KONFLIK AGRARIA DI MALUKU DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Agrarian Conflict in Maluku Viewed from the Perspective of Human Rights)
KONFLIK AGRARIA DI MALUKU DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Agrarian Conflict in Maluku Viewed from the Perspective of Human Rights)
Okky Chahyo Nugroho
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Jl. HR. Rasuna Said Kav 4-5 Jakarta Selatan
email: okies_ham@yahoo.com
Tulisan Diterima: 11-07-2018; Direvisi: 23-07-2018; Disetujui Diterbitkan: 26-07-2018
DOI: http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.87-101
ABSTRACT
Indonesian people are often confronted against problems related to the unjustice when dealing with their rights over concession and utilization of agrarian resources. As a matter of fact, the agrarian injustice are sometimes initiated by some political policies at each change of government phases. The issues reviewed here are the roles of land regulations in the settlement of land conflicts in Maluku and indeed, the human rights will be an important issue in order to prevent the violation against the people’s rights and settlement of the same. The
purpose of this review is to describe the settlement of land conflicts within the context of human rights and regulations on land. The qualitative approach method employed in this paper with descriptive analysis on land issues in Maluku. The restrictive forms of Human Rights in the Land Bill deal with some important issues that must be described in the Land Bill, such as: indigenous people in Maluku have their own traditional characteristics and of course the Land bill should not arbitrarily limit the area of the land they hereditarily possessed for years, and eventually, the rights of the indigenous people must be respected, protected. The land bill must deal also with the land dispute settlement issues which include the involvement of non-judicial institutions (by negotiation, mediation, arbitration and customary justice), quasi-judicial institutions and judicial institutions. The customary justice under this Bill must be supported as this institution is preferred in settling conventional land disputes among the peoples in the Customary Law Societies.
Keywords: Agrarian Conflict, Land Regulation, Human Rights
ABSTRAK
Masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Fakta ketidakadilan agraria seringkali dipicu oleh berbagai kebijakan politik pada setiap fase pemerintahan. Hal yang dikaji adalah mengenai peran regulasi pertanahan dalam penyelesaian konflik agraria di Maluku dan tentunya hak asasi manusia menjadi penting agar pelanggaran hak masyarakat dapat dihindari dan ditangani. Tujuan kajian ini adalah untuk mendiskripsikan penyelesaian konflik agraria dalam konteks hak asasi manusia dan regulasi tentang pertanahan. Metode pendekatan kualitatif digunakan dalam tulisan ini dengan diskriptif analisis terkait permasalahan pertanahan di Maluku. Bentuk pembatasan Hak Asasi Manusia dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan ada beberapa poin penting yang perlu dijelaskan dalam RUU Pertanahan tersebut, seperti: Masyarakat adat di Maluku mempunyai ciri khas dan tentunya RUU Pertanahan tidak serta merta membatasi kepemilikan tanah yang sudah dimiliki bertahun-tahun secara turun temurun sehingga hak masyarakat adat perlu dihormati, dilindungi. RUU Pertanahan perlu membahas penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan melalui lembaga non yudisial (negosiasi, mediasi, arbitrase dan peradilan adat), lembaga quasi-yudisial dan lembaga yudisial. Lembaga peradilan adat dalam RUU ini diberi penguatan kedudukan dimana lembaga tersebut ditujukan untuk penyelesaian sengketa pertanahan konvensional antar warga masyarakat dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.
Kata Kunci: Konflik Agraria, Regulasi Pertanahan, Hak Asasi Manusia
Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101 87
PENDAHULUAN Undang tentang Pertanahan yang didasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
pada Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber (UUPA). UUPA sejatinya dimaksudkan berlaku
Daya Alam sebagai landasan hukum, khususnya sebagai lex generalis (“undang-undang pokok”)
dalam kaitannya dengan frasa “…dalam rangka bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya,
sinkronisasi kebijakan antarsektor”. Dengan yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
demikian perlu dipahami bahwa penyusunan UU di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh
Pertanahan merupakan suatu “jembatan-antara” Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
untuk meminimalisasi ketidaksinkronan undang- Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
undang sektoral terkait bidang pertanahan, di bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
samping untuk melengkapi dan menjabarkan terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
hal-hal yang belum diatur oleh UUPA maupun dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
penafsiran yang rakyat. Amanat tersebut kemudian dijabarkan
menegaskan
berbagai
menyimpang dari falsafah dan prinsip-prinsip dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
dasar yang telah digariskan oleh UUPA. Sangat Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal
dipahami bahwa UUPA yang diterbitkan pada dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
tahun 1960 belum mengantisipasi perkembangan Dalam perjalanannya, UUPA yang
ilmu, teknologi, politik, sosial ekonomi, budaya nasionalis, populis, dan mendasarkan pada
serta perkembangan kebutuhan masyarakat. hukum adat Indonesia tidaklah seperti tujuan
Beberapa contoh perlunya melengkapi pembentukannya. Berbagai penyimpangan UUPA
perubahan paradigma mendorong munculnya Ketetapan MPR Nomor
UUPA disebabkan
kebijakan ekonomi makro; globalisasi; derasnya
IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan arus investasi; semakin tajamnya konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), yang
dalam perebutan akses terhadap pemilikan, merupakan landasan peraturan perundang-
