Spirit Revolusi Mental dan Tantangan Imp (2)

Spirit Revolusi Mental dan Tantangan
Implementasi Kebijakan Aparatur Sipil Negara1
Oleh. Muhadam labolo
Dosen IPDN, email; [email protected]

Pengantar
Pertama-tama saya atas nama Menteri Dalam Negeri mengucapkan terima kasih atas
undangan panitia Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) pada kongres hari ini sebagai
momentum strategis guna mengkonkritkan semua gagasan dan spirit pemerintahan dewasa
ini. Selanjutnya kami tak lupa mengucapkan selamat hari ulang tahun pada Ikatan
Widyaiswara Indonesia, semoga semakin profesional, berkualitas, berilmu, terampil,
berwawasan serta mampu memberikan pengetahuan yang terbaik dalam proses belajarmengajar dimanapun saudara ditugaskan. Pada kesempatan ini, pada saya dimintakan untuk
menyampaikan dua tema penting berkaitan dengan revolusi mental dan kebijakan Aparatur
Sipil Negara (ASN). Tentu saja kedua tema tersebut cukup menarik disebabkan yang pertama
tampak berupa gagasan, konsep, spirit, visi dan kerangka pembangunan bangsa sehingga
bersifat abstrak, sedangkan tema kedua lebih membumi dan konkrit dalam batasan kebijakan
Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 5/2014 Tentang ASN). Mudah-mudahan dalam waktu
singkat ini sejumlah catatan dalam makalah ini dapat memberi sumbangan bagi action plan
Ikatan Widyaiswara Indonesia dimasa akan datang.
Memasuki tahun kedua periode pemerintahan baru 2014-2019, kita diingatkan
kembali pada gagasan Revolusi Mental yang menjadi kata kunci (key word) dalam

membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yaitu, Jalan
Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi tersebut
selanjutnya dipolakan lewat seperangkat misi yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong.2 Secara historis visi tersebut
didasarkan pada pemikiran Soekarno lewat konsep Tri Sakti. Konsep ini dikemukakan
Soekarno dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam rangka memperingati
Hari Kemerdekaan RI tahun 1964. 3 Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa
Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik, kemandirian
dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi ini lahir tidak saja
karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal dimana terdapat dua kekuatan politik
internasional yaitu blok Barat yang bersifat kapitalistik dan blok Timur yang cenderung
berkarakter komunistik. Dalam konteks itu Soekarno hendak memastikan bahwa bangsa
Indonesia mesti teguh pada posisinya sebagai bangsa yang merdeka dan tidak ikut
menceburkan diri dalam pusaran arus politik global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas
bahwa sejarah dikemudian hari memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik
luar negeri Indonesia, namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan sejarah
yang panjang sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat dalam membangun
bangsa di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan perhatian serius.
Jika faktor internal hari-hari ini lebih mendominasi persoalan bangsa maka tidaklah
salah jika focus kongres kali ini menjadi pemantik untuk mengembangkan sejumlah

pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action plan guna mencapai tujuan konstitusional
negara melalui kepeloporan revolusi mental. Sumber persoalan utama dalam relasi ini
menurut tesis sementara terkait pada pembangunan individu bangsa. Apabila kita asumsikan
bahwa setiap individu memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam kumpulan yang
1 Disampaikan dalam Kongres ke-6 Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI), Selasa, 8 September 2015.
2 Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 20142019.
3Roso Daras, Benang Merah Pidato Bung Karno, dalam Rosodaras.wordpress.com

1

luas (keluarga) hingga organisasi paling kompleks sebagaimana negara akan mampu
berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak
saja persoalan internal seperti isu transisi demokratisasi, Hak Asasi Manusia, desentralisasi
hingga reformasi birokrasi akan mudah terselesaikan dengan sendirinya, demikian pula
persoalan yang sedang kita hadapi hari-hari ini. Dampak lebih jauh dari itu, persoalan
eksternal yang selama ini menyentuh harga diri bangsa seperti mobilitas tenaga kerja ke luar
negeri karena dorongan ekonomi, kemampuan melaksanakan hukuman mati bagi siapa saja
yang bersalah sebagai refleksi kedaulatan politik bangsa, serta kemampuan menampilkan
karakter individu yang cemerlang dari berbagai aspek kehidupan dapat segera menggeser
identitas budaya negara lain yang kini justru menjadi trending di negara sendiri. Indikasi

