 2014
: Bandung

: Bahasa Indonesia
286 halaman
978-979-538-382-6

DISKUSI/PEMBAHASAN REVIEW
Telah lama persoalan Negara hukum dan hak asasi manusia, selalu
diperbincangkan dikalangan ahli-ahli dari hukum ketatanegaraan dan dikalangan
para pemiir-pemikir politik. Hal ini bertujuan untuk mencari suatu konsep yang
begitu ideal, jika membicarakan tentang apa itu Negara hukum dan apa itu hak
asasi manusia. Namun berabad-abad dimana lamanya konsep Negara hukum dan
perlindungan hak asasi manusia yang dianggap ideal tersebut, sering dijadikan
perdebatan. Terlebih-lebih lagi selama ini kesan bahwa pemahaman terhadap hak
asasi manusia sering dimaknai secara dangkal karena hanya dianggap sebagai
pedoman moral semata-mata. Jika pemahaman yang demikian merupakan
pemahaman yang keliru, moral tapi juga pada tatanan hukum. Kenyataannya
menunjukkan bahwa akibat pemahaman yang dangkal terhadap hak asasi
manusia, penghormatan dan penegakkan terhadap hak asasi tersebut sering tidak
dilaksanakan secara tepat sebagaimana yang dicita-citakan oleh Negara hukum.
Kemudian jika bertolak dari kenyataan yang demikian, buku ini disusun
dengan mengacu pada berbagai literature ilmu hukum ketatanegaraan, ilmu

filsafat, didalamnya diuraikan secara jelas mengenai pemikiran-pemikiran konsep
Negara hukum dan hak asasi manusia, konsep kedaulatan dan demokrasi, konsep
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga dalam
pemahaman terhadap Negara hukum dan hak asasi manusia yang dapat
dipahami secara utuh, dalam arti pemahamannya bukan hanya pada tataran
konsep Negara hukum secara legal formal, tapi juga pemahaman pada tataran
torits dan filosofis. Bahkan dengan hal itu juga yang mana persoalan pemahaman
terhadap hak asasi manusia bukan hanya pemahaman secara konseptual tapi
juga pemahaman dalam bentuk penghormatan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia yang diimplementasikan melalui penegakan dari hukum hak asasi
manusia tersebut.

Buku ini mempunyai XIV bab yang secara umumnya membincangkan
beberapa pembahasan tentang Negara hukum dan hubungan dengan hak asasi
manusia sesuai dengan tajuknya. Buku yang ditulis oleh Bahder Johan Naustion,
SH., SM., M.Hum, beliau merupakan Dosen Universitas Jambi. Buku ini
mempelajari tentang persoalan Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia, yang
sering diperbincangkan ahli-ahli hukum Ketatanegaraan dan di kalangan para
pemikir politik. Buku ini bermanfaat bagi pembaca, seperti halnya jika ada
kekeliruan pemahaman di buku ini menunjukkan pemahaman lain yang benar

menurut pandangannya. Buku ini mengulas tentang Negara hukum sebagai
Negara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum.
Kembali ke pembahasan isi buku ini. Pada bab I penulis mengajak pembaca
masuk dalam pembahasan apa itu Negara hukum dan apa hubungan dari Negara
hukum dengan hak asasi manusia. Penulis mendefinisikan tentang hak asasi
manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum,
pemerinta, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Sama halnya dengan pendapat dari Prof. R. Djokosutomo,
SH, Negara menurut UU 1945 didasarkan pada aturan hukum. Menghukum
berdaulat. Negara adalah subjek hukum, dalam arti rechtstaat (badan hukum
republik). Karena negara dipandang sebagai subyek hukum, jadi jika dia bersalah
dapat dituntut di depan pengadilan karena kesalahan.
Bab 2 dalam buku ini membahas konsep pemikiran tentang negara hukum.
Salah satunya konsep Rechtstaat. Istilah Rechtstaat pertama kali dipergunakan
oleh Rudolf Von Gneist guru besar Universitas Berlin dalam sebuah bukunya yang
berjudul “Das Englisehe Verwaltungserecht”, 1857. Dalam buku itu digunakan
istilah rechtsstaat untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris.
Berkenaan dengan ini Willem Van der Valgt, guru besar di Leiden dalam