penguasaan dan pemanfaatan tanah karena undangan di bidang pembaharuan agraria dan
ketimpangan atau ketidakadilan dalam struktur pengelolaan sumber daya alam. Diperlukannnya
penguasaan atau pemilikan tanah; derasnya alih Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber
fungsi tanah sehingga mengancam ketahanan Daya Alam (SDA) adalah adanya undang-undang
pangan, timbulnya bencana alam, dan kerusakan sektoral menjadi degradasi terhadap UUPA yang
lingkungan; perlunya dilakukan distribusi dan pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex
redistribusi tanah untuk pertanian maupun generalis bagi pengaturan Sumber Daya Alam
nonpertanian disertai dengan reformasi akses; (SDA) menjadi sederajat dengan undang-undang
perlunya pengaturan untuk menjadi landasan sektoral lainnya dan dengan demikian menjadikan
pembangunan yang menggunakan ruang di UUPA sebagai lex specialis yang hanya
bawah tanah; perlunya menerapkan asas-asas mengatur bidang pertanahan. Ditinggalkannya
pemerintahan yang baik dalam pengelolaan semangat dan prinsip-prinsip yang mendasari
pertanahan; perlunya membentuk pengadilan UUPA oleh undang-undang
pertanahan untuk menyelesaikan perkara agraria ditengarai dalam perbedaan antara UUPA dengan
sektoral dapat
Beberapa contoh lain penjabaran UUPA undang-undang sektoral berkaitan dengan: 1)
karena salah tafsir adalah (1) penafsiran pengertian orientasi; 2) keberpihakan; 3) pengelolaan dan
hak menguasai dari negara yang demikian luas, implementasinya; 4) perlindungan Hak Asasi
mencakup seolah-olah negara sebagai pemilik Manusia (HAM); 5) pengaturan good governance; tanah; (2) penafsiran yang beragam terhadap
6) hubungan orang dengan SDA, dan 7) hubungan pengertian “tanah negara” dan berbagai implikasi
antara negara dengan Sumber Daya Alam. 1 yuridisnya; (3) pembelokan hak pengelolaan Pilihan prioritas penyempurnaan UUPA sehingga lebih menonjolkan sifat keperdataannya;
salah satunya dengan membentuk Undang- (4) penafsiran yang longgar terhadap pengertian “fungsi sosial” hak atas tanah sehingga menafikan
1 Maria Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi,
asas keseimbangan antara kepentingan umum
Abdullah Aman Damai, Pengaturan Sumber Daya Alam
dan kepentingan perseorangan; (5) pengakuan
di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat, Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Gadjah Mada University
dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Press,Yogyakarta, 2011. yang tidak tuntas yang bisa berdampak terhadap
88 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho)
Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101 89
kurangnya perlindungan terhadap hak ulayat karena menafikan kedudukan tanah (hak) ulayat sebagai entitas tersendiri, di samping tanah negara dan tanah hak, (6) pengabaian nilai-nilai lain dari tanah dan hanya memandangnya dari nilai ekonomis semata, telah menjadikan tanah sebagai komoditas dan alat untuk akumulasi modal. Di samping melengkapi dan menjabarkan UUPA, dalam perjalanan kondisi ekonomi-politik makro yang cenderung propertumbuhan, berbagai ketentuan UUPA telah diberi penafsiran yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan falsafah dan prinsip dasar UUPA yang antara lain telah berdampak terhadap ketidakadilan, pelanggaran HAM terkait hak dasar berupa tanah, dan semakin terpinggirkannya hak-hak masyarakat hukum adat.
Kasus yang sempat menyita perhatian publik, seperti kasus Alas Tlogo, dan kasus- kasus yang muncul pada penghujung tahun 2011 misalnya kasus Mesuji (Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung), Kasus Sungai Sodong (Kecamatan Mesuji, Kabupaten Agam Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan) Kasus Sritanjung (Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung), Kasus PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi NTB menggambarkan betapa kompleksnya akar masalah konflik dan sengketa tersebut.
Penjelasan alinea sebelumnya boleh jadi semangat untuk memposisikan RUU Pertanahan sebagai pelengkap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA 1960) untuk perkembangan dinamika kebijakan agraria di Tanah Air. Posisi RUU Pertanahan sebagai lex specialis dari UUPA 1960 menghilangkan keraguan para pegiat agraria dan serikat-serikat petani yang mulanya mencurigai kelahiran UU Pertanahan akan menggantikan UUPA 1960. Para pegiat agraria selama ini meyakini bahwa UUPA 1960 adalah benteng konstitusi yang kokoh bagi pelaksanaan reforma agraria sejati yang selama ini dinanti-
nanti. 2
Lebih lanjut, urgensi kelahiran UU Pertanahan dimaksudkan untuk meniadakan ketimpangan penguasaan tanah yang selama
2 Dikutip dari http://www.bpn.go.id/Publikasi/Berita- Pertanahan/transisi-agraria-dan-ruu-pertanahan-61807 Berita diambil dari Harian Kompas 2 Maret 2016 Hlm. 7. Diakses Februari 2017.
ini melahirkan ketidakadilan penguasaan tanah, konflik agraria, hingga kepastian hukum dan investasi di lapangan agraria dan tentu saja berkaitan dengan ketersediaan pangan domestik. UU Pertanahan juga akan melahirkan sistem hukum pertanahan yang membentuk wajah administrasi pertanahan yang hendak dibentuk. Wajar jika UU ini dibahas dengan ketelitian
tingkat tinggi. 3
Yance Arizona 4 menyatakan bahwa “Karakter legislasi di bidang tanah dan sumber
daya alam yang lahir pada periode Pasca Orde Baru memiliki beberapa karaktetistik utama sebagai penerapan prinsip-prinsip dari neoliberalisme di bidang ekonomi antara lain: Pertama, peningkatan nilai ekonomi dari tanah dan sumber daya alam sebagai barang komersial; Kedua, peningkatan peranan swasta dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam; Ketiga, seiring dengan semangat desentralisasi yang diusung sebagai kritik terhadap sentralisme dan otoritarianisme Orde Baru, regulasi yang bentuk pada periode Paska Orde Baru memberikan peranan pemerintah daerah yang lebih luas dari pada yang sebelumnya; Keempat, legislasi di bidang tanah dan sumber daya alam bersifat represif karena seluruhnya mengatur mengenai tindak pidana di bidang tanah dan sumber daya alam. Kelima, legislasi di bidang tanah dan sumber daya alam menyediakan forum kontestasi kepentingan antara berbagai kelompok.
