I. PENDAHULUAN - Studi Kasus Miskonsepsi Materi Genetika Klasik pada Siswa MAN 1 dan Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Tanjungpura

ISBN: 978-602-72412-0-6

  

Studi Kasus Miskonsepsi Materi Genetika Klasik pada Siswa MAN 1 dan

Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Tanjungpura

(1) (2) (2) (1) Andri Maulidi , Asriah Nurdini Mardiyyaningsih , Eka Ariyati (2) Alumni Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Untan Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Untan Jln. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak

  Email: [email protected]

Abstrak

  Materi genetika merupakan salah satu subjek dalam Biologi yang sulit dikuasai

baik oleh siswa maupun mahasiswa. Genetika klasik merupakan salah satu materi yang

membangun landasan logika konsep dasar pewarisan sifat (hereditas). Logika ini

seharusnya telah dimiliki oleh mahasiswa karena materi telah diberikan sebelumnya

pada level SMA. Kenyataan ini tidak ditemukan baik pada mahasiswa Pendidikan

Biologi Universitas Tanjungpura (Untan) maupun siswa MAN 1 Kota Pontianak.

Miskonsepsi dapat menjadi penghalang dalam pemahaman materi. Penelitian ini

dilakukan untuk mengungkap miskonsepsi yang dialami oleh siswa dan mahasiswa

pada materi genetika klasik. Metode penelitian adalah studi kasus. Penelitian dilakukan

dengan meminta siswa dan mahasiswa mengisi lembar pertanyaan diagnostik tipe two-

tier, dan melakukan wawancara berdasarkan jawaban siswa dan mahasiswa pada

lembar tersebut. Konsep genetika klasik yang diselidiki adalah pemahaman hubungan

genotip fenotip, pemahaman penerapan prinsip hereditas dengan Hukum I dan II

Mendel, pemahaman estimasi genotip berdasarkan data genotip ataupun fenotip,

pemahaman tentang perbedaan test cross dan back cross. Interpretasi terhadap jawaban

siswa dan mahasiswa menunjukkan bahwa jenis miskonsepsi yang ditemukan adalah

serupa seperti menganggap fenotip yang muncul selalu disebabkan oleh alel dominan,

tidak mengetahui perbedaan Hukum I dan II Mendel, menganggap Hukum I Mendel

hanya terjadi pada persilangan monohibrid, Hukum I Mendel terjadi terlebih dahulu

dari pada Hukum II Mendel, tidak mengetahui letak terjadinya Hukum I Mendel dalam

persilangan, serta kesalahan dalam menentukan parental, gamet, dan filial dalam

persilangan. Secara umum, miskonsepsi yang timbul karena kurangnya kemampuan

siswa dan mahasiswa dalam membaca diagram persilangan, memvisualisasikan

Hukum Mendel, dan kurang menghubungkan Hukum Mendel dengan pembelahan

meiosis. Kata kunci: Miskonsepsi, Genetika Klasik I.

   PENDAHULUAN

  Genetika merupakan salah satu cabang biologi yang penting untuk dipelajari. Genetika dipelajari di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan di tingkat Perguruan Tinggi. Genetika masih masuk dalam konsep sulit pada kurikulum biologi di Sekolah Menengah bahkan tingkat Universitas. Banyak siswa dan mahasiswa sebelum dan sesudah mengikuti proses pembelajaran mengenai konsep-konsep genetika masih tidak paham bahkan miskonsepsi. Hal ini dikarenakan konsep genetika yang bersifat abstrak (Roini dalam Susantini, 2011). Kesalahan konsep di awal pembelajaran akan mempengaruhi penguasaan konsep-konsep pada materi selanjutnya yang saling berhubungan. Apabila pada awal pembelajaran di tingkat SMA

  

Studi Kasus Miskonsepsi Materi Genetika Klasik

  telah terjadi miskonsepsi pada materi genetika, maka miskonsepsi akan terbawa sampai tingkat Perguruan Tinggi dimana akan semakin sulit untuk memperbaiki konsepsi tersebut.

