BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Cedera Otak - Peran Inhibitor HMG-CoA Reduktase Dalam Penurunan Interleukin-6 Terhadap Hasil Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Otak

  Cedera kepala dapat didefinisikan secara luas yang meliputi setiap hal berikut ini: 1.

  Bukti riwayat pukulan terhadap kepala 2. Bukti trauma terhadap kulit kepala dalam bentuk bengkak, lecet ataupun memar 3. Bukti patah pada tulang kepala dengan foto schedel atau CT Scan kepala atau bukti cedera otak dengan CT Scan yang dibuat segera setelah trauma.

4. Bukti klinis patah tulang dasar tengkorak 5.

  Bukti klinis cedera otak (hilang atau terganggunya kesadaran, lupa ingatan, defisit neurologis, kejang) (Selladurai et al, 2007).

  Definisi cedera otak adalahproses patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif dan psikososial yang sifatnya menetap atau sementara dan disertai dengan hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Narayan et al, 1996)

  2.2 Klasifikasi cedera otak

  Berat tidaknya cedera otak paling umum digunakan modalitas dari GCS (Glasgow

  Coma Scale) post resusitasi, yaitu ringan (GCS 13-15), Sedang (GCS 9-12) dan Berat

  (GCS ≤8). Bila berdasarkan mekanismenya cedera otak dibagi atas tumpul dan tembus/tajam ( penetrating head injury) (Narayan et al, 1996).

  2.3 Patofisiologi cedera otak

  Perubahan patofisiologi setelah cedera kepala adalah kompleks. Trauma bisa disebabkan oleh mekanisme yang berbeda, dan sering berkombinasi. Perubahan- perubahan setelah trauma adalah terjadi pada tingkat molekuler, biokimia, seluler, dan pada tingkat makroskopis (Selladurai et al, 2007).

  Cedera otak primer disebabkan oleh kerusakan mekanik pada jaringan otak dan pembuluh darah pada saat terjadinya trauma. Pada tingkat makroskopis bisa terlihat terputusnya jaringan otak; pada tingkat mikroskopik bisa terlihat kerusakan parenkhim sel (sel neuron, axon, dan glia) dan mikrosirkulasi (arteriol, capiler, dan venula) (Selladurai,et al,2007).

  Kontusio serebri adalah tipe kerusakan otak fokal terutama disebabkan oleh kontak antara permukaan otak dan tonjolan permukaan tulang dasar tengkorak, menuerut

  ICD-9 kontusio cerebri adalah luka memar pada otak akibat tubrukan / impact terhadap kepala atau suatu trauma acceleration/deceleration (Narayan et al,1996).

  Diantara banyak peristiwa molekouler paskacedera otak hal yang paling penting adalah Sur-1 yang memberi kontribusi berkembangnya kontusio serebri. Secara umum area kontusio serebri dibagi tiga yaitu; Epicenter, Pericotusional penumbra, dan Parapenumbra area. Pada epicenter terputusnya pembuluh darah terjadi segera.Pada penumbra dan parapenumbra area pukulan energi tidak merobek jaringan, tetapi mengawali peristiwa molekuler sensitif-mekanik yang mengiduksi overexpresi dari Sur-

  1. Sur-1 adalah regulator subunit dari non-selektif kation channel (NCCa-ATP) yang ditemukan oleh Simard group dan berimplikasi pada patophisiologi edema serebri dan bertransformasi dari kontusio menjadi hemoragic. Induksi overekspresi Sur-1 meningkatkan pembengkakan sel dan kematian onkotik sel astrocyte, neuron, dan sel endothelial. Pecahnya endotelial sel mengakibatkan microhemoragic yang berakibat terbentuknya perdarahan baru dan konsekuensi perdarahan menjadi progresif pada traumatik kontusio serebri ( Kurland.D., 2012).

  Gambaran CT scan pada kontusio serebri lokasi biasanya tanpak pada permukaan korteks dan terlibat gray matter, pada sentral area terlihat hiperdense dan bercampur dengan area hipodense yang merupakan bagian dari hemoragic necrosis atau bagian jaringan otak yang rusak dan bagian otak yang edema (pericontusional edema) ( Selladurai.B., 2007). Tidak ada aliran darah pada area sentral kontusio serebri dan pengurangan aliran darah pada daerah perikontusional edema, dimana autoregulasi terganggu (vasoparalysis). Oleh pengurangan perfusi oleh pengurangan MAP (mean arterial pressure), peningkatan tekanan intrakranial atau vasokonstriksi setelah hipocapnia akibat dari hiperventilasi ( Selladurai.B., 2007).

  Perkembangan dari lesi kontusio serebri adalah (1) Komponen perdarahan berkembang; penyatuan fokus –fokus perdarahan kecil dapat terjadi; komponen perdarahan dari kontusio serebri dapat mencapai maximal dalam waktu 12 jam pascatrauma pada 84% pasien; koangolopati dan alkoholik dapat memperbesar risiko bertambahnya komponen perdarahan pada kontusio serebri, (2) Meningkatnya pembengkakan zona sentral kontusio dan zona perikontusional; kerusakan parsial sel parenkim pada sentral kontusio juga pada zona perikontusional bisa menyebabkan bengkak (cytotoxic edema). Pada area nekrotik dari kontusio makromolekuler yang didegradasi menjadi molekul yang lebih kecil dapat meningkatkan osmolaritas jaringan dan bisa menyebabkan perpindahan cairan dari intravasculer ke area necrosis kontusio (osmolar edema).Pembengkakan area sentral kontusio menyebabkan penekanan zona perikontusional dan menyebabkan iskhemik lebih lanjut dan edema. Perikontusional edema dapat mencapai maximal 48-72 jam setelah cedera ( Selladurai.B., 2007).

2.3.2 Cedera Otak Sekunder

  Cedera otak sekunder merujuk kepada efek setelah peristiwa cedera primer, secara klinis efek diaplikasikan setelah postraumatik hematom intrakranial, edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial dan pada fase lebih lambat hidrocephalus dan infeki. Cedera otak sekunder adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma yang potensial cedera ini dapat menambah kerusakan neuron, axon, dan pembuluh darah otak. Cedera otak sekunder yang terpenting adalah hipoxia ,hipotensi, hipercarbia, hiperexia, dan gangguan elektrolit (Selladurai et al, 2007).

