INVENTARISASI JENIS-JENIS BIVALVIA DI ZONA INTERTIDAL PERAIRAN TELUK TOMINI KECAMATAN BATUDAA PANTAI KABUPATEN GORONTALO PROVINSI GORONTALO

  

INVENTARISASI JENIS-JENIS BIVALVIA DI ZONA INTERTIDAL PERAIRAN

TELUK TOMINI KECAMATAN BATUDAA PANTAI KABUPATEN GORONTALO

PROVINSI GORONTALO

ARTIKEL JURNAL

  

Oleh

SUTRIYAH

NIM : 633 409 037

  

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

FAKULTAS ILMU PERIKANAN DAN KELAUTAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

2015

  

PENGESAHAN JURNAL

  

INVENTARISASI JENIS-JENIS BIVALVIA DI ZONA INTERTIDAL PERAIRAN

TELUK TOMINI KECAMATAN BATUDAA PANTAI KABUPATEN GORONTALO

PROVINSI GORONTALO

Oleh:

  

SUTRIYAH

NIM : 633 409 037

  

INVENTARISASI JENIS-JENIS BIVALVIA DI ZONA INTERTIDAL PERAIRAN

TELUK TOMINI KECAMATAN BATUDAA PANTAI KABUPATEN GORONTALO

PROVINSI GORONTALO

  (1,2) (2) (2) Sutriyah Femy Sahami Sri Nuryatin Hamzah

[email protected]

  

Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan,

Universitas Negeri Gorontalo

Absrtak

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan kelimpahan Bivalvia di Zona Intertidal Perairan Teluk Tomini Kecamatan Batudaa Pantai. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Oktober 2014 sampai Bulan Maret 2015. Metode pengambilan sampel menggunakan transek garis (line transek) secara sistematis dengan menggunakan kuadran 1 x 1 meter.

  Semua jenis bivalvia yang terdapat dalam kuadran dihitung dan diidentifikasi. Wilayah kajian dibagi menjadi tiga stasiun yaitu stasiun I (Olimoo’o), stasiun II (Lamu), dan Stasiun III (Tontayuo). Untuk mengetahui perbedaan pada setiap stasiun dianalisis secara deskriptif berdasarkan indeks kelimpahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian ada 5 jenis yaitu Atrina vexillum, Anadara geissei, Barbatia

  

fusca, Saccostrea cuculata, dan Chlamys irregularis. Hasil perhitungan nilai indeks

  kelimpahan menunjukkan bahwa antar stasiun memiliki nilai yang berbeda. Kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh spesies Saccostrea cuculata dengan nilai rata-rata 31.43% dan terendah spesies Atrina vexillum 3,55%.

  Kata Kunci : Bivalvia, Zona Intertidal, Kelimpahan,Teluk Tomini I.

   PENDAHULUAN Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Gorontalo.

  Bagian Selatan Kabupaten Gorontalo berbatasan langsung dengan Teluk Tomini. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 11 (sebelas) Kecamatan yaitu Kecamatan Telaga Jaya, Telaga, Telaga Biru, Tilango, Limboto, Limboto Barat, Isimu, Batudaa, Tabongo,

  Batudaa Pantai. Kecamatan Batudaa Pantai adalah kecamtan yang berada di bagian Selatan yang berbatasan langsung dengan Teluk Tomini.Kecamatan Batudaa Pantai memiliki beberapa desa yang terletak di kawasan pesisir Teluk Tomini. Tiga diantaranya adalah Desa Olimoo’o, Lamu, dan Langgula. Sebagai wilayah yang terletak di daerah pesisir tentu saja Desa Olimoo’o, Lamu, dan Langgula memiliki potensi sumberdaya perikanan.

  Zona intertidal yang merupakan bagian dari ekosistem pesisir ini banyak dipengaruhi oleh berbagai komponen yang mempunyai peran penting dalam perubahannya.