  Genetika sebagai ilmu yang mengalami perkembangan pesat sehingga, menjadi landasan bagi kemajuan berbagai ilmu terapan seperti kedokteran, pertanian, dan forensik. Setiap harinya, masyarakat (termasuk siswa dan mahasiswa) dibanjiri dengan berbagai informasi berkenaan dengan subjek genetika di seputar ilmu terapan tersebut. Penggunaan terminologi terkait genetika, seperti antibody monoclonal, rekombinasi genetika, genetically

  

modified food dan sidik jari genetika menjadi hal umum, yang dapat ditemukan dalam koran

  ataupun menjadi opsi pilihan dalam kehidupan masyarakat. Karenanya, pemahaman konsep dasar genetika menjadi hal yang penting untuk diupayakan.

  Perkembangan konsep genetika, tidak hanya meliputi cakupan molekuler dari ilmu ini, namun bahkan dimulai dari perbaikan definisinya. Sifat dari ilmu genetika yang terus tumbuh dan berkembang membuat definisi genetika sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana sifat atau ciri orang tua (induk) diwariskan kepada keturunannya (Saktiyono, 2007) dan Suryo (2010) genetika tergolong ilmu hayat yang mempelajari turun-temurunnya sifat-sifat induk atau orang tua kepada keturunannya, seperti yang tercantum dalam beberapa buku teks Biologi SMA dan Perguruan Tinggi tidak lagi sesuai. Definisi tersebut tidak sepenuhnya keliru, namun tidak cukup luas untuk mewadahi perkembangan ilmu genetika sekarang ini. Inti utama genetika masih bertumpu pada penyelidikan tentang keturunan, akan tetapi genetika lebih sesuai bila diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gen, seperti pendapat Brown (dalam Nusantari, 2014). Corebima (2008) membuat suatu definisi konseptual tentang genetika sebagai ilmu yang mempelajari tentang materi genetik melalui tinjauan tentang strukturnya, reproduksi (perbanyakannya), ekspresi (kerja gen), perubahan dan rekombinasinya, keberadaannya di dalam populasi serta perekayasaannya. Melalui pemahaman baru tentang genetika, semua arah penelitian genetika, baik genetika klasik (Mendel), genetika sel, genetika populasi maupun genetika molekuler (termasuk perekayasaan genetika) yang tadinya terpilah dan tidak berkaitan langsung dengan pewarisan sifat dari orangtua kepada anakannya, dapat disatukan dan memiliki satu arah pengembangan.

  Diantara semua konsep dasar genetika, genetika klasik (genetika Mendel) merupakan konsep genetika yang paling tua dan dasar dalam genetika. Konsep ini berkembang sebelum mengkaji pewarisan sifat berdasarkan penyelidikan tentang gen secara molekuler. Genetika Mendel adalah genetika yang berlaku dalam batas populasi Mendel; aspek kajian berhubungan dengan hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel, serta aspek-aspek lain yang terkait. Dengan adanya kemajuan teknologi di bidang biologi, misalnya dengan penemuan DNA dan temuan lainnya setelah Mendel maka dirasakan perlu adanya evaluasi kembali atas konsepsi-konsepsi Mendel (Corebima, 2013).

  Perkembangan pesat yang terjadi pada ilmu genetika akan berdampak pada pemahaman siswa dan mahasiswa mengenai genetika klasik. Misalnya pemahaman Mendel tentang gen sebagai faktor yang independen di dalam tubuh, dengan kemajuan ilmu pengetahuan telah diketahui bahwa posisi gen terdapat di dalam kromosom pada nukleus. Pemahaman baru ini, memberikan pengaruh pada visualisasi Hukum Mendel I dan II, dimana segregasi maupun asortasi gen bukan seperti faktor independen (dalam hal ini visualisasi yang dapat muncul adalah seperti bola kelereng yang membawa alel) yang bebas, melainkan terkait dengan segregasi dan asortasi kromosom pada saat meiosis. Siswa yang memahami gen masih sebagai suatu faktor (miskonsepsi) dapat mengalami kesulitan dalam memahami konsep dalam hukum Mendel, seperti yang dinyatakan oleh Corebima diatas. Konsepsi genetika

ISBN: 978-602-72412-0-6

  klasik pada siswa dan mahasiswa perlu diselidiki agar tidak mengalami miskonsepsi yang akan berujung pada kesulitan memahami konsep-konsep genetika lainnya. Miskonsepsi adalah ide atau pandangan yang salah tentang suatu konsep yang dimiliki seseorang yang berbeda dengan konsep yang disepakati dan dianggap benar oleh para ahli (konsep ilmiah) dan bersifat resisten dan persisten (Muslimin, 2012).