disertainya yang berjudul “De Rechtsstaat Volgens de Leer Van Rudolf Von
Gneist” menyatakan pendapatnya bahwa: kepada Gneistlah seharusnya diberi
kehormatan yang tadinya dengan kurang tepat diberikan kepada Montesquieu,
sebagai seorang yang mempopulerkan tata negara Inggris sebagai satu kesatuan
yang
hidup
(Kartohadiprodjo),
1966:91).
Apabila
ditinjau
dari
segi
perkembangannya, konsep rechtsstaat telah berkembang dari konsep klasik ke
arah konsep modern. Konsep klasik disebut “Klassiek Liberale en Democratische
Rechtsstaat” disingkat “Democratische Rechtsstaa”. Konsep modern di Belanda
disebut “Sociale Rechtsstaat” (Hadjon, 1987:74). Adanya pengakuan akan hakhak dasar manusia, adanya pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan
peraturan, serta adanya peradilan tata usaha negara, ini merupakan ciri-ciri
rechtsstaat klasik.
Konsep Rule of Law pada awalnya tumbuh dan berkembang di negaranegara yang menganut common law sytem, hal tersebut berlandaskan pada nilainilai hak asasi manusia, dimana setiap warga negara dianggap sama dihadapan
hukum dan dijamin hak-haknya melaui sistem hukum dalam negara tersebut. Inti

Rule of Law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, diman masyarakat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan,
rasa aman, dan jaminan atas hak-hak asasinya. Maknanya adalah rasa keadilan
yang kembali kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan dan para penguasa yang

menciptakan hukum, sebagaimanaadagium solus populis suprema lex yang
berarti suara rakyat adalah suara keadilan.
Konsep Socialist Legality atau konsep Negara Hukum Sosialis banyak dianut
oleh negara-negara sosialis konunis, seperti eks Uni Soviet dan beberapa negara
komunis lainnya terutama di negara-negara Amerika Latin dan sebagian Asia
yang hingga kini tetap eksis. Menurut Tchikvadze Pemikiran tentang socialist
legality sebagaimana dikutip oleh Senoadji (1966:24) menyatakan: “Socialist
legality safe guard the political and liberties of citizens, it protects their rights to
work and to a home, as well as other interests and rights affecting the person and
good of citizens, their life, their health and their human dignity. The protection of
rights and civic liberties is one of the essential constituents of socialist legality”.
Senada dengan pandangan Tchikvadze tentang negara hukum sosialis, Romashkin
sebagaimana dikutip oleh (Senoadji, 1966:27) mengatakan: “It (socialist legality)
stand on guard of the citizen political rights and freedom, it protects their labor,
housing and other personal and corporal rights and interests and their life, health,

dignity and reputation”.
Para pemikir Sosialisme Marxisme, mengelompokan masyarkat ke dalam
kelas-kelas, ada kelas minoritas yang memiliki alat produksi kekayaan, ada kelas
mayoritas yang jerih payahnya merupakan sumber kekayaan tersebut sebagai
akar dari masalah. Pengelompokan masyarakat ke dala kelas inilah yang
melahirkan negara, karena kelas minoritas memerlukan sebuah kekuatan yang
spesial, untuk mempertahankan kekuasaannya atas kelas mayoritas (Miriam
Budiardjo, 1977:189). Dari pengalaman Komune Paris 1871, Marx dan Engels
menyimpulkan bahwa tidaklah mungkin bagi buruh, untuk hanya semata-mata
menggunakan aparatur negara yang dulu, mereka sebaliknya harus
menghentikannya dengan negara yang sepenuhnya baru, untuk melayani
kepentingan dari mayoritas dan meletakkan dasar masyarakat sosialis. Marxisme
berjuang untuk penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja dan
pembangunan masyarakat sosialis.
Dalam bab ketiga, penulis menguraikan apakah sebenarnya apa maksud
dari teori kedaulatan hukum. Dalam penghuraiannya, teori kedaulatan hukum
mempunyai berbagai maksud, yang merupakan penentangan terhadap Teori
Kedaulatan Negara yang mengajarkan bahwa Negara berada di atas hukum. Hal
ini disebabkan cakupan kedaulatan hukum tidak dapat menerima kekuasaan
seseorang atau sekelompok penguasa, karena negaralah yang membuat hukum.

Penulis telah membawakan penjelasan dimana tujuan atau tugas negara adalah
menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk ketentuan huhkum positif,
berupa peraturan hukumyang dibuat oleh masyarakat sendiri melalui wakilwakilnya di parlemen. Ada pelopor sarjana Belanda yakni H. Krabbe. Yang mana
ajaran-ajarannya telah disebarluaskan melalui beberapa buku yang berjudul :
“Die Lejre der Rechtssouvereni tat, Betrag Zur Staatslehre (1906). De Monderne
Staatsidee (1916), diterjemahkan kedalam bahasa Jerman tahun 1919 dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1922. Het Rechsgezag
(1917), De Innerlijke Waarde Der Wet (1924). Ajaran nya bahwa kedudukan
hukum berada diatas negara dan oleh karenanya negara harus tunduk. Inti yang
demikian itu didukung oleh para sarjana dengan mengatakan bahwa menurut
teori kedaulatan hukum negara harus tunduk pada hukum.