  Komponen

  • – komponen tersebut seperti aspek fisiografi, aspek hidrologi dan aspek sosioekonomi termasuk didalamnya aktivitas manusia di sekitarnya.Pantai intertidal terdiri atas beberapa jenis pantai yaitu pantai berbatu, pantai berpasir dan pantai berlumpur. Komunitas pantai sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat fisik dari subtrat (faktor edefik) dan faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Untuk dapat bertahan hidup, organisme yang mendiami daerah itu harus mampu menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap faktor-faktor lingkungan yang selalu berubah-ubah dan juga harus beradaptasi terhadap faktor edefik.Organisme intertidal yaitu organisme yang hidup diantara daerah pasang dan surut air laut. Beberapa jenis-jenis organisme yang biasa hidup pada daerah tersebut diantaranya yaitu, organisme atau filum Moluska yang terdiri dari jenis organisme bivalvia, gastropoda,

  

caudoveata , aplacophora, monoplacophora, polyplacophora, cephalopoha serta scaphopoda

  yang memiliki fungsi serta peranan masing-masing terhadap lingkungan dimana dia berada(Rassel dan Hunter, 1983 dalam Pratami, 2005).

  Bivalvia merupakan salah satu kelas kedua terbesar dari filum moluska setelah gastropoda yaitu sebanyak 31.000 spesies. Bivalvia termasuk kedalam hewan sesil yang tersebar di perairan pesisir seperti intertidal, dengan substrat lumpur bercampur pasir. Beberapa spesies bivalvia hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu atau batu, air tawar serta sedikit yang hidup didaratan(Rassel dan Hunter, 1983 dalam Pratami,

  2005). Di alam kelimpahan dan distribusi bivalvia dipengaruhi oleh beberapa faktor abiotik dan biotik yakni kondisi lingkungan, ketersediaan makanan, pemangsaan oleh predator dan kompetisi. Tekanan dan perubahan lingkungan juga dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan struktur dari bivalvia (Susiana, 2011). Secara ekologis, bivalvia berperan dalam penyusun rantai makanan bagi keanekaragaman ekosistem laut.

  Perairan Teluk Tomini khususnya di Desa Olimoo’o, Desa Lamu, Desa Langgula, kecamatan Batudaa Pantai kabupaten Gorontalo provinsi Gorontalo memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dan memiliki potensi keanekaragaman hayati termasuk moluska yang diantaranya adalah bivalvia. Selama ini informasi tentang jenis-jenis bivalvia serta kelimpahannya yang ada di daerah ini belum tersedia. Berdasarkan uraian diatas,maka penulis melakukan penelitian tentang inventarisasi jenis-jenis bivalvia di zona intertidal Perairan Teluk Tomini Kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Diharapkan informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam upaya pengelolaannya kedepan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

II. METODOLOGI PENELITIAN

  Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Perairan Teluk Tomini Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo yaitu di Desa Olimoo’o, Desa Lamu dan Desa Langgula penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014 sampai Bulan Maret 2015. Peta lokasi penelitian disajikan pada gambar 1.

  

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

2.1. Teknik Pengumpulan Data

  Pengambilan data dibedakan atas data primer dan data sekunder yang cara pengambilannya sebagai berikut :

  1. Data Primer

  Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan, yaitu dengan cara pengambilan sampel jenis bivalvia di zona intertidal Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo dan pengukuran parameter lingkungan.

  2. Data Sekunder

  Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung. Data sekunder yang dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini diperoleh berdasarkan studi pustaka melalui buku-buku laporan hasil penelitian sebelumnya, buku-buku penunjang yang terkait dengan penelitian, data dari pihak-pihak serta instansi yang terkait lainnya yaitu dari instansi Pemerintahan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gorontalo, instansi-instansi terkait dan sebagai data penunjang antara lain peta serta keadaan umum lokasi penelitian.

2.2. Tahapan Pelaksanaan

  Tahapan pelaksanaan penelitian secara lebih terperinci sebagai berikut :

  1. Observasi Lapangan

  Observasi lapangan dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung kondisi lapangan untuk menentukan stasiun pengambilan sampel. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran awal tentang kondisi lapangan.

  2. Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel

  Penentuan titik koordinat stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat bantu GPS (Global Positing System). Pengambilan sampel Bivalvia dilakukan dengan menggunakan metode line transeck (transek garis). Transek garis di tarik dari pasang tertinggi sampai surut terendah secara vertikal garis pantai dengan menggunakan roll meter ±50m yang dibagi menjadi 3 titik stasiun pengamatan yakni berdasarkan substrat yang dapat mewakili wilayah kajian.