  Tes diagnostik yang pernah dilakukan Susantini (2011) pada mahasiswa baru yang belum mendapatkan materi genetika menunjukkan bahwa terdapat miskonsepsi pada perolehan konsep genetika SMA. Salah satu contoh miskonsepsi terdapat pada pemahaman mereka tentang hukum Mendel I. Hukum Mendel I membahas tentang segregasi gen. Segregasi gen adalah pemisahan gen yang terangkai di dalam kromosom pada pembelahan meiosis. Selama ini penjelasan tentang Hukum Mendel I selalu dikaitkan dengan pembahasan monohibrid. Hal ini ditengarai menjadi salah satu penyebab miskonsepsi siswa tentang hukum Mendel I.

  Genetika merupakan salah satu subjek dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Biologi di Universitas Tanjungpura. Mata kuliah genetika ditempuh pada semester 6. Program studi ini mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi guru Biologi di tingkat SMA. Perbaikan konsep genetika di tingkat SMA dimasa yang akan datang dipengaruhi dari perbaikan konsep mahasiswa calon guru. Namun demikian, dosen mata kuliah menyatakan ketidakpuasannya terhadap prestasi mahasiswa di mata kuliah ini. Dalam mempelajari konsep dasar genetika klasik, mahasiswa tampak mengerti saat dalam bimbingan, namun saat mereka mengerjakan soal secara individual, mereka kembali menunjukkan ketidakpahaman seperti saat awal sebelum mereka diajar. Kasus serupa juga dialami oleh guru Biologi MAN 1 Pontianak.

  Kedua pengajar menyatakan bahwa hasil tes formatif menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa memperoleh skor lebih rendah dalam genetika klasik dibandingkan pengetahuan mereka tentang DNA dan kromosom. Fakta ini mengejutkan karena genetika klasik menjadi dasar logika pewarisan sifat yang seharusnya dapat dikuasai siswa dengan lebih mudah dibandingkan konsep molekuler yang bersifat lebih maju dan abstrak. Gejala yang disampaikan oleh kedua pengajar merujuk pada salah satu tanda adanya miskonsepsi siswa, yakni resisten terhadap pengajaran (Muslimin, 2012). Studi tentang miskonsepsi ini berupaya mengungkap jenis miskonsepsi yang dialami oleh siswa dan mahasiswa dalam mempelajar i genetika klasik.

II. METODE

  Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. MAN 1 Pontianak merupakan sekolah yang memiliki akreditasi A. Guru Biologi yang mengajar (materi genetika) di sekolah ini memiliki kualifikasi S2 Biologi, menguasai materi genetika dan memiliki kecintaan untuk mengajarkan materi tersebut dengan baik. Siswa yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa di kelas XII IPA 1 dan IPA 2 yang diajar oleh guru yang bersangkutan pada tahun ajaran 2013/2014. Total jumlah siswa adalah 63 orang. Pendidikan Biologi Universitas Tanjungpura merupakan program studi yang masih memiliki akreditasi C, namun memiliki kemauan untuk meningkatkan proses pembelajarannya. Dosen yang mengajar mata kuliah genetika memiliki kualifikasi S2 Pendidikan Biologi dengan fokus penelitian genetika. Karenanya, dosen tersebut memiliki semangat dalam mengajarkan genetika dengan baik. Mahasiswa yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa pendidikan biologi semester 5

  

Studi Kasus Miskonsepsi Materi Genetika Klasik

  sebanyak 2 kelas pada tahun ajaran yang sama (2013/2014). Total mahasiswa berjumlah 61 orang. Penelitian ini dilaksanakan setelah mereka menempuh subjek genetika dalam mata pelajaran Biologi (siswa SMA) atau mata kuliah Genetika (mahasiswa).

  Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes diagnostik two-tier yang terdiri dari 7 butir pertanyaan dalam bentuk essai yang memuat konsep genetika klasik yaitu: kaitan alel dan fenotip organisme, perbedaan Hukum I Mendel dan Hukum II Mendel, penerapan Hukum I Mendel dan Hukum II Mendel, menetukan proses terjadinya Hukum I Mendel dan Hukum II Mendel dalam persilangan, mengidentifikasi letak terjadinya Hukum I Mendel dalam persilangan, menentukan genotip induk dalam persilangan, dan menjelaskan perbedaan test cross dan back cross dalam persilangan. Jawaban tes diagnostik siswa dan mahasiswa dianalisis. Pertama, jawaban siswa/mahasiswa dikategorikan menjadi paham (sesuai dengan konsepsi ilmuwan), miskonsepsi (jawaban mengandung unsur miskonsepsi dan jelas-jelas miskonsepsi) dan tidak paham (tidak menjawab/jawaban tidak jelas sehingga tidak dapat dianalisis). Penggolongan ini mengikuti teknik yang diterapkan oleh Nusantari (2012). Selanjutnya, jawaban siswa yang masuk dalam kategori miskonsepsi dianalisis dengan menerapkan teknik koding. Kodifikasi dilakukan untuk mendapatkan pola arah miskonsepsi siswa/mahasiswa. Teknik ini dilakukan secara manual karena jawaban siswa didapatkan secara tertulis. Selanjutnya dilakukan wawancara setelah hasil analisis jawaban didapatkan untuk mendapatkan hasil mengapa mereka berpikir demikian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian

  Rekapitulasi konsepsi siswa dan mahasiswa yang tergolong paham, miskonsepsi, dan tidak paham pada masing-masing konsep ditampilkan pada Tabel 1.

  

Tabel 1. Perbandingan Tingkat Pemahaman Konsep Siswa dan Mahasiswa Pada Materi Genetika

Klasik

  Rata-rata Tingkat Pemahaman Materi Genetika Klasik Jumlah Siswa (dalam %) Jumlah Mahasiswa (dalam %) Konsep Paham Miskonsepsi Tidak Paham Miskonsepsi Tidak

  Paham Paham

  1

  52

  22

  

25

  67

  26

  7

  2

  37

  44

  

19

  33

  61

  7

  3

  37

  29

  

35

  15

  69

  16

  4

  56

  17

  

27

  36

  56

  8

  5

  21

  17

  

62

  57

  39

  3

  6

  17

  3

  

79

  66

  28

  7

  7

  17

  22

  

60

  28

  54

  18

  34

  22

  

44

  43

  48

  9 Keterangan: Konsep (1) Kaitan alel dan fenotip organisme, (2) Perbedaan hukum I Mendel dan hukum

  II Mendel, (3) Penerapan hukum I dan II Mendel dalam persilangan (monohibrid dan dihibrid), (4) Menjelaskan proses terjadinya hukum I Mendel dan hukum II Mendel (5) Mengidentifikasi letak terjadinya hukum I Mendel dalam persilangan, (6) Menentukan genotip induk dari karakter pada suatu persilangan, (7) Menjelaskan perbedaan test cross dan back cross dalam persilangan.

  Berdasarkan Tabel 1, didapatkan proporsi jumlah siswa yang tergolong miskonsepsi paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada konsep 2-3-1-7-5-4-6. Sedangkan pada mahasiswa, proporsi yang tergolong miskonsepsi paling banyak ditemukan secara berturut- turut pada konsep 3-2-4-7-5-6-1.

ISBN: 978-602-72412-0-6

   Hukum I dan II Mendel terjadi secara berurutan  Hukum I Mendel terjadi pada persilangan monohibrid dan dilanjutkan hukum II Mendel yaitu persilangan dihibrid

  Menjelaska n perbedaan  Back cross karena terjadi pada 2 gamet.  Back cross karena pada persilangan menghasilkan keturunan F1 yang dominan.

   Kesalahannya dalam menentuka genotip gamet pada induk resesif  Gamet P1 ditulis BC (kisut putih) 7.

  

Genotip P1 ditulis berbentuk monoploid (BC untuk bulat coklat dan bc untuk kisut putih) dan berpengaruh pada penentuan gamet (Bb)

   Salah dalam menentukan genotip induk (BbCc x BbCc) sehingga hasil F2 tidak 1:1:1:1 sesuai dengan soal

  Menen- tukan genotip induk dari karakter pada suatu persilangan.

  F1 AaBB, AaBb, aaBB, aaBb (hukum 1 Mendel)  Hukum I Mendel terjadi pada penentuan fenotip warna bunga  Tidak ada Hukum I Mendel pada persilangan 6.