  Gambar 1 : Faktor-Faktor yang memengaruhi Prognosis Setelah Cedera Otak (Vollmer.D.G., 1993).

2.4 Penilaian Tingkat Kesadaran pada Cedera Otak

  Teasde dan Jannet telah mengevaluasi secara hati-hati pasien-pasien dengan cedera kepala dan gangguan kesadaran. Hasil yang mereka kembangkan telah dikenal sebagai Glasgow Coma Scale pada 1974. Pada skala ini dilnilai tingkat numerik respon buka mata, motoric, dan verbal dengan rentang nilai 3-15 (Becker et al, 1989).

  a. Respon buka mata Nilai

  1

  Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring system, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale dan Glasgow Coma Scale . Kelebihan

  Skala lain yang bisa dipakai untuk mengukur keparahan cedera kepala adalah

  Support Program Student Manual , Komisi Trauma ”IKABI” (Ikatan Ahli Bedah Indonesia), 6th ed, Komisi Trauma ”IKABI”, Jakarta.

  1 Tabel.1. Diambil dari: American College of Surgeons 1997, Advance Trauma Life

  2 Tidak ada

  3 Suara tidak jelas

  4 Kata-kata tidak teratur

  5 Berbicara mengacau / bingung

  Nilai Berorientasi baik

  c. Respon bicara

  2 Tidak ada (flasid)

  Spontan

  3 Ekstensi abnormal (deserebrasi)

  4 Fleksi abnormal (dekortikasi)

  5 Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

  6 Melokalisir nyeri

  Nilai Menurut perintah

  b.Respon Motorik

  1

  2 Tidak ada

  3 Rangsangan nyeri

  4 Atas perintah / suara

  GCS adalah cukup konsisten dan objektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda, sederhana dan berguna sebagai pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis (Stein, 1996). Kendala GCS antara lain adalah jika penderita mengalami edema palpebra atau terintubasi, ada variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman, 1996).

2.5 Terapi Standar pada Cedera Kepala Sedang 1.

  Pemberian antibiotika bila ada luka, 2. Pemberian analgetik NSAID, Pemberian sedatif/transquilizer bila diperlukan untuk memperbaiki kenaikan TIK dan penenang,

  4. Pemberian manitol untuk menurunkan TIK secara bolus 0,25-1 gram/kgBB, serum osmolaritas harus diperiksa bawah 320 mmol/l untuk mencegah gagal ginjal, 5. Pemberian nutrisi dini secara bertahap yang harus tercapai untuk kebutuhan total dalam waktu 7 hari setelah trauma, adalah 140% dari kebutuhan basal pada pasien yang tidak dilumpuhkan dan yang diberikan secara parenteral dan enteral, sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein,

  6. Pemberian Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor Agent dengan H2

Blocker dan pemberian PPI (proton Pump Inhibitrt) yang dapat menurunkan

  insiden perdarahan gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD). Bagan.1. Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang Nonoperatif

2.6 Skala Prognosis Glasgow(Glasgow Outcome Scale=GOS)

  Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir

  secara umum pada cedera otak GOS dikelompokkan dalam lima katagori: mati, persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat, ketidakmampuan sedang, dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3, 6, dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas GOS sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma, beratnya kondisi pada awal trauma (diukur dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap GOS relatif tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik secara signifikan dan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak (Narayan et al, 1995).

  Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond pada pascacedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis.

  Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis pascakoma traumatik ataupun nontraumatik (Bullock, 2004; Narayan, Michel,2002; Jennet, 2005).

  Telaah pada penderita adalah sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf . Keduanya memutuskan bahwa penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pascatrauma (Jennet, 2005). Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori (Jennet ,2005)

  (1) Pemulihan baik (good recovery= GR) diberi nilai 5.Pasien dapat berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaa ini dapat disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.

  (2) Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled) diberi nilai 4.Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien defisit memori/perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi paska traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa asisten.

  (3) Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi nilai 3.Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju, makan, dll), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang mutlak memerlukan supervisi perawat/keluarga.

  (4) Vegetative State=PVS diberinilai 4. Pasien hanya mampu menuruti perintah ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping reflek,

  withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara.

  4 Ketidakmampuan sedang Ekstremitas atas Ekstremitas bawah

  merupakansuatu skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas dasar danmobilisasi. Semakin tinggi nilai yang diperoleh dalam pemeriksaan, semakintinggi pula kecenderungan atau kemampuan seseorang untuk hidup mandiri setelahpulang dari rumah sakit. Skala pengukuran ini diperkenalkan pada tahun 1965

  Skala Barthel atau Index ADL (Activities of Daily Living) Barthel

  1 Tabel. 2. Nilai GOS Asli dan Extended

  2

  

5 Pemulihan baik

Ekstremitas atas Ekstremitas bawah

  3 Pemulihan Baik

  4

  5 Ketidakmampuan Sedang

  (5) Meninggal dunia (dead) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS, Dead) dan penilaian ekstensi (GOS Extended), yaitu

  6

  3 Ketidakmampuan berat Ekstremitas atas Ekstremitas bawah

  7 Ketidakmampuan Berat

  

2 Status vegetative

  8 Status vegetative

  

1 Meninggal dunia

  GOS asli Nilai GOS – E Nilai Meninggal dunia

2.7Skala Fungsional Barthel’s Index

  olehMahoney dan Barthel dengan manampilkan rentang penilaian dari 0-20. Meskipun versiaslinya telah dipergunakan secara luas, skala ini telah mengalami modifikasi olehGranger dkk pada tahun 1979 menjadi 0-10 point untuk tiap variabelnya dan (Mahoney, Barthel ,1965). Barthel index diukur pada saat awal terapi dan secara berkala selama terapi sampai diperoleh keuntungan yang maksimum (Mahoney and Barthel,

  ).