  Stasiun I terletak di Desa Olimoo’o pada pada titik koordinat E : 122 53’ 2.74” dan N : 0

  29’ 14.72”, stasiun II terletak di Desa Lamu pada titik koordinat E : 122 54’ 16.05” dan N : 0 29’ 31.43”, dan stasiun III terletak di Desa Tontayuopada titik koordinatE : 122

  29 54’ 57.11” dan N : 0 ’ 26.71” BT. Penentuan stasiun berdasarkan tipe substrat, agar dapat mewakili wilayah kajian. Tiap stasiun dibagi menjadi 3 sub stasiun. Pencatatan data pada setiap sub stasiun dengan menggunakan kuadran berukuran 1x1 meter (Setyobudiandi,et al., 2009). Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut dimulai pada pagi hari sampai siang hari. Tipe substrat diamati secara visual. Adapun secara rinci sebagai berikut : a)

  Dibuat garis transek pada titik yang telah ditetapkan sebagai pengambilan sampel dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah.

  b) Panjang garis transek ±15m dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah yang ditarik secara vertikal. Pada masing-masing garis transek diletakkan kuadran, jarak antar kuadran 2 x 2 meter.Setiap stasiun ada tiga titik garis transek (sub stasiun) dan dalam tiap-tiap sub stasiun terdapat 3 kali ulangan. c) titik antar sub stasiun dan jarak antar kuadran. Setiap stasiun ada tiga titik garis transek (sub stasiun) dan dalam tiap-tiap sub stasiun terdapat 3 kali ulangan, jarak antar kuadran 2 x 2 meter.

d) Masing-masing titik digunakan sebagai pusat kuadran yang berukuran 1x1 meter.

  Kuadran ini dipakai sebagai tempat pengambilan sampel. Untuk skema pengambilan sampel pada lokasi penelitian disajikan pada gambar 2 di bawah ini :

   A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 ST 1 Daratan ST 2 ST 3

  Gambar 2. Desain Sampling Penelitian

  Keterangan :

  Jarak antar transek : 25 meter Panjang transek : 15 meter Ukuran kuadran : 1x1 meter Jarak antar kuadran : 2 meter

  Bivalvia yang terdapat dalam setiap kuadran yang berukuran 1x1 meter dihitung masing-masing jenis yang ditemukan. Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut, sehingga dapat mempermudah dalam menghitung dan mengidentifikasi jenis Bivalvia. Setiap jenis diambil 2 individu dan disimpan dalam kantong sampel yang diberi tanda menggunakan kertas label dan selanjutnya didokumentasikan dan diidentifikasi dengan menggunakan buku (Dharma(1992) dan Ardovini & Cossignani(2004).

  Cara pengambilan sampel bivalvia yaitu :

  a) Dihitung semua jenis bivalvia yang terdapat pada kuadran 1x1 meter, selanjutnya dicatat jumlahnya.

  b) Masing-masing diambil 2 individu untuk spesies bivalvia yang ditemukan, disimpan dalam kantong plastik dan diberi label untuk diidentifikasi.

3. Pengukuran Parameter Lingkungan

  a) Pengukuran parameter lingkungan yang dilakukan adalah pengukuran salinitas menggunakan refraktometer, pengukuran pH menggunakan kertas lakmus, pengukuran DO (oksigen terlarut) menggunakan DO meter, dan pengukuran suhu menggunakan thermometer. Selanjutnya alat yang digunakan dibersihkan menggunakan tissue.

b) Pengukuran langsung dilakukan dilapangan pada saat pengambilan sampel.

2.3. Analisa Data

  Analisis data menggunakan formulasi sebagai berikut :

1. Indeks Kelimpahan Spesies Bivalvia

  Kelimpahan merupakan gambaran banyaknya jenis bivalvia yang ditemukan pada setiap stasiun atau titik garis transek (Magurran, 1987 dalam Yuniarti, 2012). Indeks kelimpahan spesies (Abudamce indexs) dengan menggunakan formulasi (Ludwig dan Reynolds, 1981 dalam Dharmawan, 1995) sebagai berikut :

  cacah individu jenis ke i D = x 100% cacah individu seluruh jenis

  Rangan (2000), suatu spesies dinyatakan melimpah apabila ditemukan individunya dalam jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan individu dari spesies lainnya.Data yang di peroleh akan ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif untuk melihat perbedaan antara ketiga lokasi (stasiun).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Jenis-jenis Bivalvia di Lokasi Penelitian

  Zona intertidal perairan Teluk Tomini Kecamatan Batudaa Pantai berdasarkan penelitian ini dihuni oleh 5 species bivalvia yang terdiri dari 3 famili yaitu famili Pinnidae,

  

Arcidae, dan Ostreidae. Jenis-jenis Bivalvia yang ditemukan di setiap stasiun penelitian dapat

dilihat pada Tabel 1.