yang dapat dilihat adalah kebiasaan generasi muda yang lebih mudah beradaptasi dengan
budaya bangsa lain lewat film, fashion dan food. Film dengan mudah mempengaruhi cara
berpikir dan spirit generasi muda lewat layar lebar (Theater), layar sedang (Televisi) hingga
layar mini (Handphone). Dalam titik tertentu gejala ini mampu memompa kebanggaan bagi
negara lain, sekaligus pada saat yang sama mengikis nasionalisme bangsa sendiri. Fashion
tampak dari melimpahnya asesoris dan sentuhan life style yang secara perlahan menggerus
motif dan cara hidup sederhana. Dipenghujung upaya menggapai semua titik kepuasan
tersebut melahirkan cara hidup hedonisme, dimana korupsi menjadi jalan pintas di segala
bidang. Sementara kontribusi makanan (food) kini menjadi semacam ketergantungan hidup
dalam berbagai bentuknya, mulai dari kegemaran mengkonsumsi makanan kecil (snack) dari
Malaysia, buah dari Bangkok hingga menunggu import beras dan daging dari Vietnam dan
Australia sebagai pengganti kebutuhan pokok manusia Indonesia.
Pada akhirnya, semua gejala di atas kini menjadi sebuah pertanyaan strategis di atas
kerangka visi dan misi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bagaimanakah mewujudkan
revolusi mental dalam jangka panjang? Siapakah pelopor dan wadah seperti apakah yang
ideal menjadi daya dorong (starting point) untuk mewujudkan visi dan misi revolusi mental
dimaksud? Apabila Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) ‘diminta’ mengambil porsi terdepan
dalam keramaian konsepsi tersebut, maka bagaimanakah action plan yang paling konkrit dari
rencana besar revolusi mental dilakukan IWI?4 Ketiga pertanyaan tersebut hanyalah bagian
kecil dari upaya menemukan jawaban atas berbagai pandangan terhadap konsepsi revolusi

mental baik dari sudut teoritik filsafati, politik, budaya, agama, ekonomi, hukum, maupun
praktek dilapangan empirik.
Misi dan Nawacita Revolusi Mental
Untuk mewujudkan visi revolusi mental yang telah dikemukakan sebelumnya,
Jokowi-JK menetapkan 7 (tujuh) misi strategis yang akan ditempuh dalam lima tahun
kedepan, pertama, mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan
wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. Kedua, mewujudkan
masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan negara hukum. Ketiga,
mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Keempat, mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
Kelima, mewujudkan bangsa yang berdaya-saing. Keenam, mewujudkan Indonesia menjadi
Negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Ketujuh,
mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam dokumen itu juga
dirumuskan Sembilan Agenda Prioritas yang dikenal dengan istilah Nawacita (Nawa artinya
Sembilan, Cita artinya Tujuan/Keinginan/Harapan). Kesembilan agenda prioritas itu adalah
pertama, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan
4 Hal yang sama dilakukan pula misalnya oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dalam Seminar Nasional,
Dari Trisaksi Melalui Nawacita Menuju Revolusi Mental, Minggu, 22 Maret 2015 di Jakarta.


2

rasa aman pada seluruh warga negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan
membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah dan Desa dalam
kerangka Negara Kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi
sistim penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kelima,
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Keenam, meningkatkan produktifitas rakyat
dan daya saing di pasar internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan, melakukan revolusi
karakter bangsa. Kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah mewujudkan Nawacita tersebut?
Apakah dimulai secara sikuensi, ataukah cukup menentukan prioritas utama yang dengan
sendirinya mampu menjawab semua agenda yang tersisa? Pilihan lain mungkin dapat
dilakukan secara simultan dengan membagi pada semua sektor terkait untuk dituntaskan
bersama.
Menurut hemat saya alternatif kedua lebih tepat kita lakukan, namun perlu ditetapkan
satu sumbu utama untuk melahirkan output Nawacita dalam jangka panjang agar tidak
terjebak pada kinerja day to day sebagaimana kritik sebagian masyarakat. Buah dari revolusi
mental pada dasarnya hanya dapat dinikmati dalam jangka panjang, sepuluh hingga dua