  1965

2.7.1 Penilaian Kondisi Mental Sederhana

  The mini mental state examination(MMSE), digunakan untuk screening gangguan cognitive. Setiap nilai lebih atau sama dengan 25 adalah efektif normal, gangguan

  cognitive berat ( ≤ 9),sedang (10 -20) dan ringan (21-24). MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri atas tiga puluh poin yang dikelompokan menjadi tujuh kategori: orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari, dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat tiga kata), perhatian dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi tujuh, dimulai dari angka seratus, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali tiga kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama dua benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah tiga langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar) (Lezak, 2004; Tombaugh, 1992).

  Table-3:Interpretasi dari Nilai MMSE (Lezak, 2004; Indharty.S, 2012).

2.8 Mediator-Mediator dan Mekanismenya pada Cedera Otak Sekunder

2.8.1 Nekrosis/Apoptosis

  Nekrosis dikarakteristikkan dengan pembengkakan sel dan kerusakan membran yang

  berkaitan dengan lisis nuclear kromatin. Ketika kelompok-kelompok sel terlibat secara simultan, isi sel yang banyak tumpah dalam jaringan yang cedera dapat membangkitkan respon inflamasi dalam area lokal. Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram yang terjadi dengan respon terhadap aktifasi dari sinyal sel dan juga terlihat memberi konstribusi terhadap kematian sel SSP setelah cedera otak. Kematian dengan mekanisme

  apoptosis secara normal digunakan dalam perkembangan dan mempertahankan populasi

  sel. Berbeda dengan kematian karena nekrosis sel membengkak dan pecah. Ketika sel mengalami apoptosis, sel menjadi menciut dan integritas membran dipertahankan sampai akhir setelah kematian sel. Bangkai sel apoptosis mengandung sisa sitoplasma,

  

organella, dan nucleus cromatin dihilangkan dan difagosit. Kematian sel dengan proses

apoptosis yang memerlukan energi, sedangkan kematian sel karena nekrosis karena tidak

  adekuatnya persediaan energi (Hatton J, 2001).

  Kebutuhan energi yang sangat banyak meningkat cepat setelah cedera otak dan protokol resusitasi setelah cedera otak meningkatkan kemungkinan bahwa terdapat lebih dari satu mekanisme kematian sel. Sel dapat merespon bermacam-macam ransangan stres dan kekacauan metabolisme yang dapat memicu program apoptosis. Zat yang merusak DNA dan zat kimia tertentu yang dapat mengaktifkan mekanisme memerintahkan sel untuk apoptosis. Mekanisme ini termasuk up-regulasi protein apoptosis. Misalnya, aktivasi dari Caspase. Sekali caspase cascade dimulai, proses kematian sel tidak dapat dibalikkan lagi. Walaupun data yang ada menunjukkan bahwa sekali caspase telah diaktifkan, cedera sel otak tidak dapat distop lebih jauh dengan intervensi farmakologi. Akan tetapi caspase antagonis telah memperlihatkan efek neuroproteksi pada model yang berbeda dari iskemik otak (Alzheimer, 2002) Gambar. 2. Beberapa Gambaran Cedera Apoptosis pada Neuron(Alzheimer, 2002: 23)

2.8.2 Reperfusi Injuri/Cytokines

  Sintesis proinflamasi cytokines , aktivasi leukosit, vasogenik edema, dan

  kerusakan sawar darah otak adalah salah satu yang bisa memberi konstribusi edema paskacedera otak. Perubahan sinyal untuk repair, regenerasi dan proteksi telah dilaporkan dengan reperfusi yang berkaitan dengan respon inflamsi. Proinflamasi cytokine bisa memperberat iskemik pada cedera CNS melalui efek lansung pada neuron, astrosit dan sel mikroglial, atau melalui induksi molekul proinflamsi lain seperti TNF

  α dan interleukin-1 β. Mereka terlihat langsung memodulasi apoptosis sel CNS, dan

  differensiasi dan, proliferasi dan memengaruhi infiltrasi leukosit. Cytokine juga terlibat dalam produksi protein untuk apoptosis. Aktivasi NF κB menyebabkan up-regulasi cyclo-

  oxygenase-2(COX-2), intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1)dan, IL-1 β, IL-6, dan

  juga dapat menginduksi sintesa Nitric Oxide (NOS), TNF

  α dan Fas Ligand (Hatton.J., 2001).

  Interaksi di antara mediator-mediator ini menyebabkan siklus terus berlansung cedera sekunder, necrosis , dan apoptosis. Infiltrasi sel mononuclear dapat dijumpai dalam 6-12 jam pascaiskemik fokal SSP. Cytokines produksi terjadi 12 jam sekunder terhadap infiltrasi monosite. TNF

  α mRNA dihasilkan dalam 1 jam iskemik dan mencapai puncak dalam 6-12 jam pascaiskemik dan menurun kembali dalam 1-2 hari. Bukti yang dihasilkan sejauh ini mengesankan bahwa obat yang menekan produksi TNF

  α akan

  mengurangi infiltrasi leukosit dalam area iskemik otak dan mengurangi kehilangan

  α memberikan suatu

  neuroproteksi. Pentoxifilline telah digunakan untuk mengurangi produksi TNF

  α dan

  berhasil menurunkan TNF

  α otak 80%. Setelah iskemik CNS peningkatan produksi IL-6 terlihat menonjol pada daerah yang kehilangan sel-sel neuron (Hatton J, 2001).

  Kerja IL-6 telah dilaporkan sebagai neuroprotektif dan juga sebagai neurotoxic.

  IL-6 mempromosikan ketahan hidup sel neuron dan menghambat NMDA yang terinduksi toxin in vitro . Konsentrasi yang tinggi dari IL-6 bisa berperan sebagai prediktor

  pemulihan fungsional pasien dan berkorelasi dengan ukuran infark. Pada reperfusi IL-6 memberi konstribusi terhadap produksi ICAM-1.IL-1

  β , IL-6, dan TNFα dapat

  meningkatkan ekspresi ICAM-1 pada sel endotelial dan astrocyte, memfasilitasi infiltrasi leukosit, dan meningkatkan aktivasi leukosit. Eselectine dan ICAM-1 ter up-regulasi pada

  endotelial cerebrovascular pasca kontusio fokal otak pada tikus. ICAM-1 antagonis telah

  memberi keuntungan melawan apoptosis neuron pada fokal iskemik otak (Hatton J,2001).

