Hukum tata usaha negara. dco

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun masa pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia
mengalami suatu kondisi dimana terjadi pemusatan/ sentralisasi dan penyeragaman dalam sistem
pemerintahan. Seruan- seruan untuk kehidupan yang demokratis diabaikan oleh penguasa. Segala
proses pengambilan kebijakan publik berada di tangan kaum elit politik. Pemerintah menjadi
sangat berkuasa sehingga melahirkan kesewenang- wenangan/ otoriter dan cenderung represif.
Keberhasilan di bidang pembangunan dan ekonomi membuat pemerintah pusat semakin percaya
kepada sistem sentralisasi dan penyeragaman. Birokrasi pun dirancang untuk berkiblat dan
memenuhi kebutuhan pemerintah pusat sehingga menjadi tidak inovatif dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat. Hal tersebut berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah ketika
terjadi krisis ekonomi tahun 1997, disaat pemerintah pusat mengalami keterbatasan ternyata
birokrasi menjadi kelimpungan untuk menopang peran pusat. Kegagalan- kegagalan pemerintah
untuk mengatasi krisis tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi menurun.
Kondisi tersebut menunjukkan kerapuhan sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga
diperlukan perubahan kepemimpinan dan reformasi di segala bidang kehidupan.
Di era reformasi, ketika kebijakan desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi,
masyarakat masih tetap pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik- praktik
negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah daerah,
peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan warga masyarakat dan sulitnya ber

investasi karena rumitnya proses perijinan. Intinya, permasalahan yang terjadi tidak banyak
berubah yaitu buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance).
Buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan
menjadi sulit dilakukan;
2. Terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme);
3. Rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di
berbagai bidang.
1

Selain pendapat diatas, buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari:
1. Penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya praktek KKN,
2. Rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur;
3. Sistem kelembagaan (organisasi) dan tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum
memadai;
4. Rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja;
5. Rendahnya kualitas pelayanan umum;
6. Rendahnya kesejahteraan PNS;
7. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan dan tuntutan pembangunan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hukum tata pemerintahan negara?
2. Apa sumber hukum dari hukum tata pemerintahan negara?
3. Apa objek dan subjek hukum dari hukum tata pemerintahan negara?
4. Bagaimana

bentuk-bentuk kegiatan

pemerintah

berkaitan

dengan Hukum tata

pemerintahan negara?
5. Bagaimana proses penyelesaian kasus Hukum tata pemerintahan negara?

2

BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Tata Pemerintahan Negara
PENGERTIAN TATA PEMERINTAHAN
Masyarakat umum dengan kata “Tata Pemerintahan” itu tidak akan mungkin salah
mengartikan bahwa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menyangkut masalah kewenangan
seseorang pejabat/aparat pemerintah pusat maupun daerah dalam melaksanakan tugas
kewajibannya.
Menurut Taliziduhu Ndaraha dalam bukunya Kybernologi mengemukakan tentang
definisi tata pemerintahan sebagai berikut:
“Tata Pemeritahan adalah peranan diri pemerintah secara horizontal (fungsionalisasi dan
departemenisasi) dan vertikal. Horizontal antar DPR, Presiden, Wakil Presiden. Secara vertikal
berupa pembagian wilayah Republik Indonesia beberapa tingakatan wilayah yaitu Provinsi,
Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan, desa dan kelurahan” (Ndraha,1999:65)
Sementara itu menurut Prof. H. J. Logemen yang dikutip oleh Sumber Saparin
mengemukakan bahwa:
“Tata Pemerintahan adalah keseluruhan pranata hukum yang digunakan sebagai landasan
untuk menjalankan kegiatan pemerintah dalam arti khusus ialah pemerintahan dalam negeri dan
dapat juga disebut sebagai “bestuursreach” atau hukum tata negara dalam arti sempit.”
(Saparin,1986:22)
Dalam hal ini sesuai dengan Hukum Tata Pemerintahan tersebut, Tata Pemerintahan ialah

mencangkup semua pranata mengenai susunan organisasi, tata kerja, formasi aparaturnya, tugas,
kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, serta hubungan kerja dari pada badan-badan
pemerintahan (Pemerintah Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II).
Luas bidangnya meliputi segi sifat hubungan dari pada kegiatan pemerintahan umum,
pelayanan masyarakat masalah perizinan umum, dispensasi, grasi, abolisi dan lain sebagainya.
Sedangkan mengenai ruang lingkup tata pemerintahan, ialah masuk dalam sistem hukum
administrasi negar