Namun pakar Pertanahan dan Tata Ruang,
Yayat Supriyatna 5 berpandangan bahwa:
“RUU
Pertanahan diharapkan dapat menghadirkan negara. Dengan
begitu, negara dapat bekerja sesuai dengan aturan perundangan. “Ini bisa menghadirkan negara dan negara bekerja di dalamnya. Negara dalam UU Pokok Agraria hanyalah sebagai pencatat. Dengan kata lain, hanya sebatas
3 Ibid. 4 Yance Arizona, SH, MH., “Membaca Arah Politik Hukum Rancangan
Undang-Undang Pertanahan”, Makalah
disampaikan dalam Workshop dengan tema Merumuskan Konsep dan Strategi Advokasi RUU Pertanahan, diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan, Jakarta 14 September 2016. 5 Dikutip dari RFQ, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt55d2e89f20689/ruu-pertanahan- -negara-bakal-hadir-lebih-maksimal ,
diakses pada Februari 2017.
pencatatan administrasi. Padahal persoalan 7 Achmad Rubaei berpendapat bahwa sengketa pertahanan mulai beragam modusnya
“Tanah juga mempunyai arti penting dalam mesti dicarikan jalan keluar atas persoalan
kehidupanmanusiakarenatanahmempunyai yang kian menumpuk. ketiadaan peraturan
fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan perundangan yang mampu mengatasi persolan
capital asset. Sebagai sosial asset tanah sengketa lahan menjadi problem yang kian
merupakan sarana pengikat kesatuan sosial mengurat akar. Negara yang semestinya hadir
di kalangan masyarakat Indonesia untuk pun tak dapat berbuat banyak. Alhasil, UU
hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai Pokok Agraria pun tak mampu berbuat adil atas
capital asset tanah merupakan faktor modal banyaknya sengketa lahan. Oleh sebab itulah
dalam pembangunan. Sebagai capital asset perlunya dibuat aturan yang jelas dan detail
tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi agar persoalan sengketa lahan tidak menjadi
yang sangat penting sekaligus sebagai kepentingan politik”. bahan perniagaan dan obyek spekulasi.
Di satu sisi tanah harus dipergunakan Dalam hubungannya dengan HAM, dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya semakin menguatnya kesadaran umat manusia
terhadap penghargaan dan pengakuan hak-hak kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, yang berhubungan erat dengan penghayatan nilai-
adil, dan merata, sedangkan di sisi lain juga harus dijaga
nilai, khususnya moral, maka penghargaan tersebut kelestariaannya”.
merupakan suatu imperatif moral dan bukan soal Berdasarkan uraian di atas, maka hal yang belas kasih dan keputusan pribadi. Imperatif perlu dikaji adalah mengenai pentingnya regulasi tersebut hadir ke permukaan sebagai kebajikan
manusia yang melahirkan keyakinan tentang pertanahan dalam mengatasi konflik agraria di adanya hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar.
Maluku dan tentunya dikaitkan dengan hak asasi manusia menjadi penting agar pelanggaran hak
Pelanggaran atau pengurangan hak-hak tersebut masyarakat dapat dihindari dan ditangani.Tujuan akan mengurangi martabat manusia, sehingga isi kajian ini adalah untuk mendiskripsikan konflik untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh agrarian, mengatasi persoalan tersebut melalui dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Hal yang
demikian sejalan dengan pemikiran Franz Magnis regulasi tentang pertanahan dalam konteks hak Suseno yang berpendapat bahwa: asasi manusia .
“Tugas negara adalah untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk
METODE PENELITIAN membangun suatu kehidupan yang sejahtera,
Tulisan ini merupakan penelitian HAM di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik
deskriptif-analisis dengan dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah
yang
bersifat
mengunakan pendekatan kualitatif. Penelitian penyelenggaraan kesejahteraan 6 masyarakat”. Kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
Sejarah menunjukkan terdapat berbagai menghasilkan data deskriptif, kata-kata yang permasalahan muncul terkait dengan penguasaan
dituliskan atau diucapkan sendiri oleh orang yang dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik
diteliti serta tingkah laku mereka yang teramati. sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan,
Metode ini ditujukan untuk meliput latar belakang masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai
serta orang-orang dalam latar itu secara holistik; persoalan yang terkait dengan ketidakadilan
artinya mereka (perkumpulan atau perorangan) dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan
sebagai subyek penelitian tidak direduksi menjadi pemanfaatan sumber-sumber agraria. Fakta
suatu variabel yang terisolasi atau menjadi sebuah ketidakadilan agraria seringkali dipicu oleh
hipotesis saja, tetapi dipandang sebagai bagian berbagai kebijakan politik pada setiap fase
dari satu kesatuan. 8 Dengan memakai pendekatan pemerintahan. Kebijakan politik yang tidak kualitatif ini maka untuk memahami hubungan
memberikan kemudahan akses bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-
7 Achmad Rubaei, “Hukum Pengadaan Tanah Untuk sumber agraria. Kepentingan Umum”, (Malang: Bayumedia, 2007), Hlm. 1.
8 Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor.. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological 6 Ni’matul Huda, “Ilmu Negara”, (Jakarta: Rajagrafindo Approach to the Social Science. New York:John Wiley and
Persada, 2010),hlm. 57. Sons, 1975, hlm 4.