   Menuliskan letak hukum I Mendel pada F1.

   Salah dalam menuliskan gamet dalam persilangan (Ab) dan menuliskan letak Hukum I Mendel pada F1.

  I Mendel dalam persilangan.

  5. Mengiden- tifikasi letak terjadinya hukum

   Hukum II Mendel tidak bergantung pada Hukum I Mendel.

   Hukum I Mendel berkaitan dengan pembentukan gamet, sedangkan hukum II Mendel berkaitan dengan pembentukan anakan.  Secara berurutan, Hukum I Mendel terjadi lebih dahulu, diikuti Hukum II Mendel.

   Hukum Mendel I menentukan fenotip pertama.

  Berdasarkan pengkodean miskonsepsi yang dilakukan, diperoleh jenis miskonsepsi siswa yang dipaparkan pada Tabel 2 berikut.

  

Tabel 2. Perbandingan Jenis-jenis Miskonsepsi Siswa dan Mahasiswa pada Konsep Genetika Klasik

Konsep / Indikator Miskonsepsi Pada Siswa Miskonsepsi Pada Mahasiswa 1.

  I Mendel dan hukum

   Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid, sedangkan Hukum II mendel hanya terjadi pada persilangan dihibrid.  Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan dihibrid, sebaliknya Hukum II mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid.  Menganggap penerapan hukum I dan II Mendel terjadi pada heterozigot dengan perbandingan fix (3:1 untuk hasil persilanngan dengan hukum I Mendel 9:3:3:1 untuk hasil persilangan dengan hukum II Mendel) 4. Menjelas- kan proses terjadinya hukum

   Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid, sedangkan Hukum II Mendel hanya terjadi pada persilangan dihibrid.

  II Mendel dalam persilangan (mono- hibrid dan dihibrid)

  3. Penerapan hukum I dan

   Produk Hukum I Mendel adalah 2 anakan, sedangkan produk hukum II Mendel adalah 4 anakan.  Hukum I Mendel adalah ilmu yang mempelajari sebelumnya. Hukum II mendel mempelajari sesudahnya.

   Prinsip hukum I Mendel adalah perpasangan gen sealel, sedangkan hukum II Mendel perpasangan gen dengan gen lain secara bebas.  Hukum I Mendel adalah persilangan alami, sedangkan hukum II Mendel adalah persilangan buatan.

   Hukum I Mendel hanya pewarisan 1 sifat saja (monohhibrid). Hukum II Mendel hanya pewarisan 2 sifat (dihibrid) yang diturunkan secara bebas.  Hukum I Mendel terjadi pada metafase meiosis.

   Hukum I Mendel berlaku untuk persilangan monohibrid dan dihibrid, sedangkan hukum II Mendel terjadi untuk persilangan test cross.  Hukum I Mendel mengatur tentang pemisahan gen, sedangkan hukum II Mendel berkaitan dengan pembebasan gen

   Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid, sedangkan hukum II mendel hanya terjadi pada persilangan dihibrid.

  2. Perbedaan hukum I Mendel dan hukum II Mendel

   Fenotip organisme muncul semata karena ada alel dominan  Fenotip terkait dengan ekspresi alel dominan (tidak ada pengaruh alel resesif)  Selalu disebabkan oleh alel dominan, selain itu juga disebabkan oleh faktor lingkungan.

  Kaitan alel dan fenotip organisme.

  II Mendel.

  

Studi Kasus Miskonsepsi Materi Genetika Klasik

test cross back cross karena

   Termasuk  Back cross karena tipe persilangan tersebut diuji akan dan back

persilangan dari alel resesif. menghilangkan F1 sama dengan induknya.

cross dalam

   Back cross karena pada persilangan tersebut persilangan. menghasilkan F2 yang 1:1 (merah:putih)

   Tidak setuju karena tipe persilangan P2 adalah back cross . Ketika dominan dikawinkan dengan sifat resesif maka anakan yang muncul adalah dominan:resesif 1:1

   Tidak setuju karena apabila test cross seharusnya pada P2 Dd x Dd (disilangkan dengan sesamanya) Pembahasan Pemahaman siswa dan mahasiswa tentang genotip-fenotip ternyata bervariasi.

