Fungsionalisme Pentingnya Persamaan dan indu

Fungsionalisme: Pentingnya Persamaan dan Kontestasi Era Modern
Oleh: Filman Zulfikar

Berasal dari nama “Kartini” mengingatkan saya akan pentingnya peran perempuan dalam
peradaban manusia dari dulu, sekarang bahkan mendatang. Melalui Kartini, beberapa stigma
yang kurang bisa diterima oleh kaum perempuan kini berubah di kalangan masyarakat.
Beberapa ungkapan negatif yang kemudian menjadi kekerasan simbolik tertanam melalui
mekanisme budaya patriaki yang melekat di kalangan masyarakat. Beberapa ugkapan seperti
“perempuan adalah makhluk yang lemah” memang tidak bisa diterima oleh banyak
perempuan.
Hebatnya adalah, semua stigma negatif tentang perempuan berhasil dipatahkan oleh
pahlawan Indonesia seperti Kartini. Melalui tulisannya “Habis Gelap Terbilah Terang” yang
kini dikenang oleh semua lapisan masyarakat membuat mata terbuka betapa tingginya
ketimpangan Gender yang terjadi. Kemudian Kartini melalui karyanya tersebut berhasil
membangun emansipasi (persamaan dan kesetaraan hak perempuan).
Tidak hanya Kartini, diujung Barat Indonesia juga lahir seorang tokoh luarbiasa yakni Cut
Nyak Dien, dan Cut Mutia juga secara langsung menyuarakan persamaan hak dan kesetaraan
perempuan, tentunya dengan perjuangan yang luarbiasa. Begitupun di wilayah Timur
Indonesia melalui nama, jiwa dan raga seorang Martha Christina Tiahahu yang ikut di medan
perang bersama pejuang laki-laki lainnya.
Gambaran diatas menegaskan dan membuktikan bahwa perempuan juga berperan penting

dalam peradaban, dengan kata lain perempuan juga terlibat kuat dalam kontestasi di
masyarakat. Lalu hingga saat ini apa yang membuat kaum perempuan di-inferiorkan?
Pendekatan sosiologis amat sangat lekat dengan kajian gender, dan berikut opini penulis
berusaha melihat dan berbagi pandangan menurut teori fungsionalisme.
Fungsionalisme berasumsi bahwa melihat masyarakat sebagai sebuah sistem, terdiri dari unit
kecil organisme (individu/aktor) kemudian berkelompok dan diatur oleh norma (tertentu) dan
memiliki nilai-nilai di dalamnya. Satu dan lainnya saling keterkaitan, berkesinambungan dan
ketergantungan. Hal ini yang kemudian muncul pendapat bahwa makhluk sosial. Tak luput
dari hal sekecil apapun, Fungsionalisme melihat sesuatu pasti memiliki fungsi yang akan
memunculkan sebab dan akibat tertentu. Hal ini kemudian juga dapat membentuk nilai dan
norma yang kemudian ditaati dan diikuti secara Voluntiristik oleh masyarakatnya.
Parson dalam [ CITATION Rit12 \l 1033 ], menggunakan peran dan status di masyarakat
dalam sistem sosial, dalam penjelasannya mengenai status, mengacu kepada suatu komponen
struktural. Sedangkan, Peran diartikan sebagai apa yang dilakukan sang aktor dalam posisi
yang demikian di dalam struktur sosial. Selanjutnya Parson juga menyambung tindakan aktor
terhadap sistem sosial, ia berpendapat bahwa nilai dan norma yang telah diinternalisasi kerap
melekat kuat dalam diri aktor tersebut. Parsons juga membahas Sistem budaya yang

berfungsi merekatkan kepribadian dan sistem sosial dan juga berpengaruh besar pada
interaksi dan tindakan sosial.

Yang menarik dari penjelasan sebelumnya adalah, bahwa citra aktor yang pasif. Artinya para
aktor sekan akan didorong oleh struktur sosial yang didominasi oleh kebudayaan [CITATION
Rit12 \p 420 \l 1033 ].
Dari uraian diatas maka saya berpendapat bahwa status dan peran perempuan selama ini
terbentuk karena struktur sosial secara turun temurun, hal ini yang kemudian dianut dan
dilakukan terus menerus tanpa adanya penolakan. Bagaimana seharusnya?
Maka yang perlu dilakukan adalah merubah stigma seperti apa yang dilakukan Kartini dan
pahlawan wanita lainnya dalam terjun langsung kepada arena kontestasi, khususnya di era ini
dengan ikut langsung kepada arena kontestasi modern yang berpeluang kepada persamaan
kedudukan laki-laki dan perempuan.
Alasannya adalah perbahan jaman, dari era konservatif tradisional (dalam hal ini sifat
kebudayaan masih melekat erat dan kental) kepada arah modern (sifat budaya lebih sedikit
dan pudar) dikemukakan oleh Neo-fungsionalisme. Fenomena ini bisa menjadi kesempatan
untuk selanjutnya menciptakan suatu paham/tatanan/struktur sosial baru yang berorientasi
pada persamaan kedudukan, kaum perempuan dapat mengambil peran yang lebih dari
sebelumnya. Jika dilihat kenyataan memang dalam masyarakat Minang pun dikatakan tidak
ada bentuk kekuasaan perempuan, tapi setidaknya kaum perempuan Minang mendapatkan
derajat sayng sama (hal ini masih dipengaruhi budaya).
Dalam fungsionalisme parson berpendapat bahwa dalam konteks etnis, Ke-etnis-an bisa
hilang dari diri individu karena factor modernisasi. Fenomena ini yang kemudian dilengkapi

oleh Neo-Fungsionalisme bahwa peleburan tadi akan membentuk suatu solidarias baru yang
lebih kuat. Lalu yang dimaksut adalah memanfaatkan peristiwa ini untuk kemudian menginternalisasikan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Catatan: Asusmsi dasar diambil dari beberapa catatan, refleksi kuliah dan beberapa buku
yang berkaitan dengan teori Struktural fungsional, penulis berusaha memasukan konteks
perempuan dan kontestasi kedalam konten tulisan dan berusaha mengkorelasikan, walaupun
dalam sosiologi terdapat bahasan khusus dalam Sosiologi Gender yang membahas secara
konferhensif. Maka sumber yang penulis cantumkan dan dapat dibaca adalah:

References
Hidayat, R. (2011). Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.
Malesevic, S. (2004). The Sociology of Ethnicity. London: SAGE Publication Ltd.
Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern
(Delapan ed.). (S. Pasaribu, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.