  Gambar. 3. Mekanisme dan Mediator-Mediator Sekunder pada Cedera Saraf LKT = leukotrienes;NMDA= N-methyl-D-aspartate; PG = prostaglandins(Hatton ,2001).

2.8.3 Excitotoxicity/Glutamate

  Walaupun excitotoxicneurotrasmitter yang lain ada, glutamate adalah penyebab paling dasar terhadap profile toxicity yang berkaitan dengan cedera otak. Ketika kultur sel neuron dipapar sementara dengan glutamte, aktifasi

  NFκB terjadi dan ekspresi gen

  proapoptosis yang ter-upregulasi menyebakan kematian sel. Glutamat yang berlebihan dengan cepat merusak neuron postsynaptik karena influx kalsium berlebihan. Glutamat

  NMDA ,α- amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionate (AMPA) , dan reseptor kainate. Pada aktivasi AMPA atau reseptor kainate, ion channels

  terbuka dan memungkinkan sodium, potassium, dan hidrogen masuk kedalam sel. Pembengkakan sel terjadi karena pergeseran osmotik cairan dan masuknya sodium dengan cepat dapat mendepolarisasi membran sel. Blok pada tipe reseptor AMPA dan kainate telah memperlihatkan keuntungan pada iskemik fokal dan global hewan percobaan. Aktivasi glutamat pada NMDA reseptor yang membuka kunci ion channel dapat menyebabkan peningkatan kalsium dan sodium (Hatton J, 2001).

  Dalam keadaan normal, aktivasi reseptor NMDA kompleks yang melibatkan ikatan glutamat dan glysin diperlukan depolarisasi sel yang cukup untuk melawan penghambatan dari magnesium. Ketika teraktivasi oleh glutamat, magnesium bergeser dari channel dan memungkinkan secara elektris diisi ion kalsium. Masuknya ion kalsium yang banyak mengubah aktivitas elektris neuron dan stimulasi sinyal konduksi mengaktifkan neuron-neuron yang berdekatan. Ketika transportasi kalsium terjadi secara berlebihan, seperti pada cedera akut dan level glutamat yang cepat meningkat, neuron bengkak dan pecah. Glutamat melebur kembali pada proses ini dan siklus excitotoxicity terus berlansung. Glysine telah diistilahkan sebagai suatu coagonis karena ia berperan dalam memfasilitasi aktivasi glutamat yang teriduksi. Pada model cedera otak diffuse tanpasequele sekunder, glutamat hanya meningkat untuk sementara. Dampak pada model cedera dengan sequele sekunder memperlihatkan peningkatan cepat glutamat ke dalam cairan ekstraseluler. Meskipun pada pasien dengan cedera otak levelnya 10-50 kali lipat lebih tinggi daripada nontrauma, Peningkatan ini telah diobservasi selama 96 jam pascacedera otak. Sejumlah target obat pada tempat ikatan NMDA glisine dan yang memengaruhi pelepasan glutamat presinaptik memperlihatkan neuroproteksi pada hewan percobaan dengan iskemik dan cedera axonal diffuse. Reseptor opoid- κ agonis terlihat menekan pelepasan glutamat presinaptik dan telah diperiksa secara klinis.Modulator presinaptik lainnya adalah termasuk endoline, sodium channel antagonis, dan agonis reseptor adenosine.Glisine antagonis meperlihatkan beberapa potensi dan memunyai toleransi yang baik dibandingakan dengan glutamat antagonis. Glutamat terus menerus menjadi target strategi terapi yang diteliti dan sering digunakan sebagai marker rujukan respon obat (Hatton.J., 2001).

  Bagan. 2. Induksi Glutamate pada Cedera Saraf Akut (Alzheimer, 2002).

2.8.4 Kalsium

  Setiap terjadi iskemik otak, N-type voltage-sensitif calsium channel terbuka.Hal ini memungkinkan kalsium dan sodium masuk ke dalam terminal neuron yang cedera.Peningkatan kalsium intraseluler memberi konstribusi terhadap depolarisasi membran dan kerusakan saraf terminal. Dalam kondisi normal, kalsium di dalam sitosol sel ditranspor keluar sel dengan pompa membrane yang bergantung pada energi atau dibuang oleh mitokhondria dan retikulum endoplasma. Metabolisme seluler diturunkan sehubungan dengan ikatan kalsium dengan membrane mitokhondria dan berlawanan dengan transpor elektron dan produksi ATP. Hilangnya sumber daya energi sel dapat, mengeluarkan sinyal kematian sel dan melapaskan toksin sehingga siklus cedera otak berlansung terus. Phospholipase mengaktifkan sinyal untuk merusak phospholipid dan menghasilkan kerusakan dinding membran sel yang mengandung phospholipide dan juga pada organella interna. Perubahan struktur yang terjadi pada phosphatide, phosphat anorganik, dan asam amino merupakan petanda sudah terjadi pelepasan. Hal ini kemudian memicu mekanisme internal selular untuk siklus kematian sel (Hatton.J., 2001). cedera otak dan menetap selama 24 jam atau lebih.Peningkatan kalsium intraseluler dan bisa mengaktifkan protease netral spesifik kalsium. Kerja protease dapat menyebabkan peningkatan jangka lama pada calpain-induced spectrin degradation breakdown

  products , kerusakan sel dan perubahan tingkah laku. Degradasi yang termediasi kalsium

  dari cytoskleton dianggap menjadi penting pada cedera axonal secara lambat yang mana kerusakan menjadi lebih buruk pada 24 jam pertama pascacedera otak. Actine adalah suatu protein struktur besar polymerase dari bentuk microfilamen yang dapat membatasi masuknya kalsium dari voltage-gated channel atau NMDA. Gelsoline suatu enzyme intraseluler yang menghambat masuknya kalsium lebih banyak lagi. Gelsoline memotong microfilamen dan menggangu fungsi sel normal. Gelsoline juga bisa menjadi mediator apoptosis karena dia secara spesifik diaktifkan oleh caspase-3 sebagai enzyme kunci pada cascade apoptosis (Hatton.J., 2001).