Pada bab 5 penulis membahas tentang konsep keadilan negara hukum
menurut pandangan pemikiran klasik. Bagi penulis apakah maksud dari keadilan,
apakah maksud dari keadilan yang bersifat netral atau memihak, dan apakah
keadilan yang akan muncul mengajukan pembelaan manakala orang menghadapi
ketidakadilan, serta apakah keadilan yang merupakan asas umum atau norma
konkrit. Pernytaan-pernyataan itu bagi penulis ini perlu diajukan terhadap
keadilan memerlukan pengkajian secara filosofis, sollen dan muncul dalam ranah
kajian filosofis. Oleh karenanya tidak ada jawaban yang dapat diberikan secara

sistematis terhadap pertanyaan mengenai keadilan. Sama hal nya kita
bandingakan dengan teori atau kita kutip dari kamus besar Bahasa Indonesia,
istilah keadilan berasal dari kata adil, artinya tidak memihak, sepatutnya, tidak
sewenang-wenang. Jadi keadilan diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
adil.
Masih membahas bagian bab 5 dari buku ini. Kali ini penulis juga membahas
tentang konsep keadilan menurut pemikiran modern. Penulis mengungkapkan
bahwa pada zaman modern diwarnai dengan berkembangnya pemikiranpemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya aliran liberalisme, yaitu
suatu aliran yang tumbuh di dunia barat pada awal abad ketujuhbelas Masehi.
Aliran ini mendasarkan diri pada nilai-nilai dalam ajaran etika dari mazhab Stoa
khususnya individualisme, sanksi moral dan penggunaan akal. Bicara liberalisme
ada konteks yang mengatakan lain. Istilah liberalisme erat kaitannya dengan
kebebasan, titik tolak pada kebebasan merupakan garis utama dalam semua
pemikiran liberal (Lyman Tower Sargent, 1987:63). Dan ada juga teori tentang
konteks keadilan. Yakni berdasarkan hal ini keadilan dipahami sebagai suatu
ketertiban rasional yang didalamnya hukum alamiah ditaati dan sifat dasar
manusia diwujudkan (Scott Davidson, 1994:43).
Makna pernyataan umun hak asasi manusia. Ide dasar tetang hak asasi
manusia yang dirumuskan dalam The Universal Declaration of Human Rights,
merupakan hasil penalaran yang diperoleh selama berlangsungya perang dunia

kedua. Perang dunia kedua, menggugah suatu kebulatan tekad masyarakat
internasional untuk melakukan sesuatu, guna mencegah timbul kehancuran
peradaban manusia, membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup
meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan
mediasi. Organisasi ini adalah PBB yang telah memainkan peran utama dalam
pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (The Declaration of Human Rights) pada tahun 1948,
telah menyebabkan terjadinya perubahan arus global di dunia internassional,
untuk mengubah cara pandang dan kesadaran terhadap pentingnya perlindungan
hak asasi manusia. Meningkatnya kesadaran masyarakat internasional mengenai
isu hak asasi manusia ini, merupakan langkah maju dalam kehidupan bernegara
secara demokratis, menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
hak asasi manusia.
Hak asasi manusia dalam hukum nasional diman pengaturan hak asasi
manusia dalam UUD 1945. Untuk memahami pengaturan hak asasi manusia
dalam UUD Tahun 1945 harus dikaji secara komprehensif termasuk pengkajian
mengenai konstitusi itu sendiri. Hukum dibuat bertujuan untuk membatasi
kekuasaan dalam Negara. Ciri khas pemerintahan konstitusional ialah adanya
gagasan mengenai pemerintahan yang terbatas, dalam arti tidak dibenarkan