puluh tahun kedepan dengan menyiapkan landasan kokoh hari ini. Sebagaimana negaranegara di asia seperti Jepang, Korea, India, Malaysia dan Singapura yang hanya berselisih
hari, bulan dan tahun dari pijakan kemerdekaan awal, kini telah memasuki suatu masa yang
diperhitungkan dalam percaturan dunia international. Untuk menggapai harapan itu, maka
tidaklah berlebihan jika Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) turut mengambil peran bagi
terciptanya revolusi mental dimasa akan datang.
Kebijakan Aparatur Sipil Negara
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara dikatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum
dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih
dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Pegawai ASN diserahi
tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas
pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas

pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang
meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam
rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa
(cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial
(economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh masyarakat.
Untuk dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas
pembangunan tertentu, Pegawai ASN harus memiliki profesi dan Manajemen ASN yang
berdasarkan pada Sistem Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
3

yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh
calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan yang
dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang
baik. Manajemen ASN terdiri atas Manajemen PNS dan Manajemen PPPK yang perlu diatur
secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur. Adapun Manajemen
PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan,
pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan
tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, serta
perlindungan. Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi penetapan kebutuhan,

pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian
penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan.
Kebijakan ASN juga diperlukan untuk menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai
politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat
memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, sebab itu
ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Untuk meningkatkan
produktivitas dan menjamin kesejahteraan ASN, dalam Undang-Undang ini ditegaskan
bahwa ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja,
tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN berhak memperoleh jaminan
sosial.
Dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN, dibentuk KASN yang mandiri
dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta
pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik dan kode perilaku ASN. KASN
beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang
wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. KASN dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dibantu oleh Asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang
dibutuhkan. Selain itu KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala
sekretariat. Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat oleh Presiden
selaku kepala pemerintahan untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat

diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk menyalurkan aspirasi dalam rangka
pembinaan dan pengembangan profesi ASN, Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps
profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang bertujuan menjaga kode etik profesi dan
standar pelayanan profesi ASN serta mewujudkan jiwa korps ASN sebagai perekat dan
pemersatu bangsa. Dalam rangka menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan
keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sistem Informasi ASN
merupakan rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara
sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi yang diselenggarakan
secara nasional dan terintegrasi. Lalu, apakah tantangan ASN dewasa ini dan bagaimanakah
peran Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) dalam menghadapi problem dimaksud? Apakah
nilai-nilai penting yang mesti ditanamkan pada ASN? Makalah ini akan menjelaskan problem
pokok dan nilai penting yang dapat diadaptasi oleh IWI sebagai bagian dari pelopor revolusi
mental.
Korupsi sebagai Tantangan Aparatur Sipil Negara
Gejala korupsi kini memasuki area dikedalaman yang hampir tak terukur. Secara
horisontal korupsi menyebar dihampir semua cabang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif
maupun yudikatif. Pada garis vertikal korupsi bertengger di setiap hirakhi pemerintahan, dari
pusat kekuasaan hingga level terendah. Dalam kasus di Indonesia, sejak reformasi mengalami
puncak kelahiran (1998), korupsi seperti mendapatkan tempat yang layak berkembangbiak.
Korupsi yang selama ini tumbuh berkecambah diranah eksekutif, kini berangsur-angsur

4

mengalami semacam arisan dari ruang legislatif, yudikatif dan kembali ke eksekutif. Pada
periode orde baru hingga kejatuhannya, dominasi eksekutif menjadikan perilaku korupsi
seperti tersimpan rapi dalam dokumen yang hanya diketahui oleh rezim berkuasa. Apapun
hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan bergantung pada selera Soeharto. Pasca
pemilu demokratis yang mendapat pujian dunia international (1999), korupsi bergeser
menjadi kebiasaan legislatif. Di tingkat daerah kondisi tersebut ditopang oleh perubahan
sistem yang memungkinkan eksekutif relatif dapat dimakzulkan oleh legislatif melalui
mekanisme pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, tekanan publik yang meluas serta
pertanggungjawaban akhir masa jabatan. Akibatnya, eksekutif terkesan mengalah dan roda
pemerintahan relatif dikendalikan secara politik oleh kelompok legislatif dari perencanaan
hingga implementasi. Puncaknya, sebagian besar anggota legislatif terjerambab dalam kasus
korupsi berjamaah5. Kondisi tersebut memasuki usia subur hingga periode legislatif 200420096. Pada periode ketiga usia reformasi (2009-2004), legislatif daerah terpilih seperti
mengalami sedikit kesadaran kolektif sekalipun gejala korupsi memasuki babak baru di level
birokrasi pusat dan Senayan pada khususnya 7. Untuk birokrasi pusat kita dapat mengambil
contoh kasus korupsi di tiga kementrian strategis yaitu kementerian kesehatan, pendidikan
dan agama8. Meskipun kasus korupsi oleh legislatif di daerah mengalami penurunan akibat
agresivitas penegak hukum dan perubahan sistem yang membatasi fungsi kontrol legislatif 9,
namun diskresi pada eksekutif seakan mengembalikan kewenangan kepala daerah untuk