  Fungsi mitokhondria adalah untuk mempertahankan kalsium intraseluler dan perlindungan sel. Kalsium masuk ke dalam sel dengan low capasitor antiporter atau

  electronic uniporter . Pompa mitokhondria mengeluarkan kalsium ketika kadar kalsium

  dalam sitosol tinggi. Masuknya kalsium yang berlebihan setelah aktivasi glutamat pada

  NMDA reseptor menyebabkan cedera sekunder pada neuron. Pada kondisi normal

  mitokhondria terlindungi dari cedera cytotoxic oleh akumulasi kalsium ketika terpapar oleh glutamate. Cyclosporin telah diteliti potensialnya terhadap neuroproteksi karena efeknya pada mekanisme pengangkutan kalsium di mitochondria (Hatton.J., 2001).

2.8.5 Radikal Bebas

  Kerusakan membran phopholipid merupakan kerusakan sekunder terhadap aktivasi phospholipase-C yang dapat menghasilkan spesies radikal bebas yang sangat reaktif. Radikal bebas adalah produk sampingan yang tidak bisa dielakkan dari proses redok transfer-elektron melalui reaksi enzymatik dan nonenzimatik. Enzyme redok paling banyak menghasilkan hidrogen peroksida dalam otak. Pengubahan hidrogen peroksida ke hydroxiyl radikal dikatalisa oleh metal transisi (contoh: besi dan tembaga). Radikal reaktif OH, Lipid peroxyl radikal, thio atau thio-ferro radikal yang merusak sel dengan 1.

  Peroksidasi lemak 2. Oksidasi protein atau proteolysis 3.

   Mengurangi adenosine triphosphate 4.

  Memecahkan DNA

  

Enzyme antioxidant endogen meliputi superoxida dismustase(SOD), Catalase,

gluthation peroxidase dan reduktase, thiol-spesifik antioxidan enzyme, thioredoxin dan protease inhibitor . Antioxidatif seluler ini adalah sistem perlindungan yang secara aktif

  melindungi sel otak dan neuron dari cedera oxidant.Otak mengandung sejumlah besar asam lemak polyunsaturasi, target untuk peroxidase, dan pembentukan species radikal bebas reaktif.Selama iskemik, katekolamin oksidasi, extravasasi oksidasi haemoglobin, neutrophil infiltrasi, dan nitric oxide memberi konstribusi dalam mempercepat produksi radikal bebas.Ketersediaan nitric oxide selama iskemik juga meningkatkan potensial toxisitas dari superoxida radikal. Antioxidan endogen normal, superoxida dismustase,

  catalase dan gluthathion peroxidase tidak dapat sepenuhnya menetralisasi reaksi ini

  dalam keadaan iskemik. Seluruh produksi radikal ini, peroxidasi lemak secara lansung merusak membrane sel dan juga mengubah kontraktilitas vaskuler dan mengurangi aliran darah. Setiap radikal cascade diakhiri, anyaman menyilang di dalam membrane atau dengan komponen sel lain dapat terjadi. Hal ini bisa menyebabkan inflamasi sel, edema, dan merubah sistem enzyme. Perubahan ini memengaruhi permiabelitas seluler dan merubah kemotaxis sehingga menyebabkan kerusakan tidak langsung. Radikal bebas mengawali peroxidasi membrane sel, melibatkan myelin, dikatalisa oleh ion besi bebas yang dilepas oleh hemoglobin, transferin, dan ferritin oleh setiap penurunan PH atau oksigen jaringan (Chieueh.C., 1999).

  Peningkatan induksi kalsium dapat melepaskan radikal bebas dari mitokhondria dan memicu kalsium teraktivasi protease dan lipase. Hal ini menyebabkan degradasi asam arachidonat menjadi phospholipase A2 aktif, lipoxigenase dan COX, dan menyebabkan produksi thromboxan A2, Prostaglandin, dan leukotrine. Hal ini tidak begitu jelas apakah peristiwa ini menyebabkan kerusakan yang sama pada pembuluh darah dan neuron. Nitic

  oxide dihasilkan in vivo pada sel endotelial, astroglia dan sedikit pada neuron dengan

  contohnya, cyclic guadinosine monophosphate (GMP), yang menyebabkan sinyal neurogenik vasodilatasi. NF

  κB dan IL-1 dapat mengiduksi sinyal NOS (iNOS) dapat

  menghasilkan Nitric Oxide. Ada bukti menunjukkan bahwa aktivasi reseptor NMDA bisa meransang pembentukan Nitric Oxide. Nitric oxide telah berakibat pada pelepasan ikatan phosphorilasi oxidatif pada mitokhondria, memicu apoptosis, dan pengurangan produksi energi melalui aktivasi polyadenosin diphosphate (ADP)-ribosesintetase (PARS). Kadar nitrit dan nitrat (produk stabil nitric oxide) dalam CSF meningkat antara 30 dan 42 jam setelah cedera otak manusia. Lubeluzol, yaitu suatu obat yang diteliti dapat menghambat induksi glutamat pada cedera otak dan diusulkan sebagai mekanisme yang terlibat dalam

  patway nitric oxide intraseluler . Nitric oxide adalah sumber untuk produksi radikal bebas

  dan NO. Radikal ini dihasilkan selama iskemik dan secara umum telah dikenal sebagai neurotoxic (Chieueh.C., 1999).