3

Hukum tata pemerintahan mempunyai pengertian/ definisi antara lain:
1. Pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum yang mengatur negara dalam keadaan bergerak, yaitu hubungan yang
timbul dari kegiatan administrasi antara bagian- bagian negara dan antara negara
dengan masyarakat.
2. Pendapat R. Soeroso, S.H:
Hukum yang mengatur susunan dan kekuasaan alat perlengkapan Badan Umum
atau hukum yang mengatur semua tugas dan kewajiban dari pejabat- pejabat
pemerintah didalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
3. Pendapat J.M Baron de Gerando:

Hukum yang mengatur hubungan timbal- balik antara pemerintah dan rakyat.
4. Pendapat C. van Vollenhoven:
Merupakan pembatasan terhadap kebebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan
bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah; akan tetapi untuk sebagian besar
hukum administrasi megandung arti pula, bahwa mereka yang harus taat kepada
pemerintah menjadi dibebani pelbagai kewajiban yang tegas bagaimana dan
sampai dimana batasnya, dan berhubung dengan itu, berarti juga, bahwa
wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.
B. Sumber Hukum Tata Pemerintahan Negara
Sumber Hukum Tata Pemerintahan, diantaranya adalah:
 Undang-Umdang yang mengatur kehidupan pemerintahan, misalnya:
- UU No 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
- UU No 28 Tahun 1999, tentang penyelenggaran negara yang bersih dari KKN.
- UU No 8 Tahun 1974 jo UU No 43 Tahun 1999, tentang kepegawaian.
 Keputusan pejabat negara dan pejabat pemerintahan.
 Yurisprudensi yang berkaitan dengan pemerintahan.
 Doktrin atau pendapat para ahli hukum pemerintahan.

4


C. Objek Hukum Tata Pemerintahan Negara


OBJEK HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAERAH
Kajian Hukum Tata Pemerintahan mencakup dua aspek yaitu aspek yang luas dan sempit.

Kedua aspek itu melihat Hukum Tata Pemerintahan dari fokus perhatian yakni obyek
penelitiannya. Aspek yang Luas: melihat Hukum Tata Pemerintahan sebagai sebagai obyek yang
berorientasipada pengertian Hukum Tata Pemerintahan yang identik dengan lapangan tugas
pemerintahan sedangkan obyek yang sempit adalah yang tidak identik.
Idendifikasi sedemikian ini, maka pemberian Pengertian hukum Tata Pemerintahan terbagi
dalam 2 (dua) pengertian yaitu :
1. Hukum Tata Pemerintahan Heteronom adalah semua aturan hukum yang mengatur tentang
organisasi pemerintahan negara. Hukum Tata Pemerintahan yang merupakan bagian dari hukum
Tata Negara.
2. Hukum Tata Pemerintahan Otonom adalah aturan-aturan hukum yang dibuat oleh aparat
pemerintah yang sifatnya istimewa, baik aturan yang sifatnya sepihak maupun aturan yang
bersifat dua pihak. atau hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah atau oleh para administrasi
negara.
Hukum Tata Pemerintahan Heterenom dalam kajiannya berada pada konteks tugas-tugas

pemerintah berkaitan dengan akibat-akibat hukum yang ditimbulkannya, termasuk didalamnya
aspek hukum dalam kehidupan organisasi pemerintahan seperti organisasi pemerintahan negara
dalam hal hubungan hukum lembaga-lembaga negara dan berbagai kompetensi hukum
kelembagaan organisasi pemerintahan negara; organisasi pemerintahan daerah dalan kaitan
hukum otonomi daerah; dan akibat-akibat hukum dalam organisasi pemerintahan desa dan
kelurahan. Juga menyangkut aspek hukum dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan
pemerintah dengan warga yang diayomi atau penyelesaian suatu sengketa akibat dari suatu
perbuatan pemerintah.
Sedangkan Hukum Tata pemerintahan yang Otonom adalah adalah hukum yang dibuat dan
atau diciptakan oleh aparatur pemerintah dalan rangka pelaksanaan tugas seperti; Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota.
Dalam mempelajari Hukum Tata Pemerintahan Heteronom akan terkait aspek hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, sementara penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan
ditentukan oleh tipe negara.
5