  Sebagian besar mereka yang mengalami miskonsepsi memahami bahwa fenotip muncul karena alel dominan. Berdasarkan hasil wawancara siswa dan mahasiswa, miskonsepsi yang terjadi pada konsep ini karena sebagian besar dari mereka merujuk pada persilangan monohibrid pada generasi pertama (F1) yang menghasilkan 100% fenotip yang dominan. Padahal apabila dilihat pada generasi kedua, fenotip juga disebabkan oleh alel resesif. Selain itu apabila yang disilangkan adalah heterozigot sebenarnya juga akan menghasilkan anakan dengan fenotip dari alel resesif. Hal ini juga sama akan terjadi pada persilangan dihibrid.

  Pada persilangan monohibrid dengan tanaman coba ercis, dari satu ciri masing-masing induk hanya satu ciri yang muncul pada generasi pertama (F1). Satu ciri induk mengalahkan atau menutupi sifat lainnya disebut Mendel sebagai sifat dominan, sedangkan yang dikalahkan atau ditutupi sebagai sifat yang resesif. Dewasa ini sebagaimana yang telah disebutkan, sifat dominan dan resesif merupakan sifat interaksi antara dua faktor (gen) penyusun suatu pasang faktor (gen). Telah diketahui pula bahwa interaksi kedua faktor (gen) sepasang, tisak selalu bersifat dominan dan resesif (Corebima, 2013).

  Ternyata ada mahasiswa yang mampu mengaitkan ini dengan faktor lain yaitu lingkungan. Hal ini sebenarnya melebihi ekspekstansi soal yang menginginkan mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa yang berpengaruh adalah kedua alel. Analisis mahasiswa ini menarik, dan jelas mahasiswa dapat memiliki jawaban ini karena memiliki pemahaman konsep yang baik mengenai fenotip. Jelas, bahwa mahasiswa dapat mengaitkan konsep alel (genotip) dengan fenotip.

  Pada konsep 2 ini menanyakan tentang perbedaan Hukum I Mendel dan Hukum II Mendel. Menurut Gardner (dalam Nusantari, 2014) Hukum I Mendel adalah hukum pemisahan gen yang terangkai dalam kromosom saat meiosis I fase anafase I. Jadi yang berpisah adalah gen yang terangkai dalam kromosom. Hukum II Mendel adalah hukum kombinasi bebas gen-gen yang terangkai dalam kromosom yang sehomolog selama meiosis I fase metafase I. Jadi yang berkombinasi bebas adalah gen yang terangkai dalam kromosom, bukan gen yang terpisah dalam bentuk sendiri-sendiri.

  Pemahaman siswa dan mahasiswa yang tergolong miskonsepsi tentang perbedaan Hukum I Mendel dan Hukum II Mendel ternyata bervariasi. Akan tetapi sebagian besar menjawab bahwa

  “Hukum I Mendel terjadi pada persilangan monohibrid dan Hukum II Mendel terjadi pada persilnagan dihibrid

  ”. Terdapat konsepsi siswa lainnya yang menarik yaitu mengangap bahwa “Hukum I Mendel merupakan persilangan alami, sedangkan Hukum

  II Mendel adalah persilangan buatan ”. Siswa tidak memiliki konsep yang jelas tentang persilangan alami dan buatan. Ketika ditanya dalam wawancara siswa tidak dapat

ISBN: 978-602-72412-0-6

  menjelaskan pengertian tersebut, bahkan siswa yang bersangkutan ternyata juga tidak dapat menyebutkan Hukum I dan II Mendel. Siswa hanya menyebutkan hal di atas untuk mengisi jawaban tes diagnostik semata.

  Jawaban unik lainnya adalah anggapan bahwa “Hukum I Mendel mempelajari sebelumnya sedangkan Hukum II Mendel mempelaj ari sesudahnya”. Setelah dikonfirmasi dalam wawancara, ternyata hal ini merujuk pada sekuen siswa mengenal kedua hukum Mendel tersebut. Hukum I Mendel memperlajari sebelumnya yaitu persilangan monohibrid. Siswa menganggap monohibrid dipelajari dalam Hukum I Mendel sehingga dipelajari sebelum Hukum II Mendel yaitu persilangan dihibrid. Padahal pada kenyataannya tidak demikian, Hukum II Mendel lebih dahulu terjadi dari pada Hukum I Mendel jika dikaitkan dengan pembelahan meiosis.