2.8.6 Ekspresi Gen, Sintesa Protein dan Growth Factors

  SSPmemunyai mRNA hampir 30.000 gen dan diperkirakan ada 20.000 protein berbeda di otak. Semua sintesis protein berkurang setelah cedera otak, tetapi urutan mRNA baru diekspresikan dan protein tertentu secara khusus disintesis. Dalam hitungan menit setelah cedera otak, stimulasi glutamat dari NMDA reseptor meningkatkan kalsium intraseluler atau degradasi membran lemak yang memicu up-regulasi kelompok stres protein dan yang melewati area cedera akut. Stress protein (heat-shock protein ) berkerja memobilisasi pertahanan sel dan stabilisasi cytoskleton. Gen tertentu dianggap terlibat dalam dalam respon yang lebih lambat terhadap cedera otak dan efek nya meliputi proteksi dan pencegahan apoptosis. Gen growth factor sudah ada dalam beberapa jam cedera kepala, tetapi produksi protein memerlukan waktu beberapa hari. Banyak neurotrophic growth factor telah diidentifikasi. Selain itu, dikenal dengan baik

  nerve growth factor(NGF). Yang lainnya termasuk Brain- Derivate Neurotrophic Factor(BDNF), Insuline Like Growth Factor-1(IGF-1), Glial Derived Neurotrophic

  Factor(GDNF), dan Neurotrophic Factor-3 ), neurotrophic factror bisa meng up-regulasi

  sintesis protein baru untuk berkerja menguragi efek kerusakan akibat masuknya ion kalsium dalam jumlah banyak yang menyebabkan sekunder injury. Ada bukti dari cedera dari energi yang hilang atau kalsium yang berlebihan. Transmisi growth factor bisa dipengaruhi oleh kerusakan axon setelah cedera otak. Pada manusia dengan cedera otak, kadar sistemik IGF-1 endogen menurun setelah cedera otak dan tetap rendah sampai 14 hari. IGF-1 yang ada sekarang hanya growth factor yang diperiksa secara klinis untuk potensial neuroprotektif nya pada pasien dengan cedera otak (Hatton.J., 2001).

2.9 Strategi Farmakologi Pemilihan Neuroproteksi

  Mekanisme kematian sel hal penting untuk meningkatkan mamfaat ketika dipertimbangkan intervensi target terapi. Mediator inflamasi, cytokine, growth factor, glutamate, dan neurotrasmitter lainnya telah dieksplorasi sebagai tempat yang potensial untuk memutuskan siklus kematian sel setelah cedera otak akut. Obat yang menghambat reseptor untuk mediator ini berusaha memutuskan siklus kerusakan sel yang terus berlangsung dengan cara menghambat sinyal eksternal inflamasi sel. Banyak sekali susunan mekanisme dan mediator-mediator berperan terhadap komplikasi berkembang trauma otak sekunder yang menjadi latar belakang strategi efektif untuk pemilihan obat neuroproteksi. Mekanisme terapi yang berkerja tunggal untuk usaha beberapa multipel proteksi mungkin tidak adequate. Kemungkinan target untuk intervensi adalah termasuk

  antagonis kalsium channels sensitif-voltage, reseptor antagonis NMDA, glysine, atau

reseptor antagonis polyamine , antagonis radikal bebas atau scavengers, modulator

  leukosit, dan growth faktor atau gen terapi. Tantangan terapi meliputi klarifikasi target sinyal yang paling sesuai, waktu pemberian, metode pemberian, dosis optimal yang akan mencapai konsentrasi sistemik atau sentral yang mampu membangkitkan suatu respon yang diinginkan di susunan saraf pusat (Hatton.J., 2001).

  2.9.1 Apoptosis Inhibibisi

  Target obat pada program sel bunuh diri dalam kondisi iskemik meliputi inhibisi

  caspase , inhibisi protein modulator neuronal apoptosis(NAIP, dan inhibisi poly (ADP-

  trauma medula spinalis dan cedera otak. NAIP diekspresikan hampir secara khusus dalam sel saraf dan menghambat aktifitas enzyme caspase-3. Pada stroke hewan percobaan ,

  modulasi NAIP expresi dapat mencegah kematian sel saraf (Hatton.J., 2001).

  .

  2.9.2 Agonis α-Adrenoceptor

  Agonis α2-Adrenoceptor menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah otak dan

  mengurangi ICP pada cedera kepala hewan percobaan. Dexmedotomidine pada tikus percobaan menurunkan volume iskemik 40% walaupun hipotensi dan hiperglikemia telah diobservasi pada beberapa hewan percobaan. Arginin juga telah diberikan pada hewan percobaan ini dan efektivitasnya mengurangi volume kontusio tanpa mengubah

  ICP. Penelitian ini mengesankan bahwa ada terapi alternatif yang bisa diharapkan mengurangi aliran darah otak tanpa memengaruhi hipotensi sistemik untuk mempertahankan tekan perfusi otak (Hatton.J., 2001).

  2.9.3 Agonis cholinergic

  Kadar acetilcholin meningkat pada jaringan otak dan cairan otak setelah cedera otak. Pada penderita yang bertahan hidup, gangguan kognitif mungkin berkaitan dengan penurunan aktivitas choline acethyl transferase karena autopsi specimen dari pasien dengan cedera otak memperlihatkan perlindungan reseptor muscarinik pada tempat ikatannya di temporal kortek. Juga, pengurangan ikatan pada reseptor cholinergic di hipocampus dan batang otak menetap sampai dua minggu setelah cedera otak. Pusat inhibisi selektif acetylcholine estaras dan rivastigmin, dan mempercepat penyembuhan fungsi motorik, perbaikan Morris Water Maze Performance dan dapat mengurangi edema serebri dengan cedera otak. Blok selektif reseptor muscarinik M2 postsynap menggunakan BIBN 99 dalam 24 jam cedera otak dan diteruskan selama 11-15 hari untuk mengurangi defisit kognitif dari pada yang dijumpai pada kontrol. Obsevasi ini menunjukkan pengurangan aktivitas kholinergik yang berperan terhadap sequele nerologis setelah cedera otak (Hatton.J., 2001).