Pada tipe welfare state (negara kesejahteraan), lapangan pemerintahan semakin luas. Hal ini
disebabkan semakin luasnya tuntutan campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat.
Tugas pemerintah dalam tipe negara demikian ini, oleh Lemaire (1952) disebut sebagai
Bestuurzorg. Ini dimaksudkan bahwa dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum, kepada

aparatur pemerintah memiliki hak istimewa yang disebut Freies Ermessen, yaitu kepada aparatur
pemerintah diberikan kebebasan untuk atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna
menyelesaikan persoalan yang mendesak dan peraturan penyelesaiannya belum ada. Dengan hak
yang demikian itu maka aparatur pemerintah dapat membuat peraturan yang diperlukan. Dari sini
terlihat bahwa dengan hal istimewa menyebabkan fungsi aparatur pemerintah dalam Wefare State
ini bukan saja berfungsi sebagai badan eksekutif tetapi juga sudah berfungsi sebagai badan
legilatif. Sebagai konsekwensinya di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hak ini pun diakui, di
dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa kepada Presiden diberikan hak untuk menetapkan
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Fungsi Presiden sebagai kepala eksekutif melakukan perbuatan dibidang legislatif, yang
dalam Tata Negara disebut delegasi perundang-undangan, dengan tujuan : mengisi kekosongan
dalam undang-undang, mencegah kemacetan dalam bidang pemerintahan, dan para aparatur
pemerintah dapat mencari kaidah-kaidah baru dalam lingkungan undang-undang atau sesuai
dengan jiwa undang-undang.
Didalam Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dipelajari pula hal-hal yang menyangkut
leability, responsibility dan accountability. Leability menuntut tanggung jawab aparatur
pemerintah terhadap hukum. Artinya dalam melaksanakan tugas para aparatur pemerintah
dituntut untuk berbuat sesuai aturan hukum yang berlaku, dituntut untuk mempertahankan
keberlakukan aturan hukum. Begitu pula dengan responsibility para aparatur pemerintah dituntut
tanggung jawabnya dalam pelaksanaan tugas dalam batas-batas pendelegasian wewenangan yang

pada gilirannya dapat melahirkan hubungan hukum antara yang memberi dan menerima
wewenang. Accountability menunut para aparatur negara bertanggung jawab atas segala kegiatan
dan tugas yang diemban. Di dalam kerangka itulah maka konteks hubungan hukum terjelma
dalam tuntutan dan realisasi tuntutan.
Ketiga hal tersebut ini bukan saja menjadi suatu keharusan dimiliki oleh setiap aparatur
pemerintah tetapi justru menjadi dasar dari kekuasaan para aparatur pemerintah di dalam berbuat
dan bertindak. Kalau berbicara tentang kekuasaan aparatur pemerintah, maka sumber kekuasaan
6

berasal dari sumber kekuasaan yang tertinggi yang ada pada setiap negara. Kekuasaan demikian
itu diartikan sebagai kedaulatan yang ada pada setiap negara. Kekuasaan yang berasal dari
kedaulatan adalah disebut kekuasaan publik yaitu suatu kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh
siapapun kecuali melalui aturan hukum yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa. Aturanaturan yang sifatnya istimewa inilah yang menjadi isi dari aturan Hukum Tata Pemerintahan baik
itu dalam konteks yang heteronom maupun dalm konteks yang otonom.
Dalam konteks yang heteronom, isi Hukum Tata Pemerintahan adalah aturan-aturan hukum
yang mengatur tentang organisasi pemerintahan negara mulai dari tingkat pemerintah pusat
sampai pada tingkat pemerintahan desa dan kelurahan termasuk didalamnya kaitan atas hal-hal
tersebut diatas. Sedangkan dalam konteks yang otonom, maka isi Hukum Tata Pemerintahan
adalah aturan-aturan hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah baik itu bersifat pengaturan
sepihak sebagaimana ketetapan maupun pengaturan dua pihak sebagaiaman telah dijelaskan

sebelumnya. Semua aturan yang dimaksud adalah bersifat istimewa atau yang bersifat khusus.