90 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho) 90 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho)
Secara lebih teknis mengenai studi lainnya. Hak milik adalah hak yang “terkuat dan kasus, meminjam Konsep Louis Smith, Stake
terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. menjelaskan kasus (case) yang dimaksudkan
Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu sebagai “abounded system”, sebuah sistem yang
merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak berdiri sendiri. Sebab, hakikatnya karena sulit
tidak dapat diganggu- gugat” seperti hak eigendom memahami sebuah kasus tanpa memperhatikan
menurut pengertiannya yang asli dulu (sebelum kasus yang lain. Ada bagian-bagian lain yang
Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bekerja untuk sistem tersebut secara integratif
Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air dan terpola. Karena tidak berdiri sendiri, maka
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebuah kasus hanya bisa dipahami ketika peneliti
dicabut oleh UUPA).
juga memahami kasus lain. Jika ada beberapa Sifat yang demikian akan terang kasus di suatu lembaga atau organisasi, peneliti
bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi Studi Kasus sebaiknya memilih satu kasus terpilih
sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata “terkuat dan saja atas dasar prioritas. Tetapi jika ada lebih dari
terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya satu kasus yang sama-sama menariknya sehingga
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak penelitiannya menjadi Studi Multi-Kasus, maka
pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, peneliti harus menguasai kesemuanya dengan
bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat baik untuk selanjutnya membandingkannya satu
dipunyai orang hak miliklah yang “ter” (artinya: dengan yang lain. 10 Dari pilihan kasus tersebut,
paling) -kuat dan terpenuh”.
maka akan mencari pola atau model pembatasan- Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti pembatasan Hak di sektor pertanahan dan juga
hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah menjelaskan hubungan kausalitas dengan regulasi dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. yang ada. Terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Ini berarti hak milik dapat menjadi
PEMBAHASAN induk dari hak-hak lainnya, misalnya pemegang
A. Hubungan Kausalitas di Sektor
hak milik dapat menyewakannya kepada orang Pertanahan lain. Selama tidak dibatasi oleh pemerintah, maka
Ketentuan mengenai hak milik atas tanah wewenang dari seorang pemegang hak milik tidak diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27
terbatas. Selain bersifat turun temurun, terkuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
dan terpenuh, hak milik juga dapat beralih dan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pengertian
dialihkan kepada pihak lain. hak milik atas tanah, memiliki unsur-unsur yakni: Merujuk ketentuan yang diatur dalam Pasal 22
(1) hak yang turun temurun; UUPA, bahwa terjadinya hak milik atas tanah, dikarenakan:
(2) terkuat dan terpenuh, (1) Menurut hukum (tanah) adat yang diatur
yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan dengan Peraturan Pemerintah; mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA.
Hak milik dikatakan merupakan hak yang Penetapan Pemerintah, menurut cara dan
turun temurun karena hak milik dapat diwariskan syarat-syarat yang ditetapkan dengan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Dan hak
Peraturan Pemerintah; dan milik dikatakan terkuat dan terpenuh dijelaskan
(3) Ketentuan undang-undang.
dalam penjelasan Pasal 20 UUPA, bahwa “Dalam
Sebagai
contoh kasus pembahasan
9 Hasil penelitian Badan Penelitian Hukum dan HAM -
mengenai hak milik atas tanah di Provinsi
Kementerian Hukum dan HAM RI, dengan judul Analisis Dampak HAM Terhadap Rancangan Undang-undang
Maluku berpedoman pada UU Nomor 5 Tahun Pertanahan, 2017. 1960 Undang-undang Pokok Agraria lebih
10 Stake, Robert E. “Case Studies” in Norman K. Denzin
luas mengatur tentang Agraria termasuk tata
and Yvonna S. Lincoln (eds.). “Handbook of Qualitative Research ”, Thousand Oaks, California: SAGE Publications,
ruang udara, bawah tanah dan diperkuat dengan Inc, 1994. Peraturan daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor
Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101 91
14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali keturunan mereka di masa depan. Sehingga Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat hukum
mereka yang menjalankan adat mendapat berkat Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi
dari leluhur, sedangkan mereka yang mengabaikan Maluku. Penguasaan Tanah Negeri yang dimiliki
adat mendapat sebuah kutukan, seperti dalam Kerajaan kecil disetiap pulau di Maluku sering
penulisannya berikut ini:
menimbulkan konflik horisontal terkait dengan
“….., it becomes clear that
batas tanah yang tidak jelas batasannya. Bahkan adat is obligatory upon all members of the konflik terus terjadi dan turun temurun. dan
community precisely because it is believed to have persoalan ini yang menjadi pemikiran bersama
been established and handed down to them by the tidak hanya persoalan konflik agraria secara
ancestors. It represents the will of the ancestors. horisontal namun persoalan dapat terjadi juga
Observance of it is an expression of respect for secara vertikal sehingga diperlukan penyelesaian
the ancestors. To ignore or neglect it is to flout konflik sebenarnya dapat diselesaikan tanpa harus
the will of the ancestors, and this is exceeedingly maju dipersidangan dan dibutuhkan kearifan
hazardous because of the power which they masing-masing pihak yang bertikai. continue to hold.The sanctions of adat are thus
Menggali pemahaman dan pandangan rooted primarily in this power attributed to the masyarakat adat Maluku tentang tanah berarti
ancestors”. (5)
menggali pemahaman mereka tentang alam semesta. Karena masyarakat Maluku pada
diatas menggambarkan umumnya adalah masyarakat yang kosmik.
Penjelasan
bagaimana leluhur menjadi tokoh penting dalam Pemahaman tentang sesuatu di alam tidak
kepercayaan orang Maluku. Leluhur menjadi terpisahkan dari pemahaman dan pandangan
tokoh sentral hadirnya adat dan komunitas mengenai alam semesta dan manusia sebagai satu
negeri, karena itulah pelaksanaan adat menjadi kesatuan. Pintu masuk untuk memahami konsep
penting, leluhur selalu dikaitkan dengan semua tanah dalam masyarakat adat Maluku yaitu
keberadaan adat dan negeri, termaksud tanah pemahaman masyarakat Maluku tentang penguasa
didalamnya. Inilah yang menjadi salah satu alasan alam semesta yang dikenal dengan sebutan dalam
bahwa tanah memiliki posisi yang penting dalam bahasa Ambon Melayu, Upu Lanite dan Upu
pemahaman adat masyarakat Maluku, sehingga Tapele (Tuhan Langit dan tuhan Bumi/Tanah).
konflik – konflik tanah adat selalu menjadi konflik Konsep Lanite dan Tapele ini masih menjadi
yang panjang karena tanah merupakan bagian dari perdebatan karena dalam tradisi masyarakat adat
integritas adat, komunitas (negeri) dan individu Maluku konsep ini tidak banyak yang ditemukan.
yang menjadi satu kesatuan utuh. Konsep yang banyak ditemukan di masyarakat
Keterkaitan dengan hak masyarakat adat adat Maluku adalah tentang adat dan leluhur.