  Tabel 1. Jenis-jenis dan jumlah Bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian.

  No Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III

  1 Anadara geissei 193

  2 Barbatia fusca

  41 3 183 117

  Saccostrea cuculata

  4 Atrina vexillum

  37

  5 Chlamys irregularis

  78 Jumlah Spesies/ individu

  302 347

  Sumber : Hasil Olahan Data Primer, (2014) Berdasarkan tabel 1, jenis bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 5 jenis yaitu Atrina vexillum, Anadara geissei, Barbatia fusca, Saccostrea cuculata, dan

  

Chlamys irregularis . Kelima spesies tersebut tidak terdapat di semua stasiun melainkan

  hanya pada stasiun 1 dan stasiun 2. Stasiun 1 ditemukan tiga jenis dengan total 302 individu, stasiun 2 ditemukan 3 jenis dengan total 347 individu, pada stasiun 3 tidak ditemukan jenis bivalvia.

  Substrat mempunyai peranan penting bagi kehidupan bivalvia. Menurut Nybaken (1988) umumnya bivalvia hidup disubstrat untuk menentukan pola hidup, ketiadaan dan tipe organisme. Ukuran sangat berpengaruh dalam menentukan kemampuan bivalvia menahan sirkulasi air. Bahan organik dan tekstur sedimen sangat menentukan keberadaan dari bivalvia. Tekstur sedimen atau substrat dasar merupakan tempat untuk menempel dan merayap atau berjalan, sedangkan bahan organik merupakan sumber makanannya.

  Pada daerah pantai yang mempunyai substrat dasar berpasir seperti pada stasiun 3, tidak ditemukan organisme yang hidup. Karena pantai pasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, dikarenakan gelombang yang secara terus-menerus menggerakkan partikel substrat dasar. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1

  • – 10 cm) yakni
organisme yang mampu yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme

  meiofauna mikro (berukuran 0,1

  • – 1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi.

  Discol dan Brandon (1973) dalam Riniatsih dan Kushartono (2009) menyatakan bahwa penyebaran dan kelimpahan gastropoda dan bivalvia berhubungan dengan besar kecilnya diameter butiran sedimen. Bengen et al., (1994) dalam Siregar, (1997) menambahkan bahwa jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien dalam sedimen dan nutrien tidak banyak terdapat dalam substrat berpasir. Chusing dan Walsh (1976) menyatakan bahwa jenis substrat dan jenis partikel merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi hewan bentos karena masing

  • –masing jenis bentos mempunyai cara hidup yang berbeda yang disesuaikan dengan jenis substrat dasar habitatnya.

  Susunan substrat dasar sangat penting bagi organisme yang hidup di zona dasar seperti bivalvia, baik di air dalam maupun pada air mengalir (Michael, 1994 dalam Sitorus, 2008). Bivalvia umumnya terdapat di dasar perairan yang berlumpur, beberapa hidup pada substrat yang lebih keras seperti kayu atau batu (Suwignyo, 2005). Bivalvia pada umumnya hidup dengan membuat lubang pada substrat, melekat langsung pada substrat dengan semen dan melekat pada substrat dengan bahan seperti benang (Rominmohtarto dan Juwana, 2009).

3.2. Kelimpahan Relatif (%) Spesies Bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian.

  Hasil perhitungan nilai indeks kelimpahan spesies Bivalvia yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada tabel 2.

  Tabel 2. Nilai Kelimpahan Relatif (%) Spesies Bivalvia yang Ditemukan di Lokasi Penelitian

  No Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III Rata-rata

  1

  55.61

  18.53 Anadara geissei

  2

  13.57

  4.53 Barbatia fusca

  3

  60.59

  33.71

  31.43 Saccostrea cucullata

  4

  10.66

  3.55

  5

  25.82

  8.60 Chlamys irregularis Sumber : Hasil Olahan Data primer, (2014)

  Data tabel 2 menunjukkan bahwa jenis bivalvia yang memiliki nilai indeks kelimpahan tertinggi yaitu Saccostrea cucullata yang terdapat distasiun I (substrat berbatu) dengan nilai 60.59%. Jenis ini lebih banyak ditemukan pada pantai berbatu. Menurut Dahuri (2003) di bandingkan dengan habitat pantai lainnya, pantai berbatu memiliki kepadatan mikro organisme yang tinggi, khususnya di daerah intertidal di daerah angin. Lebih lanjut Dharma (1992) menjelaskan bivalvia jenis Saccostrea cucullata lebih banyak ditemukan di pantai yang memiliki substrat keras seperti batu, kayu, dan terumbu karang yang sudah mati.