SUBJEK HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAERAH
Subyek hukum dimaksudkan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Tidak semua orang

atau benda dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Hanya mereka yang cakap itulah yang
disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban. Kecakapan untuk menjadi pendukung hak dan
kewajiban adalah diartikan sebagai kewenangan hukum, yang oleh J.L. Van Apeldorn (1983)
dimaksudkan sebagai sifat yang diberikan oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki mereka,
untuk siapa diberikan oleh hukum.
Untuk jelasnya masing-masing subyek disebutkan diatas, dibawah ini secara berturutturut akan diuraikan pengertiannya sebagai berikut :
1. Pegawai Negeri
Berangkat dari Undang-undang No.8 tahun 1974 pasal 1 ayat (a) maka yang dikatakan pegawai
negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundangan yang berlaku diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu
peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Jabatan
7


Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak
seseorang pegawai dalam rangka susunan suatu satuan organisasi. Kalau kedudukan itu berada
dalam lingkup pemerintahan, maka jabatan yang dimaksud adalah jabatan negeri. Jabatan negeri
adalah jabatan yang mewakili pemerintah.
Sedangkan dimaksudkan dengan badan negara misalnya karena keanggotaan seseorang di dalam
lembaga-lembaga negara. Keanggotaan pada badan negara di bidang eksekutif disebut
departemen pada tingkat tertinggi dan jawatan pada tinggkat di bawahnya.
3. Jawatan, Dinas dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
Jawatan adalah kesatuan organisasi aparatur pemerintahan yang mencakup tugas pemerintahan
yang bulat dan merupakan kesatuan anggaran negara tersendiri. Sebagai subyek hukum, maka
hak yang dimiliki jawatan adalah memiliki dan menguasai kekayaan negara/daerah. Dan oleh
sebab itu ia berkewajiban memeliharanya dan menyimpannya. Dalam kaitan itu setiap barang
yang dibeli dipergunakan dan disimpan oleh jawatan selalu dicantumkan pada barang itu lebel
yang bertuliskan “Milik Negara”.Dan pembelian barang dilakukan atas nama negara.
4. Daerah-Daerah Swapraja Dan Daerah Swatantra
Daerah adalah suatu kesatuan wilayah dalam organisasi negara yang karena kelahirannya
disebabkan mungkin didasarkan atas hak swapraja yang diakui ataukah karena hak otonom
diperolehnya. Sebagai kesatuan wilayah di dalam perkembangannya ia berhak mengurus dan
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam wilayah kekuasaan negara. Dengan
haknya demikian itu ia berkewajiaban menyelenggarkan kepentingan umum.
5. Negara
Negara adalah organisasi dari sekumpulan rakyat yang mendiami wilayah tertentu dan
diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan kedaulatan yang diperolehnya dan dimilikinya.
Dalam kedudukannya sebagai subyek hukum maka negara berhak melindungi, mengurus dan
mengatur dirinya sebagai organisasi sehingga pada gilirannya ia berkewjiban mencapai tujuan
yang ditetapkan. Dan sebagai subyek hukum maka sumber hak dan kewajibannya bersumber dari
lapangan hukum publik sehingga cakupannya luas dan menyeluruh dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan umum (publik).

8

D. Bentuk-bentuk kegiatan pemerintah berkaitan dengan Hukum tata pemerintahan
negara
1. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa
pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Abolisi (bahasa latin, abolitio) merupakan penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan
putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah. Tindakan
penghapusan atau pembatalan, ini merupakan sarana praktek yang ada hukum.

[2]

Abolisi adalah

hak yang dimiliki kepala negara yang berhak untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan
menghentikan jika telah dijalankan (pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002). [1] Hak abolisi
diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2) UUD 1945).[1]
3. Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif. Grasi
adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan
hukuman sama sekali. Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat hukuman mati
dikurangi menjadi bebas dari hukuman sama sekali . Di Indonesia, grasi merupakan salah satu
hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan.
E. Proses Penyelesaian Kasus Hukum Tata Pemerintahan Negara
Analisis Kasus Grasi di Indonesia
Tidak mudah memahami keputusan Presiden SBY memotong masa hukuman
terpidana kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Bukan hanya tak
mudah, keputusan yang tertuang dalam Kepres 22/2012 itu juga membingungkan
karena tidak tidak disertai kejelasan alasan dalam hubungan bilateral kedua negara
yang bersifat resiprokal atau timbal balik. “Harusnya didahului dengan ikatan
perjanjian saling menguntungkan atau untuk pertukaran kepentingan yang tepat antar
kedua belah pihak, sehingga tidak menunjukkan kebingungan maupun kelemahan RI
terhadap

grasi

tersebut,”