melakukan banyak hal sehingga mendorong penyalahgunaan wewenang yang menyuburkan
korupsi. Dalam catatan Kemendagri, hingga akhir April 2012 terdapat 173 kepala daerah dari
524 daerah otonom tersangkut korupsi.10 Dari jumlah tersebut 70% oleh pengadilan telah
diputus bersalah. Artinya, 1/3 dari total kepala daerah diduga merugikan negara, memperkaya
diri sendiri maupun orang lain baik sengaja maupun tidak 11. Jumlah laporan perkara korupsi
sendiri hingga awal Juli 2012 mencapai 3.423 kasus. Jika dirata-ratakan maka setiap kepala
daerah berkontribusi terhadap kurang lebih 20 kasus korupsi. Dari belitan masalah itu, 85%
berkisar pada kasus pengadaan barang dan jasa. Jika celah korupsi berkutat pada empat
5 Fenomena ini dapat dilihat dalam kasus DPRD Sulawesi Tenggara, Banten dan Sumatera Barat periode 19992004. Secara umum terdapat 323 anggota DPRD periode 1999-2004 tersandung korupsi. Pada 2006 lebih 1000
anggota DPRD tersandung korupsi, dan pada 2008 jumlah anggota dewan yang diproses hukum meningkat
menjadi 1400 orang (Republika, 2008).
6 Pada periode ini sejumlah anggota dewan sebelumnya (periode 1999-2004) dipaksa mengembalikan dana
Tunjangan Komunikasi Insentif sebagai dampak dari ketidakjelasan penerapan PP 24/2004 tentang Keduudukan
Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan Anggota Dewan khususnya DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dua
peraturan pemerintah selanjutnya (PP 36 dan 21) yang memperjelas interpretasi tersebut tetap saja menimbulkan
polemik dan ketegangan antara DPRD lama dengan Kemendagri.
7 Kasus korupsi Hambalang oleh beberapa DPR (2012) dan sejumlah pejabat penting di Kementrian Pemuda
dan Olah Raga menjadi babak baru transisi korupsi dari level bawah ke derajat yang lebih tinggi, setelah
sebelumnya dimulai dari penangkapan sejumlah politisi senior dihampir semua perwakilan partai politik untuk
kasus korupsi periode 2004-2009 dan 2009-2014.
8 Sejak tahun 2010-2012 ketiga kementrian tersebut didera masalah korupsi. Kasus Kementrian Kesehatan
dalam pengadaan sarana kesehatan melibatkan mantan Menteri Kesehatan periode 2004-2009. Gejala korupsi di
kementrian pendidikan lebih pada tender pengadaan buku hingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
yang tak kunjung sepi dari sorotan publik. Sementara kementrian agama juga berada dalam tekanan publik soal
transparansi pengelolaan dana abadi umat, haji hingga tender pengadaan mushaf kitab Qurán tahun 2011 dan
2012 serta laboratorium komputer Madrasah (Indopos,10 Juli 2012).
9 Perubahan sistem terjadi sejak UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah direvisi menjadi UU 32/2004 yang
membatasi fungsi kontrol DPRD. Upaya pemakzulan yang rentan terjadi tampak dibatasi lewat PP No.3/2007
dari PP 108/2000 tentang Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
10 Jawa Pos, 16 April 2012. Perkembangan lebih jauh hingga 19 Juni 2012, Mendagri telah menandatangi 200
izin pemeriksaan kepala daerah kepada presiden terkait dugaan korupsi (Rakyat Merdeka, 10 Juli 2012).
11 Hingga awal Juli 2012, Bupati Buol Provinsi Sulawesi Tengah menjadi kepala daerah kesekian yang
dijemput paksa Komisi Pemberantasan Korupsi.