Pemahaman dan pandangan masyarakat adat Karena itu tepat bagi kita untuk memahami konsep
Maluku tentang tanah didukung dalam pengertian tanah dalam pandangan masyarakat adat Maluku,
Hukum TanahAdat yang dimuat Undang – Undang dari cara mereka memahami adat dan leluhur. Pokok Agraria (UUPA), sehingga hak – hak atas
Frank Cooley dalam Ambonese Adat: tanah adat dapat diperjuangkan lewat jalur hukum
yang benar. Hukum Adat tentang tanah memiliki pentingnya adat dan leluhur dalam pandangan
A General Description,
menghubungkan
kedudukan yang istimewa dalam UUPA, karena masyarakat Adat Maluku. Karena adat adalah
sebagian besar rakyat Indonesia menganut pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus
hukum adat sehingga hukum adat menjadi dasar di patuhi, adat juga merupakan representasi dari
pembentukan Hukum Tanah Nasional. Hukum perintah leluhur sebagai pendiri komunitas.
tanah adalah suatu sistem dari cabang hukum Adat adalah sebuah hukum dalam mengatur
yang mandiri yang mengatur aspek yuridis dari kehidupan bermasyarakat didalam komunitas.
sebuah tanah, yang disebut hak penguasaan atas Kedua dimensi ini saling berhubungan satu
tanah.
dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley
hukum yang menguraikan bahwa Leluhur yang adalah pendiri
Ketentuan-ketentuan
mengatur hak penguasaan atas tanah dapat dari komunitas, mendirikan desa dan menetapkan
disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun mengatur hidup
92 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho) 92 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho)
pembentuknya. Jaminan kepastian hukum pembentuk. Santoso, dalam tulisannya yang
dibidang pertanahan dapat menjadi salah satu jalan berjudul Hukum Agraria dan Hak Atas Tanah
keluar dalam penyelesaian konflik akibat sengketa mengemukakan Hukum Adat menjadi dasar utama
tanah. Karena itu tersedianya perangkat hukum dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional
tertulis yang lengkap, jelas dan dilaksanakan dapat disimpulkan dalam Konsideran UUPA yang
secara konsisten sangat diperlukan, juga sebuah menyatakan: peyelenggaraan pendaftaran tanah secara efektif.
“bahwa berhubungan dengan apa yang disebut Menurut Deputi Bidang Pengembangan dalam pertimbangan-pertimbangan perlu adanya
Regional dan Otonomi Daerah, Badan Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan atas
Pembangunan Nasional hukum adat tentang tanah, yang sederhana, dan
Perencanaan
(BAPPENAS), Arifin Rudiyanto, bahwa seluruh menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
perencanaan pembangunan nasional harus Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur –
berdasarkan data dan informasi yang akurat unsur yang bersandar pada hukum 12 agama”. dan dapat dipertanggungjawabkan. Data yang
Mengenai adanya konflik vertikal yang dimaksud adalah data statistik dan data spasial. terjadi di Maluku sebagai contoh adanya
Artinya, Data dan IG yang digunakan memerlukan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah
satu kesepakatan dalam bentuk Kebijakan Nomor 1 Tahun 2006 secara eksplisit menyatakan
Satu Peta. Adapun pendapat Dirjen Planologi bahwa semua tanah dimiliki secara adat. Hal ini
Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian berarti bahwa masyarakat di desa administratif
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tidak bisamengklaim hak kepemilikan secara
San Afri Awang, bahwa KLHK sangat berkaitan adat. Tanah-tanah tersebut dalam kenyataannya
dengan Rupabumi dan Sumber Daya Alam, yang masih ada, walaupun dalam kondisi yang hampir
mana salah satu tugas KLHK adalah memastikan musnah, terdesak oleh kepentingan penyediaan
bahwa data geospasial adalah data yang penting lahan untuk kepentingan pembangunan yang
untuk mengelola dan memanfaatkan SDA hutan seharusnya bertujuan untuk sebesar-besarnya
di Indonesia, sehingga Perpres tersebut sangat kemakmuran rakyat, tetapi berdampak terbalik
membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas terhadap keberadaan masyarakat hukum adat
KLHK. Konsep KSP adalah untuk menyatukan yang menjadi terasing dan tersingkirkan dari
seluruh informasi peta yang diproduksi berbagai wilayahnya sendiri, oleh karena kebijakan
sektor ke dalam satu peta secara integratif. pembangunan. Artinya, tidak terdapat perbedaan atau tumpang
Kasus konflik di Provinsi Maluku yang tindih formasi dalam peta yang ditetapkan BIG, dilatarbelakangi oleh sengketa tanah adat harus
sehingga peta BIG yang dijadikan sebagai acuan menjadi salah satu agenda pekerjaan bagi
standar sesuai dengan konsep KSP, yaitu adanya: pemerintah Provinsi Maluku, karena tanah
One Reference, One Standard, One Database dan adalah sebuah konsep yang utuh antara manusia
One Geoportal. Konsep Kebijakan Satu Peta juga adat Maluku dengan alam semesta, sehingga
dirasakan manfaatnya oleh Badan Pertanahan konflik yang terjadi tidak berkepanjangan.