Dalam

sebuah

Sidang

Kabinet

di

tahun

2011

Menkopolhukam Djoko Sujanto menyatakan bahwa Presiden SBY tidak akan
9

mengampuni para terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali atas
pertimbangan kemanusiaan. Itupun akan diberikan kepada narapidana yang berusia di
atas 70 tahun Corby tertangkap basah di Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober
2004, Corby kedapatan menyelundupkan 4,2 kilogram narkoba jenis ganja atau
mariyuana. Sepanjang penyelidikan dan di pengadilan, mantan pelajar kecantikan
yang ayah kandungnya, Michael Corby, pernah terseret kasus peredaran ganja pada
awal 1970-an itu, tak pernah mengakui perbuatannya hingga akhirnya dijatukan
pidana 20 tahun penjara. “Karenanya, kasus grasi Corby ini terbilang aneh, sekaligus
hanya mempertontonkan kebingungan RI di hadapan rakyatnya serta di mata negara
lain, yang bersikap keras dalam menghukum kejahatan narkoba,” sikap pemerintahan
SBY yang melempem dalam menangani kasus Corby akan semakin memperparah
ketidakberdayaan RI dalam memberantas kejahatan internasional di bidang narkotika
dan sejenisnya. “Itu karena kita selalu mudah membungkuk pada tekanan pihak
tertentu, yang kemudian membuat sikap politik ataupun penegakan hukum jadi kacaubalau serta sekadar dijadikan olok-olokan berbagai pihak
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang
sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana
yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai
dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui[8].
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus
dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan
ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam
implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi
masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan
hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung
hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus
melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang
besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada
kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan
10

Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan
hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai
acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum
nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.
Keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam pembentukan dan penerapan
hukum di Indonsia. Sebagian besar putusan hakim pengadilan negeri (Vonis) selalu
mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat. Rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap Pemerintah sebagai lembaga pembentuk dan pelaksana hukum,
menyebabkan eksistensi cita hukum keadilan pancasila dipertanyakan. Dalam
pandangan masyarakat, sebagian besar pelaksanaan hukum selalu dianggap tidak adil,
sementara kebanyakan akademisi non-hukum, menganggap hukum sebagai faktor
penghambat proses pembangunan. Sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh berbagai aliran pemikiran filsafat hukum yang berkembang jauh sebelum
kemerdekaan. Dalam filsafat hukum, dikenal beberapa aliran atau mazhab. Semua
aliran hukum tersebut memberikan warna dalam perkembangan sistem hukum pada
negara-negara modern, termasuk Indonesia.
Di satu sisi, hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara karena keberadan
hukum sebagai perangkat untuk mencapai tujuan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan
Negara yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi
lain, aspek keadilan dalam sistem hukum nasional selalu menjadi bahan perdebatan diantara ahli
hukum, politisi, dan masyarakat. Substansi hukum, pelaksanaan dan penegakan hukum dianggap
tidak adil. Faktor ketidakadilan selalu memunculkan ide tentang arah pembangunan hukum
nasional yang progresif demi pencapaian tujuan pembangunan masyarakat yang damai dan
sejahtera.
A. Pengertian Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah
diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden. Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi

11

yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi olehPresiden dapat berupa :
ü peringanan atau perubahan jenis pidana;
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.

B. Prosedur Penerimaan Permohonan Grasi
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat
diajukan permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh:
1. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.
2. Keluarga Terpidana dengan persetujuan Terpidana.
3.

Keluarga Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang
dijatuhkanadalah pidana mati.

Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati, pidana
seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun. Permohonan grasi tidak
dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden melalui
Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk
diteruskan kepada Mahkamah Agung. Dalam hal permohonan grasi diajukan oleh
Terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya disampaikan
melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat 7 ( tujuh ) hari sejak
diterimanya permohonan clan salinannya, berkas perkara Terpidana dikirim kepada
Mahkamah Agung.
Panitera wajib membuat Akta penerimaan Salinan Permohonan Grasi,
selanjutnya berkas perkara beserta permohonan grasi dikirimkan kepada Mahkamah
Agung. Apabila permohonan grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta
Penolakan Permohonan Grasi.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
penerimaan salinan permohonan grasi, Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan salinan
permohonan dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung. Salinan Keputusan Presiden
12

yang diterima oleh Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, dicatat oleh
Petugas dalam buku register induk, dan diberitahukan oleh Panitera kepada Terpidana
dengan membuat Akta Pemberitahuan keputusan Grasi.
Berkas perkara yang diajukan kepada Presiden harus dilengkapi dengan suratsurat sebagai berikut:
1. Surat pengantar,
2. Daftar isi berkas perkara,
3. Akta berkekuatan hukum tetap,
4. Permohonan grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi,
5.