  Bivalvia yang memiliki indeks kelimpahan terendah yakni pada jenis Antrina vexillum pada stasiun II (substrat berlumpur) dengan nilai 10.66% . Berikut ini gambar koloni Saccostrea

  cucullata terdapat pada gambar 3.

  Gambar 3. Koloni Saccostrea cucullata Sumber : Hasil Penelitian (2014)

  Nilai rata-rata bivalvia yang memiliki indeks kelimpahan tertinggi yaitu Saccostrea

  

cucullata dengan nilai 31.43% dan yang terendah Antrina vexillum dengan nilai 3.55%. Hasil

  yang diperoleh dapat dilihat bahwa jenis Saccostrea cucullata lebih melimpah dengan jenis bivalvia lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rangan (2000), suatu spesies dinyatakan melimpah apabila ditemukan individunya dalam jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan individu dari spesies yang lainnya.

  Menurut Nybakken (1988) bahwa jenis Saccostrea cucullata melimpah disebabkan oleh adaptasi hidup yang lebih tinggi dibanding jenis lainnya, selanjutnya Dharma (1992) menambahkan jenis Saccostrea cucullata memiliki cangkang yang tebal dan hidupnya menempel pada benda keras, sehingga apabila mendapat gangguan mudah untuk berlindung dan tetap di tempat, dimana banyak ditemukan menempel pada benda keras seperi batu, kayu dan terumbu karang yang telah mati.

  

3.3. Parameter Lingkungan Spesies Bivalvia di Zona Intertidal Kecamatan Batudaa

Pantai

  Kondisi suatu perairan dapat dinilai dengan berbagai metode dan berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain secara kompleks, sehingga kondisi fisik dan kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik demikian juga sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan kimiawi suatu perairan (Tobing, 2009).

  Pengukuran parameter lingkungan berupa suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan pH dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel. Hasil dari pengukuran masing-masing parameter secara lebih terperinci disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian

  Stasiun Parameter

  No Rata-rata

  Kualitas Air

  

2

  3

  1

  1 Suhu (°C)

  29

  26

  25.2

  26.7

  2

  32.6

  30.8

  28.9

  30.7 Salinitas (‰)

  3

  4.2

  5.3

  6

  5.1 DO (Mg/L)

  4

  6

  6.5

  6.1

  6.2 pH

  5 Berbatu Berlumpur Berpasir Substrat

  10.53 Wita

  09.58 Wita Waktu Pengukuran

  09.47 Wita Sumber : Hasil Olahan Data Primer, (2014) a. Suhu Berdasarkan hasil pengukuran suhu yang dilakukan di lokasi penelitian, terlihat adanya perbedaan suhu pada setiap stasiun. Hasil pengukuran suhu tertinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai suhu 29

  C. Untuk stasiun II dan I memiliki nilai kisaran suhu yang relative rendah dibandingkan dengan stasiun I. Dimana untuk suhu pada stasiun II 26 C dan stasiun III 25.2

  C. Hal ini disebabkan karena waktu pengukuran suhu yang berbeda. stasiun II dan III pengukuran suhu dilakukan pada saat matahari tidak terlalu terik sedangkan stasiun I pengukuran suhu dilakukan siang hari, dan kondisi cuaca yang semakin panas mempengaruhi kenaikan suhu.