Negara (BPN), sebagaimana dinyatakan oleh Tentunya penyelesaian melalui jalur hukum
Dirjen Pengadaan Tanah BPN, Budi Mulyanto pun harus ditempuh agar masyarakat mengerti
bahwa konsep tersebut begitu bersemangat seperti bahwa kekerasan bukan jalan keluar dalam
pemuda Indonesia mengucapkan ikrar Sumpah menyelesaikan perbedaan. Sebuah pemahaman
Pemuda: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu juga harus ditanamkan kepada masyarakat,
Bahasa dan kaitannya dengan Satu Bahasa Spasial bahwa jalur hukum yang ditempuh sebenarnya sudah seharusnya dilakukan seperti saat ini. Manfaat yang dicapai melalui kebijakan
11 Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah
ini diantaranya mempermudah penyusunan
Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi
perencanaan pemanfaatan ruang skala luas dengan
Dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan, 2008,
dokumen Rencana Tata Ruang yang terintegrasi; hlm 17. mempermudah dan mempercepat konflik
12 Urip Santoso. Hukum Agraria Dan Hak – Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
pemanfaatan lahan termasuk batas wilayah; 2010, hlm 5-6 mempercepat pelaksanaan program-program
Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101 93 Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101 93
sangat dibutuhkan untuk menyatukan seluruh mempercepat penyelesaian batas daerah seluruh
informasi peta yang diproduksi oleh berbagai Indonesia; mempermudah dan mempercepat
sektor ke dalam satu peta secara terintegrasi proses percepatan penerbitan perijinan yang
sehingga tidak terdapat lagi perbedaan dan terkait dengan pemanfaatan lahan; mempermudah
tumpang tindih informasi geospasial dan akan pelaksanaan simulasi yang menggunakan peta
hanya ada satu referensi geospasial yang menjadi seperti mitigasi bencana, menjaga kelestarian
pegangan dalam pembuatan kebijakan strategis, lingkungan, hingga keperluan pertahanan;
maupun penerbitan perizinan. meningkatkan kehandalan informasi terkait
Kebijakan satu peta diatur dalam Peraturan lokasi dari berbagai aktifitas ekonomi karena
Presiden Nomor 9 Tahun 2016 yang dirilis pada hal ini dapat memberikan kepastian usaha.
1 Februari 2017. Perpres tersebut menegaskan, Hal ini juga dirasakan oleh Kabupaten Bantul
Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta terkait manfaat dari KSP, yang mana menurut
bertujuan agar dapat terpenuhinya satu peta Bupati Bantul, Suharsono, bahwa Kabupaten
yang mengacu pada satu referensi geospasial, Bantul sudah berperan aktif dalam penggunaan
satu standar, satu basis data, dan satu geoportal jaringan informasi geospasial nasional sebagai
guna percepatan pelaksanaan pembangunan implementasi Perpres Nomor 9 pada tingkat
nasional. Dalam rangka percepatan kebijakan ketelitian peta skala 1:50.000. Hal itu terlihat
tersebut, pemerintah membentuk Tim Percepatan dengan anugerah Bhumandalla Award yang
Kebijakan Satu Peta yang diketuai oleh Menteri didapatkan Kabupaten Bantul dari BIG pada
Koordinator Perekonomian dengan anggota bulan Oktober 2016. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Dalam
Menurut Kepala BIG, Hasanuddin Z. Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Abidin, bahwa pihaknya akan melanjutkan
Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata pelaksanaan KSP dan setelah Pulau Kalimantan
Ruang/Kepala Badan Pertanahanan Nasional, dan selesai, maka akan dilanjutkan pada tahun 2017
Sekretariat Kabinet.
untuk Pulau Sumatera dan Sulawesi, tahun 2018 Penerbitan Perpres Nomor 9 Tahun 2016 Pulau Papua dan Maluku, dan terakhir tahun 2019
tentang Kebijakan Satu Peta adalah terobosan untuk Pulau Jawa sampai NTT. BIG juga harus
kunci Presiden Joko Widodo untuk secara mengantisipasi kemungkinan, adanya permintaan
sistematis dan mendasar menangani pengelolaan One Map Policy untuk skala 1:5.000, karena
hutan dan lahan secara akuntabel melalui rencana detil tataruang memerlukan skala 1:5.000,
penyatuan peta-peta tematik dari berbagai sektor pemetaan desa butuh skala 1:5.000, dan reforma
melalui proses sinkronisasi, termasuk peta konsesi agraria sertifikasi memerlukan bukan hanya skala
berbasis lahan seperti pertambangan, perkebunan, 1:5.000 tetapi juga skala 1:2.500 dan skala 1:1.000.
dan perhutanan. Sinkronisasi tersebut akan Artinya, saat kebijakan dengan skala 1:50.000
sangat efektif untuk memastikan pemanfaatan ini masih berjalan, ada kemungkinan skala-skala
sumber daya alam berjalan secara akuntabel dan besar berikutnya akan diminta Pemerintah kepada
tidak disalahgunakan. Penelitian Indonesian BIG. Corruption Watch menyebutkan kerugian negara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah dari pendapatan bukan pajak sektor kehutanan rapat terbatas guna membahas perkembangan
saja mencapai Rp 169,7 triliun pada rentang 2004- one map policy (kebijakan satu peta), yang sudah
2007. Kerugian besar lainnya akibat lemahnya berjalan lebih dari satu tahun karena belum
akuntabilitas pengelolaan lahan dapat dilihat dari setengah dari target kebijakan tersebut tercapai.
kebakaran hutan dan lahan yang mengorbankan Artinya, dari 85 target rencana aksi tematik, baru kesejahteraan masyarakat dan kerugian ekonomi
26 peta sudah lengkap untuk seluruh wilayah
melebihi Rp 200 triliun.