Salinan Permohonan grasi dari Terpidana dan Akta penerimaan
salinanpermohonan grasi,

6.

Surat kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk
keluargadari Terpidana (jika ada),

7. Berita Acara Sidang,
8. Putusan Pengadilan tingkat pertama,
9. Putusan Pengadilan tingkat banding (jika ada),
10. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi (jika ada),
11. Surat dakwaan,
12. Eksepsi, dan putusan sela (jika ada),
13. Surat tuntutan,
14. Pembelaan, Replik, Duplik (jika ada),
15. Surat penetapan penunjukan Hakim,
16. Surat penetapan hari sidang,
17. Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan,
18. Surat-surat lain yang berhubungan dengan berkas perkara.
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan
permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut
tidak

terlalu

lama,

maka

permohonan

peninjauan

kembali

dikirim

terlebih

dahulu.Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal:
a.

Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2
(dua) tahun sejak tanggal penolakan grasinya.
13

b.

Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 ( dua ) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima[1]ᄃ.

C. Prinsip Dalam Mengajukan Dan Menyelesaikan Permohonan Grasi Antara Lain:
Analisis Kasus Grasi di Indonesia
Tidak mudah memahami keputusan Presiden SBY memotong masa hukuman terpidana kasus
narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Bukan hanya tak mudah, keputusan yang tertuang
dalam Kepres 22/2012 itu juga membingungkan karena tidak tidak disertai kejelasan alasan
dalam hubungan bilateral kedua negara yang bersifat resiprokal atau timbal balik. “Harusnya
didahului dengan ikatan perjanjian saling menguntungkan atau untuk pertukaran kepentingan
yang tepat antar kedua belah pihak, sehingga tidak menunjukkan kebingungan maupun
kelemahan RI terhadap grasi tersebut,” Dalam sebuah Sidang Kabinet di tahun 2011
Menkopolhukam Djoko Sujanto menyatakan bahwa Presiden SBY tidak akan mengampuni para
terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali atas pertimbangan kemanusiaan. Itupun
akan diberikan kepada narapidana yang berusia di atas 70 tahun Corby tertangkap basah di
Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004, Corby kedapatan menyelundupkan 4,2 kilogram
narkoba jenis ganja atau mariyuana. Sepanjang penyelidikan dan di pengadilan, mantan pelajar
kecantikan yang ayah kandungnya, Michael Corby, pernah terseret kasus peredaran ganja pada
awal 1970-an itu, tak pernah mengakui perbuatannya hingga akhirnya dijatukan pidana 20 tahun
penjara. “Karenanya, kasus grasi Corby ini terbilang aneh, sekaligus hanya mempertontonkan
kebingungan RI di hadapan rakyatnya serta di mata negara lain, yang bersikap keras dalam
menghukum kejahatan narkoba,” sikap pemerintahan SBY yang melempem dalam menangani
kasus Corby akan semakin memperparah ketidakberdayaan RI dalam memberantas kejahatan
internasional di bidang narkotika dan sejenisnya. “Itu karena kita selalu mudah membungkuk
pada tekanan pihak tertentu, yang kemudian membuat sikap politik ataupun penegakan hukum
jadi kacau-balau serta sekadar dijadikan olok-olokan berbagai pihak
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah
peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan
manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya
didunia telah diakui.
14

Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan
panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki
dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum
mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan
bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book)
dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya.
Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses
hukum yang tidak adil.
Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar
dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan
lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat
dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan
pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam
sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.
Keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam pembentukan dan penerapan hukum di
Indonsia. Sebagian besar putusan hakim pengadilan negeri (Vonis) selalu mendapat reaksi
perlawanan dari masyarakat. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah
sebagai lembaga pembentuk dan pelaksana hukum, menyebabkan eksistensi cita hukum keadilan
pancasila dipertanyakan. Dalam pandangan masyarakat, sebagian besar pelaksanaan hukum
selalu dianggap tidak adil, sementara kebanyakan akademisi non-hukum, menganggap hukum
sebagai faktor penghambat proses pembangunan. Sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh berbagai aliran pemikiran filsafat hukum yang berkembang jauh sebelum kemerdekaan.
Dalam filsafat hukum, dikenal beberapa aliran atau mazhab. Semua aliran hukum tersebut
memberikan warna dalam perkembangan sistem hukum pada negara-negara modern, termasuk
Indonesia.
Di satu sisi, hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara karena
keberadan hukum sebagai perangkat untuk mencapai tujuan kehidupan masyarakat sesuai dengan
tujuan Negara yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di
sisi lain, aspek keadilan dalam sistem hukum nasional selalu menjadi bahan perdebatan diantara
ahli hukum, politisi, dan masyarakat. Substansi hukum, pelaksanaan dan penegakan hukum
dianggap tidak adil. Faktor ketidakadilan selalu memunculkan ide tentang arah pembangunan
15