  Miskonsepsi pada mahasiswa juga terdapat yang menarik yaitu menganggap Hukum I Mendel menghasilkan 2 anakan sedangkan Hukum II Mendel menghasilkan 4 anakan. Berdasarkan hasil wawancara mahasiswa tersebut menganggap Hukum I Mendel terjadi pada pembelahan mitosis yang hanya menghasilkan 2 anakan, sedangkan Hukum II Mendel terjadi pada pembelahan meiosis yang menghasilkan anakan yang lebih banyak yaitu 4. Hal ini menarik, karena mahasiswa tersebut tampak membuat kesimpulan sendiri dengan mencoba mengaitkan antara jenis hukum Mendel dengan tipe pembelahan sel. Miskonsepsi ini mungkin dapat dihindari apabila dalam pembelajaran, kaitan meiosis dan aplikasi hukum Mendel sudah ditekankan.

  Pada konsep yang ketiga penerapan Hukum I dan II Mendel dalam persilangan. Konsep yang diukur adalah bahwa Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid dan Hukum II Mendel terjadi pada persilangan dihibrid. Sebagian besar siswa dan mahasiswa yang tergolong miskonsepsi karena menganggap Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid dan Hukum II Mendel hanya terjadi pada persilangan dihibrid.

  Sebagian besar siswa dan mahasiswa menyatakan dalam wawancara yang dilakukan, hal ini mereka dapatkan dari penjelasan di dalam buku teks. Selama ini buku teks selalu memberikan contoh persilangan monohibrid pada saat membahas Hukum I Mendel dan tidak pernah membahas persilangan dihibrid, bahwa di dalamnya juga terjadi aplikasi Hukum II Mendel. Konsep yang benar adalah persilangan monohibrid dan dihibrid terjadi Hukum I dan II Mendel, demikian juga pada persilangan trihibrid dan polihibrid.

  Konsep keempat yaitu menjelaskan proses terjadinya Hukum I dan II Mendel. Pada prosesnya Hukum II Mendel terjadi lebih dahulu dari pada Hukum I Mendel dimana Hukum

  II Mendel terjadi pada saat independent assortment (pada saat propase I-metapase I), sedangkan pemisahan gen seperti yang dijelaskan oleh Hukum I Mendel terjadi pada saat anapase I (Gardner, 1991 & Russel, 1992). Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dan mahasiswa serupa yaitu menganggap bahwa Hukum I Mendel terjadi lebih dahulu dari pada Hukum II Mendel. Berdasarkan hasil wawancara hal ini terjadi karena siswa dan mahasiswa menganggap secara logika, I lebih dahulu dari pada II. Sehingga Hukum I Mendel terjadi lebih dahulu dari pada Hukum II Mendel. Hal ini disebabkan dengan terkaitnya contoh buku teks yang selalu membahas bahwa Hukum I Mendel pada monohibrid dan Hukum II Mendel pada dihibrid. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya keterkaitan konsep ini dengan pemahaman tentang proses meiosis.

  Konsep yang ke lima yaitu menentukan letak Hukum I Mendel dalam persilangan. Sebagian besar siswa dan mahasiswa salah dalam membuat persilangan yaitu dalam

  

Studi Kasus Miskonsepsi Materi Genetika Klasik

  menentukan gamet dan tidak dapat menunjukkan letak Hukum I Mendel dalam persilangan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak dapat mengaitkan definisi atau bunyi Hukum I Mendel ke dalam persilangan. Berdasarkan hasil wawancara bahwa siswa dan mahasiswa tidak pernah menemukan penjelasan pada buku atau contoh pada buku yang menunjukkan Hukum I Mendel dalam persilangan. Bunyi Hukum I Mendel dibuat terpisah dengan penerapannya dalam persilangan. Artinya bunyi Hukum I Mendel kurang dikaitkan dengan tahapan meiosis. Hal ini juga dikhawatirkan terjadi hal yang sama pada Hukum II Mendel. Selain itu ada hal yang menarik dari jawaban mahasiswa yang menganggap bahwa tidak ada hubungan antara persilangan dengan Hukum I Mendel. Berdarkan hasil wawancara kepada mahasiswa tersebut diketahui bahwa mahasiswa tersebut tidak lengkap mengetahui penjelasan Hukum I Mendel, hanya mengetahui bahwa Hukum I Mendel adalah Hukum assortasi atau pemisahan dan tidak mengetahui apa yang berpisah. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukannya visualisasi letak terjadinya baik Hukum I Mendel dan Hukum II Mendel dalam pembelahan meiosis.