Indonesia dan 57 peta tematik yang masih Dalam praktiknya, sinkronisasi peta tidak dikompilasi dan 2 peta lainnya belum tersedia
sesederhana itu, karena satu bidang konsesi bisa sama sekali. Karena dengan kebijakan satu peta
memiliki berbagai masalah batas yang melibatkan akan mempermudah penyelesaian konflik yang
banyak pihak dengan perbedaan kepentingan. timbul akibat tumpang tindih pemanfaatan lahan
Misalnya, bidang konsesi perkebunan sawit serta membantu penyelesaian batas daerah di berada pada wilayah yang diklaim sebagai
94 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho) 94 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho)
tahapan pembangunan. Selama ini, strategi batas administratifnya, serta bertumpang tindih
pembangunan yang diimplementasikan masih sebagian dengan konsesi pertambangan dan
menggunakan pendekatan berbasis kebutuhan sebagian lainnya dengan pemukiman yang telah
(need based approach). Pendekatan berbasis dihuni oleh masyarakat lokal yang telah menetap kebutuhan sifatnya sangat terbatas dan dan memiliki KTP bahkan Surat Keterangan
Tanah atas kebun miliknya. Satu peta atau one hanya memenuhi target jangka pendek. Dari
map bahkan bisa menjadi no one map atau bukan berbagai pengalaman, strategi pembangunan petanya siapa-siapa jika penyikapan dalam proses
dengan pendekatan berbasis kebutuhan kerap sinkronisasi dan harmonisasinya dipandang tidak
menimbulkan berbagai masalah lanjutan tepat oleh para pihak yang berkenaan. dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Kegiatan utama dalam penyatuan peta adalah Dengan adanya hak yang melekat itulah mencapai kesepakatan tuntas atas semua batas-
seorang individu hidup dengan martabatnya. batas dari berbagai jenis bidang lahan. Batas-
batas termaksud adalah batas persil pekebun kecil, RUU Pertanahan harus disikapi oleh konsesi perusahaan besar, hutan adat, wilayah
pemangku kepentingan untuk mengatasi administratif desa, batas kawasan hutan (termasuk
bidang pertanahan kedepan karena sampai taman nasional, cagar alam), dan sebagainya. Jika
saat ini konflik terkait sengketa atas tanah batas-batas termaksud sudah diterima oleh para
di setiap daerah masih sering terjadi. Seperti pihak melalui permusyawarahan untuk mufakat
yang terjadi di Maluku yang kerap kali terjadi maka batas-batas tersebut akan direkam dalam
konflik sengketa tanah secara horisontal dan suatu peta. Pada dasarnya skema transformasi
vertikal sehingga diperlukan penanganan konflik ditingkatan tapak akan menghasilkan
khusus salah satu cara dengan mengeluarkan satu peta sejati yang lebih menjamin tidak regulasi di tingkat daerah dalam mengatasi adanya konflik di masa mendatang. Jika proses
menuju satu peta tidak dilakukan secara inklusif permasalahan tersebut disertai regulasi di
di tingkat tapak, satu peta yang dihasilkan justru tingkat nasional (RUU Pertanahan). dapat menimbulkan atau memperuncing konflik
Dengan pendekatan berbasis kebutuhan, di lapangan. Sebagai contoh, jika masyarakat
masyarakat akan lebih ditempatkan sebagai adat atau komunitas lokal tidak dilibatkan
”subyek pembangunan”, bukan menjadi ”obyek dalam pegukuhan kawasan cagar alam dimana
pembangunan”. sampai saat ini masyarakat mereka telah bermukim selama beberapa
jarang diberi kesempatan untuk berpartisipasi generasi, kelompok masyarakat tersebut dapat
maupun berkontribusi dalam merancang strategi termarginalisasi secara legal dan ekonomi. Hal
pembangunan yang dibutuhkannya. Masyarakat ini akan menyebabkan ketidakpuasan terhadap
semata-mata hanya akan menerima pembangunan pemerintah yang dapat berujung kepada konflik
yang telah ditentukan oleh negara, meskipun sosial. Kebijakan Satu Peta harus mengatasi
strategi pembangunan yang dijalankan seringkali permasalahan struktural di dalam kebijakan tata
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu kelola lahan dan ketimpangan penguasaan lahan. sendiri. Dalam hal ini pembatasan dalam RUU
B. Pembatasan
Pertanahan terkait dengan hak ulayat masyarakat Pertanahan dan Prinsip Proporsionalitas hukum adat perlu digarisbawahi pembangunan
budaya masyarakat adat tersebut membutuhkan
a. Pembatasan Hak Asasi Manusia dalam RUU pengecualian di setiap daerah mempunyai ciri
Pertanahan khas masing-masing.
Pendekatan berbasis hak asasi manusia memberi pengaruh yang kuat terhadap
Pembangunan
semestinya
dibangun atas dasar bahwa setiap manusia, dan penghormatan dan pemajuan HAM. Setiap
oleh karena mereka manusia, adalah pemegang pelaku pembangunan mesti memperoleh
hak asasi. Seiring dengan adanya hak, maka akan pelatihan HAM. Sementara
Negara,
menuntut adanya kewajiban di pihak negara untuk sebagai pemangku kewajiban atas HAM, menghormati, melindungi, den memenuhinya.
Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli 2018: 87-101 95
Dengan kata lain, pendekatan berbasis hak asasi asai manusia – sipil, politik, ekonomi, sosial, adalah sebuah kerangka kerja konseptual untuk
dan budaya – baik di tingkat nasional maupun proses pembangunan masyarakat. Secara normatif,
internasional, tidak terkecuali dalam proses pendekatan berbasis HAM ini berlandaskan
pembangunan.
kepada hak asasi manusia internasional maupun Sementara kewajiban dan tanggung jawab pada konstitusi serta ketentuan-ketentuan hak Negara dalam kerangka pendekatan berbasis hak asasi lainnya yang berlaku secara nasional dan asasi manusia dapat dilihat melalui tiga bentuk: 13 secara operasional ditujukan untuk memajukan
pelaksanaan HAM. Pada dasarnya, pendekatan
i. Menghormati (obligation to respect): berbasis HAM tidaklah menggantikan pendekatan
merupakan kewajiban negara untuk tidak turut sebelumnya, namun dibangun secara bersamaan. campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan haknya. Dalam hal
Berdasarkan instrumen-instrumen hak ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak asasi manusia internasional, telah diterima pihak melakukan tindakan-tindakan yang akan yang terikat secara hukum dalam pelaksanaan hak menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi manusia adalah negara. Dalam konteks ini, asasi. Hak asasi yang dimaksud adalah hak negara berjanji untuk mengakui, menghormati, adat masyarakat setempat terkait dengan tanah melindungi, memenuhi, dan menegakkan hak
seperti adat di Maluku.