  Odum (1996) menjelaskan bahwa cahaya matahari yang diserap oleh badan perairan akan menghasilkan panas diperairan sehingga cahaya matahari dapat meningkatkan suhu perairan. Lebih lanjut Odum (1996), menjelaskan bahwa secara umum kisaran suhu yang ideal untuk pertumbuhan organisme laut pada umumnya adalah 25

  C. Menurut

  • – 32 Nybakken (1988) untuk organisme intertidal seperti bivalvia dapat memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal. Mekanisme keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan cara mengatasi suhu yang terlalu tinggi. Suhu rendah yang ekstrim tidak begitu menjadi masalah bagi organisme pantai dibanding dengan suhu yang terlalu tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan pengurangan panas yang dapat dari lingkungan dan meningkatkan kehilangan panas dari tubuh hewan. Panas yang didapat dari lingkungan dapat dihilangkan dengan beberapa cara sebagai berikut :

  Cara pertama adalah dengan memperbesar ukuran tubuh. Dengan memperbesar ukuran tubuh berarti perbandingan antara luas permukaan dengan volume tubuh menjadi lebih kecil sehingga luas daerah tubuh yang mengalami peningkatan suhu menjadi lebih kecil. Pada keadaan yang sama, tubuh yang lebih besar memerlukan waktu yang lebih lama untuk bertambah panas dibandingkan dengan tubuh yang lebih kecil.

  Mekanisme lain untuk mengurangi panas adalah dengan cara mengurangi kontak antara jaringan tubuh dengan substrat. Suatu mekanisme yang ditemukan pada organisme bercangkang keras seperti moluska, adalah dengan memperluas cangkang dan memperbanyak ukiran pada cangkang. Ukiran-ukiran tersebut berfungsi sebagai sirip radiator sehingga memudahkan hilangnya panas. Tingkat hilangnya panas dapat memperbesar pula jika organisme mempunyai warna yang terang (organisme berwarna gelap mendapat panas melalui absorbsi).

  Terakhir dan paling penting, hilangnya panas dapat terjadi melalui penguapan air. Hampir semua organisme intertidal mempunyai suatu strategi adaptasi untuk mendinginkan tubuh dengan jalan penguapan dan sekaligus menghindarkan kekeringan yang berlebihan.

  Untuk memidahkan keseimbangan ini, hampir semua hewan intertidal mempunyai persediaan air tambahan sehingga pendinginan dapat terjadi. Air tambahan ini disimpan dalam rongga mantel, dan melebihi kebutuhan hidup hewan trsebut.

  b. Salinitas Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya kandungan garam-garam mineral yang menyusun suatu perairan yang ikut mempengaruhi kehidupan moluska

  (bivalvia) (Nybakken, 1992). Hasil pengukuran yang diperoleh nilai salinitas tertinggi pada stasiun I dengan nilai salinitas 32,6‰, stasiun II 30,8‰, dan stasiun III memiliki nilai salinitas 28,9‰.

  Tingginya nilai salinitas pada stasiun I diduga karena dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang panas pada saat pengukuran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1996), bahwa cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan, sehingga cahaya matahari akan meningkatkan salinitas perairan.

  Carley (1998) dalam Dharma (1992) menjelaskan, salinitas yang layak untuk kehidupan bivalvia berada pada kisaran 28 - 34‰. Hasil pengukuran salinitas pada zona

  • – intertidal Perairan Teluk Tomini Kecamatan Batudaa Pantai di tiap stasiun berkisar 28,9 32,6‰. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran tersebut masih dalam keadaan baik dan layak untuk kehidupan bivalvia.

  c. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menunjang kehidupan organisme karena berkaitan erat dengan proses metabolisme makan yang diperlukan untuk kehidupan organisme itu sendiri. Oksigen terlarut (DO) merupakan suatu nilai yang menunjukkan banyaknya oksigen yang terkandung dalam setiap setiap liter air laut (Nybakken, 1992).

  Berdasarkan hasil pengukuran oksigen terlarut pada tabel 5 diperoleh kandungan oksigen terlarut pada stasiun II dengan nilai 4,2 mg/L untuk stasiun III 5,3 mg/L dan stasiun I 4,2 mg/L. Terjadinya penurunan oksigen terlarut dipengaruhi oleh adanya kenaikan suhu. Pada stasiun stasiun I hasil pengukuran suhu 29 C dan distasiun III 26 C.