  Pada konsep ke enam ini tentang menentukan genotip induk dari karakter persilangan. Biasanya dalam persilangan yang dicari adalah genotip dan fenotip anakan baik itu F1 atau F2. Namun bagaimana jika yang ditanya adalah menentukan genotip induk pada pesilangan.

  Miskonsepsi siswa dan mahasiswa banyak terjadi pada konsep ini dan serupa adanya. Miskonsepsi tersebut yaitu kesalahan dalam menentukan genotip parental, gamet, maupun filial. Berdasarkan hasil wawancara terjadi miskonsepsi karena siswa mencoba menyelesaikan persilangan tersebut seperti halnya mereka menyelesaikan persilangan untuk menentukan probabilitas genotip generasi berikutnya. Hal ini mengkonfirmasi dugaan bahwa siswa/mahasiswa terpaku pada penyelesaian matematis dari persilangan berdasarkan contoh yang diberikan, namun tidak dapat menganalisis pertanyaan yang disajikan berbeda dari yang mereka umumnya diberikan contoh. Hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan Haambokoma (2007) bahwa siswa kesulitan dalam menentukan genotipe dan fenotipe orang tua dalam suatu persilangan.

  Pada konsep ke tujuh yaitu tentang perbedaan test cross dan back cross. Jawaban siswa yang tergolong miskonsepsi adalah back cross karena terdapat dua gamet, mengambil dari alel resesif. Sedangkan jaw aban mahasiswa ”tipe persilangan P2 adalah back cross. Ketika dominan dikawinkan dengan sifat resesif maka anakan yang muncul adalah dominan : resesif 1:1. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa tidak memahami pengertian/definisi dari back cross dan test cross, sehingga tidak dapat menjawab soal ini dengan benar.

IV. KESIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi yang terjadi pada siswa dan mahasiswa adalah serupa yaitu menganggap fenotip yang muncul selalu disebabkan oleh alel dominan, tidak mengetahui perbedaan Hukum I dan II Mendel, menganggap Hukum I Mendel hanya terjadi pada persilangan monohibrid, Hukum I Mendel terjadi terlebih dahulu dari pada Hukum II Mendel, tidak mengetahui letak terjadinya Hukum

  I Mendel dalam persilangan, kesalahan dalam menentukan parental, gamet, dan filial dalam persilangan, tidak memahami perbedaan test cross dan back cross.

V. DAFTAR RUJUKAN

ISBN: 978-602-72412-0-6

  Corebima, A.D. 2008. Bahan Ajar Genetika. Makalah untuk Kuliah Program S2 Pendidikan Biologi. Malang. Corebima, A.D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press. Gardner, E.J., Simmons, M.J. and Snustad, D.P. 1991. Principles of Genetics. 8th ed. John Wiley & Sons: New York. Haambokoma, C. 2007. Nature and Causes of Learning Difficulties in Genetics at High

  School Level in Zambia. Journal of International Development and Coorperation. 13 (1): 1-9

  Ibrahim, Muslim. 2012. Konsep, Miskonsepsi dan Cara Pembelajarannya. Surabaya: Unesa University Press

  Nusantari, Elya. 2012. Perbedaan Pemahaman Awal Tentang Konsep Genetika Pada Siswa, Mahasiswa, Guru-Dosen dan Implikasinya Terhadap Pemahaman Genetika. Jurnal Ilmu

  Pendidikan. 18 (2): 244-252 Nusantari, Elya. 2014. Genetika: Belajar Genetika Dengan Mudah dan Komprehensif.

  Yogyakarta: Deepublish Russell, P.J. 1992. Genetics. Third ed. New York: Harper Collins Publishers. Suryo. 2010. Genetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Susantini, Endang. 2011. Pembelajaran Genetika Yang Efektif di Sekolah Menengah. (Pidato

  Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Genetika di Universitas Negeri Surabaya. 1 Juli)