asasi manusia. Ketentuan hukum hak asasi manusia tersebut memberi penegasan pada hal-
ii. Melindungi (obligation to protect): merupakan hal berikut: kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap
Pertama , menempatkan
negara
sebagai
hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara pemangku tanggung jawab (duty holder), yang
berkewajiban untuk mengambil tindakan- harus memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam tindakan untuk mencegah pelanggaran semua pelaksanaan HAM terkait dengan hak masyarakat hak asasi oleh pihak ketiga. Pihak ketiga adat, baik secara nasional maupun internasional; yang dimaksud dalam sengketa tanah negara sedangkan individu dan kelompok-kelompok berkewajiban melindungi masyarakat lokal masyarakat adalah pihak pemegang hak (right
terhadap pemakaian lahan tanah mereka dipakai holder). untuk usaha perkebunan, pertambangan dan
Kedua , negara dalam ketentuan hukum hak
sebagainya.
memikul kewajiban tanggung jawab (obligation Memenuhi (obligation to fulfill): merupakan
sasi manusia tidak memiliki hak. Negara hanya
iii.
kewajiban dan tanggung jawab negara untuk and responsibility) untuk memenuhi hak warga bertindak secara aktif agar semua warga negaranya (baik individu maupun kelompok)yang
negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. dijamin dalam instrument-instrumen hak asasi Negara berkewajiban untuk mengambil manusia yang tertuang dalam regulasi nasional langkah-langkah legislative, administratif, (RUU Pertanahan). hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk
Ketiga , jika negara tidak mau (unwilling) atau tidak merealisasikan secara penuh hak asasi. punya keinginan untuk memenuhi kewajiban dan
Tentunya dalam rangka memenuhi hak tanggung jawabnya baik membuatkan regulasi,
masyarakat adat dibuatlah RUU Pertanahan melaksanakannya dan mengatasi permasalahan-
yang seharusnya dapat memayungi segala permasalahan dalam bidang pertanahan, pada
aspek terkait pertanahan agar tidak timbul saat itulah negara tersebut bisa dikatakan telah
ego sektoral dari pemangku kepentingan dari melakukan pelanggaran HAM atau hukum
semua unsur seperti kehutanan, pertambangan, internasional. perkebunan, dan pertanian terkait dengan
Adapun konsekuensi dan ratifikasi
tanah.
terhadap instrumen-intrumen hak asasi manusia internasional, negara akan memiliki kewajiban
dan tanggung jawab untuk mendukung dan
13 Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah
Panduan melaksanakan setiap upaya pemajuan hak , Kerja sama antara Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) dengan Australian Government (AusAID), 2007, hlm. 8.
96 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho) 96 Konflik Agraria di Maluku... (Okky Chahyo Nugroho)
RUU Pertanahan perlu dibentuk karena pemerintahan yang baik. Jika ditelaah dari asas- pemanfaatannya belum dapat memakmurkan asas tersebut, maka tampak ada asas yang rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945. merupakan penegasan dari asas hukum UUPA Oleh karena itu Undang-Undang Pokok Agraria dan ada pula yang berasal dari Tap MPR No. (UUPA) sebagai peraturan dasar pertanahan IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan perlu dilengkapi dengan peraturan lain, pada Pengelolaan Sumber Daya Alam seperti asas tataran bentuk dan level yang kurang lebih sama. keadilan, kepastian hukum, demokrasi dan tata Artinya, RUU Pertanahan tidak dimaksudkan kelola pemerintahan yang baik. Selain itu juga untuk menggantikan UUPA, namun bersifat lex ditambahkan dengan asas-asas yang terkait specialis dari UUPA yang bersifat lex generalis. dengan perlindungan dan pelestarian fungsi Sebagai lex specialis, maka selain merujuk pada lingkungan seperti asas keterpaduan, keserasian, UUPA, RUU Pertanahan harus merujuk pula pada keselarasan serta fungsi ekologis. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 dan Putusan-
putusan MK khususnya yang berkaitan dengan Asas-asas hukum tersebut sudah cukup penafsiran penguasaan negara atas tanah dan
komprehensif
untuk pengaturan masalah sumber daya alam). pertanahan. Hal ini penting karena asas merupakan pikiran dasar yang melatarbelakangi
RUU Pertanahan harus dapat meluruskan terbentuknya peraturan. Asas hukum pertanahan penafsiran yang keliru atau menyimpang dari harus menjadi ratio legis terbentuknya kaidah- cita-cita mulia para penyusun UUPA, dimana kaidah pertanahan. Sebab perumusan kaidah selama ini terdapat ketentuan tertentu yang tanpa didasari asas hukum akan sulit mencari legal ditafsirkan menurut kepentingan ekonomi atau reasoning-nya manakala kaidah itu berbenturan politik tertentu. Misalnya penafsiran kepentingan dengan kaidah hukum lain (baik secara vertikal umum sebagai kepentingan rakyat banyak dan maupun horizontal) manakala kaidah itu makna yang rancu antara pengadaan tanah dengan diimplementasikan. Untuk itu urgensi asas hukum pencabutan hak atas tanah, atau pergeseran makna harus dilihat tidak saja terkait dengan isi kaidah kelembagaan. Hak Pengelolaan dari yang semula hukumnya tetapi juga terkait dengan sistem merupakan “fungsi” pengelolaan, namun karena hukum itu sendiri. Hal-hal yang menyebabkan kebutuhan pragmatis, telah bergeser menjadi “hak” yang lebih menonjol sifat privatnya sistem hukum tidak harmonis dan tidak sinkron,
harus dapat diselesaikan oleh asas hukum. dibanding sifat fungsi publiknya.
Di luar asas-asas tersebut, terdapat pula Hukum memang produk politik, namun asas kesetaraan gender yang ditetapkan tersendiri menyusun suatu peraturan, apapun bentuknya