  Rumalutur (2004) menjelaskan bahwa meningkatnya suhu menyebabkan kandungan oksigen berkurang. Tinggi atau rendahnya oksigen terlarut dalam lokasi penelitian tidak berpengaruh karena kandungan oksigen terlarutnya masih dikatakan layak untuk kehidupan bivalvia. Kosentrasi oksigen terlarut untuk kehidupan bivalvia berada pada kisaran 5

  • – 8mg/L (Odum, 1996).

  d. Derajat keasaman (pH) air pH air memegang peranan penting di perairan karena dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme yang berada di perairan tersebut (Nybakken, 1992). Hasil pengukuran pH air pada lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 5 bahwa stasiun pengamatan yang memiliki pH air tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu 6,5. Stasiun I dan stasiun III memiliki nilai pH air yang relatife sama yaitu 6,1 dan 6. Kisaran pH air untuk kehidupan bivalvia dari hasil yang diperoleh pada pengukuran masih dikatakan layak untuk kehidupan bivalvia. Gasper (1990) dalam Odum (1996) menjelaskan bahwa Bivalvia membutuhkan pH air 6

  • – 8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi.

  e. Subtrat Berdasarkan hasil pengamatan langsung kondisi substrat yang terdapat di lokasi penelitian stasiun I memiliki substrat berbatu, stasiun II memiliki subtrat berlumpur dan stasiun III memili substrat berpasir. Nybakken (1988), menjelaskan bahwa kondisi substrat berpengaruh pada susunan organisme zona intertidal.

IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : 1. Jenis-jenis bivalvia yang ditemukan di zona intertidal Perairan Teluk Tomini

  Kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo ada 5 jenis yaitu Atrina

  vexillum,Anadara geissei, Barbatia fusca, Saccostrea cuculata, dan Chlamys irregularis

  . dimana jenis barbatia fusca, Chlamys irregularis terdapat di stasiun 1 dengan substrat berbatu dan Atrina vexillum, Anadara geissei di stasiun 2 dengan substrat berlumpur serta jenis Saccostrea cuculata terdapat di stasiun 1 dan stasiun 2.

2. Kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh spesies Saccostrea cuculata dengan nilai rata-rata 31.43% dan terendah spesies Atrina vexillum 3,55%.

4.2. Saran

  Saran penulis pada penyusunan skripsi ini yaitu : 1. Penelitian mengenai inventarisasi jenis-jenis bivalvia pada daerah intertidal diperairan teluk tomini khususnya dikecamatan batudaa pantai hendaknya dilakukan musiman untuk memonitoring kondisi keberadaan bivalvia.

  2. Perlu pengelolaan kawasan perairan khususnya untuk zona intertidal yang terletak diperairan teluk tomini sehingga dapat tetap lestari dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kualitas air terutama kandungan fosfat dan nitrat diperairan teluk tomini kecamatan batudaa pantai.

  

Ucapan Terima Kasih

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Femy Sahami, S.Pi, M.Si dan Ibu Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel, M.Si, atas bantuan, arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

  

Daftar Pustaka

  Aisyah, H., Ramadani, M., Affandi., dan B. Irawan. 2011. Keanekaragaman Dan Pola

  Distribusi Longitudinal Kerang Air Tawar Di Perairan Sungai Brantas . Jurnal Prodi S-1 Biologi, Universitas Airlangga. Surabaya.

  Ardovini R., dan Cossignani T. 2004. West African Seashells (Including Azores, Madeira and Canary Is) Conchiglie del1 ‘Africa Occidentale (Incluse Azzore, Madeira e Canarie).

  L’Informatore Piceno. Ancona. Astuti, E. 2009. Struktur Komunitas Bivalvia di Pesisir Pantai Pulau Panjang dan Pulau

  Tarahan, Banten Serta Variasi Ukuran Cangkangnya . Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., dan Cahyani. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Cetakan Kedua. Pradnya Paramita. Jakarta.

Darma, 1992. Siput dan kerang Indonesia (Indonesia shell part II). PT. Sarana Graha.

  Jakarta. Dharmawan, A. 1995. Studi Komunitas Moluska Di Hutan Mangrove Laguna Segara Anakan Taman Nasional Alas Purwon Banyuwangi . Tesis Universitas Gadjah Mada.

  Yogyakarta. Delinon RM. 2007. Sumber Daya Air di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia.

  LIPI Press. Jakarta. Dibyowati, L. 2009. Keanekaragaaman Moluska (Bivalvia dan Gastropoda) Di Sepanjang Pantai Carita, Pandeglang, Banten . Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  Dura, 1997. Studi Komunitas Bivalvia di Daerah Interdal Pantai Krakal Gunung Kidul.

  Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. Hardianti NM, 2014. Struktur Komunitas Bivalvia Di Perairan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara . Skripsi Universitas Sumatera Utara. Sumatra Utara.

  Masalu DCP. 2008. Coastal Data and Information Management For Intergrated Coastal Management : The Role of IODE. Elseiver. Marine Policy. 32 : 1. Nurdin J., Supriatna J., Patria MP., dan Budiman A. 2008. Kepadatan dan Keanekaragaman

  Kerang Intertidal (mollusca: bivalvia) di Perairan Pantai Sumatera Barat . Jurnal Universitas Lampung. Lampung.

  Nurdin J., Neti M., Izmiarti., Anjas A., Rio D., dan Jufri M. 2006. Kepadatan Pupolasi dan Pertumbuhan Kerang darah. Di Teluk Sungai Pisang, Kota Padang, Sumatera Barat .

  Jurnal Universitas Andalas, Padang. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut (suatu pendekatan ekologi). Penerbit PT Gramedia.

  Jakarta.

  • 1992. Biologi Lautm Suatu. Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Jakarta. Odum, 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Terjemahan Tjahjono Samingan. Gadjah Mada Universitas pres. Yogyakarta Oemarjati B.S dan Wardhana, W. 1990. Taksonomi Avertebrata. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

  Pratami CE. 2005. Sebaran Moluska (Bivalvia Dan Gastropoda) di Perairan Teluk Jobokuto,

Pantai Kartini, Jepara, Jawa Tengah . Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rangan, J. 2000. Struktur dan Apologi Komunitas Gastropoda Pada Zona Hutan Mangrove Perairan Kulu Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara . Skripsi Program Pasca Sarjana.

  Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riniatsih I., dan Kushartono E W. 2009. Substrat Dasar dan Parameter Oseanografi

  Sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Jurnal Universitas Diponegoro Kampus Tembalang Semarang.

  Romimohtarto K dan Juwana S . 2009. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.

  Penerbit Djambatan. Jakarta. Rumalutur, F. 2004. Komposisi Jenis Gastropoda pada Zona Hutan Mangrove di Pulau

  Skripsi Institut Raja, Desa Gita, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Partanian Bogor. Bogor.

  Sadili, 2011. Keanekaragaman Bivalvia Dan Asosiasinya Dengan Tegakan Mangrove Di

  Pantai Talang Siring Kabupaten Pamekasan. Skipsi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang. Sahami F., 2003. Struktur Komunitas Bivalvia di Wilayah Estuari Sungai Donan dan Sungai Sapuregel Cilacap . Tesis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Setyobudiandi I, Sulistiono, F. Yulianda, C. Kusmana, S. Hariyadi, A. Damar , A. Sembiring,

  Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Peikanan dan Kelautan, Terapan Metode Pengambilan Contoh di wilayah Pesisir dan laut. Bogor. Simangunsong, E. 2010. Distribusi Bivalvia Berdasarkan Tipologi Habitat di Teluk Lada Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Banten . Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  Sitorus, D. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya Dengan Faktor

  Fisik-Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang . Tesis Fakultas MIPA USU. Medan.

  Suin, N.M. 2002. Metode Ekologi. Penerbit Universitas Erlangga. Jakarta. Sulistijo, Nontji A, Soegiarto A. 1980. Potensi dan Usaha Pengembangan Budidaya

  Perairan di Indonesia . Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional.

  Susiana. 2011. Diversitas dan kerapatan mangrove, gastropoda dan bivalvia di estuari Perancak, Bali . Skripsi Universitas Hasanuddin. Makasar. Suwondo, Elya F, dan Nurida S. 2012. Kepadatan dan Distribusi Bivalvia pada Mangrove

  di Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Biogenesis, Vol. 9, Nomor 1. Universitas Riau Pekanbaru.

  Suwignyo. S. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Tobing LS. 2009. Kondisi Perairan Pantai Sekitar Merak Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Benthos .Vol. 2 (2).

  Wahyuni. M. 2007. Kerupuk Tinggi Kalsium: Perbaikan Nilai Tambah Limbah Cangkang Kerang Hijau Melalui Aplikasi Teknologi Tepat Guna.

  

s pada tanggal 20 Mei 2014.

  Yuniarti N. 2012. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia dan Gastropoda (Moluska) di Pesisir Glayem Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat . Skripsi Institut Pertanian Bogor.

  Bogor.