bertindak secara sewenang-wenang terhadap warga Negara. Pembatasan
terhadap kekuasaan Negara tercantum dalam konstitusi, sehingga lazim disebut
pemerintahan berdasarkan konstitusi. Gagasan paham Negara konstitusional
awalnya dikemukakan olej John Locke. Gagasan ini merupakan pengembangan
dari gagasan hukum kodrat Thomas Aquinas yang menghendaki kekuasaan
memerlukan legitimasi. Thomas Aquinas menggantungkan legitimasi kekuasaan
Negara pada kesesuaiannya dengan tuntunan-tuntunan normative. Oleh karena
itu Locke berpendapat bahwa hukum kodrat harus menjadi dasar kekuasaan,
bukan sebaliknya kekuasaan yang menjadi dasar hukum (M.C.Burkens, 1990:94).
Dilihat dari sudut pandang pengaturan hak asasi manusia, pada satu sisi lain
pemerintah diberi wewenang untuk membatasi hak-hak dasar sesuai dengan
fungsi pengendalian (Sturing). Jadi walaupun hak-hak dasar mengandung sifat
membatasi kekuasaan pemerintahan, pembatasan tersebut tidak berarti
mematikan kekuasaan pemerintah yang pada dasarnya berisi wewenang untuk
mengendalikan kehidupan masyarakat.
Adapapun pengertian pengadilan hak asasi manusia yang merupakan
pengadilan khusus yang berada dalam ruang lingkup atau lingkungan peradilan
umum yang diberi wewenang memeriksa dan memutus pelanggaran hak asasi
manusia berat. Pengertian memeriksa dan memutus yang dimaksud disini
mempunyai makna yang luas, di dalamnya termasuk mengenai penyelesaian

perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Selain itu
pengadilan hak asasi manusia berat yang dilakukan di luar batas wilayah teritorial
Indonesia oleh warga negara Indonesia. Dari sudut pandang ilmu hukum,
kewenangan ini merupakan bentuk jaminan dan perlindungan terhadap warga
negara Indonesia yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat yang
dilakukan di luar batas teritorial Indonesia, sehingga warga negara Indonesia
dilindungi oleh hukum nasional dan tidak dibenarkan diadili oleh negara lain, di
tempat mana yang bersangkutan melakukan penggaran terhadap hak asasi
manusia. Sifat khusus pengadilan hak asasi manusia ini tercermin dari
kewenangannya yang terbatas hanya mengadili pelanggaran hak asasi manusia
berat dan berdasarkan kewenagan asas retroaktif yang dimilikinya serta tidak
mengenal kadaluarsa untuk engadili pelanggaran hak asasi manusia berat dapat
dirumuskan menjadi beberapa diantaranya.
Dengan diperlukannya penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik
ad hoc penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc. Penegasan bahwa penyelidikan
hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik
tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dlam
kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tentang keentuan mengenai
tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di Pengadilan hal seperti itu juga diperlukan. Mengenai ketentuan
perlindungan saksi dan korban, penegasan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran
hak asasi manusia beratserta asas retroaktif dalm rangka melindungi HAM
berdasarkan ketentuan Pasal 28 J UUD THUN 1945 semua itu juga diperlukan.
Maksud dari pemberlakuan asas retroaktif ini adalah bahwa mengenai
pelanggaran HAM berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang berdasarkan hukum internasioanl dapat digunakan asas retroaktif.
Diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang
ditetakan dengan Undang-undang sebagai mana tercantum dalam pasal 28 J ayat

(20) UUD 1945, diman dalam ketentuan pasal tersebut ditegaskan: Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepad
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata, untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokrasi. Kategori pelanggaran hak asasi manusia berat yang
dimaksud pelanggaran yang merupakan kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana dalam pasal 6 dan pasal 7 Rome Statute of
The International Criminal Court.
Keunikan dari buku ini:
1. Keunikan yang cukup menjadi sorotan pembaca di awal mereka membaca
yakni halaman romawi 5. Cukup menarik di halaman tersebut penulis
dengan spontan menuliskan bahwa buku tersebut ditulisnya khusus
menyambut hari ulang tahun anaknya yang bernama Adinda. Beliau
menuliskan buku ini juga dipersembahkan kepada isterinya tercinta Arni Arif
dan anak-anaknya yang lain. Penulis mengingatkan kepada anaknya bahwa
“Penguasa yang tidak tunduk pada hukum dan tidak menghormati hak asasi
manusia adalah penguasa tiran bagi mereka menyiksa atau membunuh
sama mudahnya dengan bernapas”.
2. Isi dari buku ini merupakan sebuah pandangan teori teori dari si penulis
serta beberapa pandangan dari beberapa para ahli atau pakar lain
dibidangnya.
3. Buku ini memiliki III cetakan namun isi materinya sama semua. Cukup unik
karena 3 kali cetak ditahun yang berbeda tapi masih bnyak permintaan dari
pembaca. Hal ini dijelaskan pada kata pengantar buku ini.
Kekurangan dari buku ini:
1. Cara penyampaiannya bertele-tele.
2. Bagi saya buku ini susah dipahami dari setiap bab nya.
3. Buku yang tidak kokoh, jika dibaca berulang-ulang maka buku muka sekali
koyah.
4. Pembahasan kurang menarik pembaca.

Lampiran