  Bradikinin menyebabkan dilatasi vaskuler otak dan dengan nyata meningkatkan permiabelitas vaskuler otak. Efek dimediasi oleh reseptor bradikinin yang terletak pada endotelium vasculer. Aktivasi reseptor bradikinin-2 memediasi edema otak. LF 160687 adalah reseptor antagonis bradikinin-2 yang jelas mengurangi edema otak pada tempat cedera. Satu penelitian yang menggunakan LF 160687 pada dosis 100

  μ gr/kg/mnt pada tikus dengan edema otak fokal memperlihatkan penyembuhan fungsional yang secara signifikan membaik dalam 6-7 hari. Percobaan klinis dari antagonis kinin Deltibant(CP

  0127) telah sempurna. Dua puluh pasien dengan cedera otak ringan sampai sedang (GCS 9-14) diterapi selama 7 hari dengan Deltibant 3

  μgr/kg/mnt dalam 24-96 jam cedera otak. Kontrol ICP lebih baik dan sedikit menurun pada score GCS dapat terlihat pada kelompok yang menerima dengan plasebo (Pruneau.D., 1999).

2.9.5 Inhibisi Cyclo-Oxygenase-2(COX-2)

  Kadar COX-2 meningkat dalam neuron dan astrocyte setelah cedera otak pada tikus. Inhibisi COX-2 telah memperlihatkan hasil yang beragam. Celecoxib terlihat memperburuk penampilan motorik, tetapi tidak pada fungsi kognitif tes. Nimesulide,

  COX-2 inhibitor lain menurunkan pembentukan prostaglandin E2 pada hypotalamus dan

  jaringan kortek tetapi relatif tidak memunyai efek pada edema otak atau aktivitas fungsional setelah cedera otak pada tikus. Proses inflamasi yang dipicu oleh cedera otak tidak hanya mengaktifasi produksi asam arachidonat, tetapi juga mengaktifasi platelet-

  factor(PAF). Yang terakhir adalah aktifator transkripsional yang dapat diinduksi gen COX-2. Antagonis PAF telah digunakan untuk mengurangi expresi COX-2 setelah cedera

  otak iskemik reperfusi fokal pada hewan percobaan. Pada hewan percobaan prostacycline infus mengurangi volume lesi cortex 45% dibandingkan dengan kontrol. Neuroproteksi ini mungkin berkaitan dengan perubahan microsirkulasi berhubungan dengan vasodilatasi dan efek antiagregasi dari prostaglandin (Pruneau.D., 1999).

  2.9.6 Antagonis Adhesion Molekul Intraseluler

  Pada Citicoline secara alamiah ditemukan senyawa endogen yang dilaporkan dapat memberi efek neuroprotektif setelah iskemik otak. Obat ini terlihat tergantung dan kerusakan sawar darah otak. Efek ini diobservasi pada kasus cedera dan noncedera. Walaupun citicoline tidak memperlihatkan efek yang signifikan pada percobaan klinis stroke (phase II/III) harapan ke depan pada cedera otak akibat trauma masih ada (Hatton.J., 2001).

  2.9.7 Antagonis reseptor NMDA (N-Methyl –D-Aspartate)

  Fokus besar penelitian neuroprotektif ditargetkan pada reseptor NMDA. Pada keadaan normal kompleks reseptor NMDA terlibat dalam proses belajar dan memori. Dengan menghambat proses transduksi sinyal dalam neuron, antagonis NMDA bisa menginduksi halusinasi, phisikosis, dan efek samping CNS lainya pada pasien sadar. Kompetitif antagonis NMDA memunyai affinitas yang tinggi terhadap reseptor glutamate. Secara teoritis obat ini jika diberikan dalam konsentrasi yang cukup, akan menghambat glutamat dari ikatan pada reseptornya dan mencegah pembukaan NMDA channel. Saat ini target baru bentuk modulasi efek glutamat pada reseptor NMDA telah diidentifikasi. Penelitian sekarang menghubungkan usaha untuk mengurangi akumulasi glutamat selama iskemik dengan menghambat kunci enzyme intraseluler, N-acetylated alpha-linked acidic

  dipeptidase (NAALADase). Pendekatan ini potensial menguntungkan secara selektif pada

  tempat di mana glutamat diproduksi berlebihan dari pada keseluruhan otak. Ini bisa diusulkan perbaikan yang substansial dalam profile yang aman modulator glutamat dan tergantung pada bukti lanjut keefektifan setiap penelitian kedepan yang sempurna (Hatton.J., 2001).

  2.9.8 Antagonis Receptor α-Amino-3-Hydroxy-5-Methyl-4- Isoxazolepropionate (AMPA)

  Perkembangan dari antagonis reseptor AMPA baru dimulai. Talampenel (LY

  300164) adalah antagonis selektif nonkompetitif reseptor AMPA dengan spektrum luas

  dan beraktifitas sebagai antikejang. Obat ini memperlihatkan efek anti kejang yang sangat baik pada hewan percobaan dan berpotensial sebagi neuroprotektif setelah cedera otak. Obat ini diabsorbsi dengan pemberian oral dan berinteraksi dengan beberapa obat lain yang dimetabolisme oleh Cytocrome P450 (CYP) 3 A isoenzyme. Percobaan klinis

  2.9.9 Magnesium Sulfate Magnesium mengatur masuknya kalsium ke dalam sel melalui reseptor NMDA.

  Kadar magnesium intraseluler baik yang bebas maupun total lebih rendah pasca cedera otak dan berkorelasi dengan beratnya cedera axon diffuse. Penurunan magnesium bebas dalam sel menetap sampai 4 hari dan akhirnya menurun ke nilai dasar hari ke 6. Pemberian magnesium chlorida 125

  μ mol pada tikus dalam 60 menit dari cedera otak, mampu memperbaiki kadar magnesium terionisasi darah sampai ke nilai dasar dalam waktu 24 jam pasca cedera otak , berkorelasi pada 1-2 minggu dengan perbaikan motorik tetapi tidak mempengaruhi hal yang berkaitan dengan belajar. Waktu pemberian setelah cedera otak penting, ketika magnesium diberikan antara 8-12 jam setelah cedera otak tikus terus memperlihatkan perbaikan motorik. Konsentrasi magnesium terionisasi dalam darah bisa menjadi indikator prognostik motorik outcome. Konsentrasi serum 1,49 mmol/L dan telah memperlihatkan efek neuroprotektif pada penelitian preklinis. Skema dosis pemberian magnesium chlorida 0,5 mmol/kg intravena sebagai loading dose diikuti dengan 0,12 mmol/kg/jam untuk mempertahankan konsentrasi magnesium serum 2 mmol/l (Hatton.J., 2001).