5

masalah pokok selain tender pengadaan barang dan jasa, maka dapat diasumsikan 15%
sisanya berkaitan dengan penggunaan APBD/APBN yang kabur, manipulasi perizinan di
pusat dan daerah, serta ekses pemilukada yang mengakibatkan penggelontoran uang dalam
wujud money politics12. Apabila dibandingkan tahun lalu, hingga Juni 2011, gejala
pertumbuhan korupsi sebenarnya telah terdeteksi oleh PPATK, dari 2.258 laporan transaksi
keuangan terdapat 1.153 transaksi mencurigakan dilakukan bendahara daerah. Modusnya
membeli surat Bank Indonesia dan mendepositokan uang daerah. Disamping bendahara
daerah, 376 kepala daerah dan 339 pejabat lain melakukan transaksi mencurigakan.
Data diatas menunjukkan pergerakan korupsi mengalami semacam pergeseran
sekaligus pembesaran pada entitas tertentu. Secara horisontal di pusat, korupsi mengalami
peralihan siklus pada setiap cabang kekuasaan, sedangkan secara vertikal di daerah korupsi
mengalami pembesaran pada level entitas pemerintahan tertentu dimana kewenangan
berlimpah akibat perubahan sistem yang memberikan sejumlah diskresi. Jika demikian
bagaimanakah celah korupsi rentan terjadi dalam ruang eksekutif yang mengendalikan
birokrasi sebagai mesin utama roda pemerintahan? Dalam konteks Indonesia, pergeseran
korupsi akibat distribusi kekuasaan dari pusat pemerintahan ke daerah pasca desentralisasi
membuka celah korupsi pada empat variabel utama, yaitu modus penggunaan anggaran dan
pendapatan belanja daerah, pengadaan barang dan jasa, perizinan usaha, serta ekses
pemilukada yang menimbulkan perilaku pragmatis di tingkat voters.
Spirit Revolusi Mental dalam Strategi Pembelajaran Widyaiswara, Menjawab
Tantangan Aparat Sipil Negara
Menyadari profesi Widyaiswara dalam proses belajar-mengajar bagi Aparatur Sipil
Negara, maka penting saya sampaikan agar spirit revolusi mental dapat dibumikan melalui
aktivitas pengajaran dan pelatihan diberbagai kesempatan. Widyaiswara berperan penting
dalam upaya mencegah terjadinya korupsi sebagai problem pokok dalam lingkungan
birokrasi. Dengan demikian tesis yang dapat kami ajukan adalah semakin berkualitas
Widyaiswara kedepan, semakin mungkin gejala korupsi seperti saat ini dapat dibatasi.
Nilai penting dari aspek pengajaran adalah mendorong area kognitif Aparatur Sipil
Negara agar mampu memecahkan problem pemerintahan yang dihadapi dilapangan.
Pengajaran teoritik diperlukan untuk memperkuat peran salah satu asas penting dalam
pemerintahan, yaitu asas berpikir panjang.13 Dalam praktek, asas ini membutuhkan cara
pandang terhadap suatu hal secara menyeluruh. Sebagai contoh, berdasarkan program
penegakan hukum, rumah liar di bantaran Kali Ciliwung dibongkar paksa dengan berbagai
alasan pemerintah kota. Pertanyaannya, apakah pemerintah kota peduli dengan nasib
penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan mungkin saja lapangan kerjanya sebagai
dampak dari penggusuran tersebut? Harus di ingat bahwa asas ‘perintah adalah perintah’
tidak berlaku dalam masyarakat civil. Inilah salah satu spirit fundamental yang membedakan
ASN dengan Aparat Negara seperti Tentara dan Polisi. Standar rekrutmen boleh jadi sama,
namun fokus yang menjadi lahan garapan jauh berbeda. Dalam masyarakat civil setiap warga
negara berhak mengetahui mengapa dan apa akibat dari tindakan pemerintah. Kesadaran akan
hubungan sebab-akibat dan sebaliknya akibat-sebab dapat diperoleh lewat pengalaman.
Namun upaya untuk memperoleh pengalaman tersebut dibatasi oleh waktu hidup manusia
yang singkat guna menyadari hubungan kausalitas, maka teorilah yang memungkinkan orang
mengetahui hubungan kausal sebanyak mungkin tanpa harus mengalaminya satu persatu.
Oleh karena itu setiap profesi Widyaiswara sebagai pengajar dikelas mutlak memerlukan
12 Republika, 13 Juni 2011.

13 Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology, Jilid 2, hal.686, Rineka Cipta, Jakarta.