hukum nasional yang progresif demi pencapaian tujuan pembangunan masyarakat yang damai
dan sejahtera.
Pengertian Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan
oleh hakim. Dengan kata lain, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden. Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pemberian grasi olehPresiden dapat berupa :
ü peringanan atau perubahan jenis pidana;
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
Prosedur Penerimaan Permohonan Grasi
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan
permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh:
1. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.
2. Keluarga Terpidana dengan persetujuan Terpidana.
3.

Keluarga Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah

pidana mati.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati, pidana seumur hidup
dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang
waktu. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Dalam hal permohonan grasi diajukan oleh Terpidana yang sedang menjalani pidana,
permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, untuk
diteruskan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan paling
lambat 7 ( tujuh ) hari sejak diterimanya permohonan clan salinannya, berkas perkara Terpidana
dikirim kepada Mahkamah Agung.

16

Panitera wajib membuat Akta penerimaan Salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas
perkara beserta permohonan grasi dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Apabila permohonan
grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan Permohonan Grasi.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan
salinan permohonan grasi, Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas perkara kepada Mahkamah Agung. Salinan Keputusan Presiden yang diterima oleh
Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, dicatat oleh Petugas dalam buku register
induk, dan diberitahukan oleh Panitera kepada Terpidana dengan membuat Akta Pemberitahuan
keputusan Grasi.
Berkas perkara yang diajukan kepada Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat sebagai
berikut:
1. Surat pengantar,
2. Daftar isi berkas perkara,
3. Akta berkekuatan hukum tetap,
4. Permohonan grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi,
5. Salinan Permohonan grasi dari Terpidana dan Akta penerimaan salinanpermohonan grasi,
6. Surat kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk keluargadari Terpidana
(jika ada),
7. Berita Acara Sidang,
8. Putusan Pengadilan tingkat pertama,
9. Putusan Pengadilan tingkat banding (jika ada),
10. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi (jika ada),
11. Surat dakwaan,
12.

Eksepsi, dan putusan sela (jika ada),

13. Surat tuntutan,
14. Pembelaan, Replik, Duplik (jika ada),
15. Surat penetapan penunjukan Hakim,
16. Surat penetapan hari sidang,
17. Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan,
18. Surat-surat lain yang berhubungan dengan berkas perkara.

17

Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan
peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama,
maka permohonan peninjauan kembali dikirim terlebih dahulu.Permohonan grasi hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal:
a.

Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal penolakan grasinya.

b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup
dan telah lewat waktu 2 ( dua ) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi d
iterima.
Prinsip Dalam Mengajukan Dan Menyelesaikan Permohonan Grasi Antara Lain:
1. Grasi merupakan hak prerogatif Presiden yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memberikan ampunan kepada seorang terpidana.
Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan
penilaian terhadap putusan hakim, meskipun pemberian grasi dapat mengubah, meringankan,
mengurangi, atau menghapuskanm kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan tidak
berarti menghilangkan kesalahan atau merehabilitasi terpidana.
2. Permohonan grasi kepada Presiden merupakan hak terpidana yang dijamin oleh undangundang untuk memperoleh ampunan Presiden yang dapat berupa:
ü peringanan atau perubahan jenis pidana;
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
3. Saat pengajuan permohonan grasi dilakukan sejak putusan pegadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian akan status dan kesalahan
yang melatarbelakangi seseorang mengajukan grasi.
4. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh pemohonkepada Presiden dan salinannya
disampaikan kepadapengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertamauntuk diteruskan
kepada Mahkamah Agung. Hal inidimaksudkan untuk mempercepat proses penyelesaian
permohonan grasi.
5. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh :
ü terpidana;
18