  2.9.10 Dexanabinol Dexanabinol (HU 211) adalah nonpsychotropic sintetis cannabinol dengan sifat

  farmakologi yang sama dengan non kompetitif antagonis reseptor NMDA; walaupun ia

  stereoselective inhibisi reseptor. Mekanisme lain dari neuroprotektif telah ditemukan

  dengan obat ini yang meliputi scavenging dari peroxide, hydroxi radikal dan dapat menghambat produksiTNFα pada tikus cedera otak tertutup. Injeksi tunggal yang diberikan pascacedera otak menghasilkan perbaikan fungsional jangka panjang dan meningkatkan ketahanan hidup neuronal pada hewan percobaan dengan kerusakan otak karena iskemik. Pada tahun 2000, 101 pasien penelitian fase II telah sempurna.Dexanabinol pada psienmemperlihatkan efektif yang terbatas pada hipertensi intrakranial dalam episode 4 jam pascacedera otak. Obat diberikan dalam 6 jam cedera otak dengan dosis 48 mg, 150 mg dan 200 mg (Hatton.J., 2001).

  Stratrienes

  2.9.11 Estradiol secara lokal dibentuk di jaringan saraf dan ekspresi dipengaruhi dalam

  astrocyte setelah cedera otak.Estrogen telah dilaporkan memberikan beberapa tingkat neuroprotektif melawan induksi toxisitas glutamat dan juga melawan neurotoxisitas akibat induksi amyloid peptida. Walaupun mekanisme pasti tidak diketahui, downn-

  regulasi pembentukan jaringan gliosis telah diobservasi.Efek ini menyebabkan akumulasi

  astrocyte pada daerah cedera otak lebih rendah.Estratrienes adalahsalah satu kelas baru neurosteroid yang telah dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai neuroprotektif potensial (Hatton J, 2001).

  2.9.12. Antagonis Kalsium

  Peran terpadu kalsium dalam memicu sejumlah besar urutan yang berperan utama terhadap cedera otak sekunder secara alamiah menyebabkan penelitian berbagai target terapi mediator ini. Penelitain awal diperiksa antagonis spesifik channel-kalsium, yaitu Nimodipine suatu antagonis kalsium channel type-L.Obat ini dijumpai lebih berproteksi pada pasien dengan perdarahan subarachnoid berkaitan dengan cedera otak, walaupun hasilnya masih diperdebatkan. Fase I penelitain aman telah lengkap dengan DP

  b 99 , prodrug kalsium chelator BEPTA. Ziconotide (SNX 111/CI 1009) bekerja pada

presinaptik kalsium channel type –N untuk menghambat ransangan pelepasan

  neurotransmitter pasca cederaotak, pada tikus percobaan obat ini efektif menurunkan akumulasi kalsium (Hatton.J., 2001).

  2.9.13 LOE 908 LOE 098 adalah senyawa baru yang memunyai spektrum luas dan yang

  menghambat voltage- and store-operated cation channels controlling intracellular

  calcium levels . Penelitian sebelumnya telah memperlihatkan perbaikan fungsi motorik dengan obat ini, tetapi tidak ada perbaikan pada test kognitif (Hatton.J., 2001).

  2.9.14 MS 153 MS 153 yaitu suatu obat yang diteliti baru-baru ini dijelaskan memungkinkan

  Mekanisme kerjanya kurang dapat dipahami, mekanisme kerja obat ini juga menurunkan kadar glutamate ekstraseluler. Kerjanya pada protein kinase-C menunjukkan sebagai hal yang memberikan kontribusi pada kerja dari MS 153 (Hatton.J., 2001).

  2.9.15 Cyclosporine Cyclosporin dapat mencegah kematian sekunder sel saraf dengan menghambat

  pembukaan pori dan pencegahan keluarnya kalsium. Cyclosporin secara luas digunakan sebagai obat immunosupressi yang menghambat aktivasi lymphosit-T dan memunyai peran multiple penting dalam regulasi sel saraf.Bukti penelitian pada hewan percobaan menunjukkan efek protektif pada cedera saraf.Cyclosporin diberikan pada kelinci dan tikus setelah kontussio kortek berat, yaitu penurunan cedera saraf sampai 50%. Sifat

  psychochemical cyclosporin penetrasi ke CNS yang terbatas adalah dalam keadaan

  psychological normal. Meskipun demikian, sawar darah otak terganggu setelah cedera otak. Hasil dari penelitian telah terindikasi bahwa rentang waktu intervensi terapi adalah paling cepat dan bahkan selambat-lambatnya 24 jam. Pemberian pascacedera otak cyclosporin menghasilkan pengurangan signifikan(40%) volume lesi (Hatton.J., 2001).

  2.9.16 Antioxidants

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN - Analisis Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisisi Sebelum dan Sesudah Akuisisi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2010

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat - Penetapan Kadar Campuran Parasetamol Dan Ibuprofen Pada Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Derivatif Dengan Zero Crossing

0 1 14

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet

0 0 17

BAB II PROFIL PT. PLN (Persero) - Sistem Informasi Penagihan Tunggakan dan Pelunasan Rekening Listrik di PT. PLN (Persero) Rayon Johor

1 2 14

BAB II GAMBARAN UMUM KPP PRATAMA MEDAN BELAWAN - Mekanisme Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Belawan

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Mekanisme Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Belawan

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

BAB II PELAKSANAAN SERTIFIKASI HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI AJUDIKASI PASCA BENCANA TSUNAMI A. Pengertian dan Dasar Hukum Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Band

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Banda Aceh

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Gliserol Tribenzoat Dengan Proses Esterifikasi Menggunakan Katalis H-Zeolit Teraktivasi Oleh Asam Sulfat

0 1 17