6

bekal pengetahuan teoritik umum (filsafat, metodologi, logika dan sebagainya), serta
pengetahuan teoritik khusus dibidangnya masing-masing. Maka amat naiflah jika sejumlah
orang mengatakan bahwa Widyaiswara tidak perlu mengajarkan pengetahuan teoritik, cukup
pengetahuan teknik-administratif-operasional belaka.
Disisi lain penting kami ingatkan bahwa pola transaksional dalam menyelesaikan
masalah pemerintahan kini menjadi trend yang jika tak dihentikan dapat menjadi subur dan
beban bagi pemerintahan selanjutnya. Dengan kelihaian semacam itu bukan mustahil kita
secara tak langsung telah berkontribusi bagi terbentuknya birokrat yang ulet memeras rakyat
untuk menyelesaikan setiap masalah. Inilah seni, yang menurut kritik Adam Smith tak ada
seni yang paling cepat dipelajari suatu pemerintahan, kecuali seni menguras uang dari saku
rakyatnya. Lewat nilai pengasuhan kita berharap terbentuk kesadaran individu sekaligus
kesadaran kolektif yang bertumpu pada moralitas dan etika, apakah etika pendidikan yang
kita sepakati sebagai modal bermasyarakat dan berpemerintahan, maupun moralitas agama
yang menjadi pondasi paling kuno di muka bumi. Lewat kesadaran semacam itulah maka
pola pendekatan dalam kelas oleh Widyaiswara diharapkan mampu memberikan kontribusi
signifikan bagi terbangunnya kesadaran Aparatur Sipil Negara untuk mengubah dirinya,
sekaligus secara kolektif mendorong dinamika masyarakat lewat prinsip good governance.
Jika bagian ini tercapai, maka pendidikan dalam bentuk apapun sebagaimana dikatakan oleh
pakar pendidikan Jhon Dewey (1999) telah mencapai tujuan sebenarnya, yaitu mengubah diri
dan lingkungannya menjadi lebih baik, dan bukan sebaliknya. Namun perlu di ingat bahwa
sebelum kesadaran itu muncul ia membutuhkan intervensi pengetahuan dan contoh tauladan
yang memadai. Kesadaran tak akan muncul hanya dengan mengucapkan mantra
abrakadabra dan alakazam. Disini menginspirasikan bahwa semua widyaiswara harus
menjadi contoh, bukan menjadi momok yang menakutkan sehingga kesadaran lahir karena
dorongan luhur sebagai manusia biasa, bukan karena rasa takut sehingga membentuk pribadi
robot (formalistik).
Pada level selanjutnya keseluruhan pengetahuan dan karakter yang dibentuk lewat
pengajaran dan pengasuhan membutuhkan percontohan untuk diujicobakan. Dalam konteks
inilah kita menyertakan nilai pelatihan, dimana kampus sekaligus menjadi laboratorium
alamiah yang dapat dipraktekkan secara kasat mata. Ketika kita menguraikan pelajaran
tentang pemerintahan yang baik, maka pada saat yang sama semua prinsip yang
mengkonstruksi makna pemerintahan yang baik harus mampu teraplikasikan dengan cara
dilatih terus-menerus. Sebagai contoh, prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam
pemerintahan yang baik membutuhkan pelatihan lewat pemberian tanggungjawab yang
memungkinkan setiap praja dapat mempertanggungjawabkan tugasnya secara baik, tepat
waktu dan terang-benderang. Alokasi pelatihan yang banyak lewat kelas pembelajaran seperti
outbond, praktek lapangan, kunjungan lapangan, maupun Magang merupakan strategi yang
diharapkan dapat menyerap sejumlah keterampilan lapangan secara langsung (direct) untuk
menjadi modal bagi penyelesaian problem pemerintahan yang sesungguhnya di kelak hari.
Jika kedua aspek diatas dapat menjadi strategi bagi penanaman nilai oleh Ikatan
Widyaiswara Indonesia (IWI), saya yakin Aparatur Sipil Negara dapat mengalami banyak
perubahan dimasa akan datang. Persoalan pentingnya adalah vehicle seperti apakah yang
akan IWI gunakan untuk mengkonkritkan dan memaksimumkan semua nilai penting yang
diharapkan agar sejalan dengan konsepsi revolusi mental? Tentu saja kongres ini dapat
menjadi bagian untuk merangkum semua curahan dan gagasan peserta yang akan diramu
dalam bentuk vehicle perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang bagi upaya
mewujudkan IWI sebagai salah satu pelopor revolusi mental.

7