ü kuasa hukum terpidana;
ü keluarga terpidana;
ü Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan
ü Kepala pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pemberian hak pengajuan grasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepala
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama merupakan langkah antisipasi dari
kemunginan terpidana mati atau kuasa hukunya atau keluarga terpidana mati tidak mengajukan
grasi. Hal ini sebagai upaya negara dalam pemenuhan hak terpidana yang secara kodrati diakui
sekalipun telah dijatuhi hukuman mati.
6. Setelah keputusan hakim memperoleh kekuatan hokum tetap pengajuan permohonan grasi
tidak dibatasi oleh waktu tertentu, kecuali terpidana yang diputus pidana mati maka batas waktu
pengajuan permohonan grasi adalah satu tahun terhitung sejak putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Di samping itu kesempatan dalam mengajukan grasi dibatasi
hanya satu kali. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi beban dalam penyelesaian permohonan
grasi dan mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam permohonan grasi.
7. Presiden memberikan atau menolak permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. Sebagai upaya dalam meyelaraskan pengaturan mengenai grasi dengan Pasal
14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
A. Dasar Hukum Pemberian Grasi
Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun
1950 tentang Permohonan Grasi (UU Permohonan Grasi). Namun, setelah tahun 2002 pemberian
grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).
Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi yaitu
semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap
semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana
mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.
B. Bentuk-bentuk Grasi

19

Pemberian grasi oleh Presiden akan mengakibatkan penerima grasi tidak usah
menjalankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Pemberian grasi tersebut dapat berbentuk
pembebasan dari seluruh pidana, pembebasan sebagian dari pidana, atau perubahan jenis pidana
dari pidana berat menjadi pidana ringan.
Dalam UU Permohonan Grasi tidak disebutkan dengan jelas bentuk-bentuk grasi yang
dapat diberikan oleh Presiden. Sedangkan bentuk-bentuk grasi yang dapat diberikan kepada
Presiden berdasarkan UU Grasi yaitu;
ü peringanan atau perubahan jenis pidana; atau
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
Keppres yang memberikan grasi berupa pembebasan dari seluruh pidana akan mengakibatkan
terhukum tidak usah lagi menjalankan pidananya atau dengan kata lain terhukum dibebaskan dari
masa menjalankan pidana. Sedangkan grasi yang meringankan akan mengakibatkan pidana yang
dijatuhkan kepada si terhukum menjadi dikurangi.

20

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Pendapat R. Soeroso, S.H: Hukum yang mengatur susunan dan kekuasaan alat
perlengkapan Badan Umum atau hukum yang mengatur semua tugas dan kewajiban dari pejabatpejabat pemerintah didalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kajian Hukum Tata
Pemerintahan mencakup dua aspek yaitu aspek yang luas dan sempit. Kedua aspek itu melihat
Hukum Tata Pemerintahan dari fokus perhatian yakni obyek penelitiannya. Aspek yang Luas:
melihat Hukum Tata Pemerintahan sebagai sebagai obyek yang berorientasipada pengertian
Hukum Tata Pemerintahan yang identik dengan lapangan tugas pemerintahan sedangkan obyek
yang sempit adalah yang tidak identik.
B. Saran
Adapun Saran penulis sehubungan dengan bahasan makalah ini, kepada rekan-rekan praja
agar lebih meningkatkan, menggali dan mengkaji lebih dalam tentang bagaimana hukum tata
pemerintahan

21

DAFTAR PUSTAKA
http://infoartikl.blogspot.com/2013/01/hukum-tata-pemerintahan.html
http://tulisan-dan-ocehan.blogspot.com/2014/06/pengertian-hukum-tata-pemerintahan.html
https://www.google.com/?
gws_rd=ssl#q=definisi+hukum+tata+pemerintahan+menurut+para+ahli+indonesia
http://eprints.uny.ac.id/8608/2/BAB%201%20-%2008401244039.pdf
https://elkafilah.wordpress.com/2012/05/23/pengadilan-di-indonesia/
http://lawandbeauty.blogspot.com/2013/07/proses-penyelesaian-sengketa-tata-usaha.html
http://boyashter.blogspot.com/2012/11/subjek-hukum-tata-pemerintahan.html
http://exrura.blog.com/2011/05/16/hukum-tata-pemerintahan/
http://exrura.blog.com/2011/05/16/hukum-tata-pemerintahan/
http://infoartikl.blogspot.com/2013/01/hukum-tata-pemerintahan.html

22